“Sayang? Siapa dia?”
Sayangnya, pertanyaan Pak Kades tak dapat jawaban karena tubuh Tasya telah dibopong Rasmy lalu menghilang bersama lengkingan tawa mengerikan.•••¤•°•¤•••Gudang kosongPara petugas sedang sibuk olah TKP yang sudah terpasang garis polisi. Sementara mayat tinggal tulang belulang diduga sebagai jasad AKBP Siswo Laksono telah berada dalam ambulans akan segera ditangani tim forensik.Hati Pak Kades gelisah sejak tak mendapat jawaban dari telepon Tasya—wanita dua puluhan tahun—lebih pantas jadi anaknya daripada kekasih gelap. Pria berusia setengah abad lebih ini telah berkirim pesan, tiap kali dilihat belum dibaca juga.Setelah para petugas selesai dengan tugasnya, mereka mengajak serta Pak Kades dan juga dua orang pencari rumput untuk diminta keterangan ke kantor polisi.Sepeninggal mereka, warga yang lain masih berkerumun di sekitar garis polisi. Tak terkecuali Pak Atmo, Pak Tikno dan Bu Silvia. Mereka sedang berdiskusi tentang kejadian tragis yang dialami jasad tak wajar diduga AKBP Siswo Laksono.“Pak Siswo sering ke garmen bersama Pak Kades. Kebetulan rumah kami tetanggaan. Setelah itu, polisi duda tanpa anak ini sering berkunjung sendiri untuk menemui Nik,” ungkap Bu Silvia yang tentu saja membuat Pak Atmo terkejut.“Anak saya gak pernah cerita soal ini, Bu. Padahal selama kerja di garmen dua kali pulang kampung dan yang terakhir pamit akan kerja di toko Pak Kades,” jelas Pak Atmo sembari mengaitkan kematian sang anak serta kedekatannya dengan Pak Siswo.“Tiap kali Pak Kades ke garmen, selalu aja ada karyawan saya yang keluar dari kerja. Terakhir saat saya pergi selama setahun, ada tiga orang karyawati keluar, termasuk Nik.”“Nah bener banget ini. Anak saya balik ke kota bersama Tasya dan Marini. Tapi, tak pernah pulang dan tak ada kabar lagi. Nik hilang, Bu,” kata Pak Atmo mengusap air bening di sudut mata.Pak Tikno yang sedari tadi hanya menyimak pembicaraan lalu menepuk pelan punggung sang teman untuk menguatkan. Pembicaraan berakhir dan mereka sepakat besok pagi akan bertemu untuk pergi ke kota. Pak Tikno diajak ikut serta karena dia yang tahu alamat rumah mewah Pak Kades.•••¤•°•¤•••¤•°•¤•••Selepas Isya'Pak Tikno setengah berlari menghampiri rumah Pak Atmo. Pintu rumah dalam keadaan tertutup dan tirai jendela depan pun sudah rapat. Meski lampu ruang tamu masih dalam keadaan menyala, hati pria bertubuh kurus ini sempat bimbang.Pak Tikno bermaksud mengirimkan sebuah pesan karena khawatir Pak Atmo telah lelap. Namun, baru saja tangan kurusnya hendak merogoh ponsel dalam kantung celana, secara mengejutkan ada yang menyapa pria ini.“Ada apa, Pak?”Terdengar suara Pak Atmo mendekatinya. Pak Tik pun bergegas menoleh ke arah pria bercaping yang melangkah mendekat.“Wah, kirain Pak Atmo udah tidur. Saya takut mengetuk pintu mau kirim pesan dulu,” jawab Pak Tikno sembari tersenyum ke arah sang teman yang kini mulai memutar anak kunci.“Mana mungkin saya tidur, Pak. Ada tugas bentar lagi. Silakan masuk,” ucap Pak Atmo sembari membuka pintu.“Barusan saya dikasih tau Pak Kades. Penggalian liang lahat dipercepat karena beliau buru-buru mau ke kota,” jelas Pak Tikno serta merta duduk berhadapan dengan Pak Atmo.“Yaodah, kita sekarang ke sana. Saya ganti baju dulu. Barusan dari kebun bakar sampah, bau asap,” jelas Pak Atmo sembari bangkit lalu melangkah menuju kamar mandi.Malam-malam gini bakar sampah ke kebun. Kenapa gak besok pagi saja? Tanya Pak Tikno dalam hati.Pria bertubuh kurus ini tak tahu bahwa sang teman bukan membakar sampah sembarangan. Pak Atmo yang seharian disibukkan oleh urusan mayat dan diskusi soal sang putri sampai hampir kelupaan melenyapkan baju seragam sang perwira yang tertinggal di kebun.