Halo para pembaca setia novel "Menikahi Pangeran Angkuh Karena Sakanda." Terima kasih telah sejauh ini mengikuti kisah Alisya. Ikuti terus kisahnya hanya di GoodNovel. Jangan lupa untuk memberikan review bintang 5, vote karya ini, komen dan share, Ya. Terima kasih.
Persiapan keberangkatan Alisya dan Dafandra ke Tigryzh telah usai. Kini keduanya tengah berjalan menuju kereta kuda bersama. "Letakkan tasmu di dalam kereta barang!" perintah Dafandra ketika membantu Alisya masuk ke dalam kereta. "Maaf Yang Mulia, tas ini berisi peralatan medis. Aku tidak nyaman jika harus berpisah dengannya. Jika ada kondisi darurat, akan sulit menemukan tas ini jika diletakkan di kereta barang." Setelah mendapatkan penjelasan singkat, Dafandra mengizinkan Alisya membawa tas berwarna coklat ke dalam kereta. Sesaat setelah sepasang pengantin baru itu masuk ke dalam kereta, terdengar suara kusir memacu kuda untuk mulai melakukan perjalanan. Suasana di dalam kereta terasa canggung. Dafandra hanya duduk terdiam dengan melipat kedua tangannya di dada. Keduanya duduk berhadapan tanpa saling berbicara. Sementara Alisya mulai mengantuk karena terlalu bosan. Tidak lama kemudian Alisya tertidur. Di dalam mimpi dia berjalan di sebuah lembah yang dipenuhi dengan bunga lave
"Kamu memimpikanku?" tanya Dafandra asal menebak. Sepasang mata Alisya menatap pria yang duduk dia sebrang tanpa berucap apa pun. Rasanya begitu canggung untuk tiba-tiba mengobral soal mimpi. Dafandra menganggap diamnya Alisya sebagai jawaban. Pangeran kedua Kosmimazh mulai penasaran dengan mimpi Alisya. 'Kenapa dia begitu ketakutan setelah bangun tidur?' Saat tertidur Alisya terlihat gelisah dan berkeringat. Namun Dafandra ragu-ragu untuk mendekat, apalagi menyentuh sang putri. "Apa kamu takut?" tanya Dafandra lagi, tapi tidak ada jawaban apa pun dari putri berambut merah. Sebenarnya Dafandra bukan orang yang mudah peduli dengan orang lain. Akan tetapi, kali ini dia bersikap lain. Entah kenapa, rasa iba dan khawatir berkumpul di dalam dada. Bagaimana mungkin Alisya tidak gelisah? Meskipun hanya sebuah mimpi, tapi rasanya begitu nyata. Dengan mata kepalanya sendiri Alisya melihat Dafandra mati di tangan pangeran mahkota. Bahkan, wajah Alisya terasa begitu basah setelah te
"Kenapa? Bahkan kamu tidak memberikanku waktu meski sesaat." Meski mengucapkan kata-kata kekecewaan, tapi ekspresi wajah Fasya tidak berubah. "Tolong jangan begini, Yang Mulia ...." ucap Alisya sambil berusaha melepaskan tangan Fasya yang melingkari pinggang. Jantung Alisya berdebar kencang karena takut. Dia tidak tahu harus berkata apa. Kenyataannya, mereka memang sudah tidak mungkin untuk bersama. "Jangan bohongi dirimu sendiri! Kamu menderita bersamanya, 'kan?" Fasya mulai menyinggung hubungan Alisya dengan Dafandra. "Di matanya kamu hanyalah alat politik dan permainan," ucap pangeran mahkota dengan senyuman pilu. Meski ucapan pangeran mahkota benar, namun Alisya ingin mengelak. Rasa dalam hati Alisya mengatakan pangeran kedua tidak seburuk itu. "Maaf Yang Mulia, meski begitu hubungan kita sudah berakhir," jawab Alisya. Alisya kembali berusaha melepaskan diri dari Fasya. Sayangnya, tenaga Alisya tidak sebanding dengan cengkeraman kuat pangeran mahkota. "Berakhir katamu? Hany
Pria berbadan tegap bringsut mendekati Alisya hingga keduanya beradu pandang. Mata sebiru lautan itu memang seperti menghipnotis siapa pun yang melihat. Ketika jarak yang begitu dekat rasa canggung membuat sang putri menahan napas. "Aku akan memesan sebuah kamar lagi!" jawab Dafandra dengan suara tertekan. Dengan raut wajah kesal, Dafandra menyibak selimut hendak beranjak dari ranjang. Jika Dafandra benar-benar melakukan ucapannya, tentu akan berdampak buruk bagi mereka berdua. Tidak butuh waktu lama, gosip pengantin baru itu akan tersebar ke seluruh penjuru negri. Sudah pasti sandiwara bulan madu yang mereka buat akan hancur dalam sekejap. "Maaf jika aku mengganggumu. Tapi tolong jangan pergi dari kamar ini!" lirih Alisya sambil memeluk Dafandra dari belakang. Dia tidak menyangka sampai harus memohon pada pria berambut pirang yang membuatnya membeku seperti orang bodoh. 'Peluk aku lebih lama! Rasanya sangat nyaman,' batin Dafandra sambil menikmati tubuh belakangnya yang terasa h
