Deg!
Bisikan wanita cantik membuat khayalan sang perwira melambung. Sang pria segera memacu cepat motor tanpa memperhatikan kanan kiri lagi. Dalam otak nakalnya kini hanya terpikir untuk segera sampai rumah sang wanita.
Setelah berpikir sejenak, pria ini segera bertanya, “Emang di rumah tak ada orang tuamu, Neng?”“Tenang, Sayang! Aku tinggal di rumah warisan Benek. Orang tua pergi merantau jauh,” jawab Rasmy sembari menjilati leher sang perwira.Serangan Rasmy yang tak disangka-sangka membuat napas pria berambut cepak memburu. Ia pun semakin mengencangkan laju motor hingga sampai di atas bukit. Hanya ada jalan sepi dan gelap di hadapan mereka.“Sayang, rumahmu masih jauh?” tanya sang perwira tak sabaran lagi sembari menahan gejolak darahnya.“Tinggal beberapa meter lagi, Sayang. Udah gak tahan, ya?”Rasmy balik bertanya sembari menyeringai di balik punggung sang perwira. Mata wanita cantik ini berubah membara bagai pijar api.“Tunggu bentar lagi, Sayang. Aku akan membuatmu merasakan sensasi yang tak akan terlupa hingga akhir hayat,” bisik Rasmy sembari menjilati kedua telinga AKBP Siswo Laksono bergantian.Sang perwira semakin mabuk kepayang hingga tanpa sadar motor yang dikemudikannya telah sampai di depan gudang tua. Pria ini tak menyadari tubuhnya telah dibawa terbang hingga masuk gudang.Mantra sihir Rasmy telah menghipnotis pria berambut cepak. Wanita cantik ini tak membuang-buang waktu lagi, leher sang pria digigitnya hingga tubuh kekarnya terkapar bagai terkena aliran listrik.“Tunggu di sini, Sayang! Permainan kita belum usai. Hi hi hihihihi ...!”Jemari Rasmy berkuku panjang yang berwarna hitam membuka kancing baju seragam sang perwira satu persatu lalu pergi melayang di antara kegelapan malam di Bukit Bajul. Mesin motor sang perwira dalam keadaan hidup mulai bergerak menapaki jalan berkelok menuju desa.‘Tok tok tok ...!’“Pak, satu mangsa udah kujerat,” ucap Rasmy yang mulai berubah wujud sembari mengetuk jendela kamar Atmo Sukiman.Hanya beberapa menit saja, jendela telah terbuka dan seraut wajah pria separuh baya telah tersenyum di baliknya.“Bagus, Nduk! Bapak akan segera menyelesaikan untukmu,” ucap Atmo Sukiman sembari menerima pemberian sang putri—Nikita Surasmi—yang sedang melayang di hadapannya.“Fotoku ada di ponsel dalam saku,” balas Nik sembari menyeringai menampakkan dua gigi taring berlumuran darah segar.Sehabis berbicara tubuh Nik mengeluarkan asap putih beraroma anyir darah segar lalu menghilang dan meninggalkan sang bapak yang celingukan mendengar suara motor yang semakin menjauh.“Nduk, kamu memang pintar membuat alibi. Kejutan apa lagi yang akan kau buat,” ujar pria separuh baya ini sembari menutup jendela.Akhirnya, esok hari telah tiba dan Pak Atmo bergegas keluar dari rumah menggunakan caping seperti biasa, tetapi bukan ke tempat pemakaman umum yang menjadi tujuannya. Pria separuh baya ini berjalan menuju Bukit Bajul untuk melihat hasil tangkapan sang putri.Ia mengambil kaus tangan dari saku celana untuk keperluan eksekusi nanti. Saat melewati kebun, ia teringat akan tali tambang yang dipakainya untuk menggembala sapi. Berhubung sekarang ia telah mengandangkan ternaknya, tali bisa dipakai untuk keperluan di bukit.Kemudian, di salah satu dahan pohon mangga, pria ini menaruh baju seragam pemberian sang putri untuk dikubur sepulang dari Bukit Bajul. Kini, Pak Atmo telah melenggang meninggalkan kebun dengan seulas senyum penuh arti.