•••¤•°•¤•••Kilas balik saat pertemuan Rasmy dengan AKBP Siswo Laksono, sesaat sebelum sang perwira diketemukan mati tinggal tulang belulang esok harinya.Jalan kampung yang sepi, selepas jam 10 malam, seorang wanita muda berseragam sebuah garmen ternama di kota, sedang melenggang sendiri. Tampak langkah kaki jenjang bersepatu high jelas berjalan cepat tanpa menoleh kanan kiri.Hingga di pertigaan arah ke rumah Pak Kades, wanita ini berpapasan dengan AKBP Siswo Laksono yang baru beberapa meter meninggalkan rumah sang pemimpin desa.“Selamat malam,” sapa sang perwira kepada Rasmy—sang wanita cantik bermuka pucat.Rasmy yang disapa sang perwira seketika kaget dan langsung berhenti tepat di samping motor.“Selamat malam, Pak Polisi,” balas Rasmy sembari mengelus dada merasa aman bisa bertemu seorang petugas.“Baru pulang kerja, Neng?”“Iya, Pak.”“Seragam ini saya kenal banget. Lumayan jauh dari sini,”ucap perwira berkumis tebal ini sembari mengamati logo baju yang dipakai wanita di sampingnya.“Iya, Pak. Kebetulan ada keperluan. Sepulang kerja langsung naik bus pulkam,” balas wanita cantik dengan senyum khas yang mengingatkan perwira ini kepada seseorang.“Emang asli sini?” tanya sang perwira yang semakin penasaran.“Asli sini, Pak. Rumah saya ada di bukit sana.”AKBP Siswo Laksono segera mengikuti arah telunjuk Rasmy ke arah Bukit Bajul yang berada sekitar satu kilometer dari mereka berada.“Wah, melewati Pak Kades, dong.”“Tentu, Pak. Jalan terdekat memang melewati rumah Pak Kades.”“Mari saya antar, Neng. Malam-malam gini, nekat juga. Gak takut ada yang iseng?” tanya sang perwira sembari memutar balik arah motor.“Untungnya melewati rumah Pak Kades, dijamin aman. Maaf, merepotkan,” jawab Rasmy sembari duduk di boncengan sang perwira.“Neng belum tau watak asli Pak Kades. Waspada aja,” ungkap lirih pria berseragam cokelat ini sembari memacu pelan laju motor.“Setau saya, Pak Kades itu dermawan. Sopan dan ramah,” balas Rasmy sembari memegang pundak sang pria.Tubuh wanita cantik ini menempel erat ke punggung sang pria.Tak bisa dipungkiri pria yang telah menduda tiga tahun ini seketika berdesir darahnya. Apalagi kedua lengan sang wanita melingkar ke pinggang pria berbadan tegap ini.“Saya takut jatuh. Boleh, kan, berpegangan?” tanya sang wanita merdu terdengar di telinga pria kesepian ini."Boleh saja,” jawab sang pria refleks memegang genggaman tangan sang wanita di perut.Jantung AKBP Siswo Laksono berdebar-debar dan segera mengambil napas untuk menstabilkan perasaannya. Sang wanita tak tampak canggung sedikit pun, saat telapak tangan pria berambut cepak mengelus lembut lengan mulusnya. Senyum manis Rasmy terpantul dari kaca spion membuat gerakan sang pria semakin berani.“Sabar, Pak. Tunggu sampe rumah, ya,” bisik lembut Rasmy sembari mengecup sekilas telinga sang pria. Deg!Deg!Bisikan wanita cantik membuat khayalan sang perwira melambung. Sang pria segera memacu cepat motor tanpa memperhatikan kanan kiri lagi. Dalam otak nakalnya kini hanya terpikir untuk segera sampai rumah sang wanita.Setelah berpikir sejenak, pria ini segera bertanya, “Emang di rumah tak ada orang tuamu, Neng?”“Tenang, Sayang! Aku tinggal di rumah warisan Benek. Orang tua pergi merantau jauh,” jawab Rasmy sembari menjilati leher sang perwira.Serangan Rasmy yang tak disangka-sangka membuat napas pria berambut cepak memburu. Ia pun semakin mengencangkan laju motor hingga sampai di atas bukit. Hanya ada jalan sepi dan gelap di hadapan mereka.“Sayang, rumahmu masih jauh?” tanya sang perwira tak sabaran lagi sembari menahan gejolak darahnya.“Tinggal beberapa meter lagi, Sayang. Udah gak tahan, ya?”Rasmy balik bertanya sembari menyeringai di balik punggung sang perwira. Mata wanita cantik ini berubah membara bagai pijar api.“Tunggu bentar lagi, Sayang. Aku akan membuatmu merasakan
