Share

Bab-18 Duka dan Setitik Harapan

Abi masuk rumah sakit, jantungnya anfal. Segala peralatan medis dipasang ditubuh Abi termasuk alat pacu jantung tetapi jantungnya semakin lemah. Umi memegang tangan Abi, dingin. Seluruh keluarga berkumpul diluar, hanya Umi yang di ijinkan menunggu, jika yang lain bezuk mereka masuk bergantian. Thoriq baru malam ini pulang dari Arab Saudi, saat ini Umi sangat membutuhkan kehadiran anak laki-lakinya. Tempatnya bersandar selain Abi, anak lelaki yang ia sayangi.

Dua hari sebelum Abi anfal ia berwasiat pada Umi, agar tak lagi menghalangi cinta Thoriq dan Savana. Agar Umi merestui pernikahan Thoriq dan Savana. Air mata Umi meleleh, beratnya menjalankan amanah Abi. 

Ditatapnya laki-laki yang terbaring pucat dan lemah, laki-laki yang bersamanya selama 30 tahun. Semuanya seperti baru kemaren, betapa singkatnya waktu merenggut semuanya. Abi yang penuh kasih sayang, sabar dan selalu mengalah pada Umi. Abi tempatnya bersandar kini terbaring lemah tak berdaya, betapa rapuhnya bersandar kepada selain-Nya.

"Abi, bangun. Jangan tinggalkan Umi.." air mata wanita cantik berdarah Arab itu meleleh, namun Abi cuma diam. Nafasnya masih ada meski lemah. Umi terus berdzikir, semoga Allah memberikan yang terbaik untuk suami dan keluarganya. Tak terasa Umi tertidur disebelah Abi.

Saat berkumpul kadang kita tak sepaham, berdebat oleh masalah-masalah kecil sampai waktu itu tiba. Saat raga tak lagi bisa bersatu dengan jiwa, saat jiwa sudah ingin pergi meninggalkan raga maka penyesalan tak lagi ada gunanya. Sesungguhnya kita dikumpulkan dalam keluarga dengan waktu yang sangat sempit didunia ini karena sesungguhnya kehidupan dunia itu ibarat air hujan yang diturunkan dari langit, menyuburkan tumbuh-tumbuhan dibumi dalam sesaat kemudian menjadi kering dan hilang diterbangkan oleh angin. Maka beruntunglah bagi mereka yang menghiasi kehidupannya dengan amal baik karena ia laksana cahaya yang terus menerangi hingga akhir hayatnya.

Ketika datang kerumah sakit semua saudara sudah berkumpul, paman Abdi dan bibi Tika. Paman Muhammed, Pakde Hamid, Bulik Rini dan lainnya. Ilham juga Kanaya dan keluarganya. Ada perasaan tak nyaman melihat mereka berkumpul dirumah sakit. Setelah memberi salam pada mereka Thoriq menuju ruang ICU, sebelum masuk ia melapisi bajunya dengan baju yang disediakan oleh rumah sakit.

Dielusnya rambut Umi yang tertidur kelelahan, ditatapnya Abi yang terbaring pucat. Dua orang yang sangat disayanginya terlihat lemah dan membutuhkan pertolongannya.

"Maafkan Thoriq Abi dan Umi, saat kalian sangat membutuhkan bantuan Thoriq tak ada disamping kalian..." Thoriq menatap sedih pada kedua orang tuanya.

"Thoriq..." Umi memeluknya dengan tangis tertahan, Thoriq memejamkan mata. Ia harus tegar agar Umi bisa bersandar padanya. Anak laki-laki adalah pemimpin, harus kuat, harus sanggup memikul beban keluarganya.

"Sabar ya Mi, setiap hal yamg terjadi sudah sudah ada takdirnya..." ringannya berbicara dan pedihnya mengalaminya.

"Umi banyak salah sama Abi Nak, Umi belum sempat minta maaf tapi Abi sudah dua hari tidak bangun..." Umi kembali terisak.

"Abi selalu memaafkan Umi, percayalah..." Thoriq memberi kekuatan Umi.

"Terima kasih Nak..." Umi kembali duduk disamping pembaringan Abi.

Thoriq terus melafalkan ayat suci Al-Quran disamping Abi dan membisik-kan kalimat tahlil ditelinga Abi, dibimbingnya Abi menuju Rabb-nya saat dilihat nafasnya semakin melemah. Di tengah malam ia membangunkan Umi untuk bersama sholat Tahajut, keduanya terus berdoa agar Allah memberikan yang terbaik untuk Abi dan mereka. Tepat pukul 04.00 Wib Abi menghembuskan nafas terakhir setelah mengalami serangan jantung ke dua. Thoriq membawa jenazah Abi kerumah dengan ambulance.

Sesampai dirumah saudara dan para pelayat sudah berdatangan, ucapan bela sungkawa berupa karangan bunga mulai berdatangan satu persatu. Thoriq ikut memandikan, mengkafani dan menjadi imam sholat jenazah Abi. Saat jenazah akan dimasukkan ke liang lahat Thoriq juga ikut turun, setelah itu menguruknya dengan tanah. Tak ada satupun momen yang dilewatkan pemuda itu untuk mengurus jenazah Abi-nya, melihat anak lelakinya begitu tegar Umi berusaha tegar dan mengusir kesedihannya. 