•••¤•°•¤•••“Ayo buruan, Pak! Ditungguin, malah bengong,” tegur Pak Tikno saat melihat langkah Pak Atmo terhenti menatap sekelebat bayangan Nik membopong tubuh seorang wanita ke arah bukit.Pria bertubuh kekar ini teringat akan lima lembar foto wanita muda yang terdapat dalam dompet sang perwira, salah satunya adalah putrinya.Dia pasti yang telah berkomplot dengan perwira brengsek, batin Pak Atmo.“Buruan, Pak. Barusan Pak Kades telepon,” ucap Pak Tikno setengah berteriak yang melihat temannya tak segera beranjak.“Eh ... iya, ya. Ayo,” sahut Pak Atmo gelagapan gegas mengikuti langkah Pak Tikno.“Tenang! Habis ini dapat duit gede. Kita pergi ke kota cari Nik,” cetus sang teman yang seketika membuat wajah Pak Atmo semburat gembira.Pria ini hanya butuh mencari informasi tentang keberadaan uang dari Mr. Abraham, seorang pria asing yang telah mengirim sejumlah uang untuk mahar sang putri. Pria asing ini adalah teman bisnis Bu Silvia.Diduga pria asing ini telah menjadi korban penipuan komplotan pembunuh sang putri. Sejak dua tahun Nik menghilang dan tiba-tiba setahun terakhir nomor ponselnya bisa aktif berhubungan dengan Mr. Abraham, membuat Bu Silvia menaruh kecurigaan.Namun anehnya, wanita sosialita ini tak bisa menghubungi nomor Nikita sama sekali. Seperti yang diungkap Bu Silvia kepada Pak Atmo, diduga ada seorang wanita yang mengaku sebagai Nik dan mulai melancarkan aksinya sejak setahun silam.Kini, kedua pria penggali kubur telah beranjak ke arah rumah Pak Kades dengan memanggul cangkul masing-masing. Mereka menapaki jalan desa yang mulai sepi dengan langkah mantap. Malam ini, mereka akan mendapat upah gede dengan perintah khusus tersebut.“Assalammu'alaikum,” ucap salam kedua pria barengan kepada Pak Kades yang sudah menunggu di teras.“Wa'alaikumussalam. Langsung buat galian di kebun. Udah saya tandai pake bendera merah,” pinta pria berkaca mata sembari mengantar kedua penggali kubur sampai pintu pagar kebun belakang.“Baik, Pak,” jawab Pak Atmo diiringi anggukan Pak Tikno.“Saya masih tunggu orang ini. Begitu selesai, cari saya,” jelas pria berkaca mata ini tanpa menunggu jawaban langsung pergi.Kedua tukang gali kubur ini geleng-geleng kepala mendapat penjelasan singkat kepala desa barusan. Pak Tikno mengerutkan kening, sedangkan Pak Atmo sedikit banyak mulai mengerti rahasia di balik galian-galian pesanan Pak Kades.“Bilang Pak Kades buat kuburan sapi yang mati. Masak iya, hampir tiap bulan ada yang mati. Gak konsultasi mantri hewan buat ngatasi penyakitnya,”ucap lirih Pak Tikno mirip orang ngedumel, tetapi terdengar jelas di indra pendengaran Pak Atmo.“Nanti saat di kota, kita buktikan itu. Masak iya, rumah mewah Pak Kades ada kandang sapi?” tanya Pak Atmo dengan berdecak seraya menoleh ke arah temannya.“Saya cuma tau depannya aja. Kata Pak Kades ada peternakan di belakang rumah itu,” jelas Pak Tikno sembari mulai mencangkul tanah berbendera merah.Pak Atmo segera menyingkirkan bendera tersebut dan mulai ikut mencangkul. Tak kurang sebanyak tujuh galian, termasuk yang sekarang adalah hasil kerja mereka selama mendapat pesanan khusus.Selalu saja Pak Kades beralasan untuk menguburkan bangkai sapi dari peternakan. Pak Atmo telah membongkar dan memindahkan jasad sang putri dari salah satu galian tersebut.Bisa jadi, jika Nik tak mendatanginya lewat mimpi, pria separuh baya ini tak akan pernah tahu rahasia Pak Kades tersebut.Namun, Pak Atmo akan berpura-pura tak tahu apa pun demi pelampiasan dendam bisa berjalan mulus.
"Yang jelas, aku tak percaya dengan aparat lagi!" ucapnya dalam hati sejak kasus Nikita Surasmi, sang putri, tak ada kelanjutannya.