“Kebun ini lama-lama jadi kuburan khusus sapi. Coba kalo ini kuburan manusia, pasti jadi angker,” celetuk Pak Tikno di antara hentakan cangkul mencongkel tanah.“Sekarang aja, saya udah merinding. Itu kata Pak Kades dan kita tak pernah tau yang dikubur di sini, sapi apa manusia,” tegas Pak Atmo yang membuat pria di sampingnya merasa gamang juga.“Iya, Pak. Kirain saya aja yang merinding. Terus terang, sejak lama saya rasakan.”“Betul kata saya, kan? Buruan kita selesaiin. Udah hampir tengah malam,” kata Pak Atmo memberi semangat kepada sang teman.Akhirnya, mereka bisa menyelesaikan pekerjaan setelah menghabiskan waktu hampir satu jam. Obor yang sengaja dipasang dekat tempat penggalian memberi penerangan yang cukup untuk kedua pria tua ini mengamati hasil kerja. Mereka telah merasa ukuran liang lahat sesuai pesanan Pak Kades, yaitu 1,5 x 2,5 meter dengan kedalaman dua meter.“Udah pas. Kita ke depan,” ajak Pak Atmo sembari mengibaskan tanah dari baju dan celana.“Ayo, Pak,” balas Pak
Mendengar ucapan Pak Kades, kedua petugas hanya bisa mengangguk. Mereka segera mempersiapkan beberapa bambu untuk menurunkan peti mati. Beberapa saat kemudian Pak Kades menerima panggilan telepon. Pria ini terlihat terkejut menerima berita dari sang penelepon.“Nanti kita bahas. Begitu sampe langsung ke kebun,” ucap Pak Kades dengan ekspresi panik.Pria tersebut langsung mengakhiri pembicaraan tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana kembali.“Kita turunkan sekarang!” perintah pria berkaca mata ini lalu memeriksa bilah bambu yang telah terpasang.Kemudian, ia mengajak kedua petugas rumah sakit untukmengangkat peti untuk diletakkan di atas bilah-bilah bambu. Dalam suasana hening ketiganya menurunnya peti pati pelan-pelan.Setelah peti telah berada di dasar lubang, bilah-bilah bambu disingkirkan lalu ketiganya menimbun dengan tanah mempergunakan sekrop yang telah tersedia di sekitar liang lahat.Satu jam kemudian prosesi pemakaman telah sel
"Kejadian apa lagi ini?” tanya Pak Kades dengan nada emosi. Pria berkacamata mata tersebut tiba-tiba telah berdiri terpaku di depan pohon yang tumbang.Pak Kepala Desa telah merasa, ada kekuatan di luar nalar yang memang sengaja berniat mengusiknya. Ia menggeram karena ada yang datang menantangnya.“Kayak habis ada angin topan, Pak,” sahut pria bertato sembari mengelilingi pohon yang tumbang.Pohon mangga berbuah lebat ini tumbang melintang di depan halaman mengenai yang lain. Sehingga yang pohon yang tertimpa menjadi doyong roboh ke tembok pagar. Akhirnya, tembok tersebut retak menganga.“Kamu cari Pak Atmo dan Pak Tikno untuk memotong pohon yang tumbang dan membuat penyangga. Biar tembo gak ikut roboh,” perintah Pak Kades kepada pria bertato.Seketika pria tersebut melangkah Hati-hati melintasi pohon yang melintang. Kini, tinggal Pak Kades dengan kegeramannya karena telah dikerjain oleh makhluk tak kasat mata. Bulu kuduk pria berkaca mata tiba-tiba merinding saat terasa ada yang mel