Setelah itu, semuanya sunyi. Pelayat satu-satu meninggalkan makam, hanya terdengar isak tangis Umi yang sedang menaburkan bunga dipemakaman Abi. Thoriq meremas rambut dikepalanya, kenangan bersama Abi dari kecil hingga dewasa berkelebat seperti sebuah film yang diputar ulang. Abi yang sabar, Abi yang tak peenah marah padanya dan Umi. Abi yang mengajarinya membaca Al-Quran sejak dini hingga menjadi hafiz. Abi seorang pendengar yang baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya pada keluarga.

...........

Beberapa hari ini Umi memikirkan tentang wasiat Abi, agar merestui hubungan Thoriq dan Savana. Tapi rasanya berat untuk mengatakannya, akhir-akhir ini dilihatnya anak lelakinya itu sering merenung. Tatapannya sering menerawang jauh, entah apa yang sedang dipikirkannya hati Umi ikut sedih. Dihampirinya Thoriq yang sedang duduk diteras.

"Abi sudah tidak ada, rasanya sepi sekali rumah ini..." Umi tampak layu, wajahnya yang cantik kehilangan sinarnya. Abi adalah belahan jiwanya, suami sekaligus sahabat terbaiknya. Kehidupannya tak selalu bertabur wangi bunga tapi Umi bahagia bersama Abi. Setelah Abi tiada semuanya tak lagi sama.

"Thoriq akan sering dirumah menemani Umi, bisa juga Umi ikut ke pesantren menemani Thoriq agar Umi tidak kesepian..." 

"Kapan kamu akan kembali ke Arab Saudi Nak...?" Umi tidak menanggapi pertanyaannya.

"Tidak lagi, Thoriq akan dirumah temani Umi...." Thoriq membesarkan hati Umi, menemani orang tua yang sedang berduka lebih penting dari semua penghargaan yang akan diperolehnya.

"Tapi sayang Nak, tinggal sedikit lagi pelatihanmu di Saudi. Umi tidak apa-apa ditinggal..." Umi menyemangati anak lelakinya.

"Masih bisa diurus Mi, ada teman baik dari Maroko dan syekh Jaber yang akan mengurus semuanya. Mereka tidak kaku, apalagi yang menyangkut kematian orang tua. Umi tenang saja, Thoriq tak akan kehilangan apapun karena menjaga Umi..."

"Kamu anak yang berbakti, Umi hanya punya satu anak tapi itu lebih dari cukup...." Umi menatap anaknya dengan berlinang air mata.

"Tahukah engkau siapakah yang disebut mandul...? Para sahabat menjawab, orang mandul ialah orang yang tidak mempunyai anak. Lalu Rasulullah bersabda, sesungguhnya orang yang mandul ialah orang yang mempunyai banyak anak, tetapi anak-anaknya tidak memberi manfaat kepadanya sesudah ia meninggal dunia.

"Umi jangan sedih lagi, biar Abi ber-istirahat dengan tenang .." Thoriq memberikan kekuatan pada Umi.

"Kamu terlihat lelah Nak tapi terus menguatkan Umi..." Umi memperhatikan gerak-gerik anak lelakinya, dadanya berdenyut. Seandainya aku tidak egois, Thoriq sudah menikah dengan gadis yang dicintainya dan didalam rumah ini sudah terdengar tangisan bayi, tidak sepi seperti sekarang ini. Hati tuanya merintih, mulai menyadari kesalahannya.

Thoriq anak yang luar biasa dari umur sepuluh tahun sudah hafal Al-Quran, dia tidak banyak bermain seperti anak kecil lainnya. Rajin belajar dan sangat minat membaca Al-Quran Nur Karim. Thoriq akan berhenti melakukan satu kegiatan jika dilarang orang tuanya, meski hal tersebut sangat disukainya. Penurut dan tak pernah membantah, jarang membuat susah hati orang tua namun sebagai seorang ibu apa yang sudah dilakukannya..? Layaknya seorang ibu memberikan kebahagiaan kepada anaknya, ini malah merenggutnya!

Sekarang umur Thoriq sudah 28 tahun tapi tak dilihatnya pernah dekat dengan wanita selain Kanaya dan gadis model itu. Banyak yang datang padanya untuk menjadi besan tapi Thoriq tak pernah memberi jawaban, hatinya hanya untuk gadis model itu. Seorang gadis yang pernah dilabrak untuk menjauhi anaknya. Sebagai sesama wanita ia memuji kecantikan gadis itu, terlihat ramah dan sopan terhadap orang tua. Cara bicaranya juga santun tapi tetap tidak setara dengan anaknya. Dia seorang model, gaya hidupnya tak sesuai dengan harapannya. Ia takut Thoriq menderita, permata hati belahan jantungnya. Umi tak akan sanggup melihat itu.