“Kebun ini lama-lama jadi kuburan khusus sapi. Coba kalo ini kuburan manusia, pasti jadi angker,” celetuk Pak Tikno di antara hentakan cangkul mencongkel tanah.“Sekarang aja, saya udah merinding. Itu kata Pak Kades dan kita tak pernah tau yang dikubur di sini, sapi apa manusia,” tegas Pak Atmo yang membuat pria di sampingnya merasa gamang juga.“Iya, Pak. Kirain saya aja yang merinding. Terus terang, sejak lama saya rasakan.”“Betul kata saya, kan? Buruan kita selesaiin. Udah hampir tengah malam,” kata Pak Atmo memberi semangat kepada sang teman.Akhirnya, mereka bisa menyelesaikan pekerjaan setelah menghabiskan waktu hampir satu jam. Obor yang sengaja dipasang dekat tempat penggalian memberi penerangan yang cukup untuk kedua pria tua ini mengamati hasil kerja. Mereka telah merasa ukuran liang lahat sesuai pesanan Pak Kades, yaitu 1,5 x 2,5 meter dengan kedalaman dua meter.“Udah pas. Kita ke depan,” ajak Pak Atmo sembari mengibaskan tanah dari baju dan celana.“Ayo, Pak,” balas Pak
Mendengar ucapan Pak Kades, kedua petugas hanya bisa mengangguk. Mereka segera mempersiapkan beberapa bambu untuk menurunkan peti mati. Beberapa saat kemudian Pak Kades menerima panggilan telepon. Pria ini terlihat terkejut menerima berita dari sang penelepon.“Nanti kita bahas. Begitu sampe langsung ke kebun,” ucap Pak Kades dengan ekspresi panik.Pria tersebut langsung mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana kembali.“Kita turunkan sekarang!” perintah pria berkaca mata ini lalu memeriksa bilah bambu yang telah terpasang.Kemudian, ia mengajak kedua petugas rumah sakit untukmengangkat peti untuk diletakkan di atas bilah-bilah bambu. Dalam suasana hening ketiganya menurunnya peti pati pelan-pelan.Setelah peti telah berada di dasar lubang, bilah-bilah bambu disingkirkan lalu ketiganya menimbun dengan tanah mempergunakan sekrop yang telah tersedia di sekitar liang lahat.Satu jam kemudian prosesi pemakaman telah sel
"Kejadian apa lagi ini?” tanya Pak Kades dengan nada emosi. Pria berkacamata mata tersebut tiba-tiba telah berdiri terpaku di depan pohon yang tumbang.Pak Kepala Desa telah merasa, ada kekuatan di luar nalar yang memang sengaja berniat mengusiknya. Ia menggeram karena ada yang datang menantangnya.“Kayak habis ada angin topan, Pak,” sahut pria bertato sembari mengelilingi pohon yang tumbang.Pohon mangga berbuah lebat ini tumbang melintang di depan halaman mengenai yang lain. Sehingga yang pohon yang tertimpa menjadi doyong roboh ke tembok pagar. Akhirnya, tembok tersebut retak menganga.“Kamu cari Pak Atmo dan Pak Tikno untuk memotong pohon yang tumbang dan membuat penyangga. Biar tembo gak ikut roboh,” perintah Pak Kades kepada pria bertato.Seketika pria tersebut melangkah Hati-hati melintasi pohon yang melintang. Kini, tinggal Pak Kades dengan kegeramannya karena telah dikerjain oleh makhluk tak kasat mata. Bulu kuduk pria berkaca mata tiba-tiba merinding saat terasa ada yang mel
“Ayo kita pergi, Pak! Tunjukkan rumah Pak Kades!” pinta Pak Atmo sembari menoleh ke arah Pak Tikno.“Baik, mari. Moga Pak Kades gak keburu ke sana,” balas Pak Tikno yang segera duduk di boncengan.Mereka meninggalkan tempat tersebut lalu pergi ke arah berlawanan. Sepanjang perjalanan Pak Atmo berpikir bahwa mungkin saja Bu Silvia juga terlibat pembunuhan terhadap putrinya. Pria tegap berkulit legam ini akan mencari info sebanyak-banyaknya.Nikita tak pernah bercerita banyak tentang nasib tragis yang telah dialaminya. Sang putri hanya datang dengan membawa mayat orang-orang yang telah merusak hidupnya saja. Pak Atmo tak pernah tahu, perbuatan apa yang telah dilakukan mereka terhadap Nikita.“Perempatan itu belok kanan. Entar sekitar 400 meter dari belokan ada perumahan elit. Ada namanya gede di depan,” ucap Pak Tikno memberi petunjuk.Pak Atmo segera mengangguk dengan memperhatikan jalan. Indra penciuman pria ini merasakan kehadiran Nik. Aroma pandan berbaur dengan bau anyir darah. Pak