“Ayo kita pergi, Pak! Tunjukkan rumah Pak Kades!” pinta Pak Atmo sembari menoleh ke arah Pak Tikno.“Baik, mari. Moga Pak Kades gak keburu ke sana,” balas Pak Tikno yang segera duduk di boncengan.Mereka meninggalkan tempat tersebut lalu pergi ke arah berlawanan. Sepanjang perjalanan Pak Atmo berpikir bahwa mungkin saja Bu Silvia juga terlibat pembunuhan terhadap putrinya. Pria tegap berkulit legam ini akan mencari info sebanyak-banyaknya.Nikita tak pernah bercerita banyak tentang nasib tragis yang telah dialaminya. Sang putri hanya datang dengan membawa mayat orang-orang yang telah merusak hidupnya saja. Pak Atmo tak pernah tahu, perbuatan apa yang telah dilakukan mereka terhadap Nikita.“Perempatan itu belok kanan. Entar sekitar 400 meter dari belokan ada perumahan elit. Ada namanya gede di depan,” ucap Pak Tikno memberi petunjuk.Pak Atmo segera mengangguk dengan memperhatikan jalan. Indra penciuman pria ini merasakan kehadiran Nik. Aroma pandan berbaur dengan bau anyir darah. Pak
Pak Atmo pun tersenyum mendengar bisikan sosok bergaun putih yang tak lain adalah Nikita Surasmi. Akhirnya bertiga telah duduk di warung dan memesan menu untuk sarapan.Mereka menikmatinya dengan ditemani suara musik lembut dari speaker aktif pemilik warung. Dalam hitungan menit acara makan pagi selesai lalu dilanjutkan dengan pembicaraan serius antar mereka.“Saya kenal Mbak Nik itu orang baik. Dia bilang sempat kerja di garmen milik Bu Silvia lalu pindah kemari,” ucap satpam mengawali pembicaraan.“Emang betul. Anak saya saat kerja di garmen sempat pulang dua kali dan saat terakhir kalinya, dia bilang akan diajak kerja di toko Pak Kades. Habis itu gak ada kabar dan hilang sampe sekarang,” sahut Pak Atmo sembari matanya awas melihat keberadaan sang putri bergaun putih duduk di kursi pojok.Pak Tikno hanya ikut menyimak pembicaraan sang teman dengan satpam, tetapi terlihat beberapa kali pria ini mengusap tengkuknya. Meski kehadiran Nikita tanpa terlihat yang lain, tetap saja membuat b
“Bagaimana kalo amati CCTV, Pak?” tanya satpam memberi usul dengan hati gamang.Ia tak mau disalahkan atas kekacauan yang terjadi karena memang hal tersebut terjadi secara ajaib. Pria ini pun ingin tahu jawabannya lewat rekaman CCTV.Kedua pria ini masuk kamar lalu mengamati seisi ruangan yang tak kalah berantakan daripada bagian bawah. Tampak bercak darah terdapat di lantai, seprai dan dinding. Jejak sepatu berlumpur terlihat juga di lantai dan dinding dekat lemari pakaian.Tampaknya, ada pergumulan antara dua orang dalam kamar, ditelisik dari perabot kamar yang berantakan. Tak dipungkiri, ciut nyali Pak Kades saat melihat keadaan barusan. Pria berkaca mata ini segera menelepon petugas mobil jenazah.“Selamat siang, Pak,” ucap seseorang dari seberang telepon.“Udah kalian cari daftar nama jenazah?” tanya Pak Kades dengan perasaan was-was.“Hanya terdaftar atas nama Karimah dan tak ada nama Tasya Suherman,”jawab orang kepercayaan Pak Kades.Pria berkaca mata berpikir sejenak lalu beru
“Gak biasanya, Tasya belanja online.”Saat pria berkaca mata mengamati layar, muncul satpam lama dengan menenteng sebuah ransel. Tentu saja, kedatangan pria ini membuat Pak Kades terkejut. Pria berkaca mata ini hapal betul dengan benda berwarna hijau lumut tersebut.“Dari mana itu?” tanya Pak Kades sembari menunjuk ke arah ransel yang dibawa sang satpam.“Ada di meja dapur, Pak,” jawab satpam sembari memberikan benda tersebut.Pak Kades segera membuka lalu melihat isinya. Betapa kaget pria tersebut saat mengetahui benda yang ada di dalam ransel.“Apa-apaan ini!” teriak pria berkaca mata ini sembari menaruh ransel di meja dekat monitor CCTV.Kedua satpam yang berada di dekatnya saling berpandangan melihat reaksi sang majikan. Mereka penasaran dengan isi ransel, tetapi tak mungkin mengambil benda tersebut.“Ada apa, Pak?” tanya sang satpam baru tanpa mengalihkan pandangan mata.“Kalian liat sendiri aja!” suruh Pak Kades seraya mengamati layar rekaman CCTV.Pria berkaca mata ini tak mend