Dulu saat kumpul keluarga Umi sering melihat Thoriq minta ijin untuk menerima telepon dari seseorang. Dilihatnya anak lelakinya itu kadang tersenyum, kadang bicara sambil mondar-mandir saat menerima telepon. Baju gamis dan keffiyeh yang menutupi kepalanya tenggelam oleh asmara yang melandanya, Umi seperti melihat anak ABG yang sedang dimabuk cinta. Waktu itu ingin rasanya Umi merebut telepon itu dan membuangnya jauh-jauh dari anak lelakinya. Kini tak pernah dilihatnya lagi Thoriq melakukan hal itu. Telepon yang diterimanya hanya seputar pekerjaan dan finishing pembangunan pesantren. Saat duduk sendiri dilihatnya Thoriq melamun, tatapannya begitu jauh. Meski tak menampakkan kesedihan tapi Umi bisa merasakan kepedihan hati anak lelakinya.

"Dimana gadis itu....?" Umi bertanya hati-hati.

"Siapa yang Umi maksud..?" dada Thoriq berdenyut.

"Gadis model yang kamu cintai" Umi menatap anak lelakinya, sepasang bola matanya tampak datar, tak ada pendar seperti dulu. Thoriq menyimpan kesedihannya sendiri. Umi merasa bersalah, menjadi seorang ibu yang merenggut kebahagiaan anaknya sendiri. Hatinya luluh, karang keangkuhannya mulai roboh, hancur tak bersisa. Bagaimanapun ia seorang ibu, kebahagian anaknya adalah kebahagiannya juga.

"Savana yang Umi maksud...?" Thoriq berkata hati-hati, tak mau lagi berdebat dengan Umi. Bahkan ia menyesal, kenapa pernah berdebat dengan Umi. Wanita yang mengandungnya sembilan bulan sepuluh hari dan merawatnya hingga dewasa.

"Ya, Savana. Dimana dia sekarang..?" Umi menyebut nama itu lembut tanpa sentuhan emosi, tidak seperti biasanya yang penuh tekanan amarah.

"Di Italy Mi, tepatnya kota Milan..."

"Kamu masih berhubungan dengannya..?" Umi menatapnya, mencari kepastian.

"Tidak Mi, mungkin kami tak berjodoh" Thoriq mengalihkan tatapannya dari Umi, ditelannya saliva yang terasa pahit. Ia ingin melewati semuanya dalam diam, tak seorangpun boleh tahu.

"Oh..." hanya itu yang sanggup diucapkan Umi, harusnya dia senang mendapatkan jawaban sesuai harapannya. Tapi hatinya ngilu, jawaban Thoriq seperti sembilu yang merobek langsung ulu hatinya.

"Kanaya sama Ilham mau menikah, apakah kau sudah melihat undangannya..?" dada Umi kembali berdenyut.

"Sudah Mi, mereka juga sudah bilang ke Thoriq waktu ketemu di pesantren."

"Bagaimana perasaanmu Nak?"

"Ikut senang Mi, keduanya kan sahabat baik Thoriq..."

"Kapan kamu menyusul mereka Nak, Umi mau rumah ini tidak sepi..."

Toriq diam seribu basa, tak tahu harus menjawab apa. Seandainyapun harus menikah, ia hanya menginginkan Savana sebagai istrinya. Hampir satu tahun lebih, masihkah Savana di Milan..? Saat hati Umi melunak Thoriq malah tidak tahu dimana keberadaan gadis itu.

"Thoriq, Umi belum mendapatkan jawaban-mu Nak..." Umi menatap layu.

"Thoriq belum bisa menjawabnya sekarang Mi, maafkan. Umi istirahat dulu ya, sudah malam" diantarnya wanita itu kekamarnya, dinaikannya selimut sampai sebatas leher. Melihatnya seperti itu Thoriq menyesal dulu pernah berdebat dua kali dengan Umi demi seorang model bernama Savana Halina Putri. Ternyata Umi hanya perlu waktu, sebagai seorang anak harusnya ia lebih bersabar.

"Mi kalau ada apa-apa panggil Thoriq ya, saya tidur dikamar sebelah Umi."

"Terima kasih Nak sudah menjadi anak yang baik selama ini, maafkan Umi..." sudut mata wanita itu basah, berat merasakan dampak yang sudah dilakukannya terhadap anaknya. Seharusnya Umi percaya pada Thoriq bahwa pilihannya tak mungkin salah.

"Ya Mi, maafkan Thoriq juga.

Assalamualaikum...." ditutupnya pintu kamar Umi.

Thoriq menuju kamar yang ada disebelah Umi, biasanya kamar itu dipakai oleh saudara jauh yang datang menginap. Ia tidak tidur dikamarnya sendiri karena agak jauh dari kamar Umi, ia takut terjadi sesuatu pada Umi. Ditatapnya ponsel diatas meja kecil, pikirannya melayang pada gadis itu. Hati Umi sepertinya sudah melunak tapi masihkah ada gunanya...?

"Dimana kamu Humairoh...?"

Diambilnya ponsel diatas meja, dicarinya nomor telepon gadis itu. Setelah ketemu jari jemarinya bergetar...

Telepon

Tidak

Telepon

Tidak

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status