Tibalah hari yang dinantikan oleh Bu Mae. Seharian ini, wanita setengah baya itu sibuk membuat aneka kue untuk dibawa ke rumah Salsa nanti sore. Ada kue cucur, bolu tape, donat kentang, risol isi sayuran, dan juga kue lapis. Belum lagi parcel buah sebanyak tiga keranjang sudah ia pesan dari toko buah.
Para tetangga termasuk Pak RT, Bu RT, dan beberapa orang lainnya yang akan mengantar Satria lamaran malam ini sudah dibelikan baju seragam batik sebanyak dua belas biji. Bu Mae sengaja berbelanja ke pasar Tanah Abang untuk persiapan lamaran Satria malam ini.
Satria tak bisa banyak bicara. Ia hanya bisa memandang semua kehebohan di rumahnya tanpa berani berkomentar.
"Ngapain bengong? Masuk sana! Calon pengantin dilarang lihat persiapan lamaran, pamali kalau kata Mak Piah," seru Bu Mae pada Satria yang kini sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Begitu ia mendengar nama Mak Piah, Satria langsung membanting pintu kamar, lalu menguncinya sebanyak dua kali. Satria
Semua orang duduk di lantai ruang tamu yang sudah beralaskan karpet tebal. Sofa tamu terpaksa digeser ke ruang tengah rumah Salsa agar dapat menampung tamu yang datang bersama Satria dan ibunya.Kini semua terdiam tidak berani bersuara. Di depan mereka sudah ada gelas teh yang disuguhkan keluarga Salsa. Tamu pun ada juga sebagian yang duduk di luar, karena di ruang tamu sudah tidak muat.Seorang lelaki yang bernama Fajar menatap begitu banyak tamu berseragam dengan perasaan aneh sekaligus penasaran. Ia duduk di samping Devit;papa dari Salsa, sedangkan Satria duduk di samping ibunya yang juga tengah menunduk sangat malu."Jadi begini, Pak, Bu ...." Bu Mae berusaha membuka percakapan dalam keheningan malam."Kedatangan kami ke sini adalah untuk melamar anak Bapak dan Ibu yang bernama Salsa, sebagai istri dari anak saya yang bernama Satria Kuat. Memang kami datang secara tiba-tiba, karena memang niatnya memberi kejutan.""Iya, Bu, malah me
Saya sarankan untuk tidak tertawa cekikikan malam Jumat sendirian.Selamat membaca.Iring-iringan mobil yang angkutan yang ditumpangi para tetangga Satria akhirnya sampai di halaman luas rumah pria itu. Satu per satu turun dengan wajah sedih dan tanpa berani bercakap-cakap.Begitu juga Satria dan ibu, serta Ramlan yang turun dari taksi online. Ketiganya turun dengan wajah masam."Habis ngelamar apa habis ngelayat sih? Mukanya kek batu nisan semua," celetuk Mak Piah yang bisa bicara dengan betul karena pasti gigi palsunya terpasang dengan baik. Semua orang menoleh sekilas, lalu membuang pandangan dan berjalan ke rumah masing-masing. Begitu pun Satria dan Bu Mae. Hanya Ramlan yang masih memperhatikan Mak Piah dan sedikit bergidik ngeri kemudian."Bos, gue kasih tahu aja lu ya. Hati-hati sama nenek grandong di sebelah. Dia sepertinya bukan cuma seorang nenek biasa, tetapi nenek ... nenek ... Ish, itulah pokoknya. Jangan sampai lu ben
Saya janji, di bab 19 ini tidak ada kelucuan. Isinya serius semua, buktikan saja!Seorang pria tengah memperhatikan wanita yang akan menjadi calon istrinya kini tengah latihan angkat besi. Pakaian yang dikenakan Salsa cukup ketat, sehingga mengganggu penglihatan juga perasaannya.Salsa nampak tangguh dan sangat macho saat berlatih bersama coach yang tubuhnya bak atlet binaraga Ade Rai. Sesekali wanita itu melemparkan senyuman pada Fajar yang hari ini menemaninya latihan.Selesai latihan satu jam, Salsa pun berjalan menghampiri Fajar yang tengah duduk di kursi panjang. Lelaki itu tersenyum pada Salsa, sambil membukakan tutup botol air mineral untuk calon istrinya."Minumlah, kamu pasti capai," ucap Fajar perhatian. Salsa menerima botol minum dari Fajar, lalu meneguknya dengan cepat."Mas Fajar bosan ya, nungguin saya latihan kelamaan?" tanya Salsa yang sudah duduk di samping Fajar."Tidak juga. Kamu gagah sekali dan sangat kuat se
