LOGINWarning: 19+ only. This story contains sexual themes and psychological trauma. Emma had only one dream to escape the bottom of society and live a life that truly belonged to her. It seemed like a dream within reach, until it shattered the day she met a man named Damien her "Daddy" “Please, let me go... I didn’t do anything wrong... I just want to live... to live... to live like a human being...” Emma knelt down, her head bowed low as she sobbed and begged the man standing in front of her. The man she once respected and called “Daddy” not only showed no sympathy, but even smiled in delight. “What a pity. Your mother abandoned you, and no one else wants you. Emma, in this world, only I and I alone — love you.”
View More"Mas.. kamu udah gajian?" Tanya Harum hati-hati.
Adam baru saja selesai sarapan dan akan berangkat bekerja. Pekerjaannya sebagai pegawai kontrak di sebuah kedinasan membuatnya harus selalu masuk pagi. Adam menoleh. "Kenapa?" "Mau beli susu Shanum." Hati-hati sekali Harum mengatakannya. Entah kenapa setiap berurusan soal nafkah, Harum merasa suaminya sensitif. Wajahnya jadi berubah bak cermin yang pecah seribu. Adam lalu mengeluarkan uang 20 ribu dan 10 ribu masing-masing satu lembar dari dalam dompetnya, lalu memberikan itu pada istrinya. "Uang belanja?" Tanya Harum lagi. Adam menghela. "Sudah kuberikan semua pada ibu. Nggak usah mikirin itu." "Oh.." Harum menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sudah setahun ini, Adam memboyong anak istrinya pindah ke rumah ibunya. Itu sebab Farida, ibu kandung Adam tinggal seorang diri. Sebelumnya ada Zulfa yang menemani ibunya tinggal di rumah kecil ini, tapi semenjak dia menikah. Zulfa diboyong suaminya tinggal di rumah mertuanya. Jadilah, Adam pindah kemari. Selain untuk menjaga ibu, Adam juga bisa berhemat karena selama ini mereka tinggal di kontrakan. Adam berdeham. "Anakmu itu sudah besar, sudah sekolah. Nggak usah dikasih susu lagi." "Anak kita, mas.." Harum mengkoreksi ucapan suaminya. "Ya.. ya. Anak kita!" Potong Adam cepat. "Mau kamu buat sebesar apa lagi badannya? Baru kelas 1 SD tapi badannya menjulang seperti itu." Harum hanya menggeleng. Bukannya senang karena melihat anaknya tumbuh sehat, suaminya malah menggerutu. "Mas.. aku boleh minta uang lagi?" "Buat apa?" Masam sekali wajah suaminya ini. "Mau beli skincare. 50 ribu lagi aja, mas. Aku beli yang murah kok." Harum memelas. Adam menggeleng. "Aku nggak punya uang. Sisa duit di dompet buat beli rokok. Kamu minta sama ibu aja sana.." Harum tertunduk menelan rasa kecewa. Tidak banyak yang ia minta, hanya 50 ribu saja. Itupun dia beli skincare murah yang bisa habis dalam tiga bulan. Di hemat-hematkan sekali memakainya. "Ya sudah.." jawab Harum pahit. Adam lalu berpamitan kepada istri dan anaknya. "Ayah, anter Shanum dong.." Rengek Shanum. Adam melirik jam. Sudah menunjukkan pukul 06.45. Belum macet di jalan. Jam berapa lagi dia sampai ke kantor kalau dia mengantar putrinya dulu. "Sama ibu aja berangkatnya. Ayah sudah telat." Adam main pergi setelah mengatakan itu. "Ibu.." Shanum jadi cemberut. "Ayah udah telat, nak. Sama ibu aja perginya." Sahut Harum. "Jalan kaki lagi?" "Memang mau naik apa lagi?" Harum jadi tertawa mendengar pertanyaan putrinya. "Sekolah kamu kan dekat, sayang.." Shanum hanya mengangguk pasrah. Sekolahnya memang tak jauh dari sini. Tapi kalau bolak balik jalan kaki ya pegal juga.. Tak lama Farida muncul, pagi sekali wanita paruh baya ini sudah rapi. "Ibu mau ke pasar. Belanja bulanan. Ada yang mau dititip?" Tanya Farida ke menantunya. Harum menggeleng. "Nggak ada, bu." "Ya sudah, ibu pergi dulu.." Selepas kepergian mertuanya, Harum menghela nafas panjang. Sudah satu tahun, Harum tak pernah ke pasar lagi. Bagaimana mau ke pasar? Diberi uang belanja saja tidak! Mau merengek pun percuma. Adam tetap kekeuh akan pendiriannya. Uang gaji sudah diberikan dan diatur oleh mertuanya. Harum hanya mendapatkan sisa remahan saja. Itu pun kalau ada. Sementara Adam, dia memang memegang uang untuk membeli rokok. Sebenarnya bisa saja Adam berhemat dengan menekan biaya rokok yang mencapai 30 ribu/ hari itu. Tapi namanya kebiasaan, sulit pasti untuk dihilangkan. Sepulangnya mengantar Shanum sekolah. Harum membersihkan rumah dan juga mencuci pakaian. Tak lama mertuanya