Share

6. Akhir Sebuah Pesta

"Sungguh nikmatnya hidup ini, harta, kekuasaan dan wanita." Esteban tertawa di dalam kamar sambil memeluk gadis malam, bayarannya. Ia tidak tahu jika di luar kamar, Adam dan para pengawalnya Jonathan sudah siap untuk menyeretnya keluar dan mempermalukannya.

"Buka," titah Adam kepada resepsionis yang sudah memegang kartu kunci kamar.

"Tit," suara kunci terbuka, sang resepsionis mendorong pintu kamar yang ditempati Esteban untuk berbuat maksiat itu terbuka. 

Esteban masih sibuk, berkubang dengan nafsunya sehingga tidak menyadari jika ranjang yang ditempatinya telah dikelilingi oleh Adam dan pengikutnya. Laki-laki berambut putih itu masih merancau kata-kata kotor sambil menikmati gadis bookingannya.

"Enak?" tanya Adam.

"Sangat." jawab Esteban tidak sadar.

"Tuan," panggil gadis itu karena melihat orang-orang di sekelilingnya.

"Ada apa?"

"Itu, Tuan."

"Diam dan layani saya. Saya sudah membayar mahal tubuhmu!" bentak Esteban sambil meneruskan permainannya.

"Baiklah, Tuan da Silva. Saya tidak bisa menunggu lama. Semalaman, saya belum tidur."

Esteban berhenti, mencoba mencerna suara seorang laki-laki di dekatnya.

"Tuan, banyak orang telah masuk ke sini." ucap gadis yang masih berada di bawah tubuhnya Esteban.

"Di belakang, Tuan." imbuh gadis itu mengingatkan.

"Selamat malam, Tuan da Silva?" Adam tersenyum mengejek setelah Esteban dengan terburu-buru bangkit dari tubuh gadis bayarannya lalu menoleh kepada Adam.

"Kau …, Berani-beraninya mengganggu kesenanganku!" teriak Esteban dengan menuding telunjuknya ke arah Adam.

"Saya akan membawa Anda  bersenang-senang di gedung Smith Corporation, sekarang juga." jawab Adam enteng.

"Seret dia keluar dari sini! Jangan biarkan, Tuan Smith, menunggu." titah Adam kepada anak buahnya.

"Jangan menyentuh saya, sebentar lagi, saya yang berkuasa. Si Smith, akan saya pastikan untuk menjadi gembel di jalanan. Dan kalian akan mengikuti jejaknya, kelaparan dan terlunta-lunta."

"Well, kita buktikan saja, nanti, Tuan da Silva." Adam menggerakkan tangannya, memberi kode untuk membawa Esteban secara paksa.

"Berengsek, bajingan, lepaskan saya!" teriak Esteban yang ingin melepaskan diri dari cengkraman kedua pengawalnya Jonathan. Tubuhnya masih polos, tidak memakai selembar kain pun.

"Siapa namamu?" Adam memandang gadis penghibur, sewaan Esteban dengan rasa kasihan.

"L-lily, Tuan." gadis itu mencengkram selimut yang menutupi tubuhnya dengan erat. Ia menundukkan kepala karena takut dan malu.

Adam menatapnya dengan kasihan, gadis ini sangat muda. Seumuran dengan adik perempuannya. "Kau terpaksa melakukan pekerjaan ini?"

Lily mengangguk.

"Karena apa?" tanya Adam.

"S-saya …."

Berpakaianlah, bereskan barangmu. Saya akan menebusmu."

"Tuan," panggil Lily dengan mata yang berkaca-kaca.

"Ini bukan uang saya, tapi uang bos saya." Adam memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya lalu keluar kamar.

"Terima kasih," gumam Lily sambil menangis haru.

***

"Kumpulkan semuanya lalu masukkan kedalam mobil!" perintah Adam kepada orang-orangnya. Mereka masing-masing telah menyeret komplotannya Esteban dalam keadaan tak berbusana. Peristiwa ini seperti penggerebekan bisnis lokalisasi murah di daerah kumuh.

"Berengsek!"

"Bajingan!"

"Lepaskan kami!" 

Teriakan-teriakan dari Esteban dan komplotannya terdengar ricuh.

Adam mengeluarkan selembar cek lalu meninggalkannya di meja resepsionis.

"Tuan." salah satu orangnya Jonathan menghampiri Adam.

"Berangkat." titah Adam.

"Lily, ikut saya." Adam memandang segerombolan gadis-gadis penghibur yang menangis lalu memeluk Lily sebagai salam perpisahan kepada teman seperjuangannya. Pria muda itu menghela napas, tidak mungkin menebus mereka semua, keluar dari tempat Hina ini.

***

Adam membawa mereka ke tempat tujuan setelah menurunkan Lily di rumahnya. Esteban dan gerombolannya didorong tersungkur di lantai besi di sebuah ruangan tertutup.

"Berlutut!" perintah Adam.

Mereka terjatuh di dinginnya lantai. Tidak tahan dengan rasa dingin yang mulai menusuk kulit mereka, Esteban dan komplotannya, memeluk tubuh mereka masing-masing. Sesaat kemudian, pandangan mereka tertuju kepada sepasang sepatu pantofel hitam yang sangat mengkilat. Pemiliknya duduk dengan santai di kursi kebesarannya, menyaksikan tubuh polos yang sedang bergetar menahan dingin.

"J-jonathan Smith?"

"Halo …, Tuan da Silva?"

Tbc

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rest_in
ceritanya seruuuuu bikin penasaran .. jadi pengen baca terus and teruuusss, sekarang tinggal rajin - rajin ngumpulin poin biar bisa lanjut
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status