Hari-hari selanjutnya berjalan lancar tanpa mimpi buruk. Bahkan, Alisya dan Dafandra tidur di kamar yang berbeda seperti perjanjian mereka. Tidak ada hal-hal romantis, tidak ada sandiwara, persis seperti yang mereka harapkan. Saat di perjalanan Alisya juga tidak banyak bicara. Mungkin sebenarnya Alisya bosan atau sangat bosan. Sejujurnya Alisya sudah tidak tahan dengan kebekuan di antara mereka. Bukan hal-hal romantis, dia hanya ingin bicara. Apakah sulit bagi pangeran kedua untuk berbicara pada Alisya layaknya teman biasa? "Yang Mulia," kata Alisya memulai percakapan. "Ya," jawab Dafandra datar. Matanya melirik dengan tangan terlipat di depan dada. "Kita sudah enam hari dalam perjalanan, apakah kota Tigryzh masih jauh?" tanya Alisya lagi. Entah berapa kali Alisya mengganti posisi duduk karena pantat terasa panas. Rasanya, dia juga tidak sabar jika harus terus menjaga etika di depan Dafandra yang penuh dengan kepura-puraan. "Mungkin besok kita sampai," jawab Dafandra seraya me
Setelah mendapat persetujuan Dafandra, kereta segera berjalan menuju ke lokasi kebakaran. Begitu sampai, Alisya keluar dari kereta dengan menenteng tas yang berisi peralatan medis. Alisya terkejut begitu melihat kobaran api yang mengamuk menghanguskan sebuah rumah milik warga. Malam yang dingin menjadi terasa gerah karena amukan si jago merah. Lalu-lalang orang-orang berlarian tanpa menghiraukan kehadiran Alisya. Mereka datang berkerumun untuk membantu memadamkan api. Ada juga yang datang hanya untuk melihat-lihat kemalangan tetangga mereka. Suara orang-orang panik sembari menenteng ember berisi air seolah menggema meramaikan malam. Tidak jauh dari rumah yang terbakar tampak seorang wanita paruh baya tengah menjerit histeris. Rambut wanita itu berantakan terlepas dari ikatan. Bajunya lusuh dengan keringat membasahi bagian punggung hingga ketiak. Ekspresi marah, putus asa dan sedih terkumpul di wajah bulat wanita itu. Di depan wanita itu duduk seorang pemuda dan seorang bocah wani
Tiba-tiba semua orang terdiam seolah keramaian lenyap seperti ditelan bumi. Alisya yang sedang memandang Syrena menoleh. Seorang lelaki berrambut hitam, panjang, dan keriting muncul membelah kerumunan. Di belakang pria itu berjajar beberapa pria kekar bersenjata yang siap mengikuti perintahnya. Lelaki berjubah hitam itu terus maju mendekati keluarga Rasia. Dia tersenyum congkak seolah ingin pamer kekuasaan. "Siapa kamu?" Daryan memberi isyarat kepada Alisya dengan dagunya untuk menjawab pertanyaan. "Dia bukan siapa-siapa, Tuan. Dia hanya orang lewat yang kebetulan singgah," kata Rasia panik. "Aku tidak bertanya kepadamu!" teriak Daryan kasar kepada Rasia. Daryan semakin mendekati Alisya. Dia menyesap cerutunya dan mengembuskannya di depan putri berambut merah. Serta merta Alisya mengibaskan tangan untuk menghalau asap tembakau dari hidung. "Siapa kamu?" tanya Daryan sekali lagi seraya menyisir setiap detail wajah sang putri Crysozh. "Aku Thiara, seorang yang kebetulan lewat,"
"Jangan, Rodas! Kamu masih terluka!" teriak Alisya cemas. Meski sekarang Alisya seorang diri, tetapi sebenarnya dia bersama Dafandra. Pangeran kedua pasti tidak akan membiarkan hal buruk menimpa Alisya. Sedangkan Rodas, dia hanya seorang buruh miskin yang tidak mempunyai penyokong. Jika terjadi sesuatu padanya, tidak akan ada orang yang peduli. "Tidak apa-apa nona, baik Anda atau ibuku. Tidak layak untuk mendapatkan perlakuan buruk dari siapa pun," tegas Rodas seraya bersiap dengan posisi kuda-kudanya. "Jangan banyak bicara! Habisi dia!" teriak Daryan lantang. Kedua pengawal Daryan segera menyerbu Rodas. Dengan lihai Rodas menghindari serangan kedua pedang yang terus memburunya. Melompat, berguling, meliuk, menyikut, mencengkeram, menghantam, menendang, dan merobohkan kedua lawan. Ketika dihadapkan pada pertarungan, Rodas terlihat seperti seorang pendekar ketimbang buruh rendahan. Alisya terpaku melihat pemandangan itu. Sebuah pertarungan yang indah. Napas pemuda itu terengah-e