Yang kangen BangSat, absen dulu dong! He he he****"Ram, saya yang amnesia atau bagaimana ya?" ujar Sapto sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Kenapa emangnya? Bos Satria meninggal, terus apa hubungannya sama lu yang amnesia?" timpal Ramlan dengan wajah penasaran."Mau nyusulin dia lu?" sambung Ramlan lagi hingga membuat Sapto tertawa."Bukan, ini tanggal 1 kan ya? Jadwalnya gajian, Ram. Ck, jadi kita kagak gajian dong," ujar Sapto dengan wajah lesunya."Palingan udah dititipin sama Bu Mae. Lu tenang aja, biasanya kalau meninggal gantung diri gitu, pasti ada pesan terakhir. Semoga ada rincian gaji kita dititipin sama Bu Mae," jawab Ramlan yang masih fokus mengendarai motornya."Dosa gak sih kita gosipin orang mati?""Kagak, insyaAllah dapat pahala malahan. Makanya otak lu dipake Sapto! Orang lagi sedih kehilangan anak, malah lu inget gajian. Lu bawa uang takziah gak? Kalau gak bawa, turun lu se
"Bun, Papa punya kabar yang bisa dibilang kabar baik, tapi juga kabar buruk," ujar Devit pada Juwi begitu kakinya masuk ke dalam rumah sehabis dari kampus. Juwi menatap suaminya dengan dada berdebar."Ada apa, Pa? Bukan disuruh dinas keluar kota'kan?" tanya Juwi penasaran."Bunda tahu lelaki yang semalam melamar Salsa? BangSat itu namanya.""Iya, Pa, masih inget atuh, pan gara-gara dia Bunda pingsan sampai subuh," timpal Juwi sambil memijat pelipisnya."Ha ha ha ... itu mah bukan pingsan, emang tukang tidur aja kali," balas Devit sambil tergelak."Ish, Papa ... Terus, emangnya kenapa dengan Satria?" Juwi merapatkan duduknya dengan Devit."Gimana mau cerita, tenggorokan Papa aja seret nih, airnya mana?" Juwi menepuk keningnya yang lupa membuatkan teh selamat datang untuk suaminya. Segera ia beranjak dari sofa, lalu setengah berlari menuju dapur.Devit juga bangun dari duduknya lalu berjalan ke kamar. Lelaki itu masuk
"Ya Allah, kasian juga ya, Pa. Untung kita gak nerima lamaran lelaki itu. Imannya tipis banget. Masa gitu aja bunuh diri," komentar Juwi setelah selesai dua kali mendaki gunung, lewati lembah bersama suami tercinta."Mungkin karena malu, Bund. Yah, namanya manusia kalau tidak dekat dengan Tuhan seperti itu. Semoga Juwi berjodoh dengan Fajar. Papa juga ingin punya cucu. Rumah ini ada anak kecil lagi. Kita bikin anak kecil melulu, tapi gagal terus," ujar Devit sambil menyeringai."Udah cukup tiga anak di rumah ini, Pa. Mau nambah anak terus emang Papa bantuin ngurusnya? Papa cuma numpang nampung asi Bunda doang sambil nelen ludah. Mesum gak sarjana-sarjana," balas Juwi dengan sengit, lalu beranjak turun dari tempat tidur. Devit tergelak dengan mata yang masih menatap punggung istrinya yang perlahan menghilang dari balik pintu kamar mandi.Ia pun ikut turun dan berjalan ke kamar mandi karena tiba-tiba saja perutnya terasa sangat mulas.
"Bang, lu kenapa? Pulang takziah malah ngeringkuk bae di balik selimut? Gak jadi gajian ya? Ck, harusnya bos Satria titipin dulu gaji karyawannya baru meninggal. Jadi, udah gak ada sangkutan lagi di dunia. Kalau begini gue yang repot'kan? Cicilan daster sama bank keliling udah nunggak seminggu, Bang," oceh seorang wanita yang tidak lain adalah istri dari Murtadi.Pria berusia tiga puluh lima tahun itu masih saja gemetar dari balik selimutnya dengan suhu tubuh yang tinggi."Nih, minum dulu obatnya! Obat juga saya boleh ngutang di warung sebelah. Awas aja kalau gak sembuh!" ancam wanita itu lagi pada suaminya."D-dikantong celana, ada amplop, Mah, Bos Satria yang bagiin tadi," balas Murtado dengan suara gemetar."A-apa? Yakin lu, Bang? B-bukannya bos lu udah meninggal? K-kenapa bisa bagiin gajian?" wanita itu bertanya dengan nada panik. Ia khawatir suaminya terkena sawan orang meninggal, karena begitu pulang langsung meriang.
Lagi-lagi orang yang dikunjungi olehnya pingsan. Baik ibunya Salsa dan kini istri dari karyawannya. Sungguh hari yang sangat melelahkan. Karen tak kunjung sadar, istri dari Murtadi sampai dilarikan ke rumah sakit dan dirinya yang harus membayar biaya pengobatannya. Setelah semua urusan beres, Satria pun pamit pulang, sedangkan Muryadi masih menunggui istrinya yang lemas di IGD.Satria pulang ke rumah dengan perasaan kacau dan tubuh sangat lelah. Sebelum benar-benar masuk ke pekarangan rumahnya, Satria terlebih dahulu mengintip, apakah ada Mak Piah di teras rumah? Syukurlah, nenek itu sudah tidak ada di rumahnya.Satria memasukkan motor ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rumah. Lampu kamar ibunya sudah padam, itu menandakan ibunya sudah tidur. Satria baru sadar ini sudah pukul dua belas malam.Ia pun bergegas mandi dan berganti pakaian sebelum tidur. Diperhatikannya langit-langit kamar yang sepi. Seperti suasana hatinya. Tinggal berdua saja dengan ibunya s