pulang dari pasar dengan membawa macam kantong belanjaan. Untuk bahan pokok, mertuanya menyetok bulanan. Kecuali sayur segar yang selalu dibeli tiga hari sekali. "Barang-barang pada naik semua.." Gerutu Farida kelelahan. Sebagai menantu yang baik, Harum memberikan air minum kepada ibunya yang tampak lelah. Setelah itu, dia membereskan barang belanjaan dan menyusunnya di lemari. "Masak ikan asin peda aja. Suamimu request itu tadi." Seru Farida dari ruang keluarga. "Ya, bu." Jawab Harum. "Minyak gorengnya jangan banyak-banyak dipakai! Minyak mahal!" Seru mertuanya lagi. Harum menghela nafas. "Iya, bu." Karena mertuanya kelelahan, jadilah Harum yang memasak. Selesai berperang di dapur. Barulah Harum menjemput putrinya pulang sekolah. Sesampainya di rumah, Adam sudah siap di meja makan. Seperti biasa, Adam selalu pulang ketika makan siang. Biar hemat katanya. "Ibu yang masak ikan asinnya?" Tanya Adam sambil mengunyah makanannya. Sementara Harum menuangkan air dalam gelas suaminya. "Bukan. Aku, mas." Jawab Harum tersendat. Adam melirik ke arah istrinya. "Kenapa kamu yang masak?" "Ibu kecapekan tadi dari pasar. Kasihan.." Harum melunak. Dia tahu ujungnya. Adam akan menyela masakannya. Semenjak pindah ke rumah ini, Adam lebih suka makan masakan ibunya. Masakan istrinya ini selalu saja ada kurangnya. Kurang asin, lah. Kurang pas. Kurang enak. Ada saja. Adam tak mau menjawab. Selesai makan siang, dia menuju kamar ibunya yang tengah beristirahat. "Masih ada sisa uang belanja nggak, bu?" Farida bangkit dari tidurnya. "Ada. Tapi dikitt banget.. buat jaga-jaga untuk kebutuhan yang nggak terduga." Jawab Farida. "Tenang aja. Listrik sama air sudah dibayar. Bahan pokok udah dibeli untuk satu bulan." "Aku minta dong. 50 ribu aja." Adam mengulurkan tangannya. Tak bisa ditolak. Farida mengeluarkan uang dari dompetnya. "Buat beli rokok?" Tanya Farida. "Buat beli bensin motor!" Baru saja Adam ingin pergi tapi dia berbalik lagi. "Besok, ibu aja yang masak. Jangan suruh Harum lagi." Mendengar ucapan anaknya, Farida jadi tersenyum. Harum bisa mendengar percakapan ibu dan anak itu dari luar. Suara yang tadinya terdengar menjadi bisik-bisik, lalu tertawa. Hati Harum jadi sakit walau tak bisa menangkap jelas obrolan itu. Namun yang pasti, Harum merasa dia sedang diolok-olok oleh ibu dan anak itu. "Bu.. kok ikan asin, sih?" Protes Shanum. Perutnya yang lapar jadi tidak berselera melihat lauk di meja makan. "Memang Shanum mau makan apa?" "Ayam goreng, bu.." Harum tersenyum pahit. "Hari ini ikan asin dulu, ya. Besok baru masak ayam gorengnya." Sekali lagi, Shanum harus menelan pil pahit. Setiap hari dia harus menyesuaikan menu makanannya dengan menu makanan orang dewasa. Apalagi neneknya ini suka sekali memasak ikan asin. Besoknya, menu ikan asin lagi yang tertampil di meja makan. Membuat Shanum langsung protes ke Neneknya. "Minta beliin ibumu aja. Ada yang jual ayam goreng tuh di depan lorong." Shanum berlari menuju ibunya. Dia merengek meminta dibelikan ayam goreng. "Telur dadar aja, ya.." Harum memberikan pilihan. Masalahnya dia sudah tak punya uang. 30 ribu yang diberikan suaminya kemarin sudah habis dibelikan susu untuk anaknya. "Nggak mau.. maunya ayam goreng, aja!" Shanum jadi menangis. Pas sekali, Adam pulang untuk makan siang. Mendengar rengekan putrinya membuat Adam sakit telinga. "Mau apa sih dia?" Tanya Adam kesal. "Mau makan ayam goreng." Jawab Farida. "Ikan asin ini kan ada." "Nggak mau katanya. Anakmu itu pemilih banget!" Gerutu Farida. "Harum!" Panggil Adam. Yang namanya dipanggil jadi datang mendekat. Jelas dengan Shanum yang menempel ingin dibelikan ayam goreng. "Ya, mas?" "Layani aku makan." Tanpa memperdulikan Shanum yang merengek. Harum melayani suaminya di meja makan. Menuangkan nasi dan lauk ke dalam piring. "Ibu!" Shanum terus merengek. "Shanum!" Bentak Adam. "Mas..." Harum mendelik tak senang atas bentakan suaminya. Mendengar suara menggelegar ayahnya, Shanum pun terdiam. "Dia cuma mau makan ayam goreng.." ucap Harum sabar. "Cuma??" Adam jadi kesal. "Kalau aja kamu nggak manjain dia, dia pasti nggak akan merengek seperti ini. Makan aja apa yang ada!" "Shanum bosen makan ikan asin terus, yah.." mata Shanum memerah karena menangis. Adam tak perduli dan memulai makan siangnya. "Mas.. aku minta uang aja kalau begitu. 