Pak Atmo pun tersenyum mendengar bisikan sosok bergaun putih yang tak lain adalah Nikita Surasmi. Akhirnya bertiga telah duduk di warung dan memesan menu untuk sarapan.Mereka menikmatinya dengan ditemani suara musik lembut dari speaker aktif pemilik warung. Dalam hitungan menit acara makan pagi selesai lalu dilanjutkan dengan pembicaraan serius antar mereka.“Saya kenal Mbak Nik itu orang baik. Dia bilang sempat kerja di garmen milik Bu Silvia lalu pindah kemari,” ucap satpam mengawali pembicaraan.“Emang betul. Anak saya saat kerja di garmen sempat pulang dua kali dan saat terakhir kalinya, dia bilang akan diajak kerja di toko Pak Kades. Habis itu gak ada kabar dan hilang sampe sekarang,” sahut Pak Atmo sembari matanya awas melihat keberadaan sang putri bergaun putih duduk di kursi pojok.Pak Tikno hanya ikut menyimak pembicaraan sang teman dengan satpam, tetapi terlihat beberapa kali pria ini mengusap tengkuknya. Meski kehadiran Nikita tanpa terlihat yang lain, tetap saja membuat b
“Bagaimana kalo amati CCTV, Pak?” tanya satpam memberi usul dengan hati gamang.Ia tak mau disalahkan atas kekacauan yang terjadi karena memang hal tersebut terjadi secara ajaib. Pria ini pun ingin tahu jawabannya lewat rekaman CCTV.Kedua pria ini masuk kamar lalu mengamati seisi ruangan yang tak kalah berantakan daripada bagian bawah. Tampak bercak darah terdapat di lantai, seprai dan dinding. Jejak sepatu berlumpur terlihat juga di lantai dan dinding dekat lemari pakaian.Tampaknya, ada pergumulan antara dua orang dalam kamar, ditelisik dari perabot kamar yang berantakan. Tak dipungkiri, ciut nyali Pak Kades saat melihat keadaan barusan. Pria berkaca mata ini segera menelepon petugas mobil jenazah.“Selamat siang, Pak,” ucap seseorang dari seberang telepon.“Udah kalian cari daftar nama jenazah?” tanya Pak Kades dengan perasaan was-was.“Hanya terdaftar atas nama Karimah dan tak ada nama Tasya Suherman,”jawab orang kepercayaan Pak Kades.Pria berkaca mata berpikir sejenak lalu beru
“Gak biasanya, Tasya belanja online.”Saat pria berkaca mata mengamati layar, muncul satpam lama dengan menenteng sebuah ransel. Tentu saja, kedatangan pria ini membuat Pak Kades terkejut. Pria berkaca mata ini hapal betul dengan benda berwarna hijau lumut tersebut.“Dari mana itu?” tanya Pak Kades sembari menunjuk ke arah ransel yang dibawa sang satpam.“Ada di meja dapur, Pak,” jawab satpam sembari memberikan benda tersebut.Pak Kades segera membuka lalu melihat isinya. Betapa kaget pria tersebut saat mengetahui benda yang ada di dalam ransel.“Apa-apaan ini!” teriak pria berkaca mata ini sembari menaruh ransel di meja dekat monitor CCTV.Kedua satpam yang berada di dekatnya saling berpandangan melihat reaksi sang majikan. Mereka penasaran dengan isi ransel, tetapi tak mungkin mengambil benda tersebut.“Ada apa, Pak?” tanya sang satpam baru tanpa mengalihkan pandangan mata.“Kalian liat sendiri aja!” suruh Pak Kades seraya mengamati layar rekaman CCTV.Pria berkaca mata ini tak mend
Pak Atmo meluapkan segala amarahnya di depan sebuah arca pemujaan dalam kamar temaram diterangi cahaya lilin. Malam ini, untuk kesekian kalinya, pria tua tersebut melakukan ritual untuk melanjutkan dendam yang telah mendarah daging.Ia akan memberi sedikit rasa ngeri kepada Pak Kades dengan perantara sang putri untuk membunuh orang-orang kepercayaan pria tamak tersebut satu persatu. Ia hanya ingin melihat ketakutan di wajah pria tersebut sebelum ajal menjemput."Sang Bethari, aku ingin kau beri waktu Nikita sedikit lagi. Semua darah dan daging korban akan kupersembahkan padamu, kecuali Diran Prawiro. Aku mohon," ucap Atmo Sukirman dengan air mata meleleh. Pria ini sudah tak peduli apa pun, meski nyawanya akan jadi budak secara abadi bagi sesembahannya."Aku inginkan kamu, Atmo! Sediakan bunga 7 rupa tiap malam Jumat Kliwon. Dan Nikita akan bebas selesaikan dendamnya." Terdengar suara melengking lalu tiba-tiba muncul sosok tinggi berwarna hijau berlendir. Bau amis dan busuk seketika me