10 ribu aja.. untuk beli ayam goreng di depan." Pinta Harum. Dia jadi tak tega melihat Shanum yang menangis. "Nggak ada! Kamu ini kerjaannya minta uang terus! Ajarin aja anakmu itu!" Ketus Adam yang membuat hati Harum tersayat-sayat.Chapter 28When Emma woke up again, the first thing she felt was pain endless, consuming pain. The cruelty and madness of that man surged back like a rising tide, dragging all the horrifying memories to the surface once more. A shiver ran through her as her whole body trembled uncontrollably, her breathing stalled in panic.It took Emma a long moment to calm herself, to remind her trembling heart that the demon was no longer here. But no matter how hard she tried to reassure herself, the fear refused to fade.“It’s over… it’s over… it’s over…” she whispered to the empty air, forcing a smile uglier than crying as tears streamed silently down her cheeks.The scent of disinfectant and the faint drip of the IV blended with the dark, dreadful memories like invisible hands wrapping around her body, tightening around her throat until breathing became almost impossible.All her wounds had been carefully treated. While Emma was unconscious, countless doctors and Kira had come to examine her in
Chapter 27 [R20+][Warning: Contains violent elements, please consider before reading]The only sounds in the room were the collision of bodies, heavy panting, and moans. The whimpers kept escaping her throat, and Emma wanted to cover her mouth to stop any sound from escaping. But before she could lift her hands, Damien had both of hers pinned above her head with one of his."Ugh… ugh… hmmm… let-let go of my hands… ummm… stop… stop… it’s… too deep… please… stop… ah…. haaa… mmmm…""Ha… my darling, why don't you call my name… holding back your voice isn't a good habit." Damien thrust crazily below, yet above, he was seducing and guiding Emma.Emma felt as if her internal organs were being pierced, but amidst the pain, there was pleasure and ecstasy. She didn't want to admit it, but her body was disobeying her reason, her vagina continuously secreted lubricating fluid for their lovemaking.Each thrust hit her sensitive spot, and each time he plunged quickly into the deepest part. When he
Chapter 26 [R20+]While Emma was still dazed, Damien pushed her down onto the bed, his smile carrying a clear air of roguishness.“Your explanation is enough, but you still don’t realize where you went wrong. That really disappoints me. But since I’m a kind person, I’ll help you point out your mistakes.” He acted as if he were being generous.Emma’s whole body trembled. She knew all too well that whenever he put on this façade of kindness, nothing good would follow. And indeed, though he spoke of being “kind” enough to teach her, this so-called kind man was the very one tearing her clothes apart with brute force, groping her body, pinching and squeezing without mercy until her fair skin was covered in bruised red marks.Emma was about to resist when suddenly the image of her mother’s body full of wounds flashed vividly in her mind. Her intent to fight back was instantly crushed. She wasn’t foolish, she understood. Damien might not lay a direct hand on her yet, because he still wanted
Chapter 25Emma’s throat burned raw from crying too long; every sob came out hoarse, choked, like blades slicing through. Tears streamed without stopping, blurring her vision, mingling with the heavy, ragged sounds of her sobbing.Her whole body trembled violently, yet she still clung to Damien, begging him, trapped in his arms with nothing left but helpless pleas while her mother lay gasping on the cold floor.“It’s me, this was all me! My mom has nothing to do with this, it was only my idea. My mom did nothing wrong, please… please call a doctor, call a doctor now… I really know I was wrong… I really know I was wrong… whatever you want me to do, I’ll do it… I’m begging you… call a doctor, please… save my mom…”Now Emma’s heart held more than fear, guilt and remorse crashed over her. She had never imagined that because of this, Damien would drive her mother to such a state, or that her mother would have to endure such pain because of it.Her cries and pleas tore through the air like






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.