Rambut ikal melewati bahu tergerai cantik, langkahnya anggun mendekati nomor meja yang sudah dipilihkan Yasa untuk mereka bertemu. Beberapa kali mencari, baru ia melihat lambaian tangan pria itu di bagian ujung cafe. Alina menghampiri dan akhirnya bertemu sosok pria yang sudah lama tak melihat senyum manisnya.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?" "Aku terpesona," jawab lelaki dengan mata bulat itu tanpa mengalihkan pandangan. "Ihhh gombal sekali." “Duduk dong, Sayang." Pria bernama Yasa menarik kursi untuk sang kekasih. Kini pandangannya tak lepas dari gadis yang ia kenal tiga tahun lalu. Wajah rupawan dan manis membuat lelaki itu punya daya tarik tersendiri. "Kamu kok tambah cantik, Lin?" imbuhnya. "Apaan sih, Yas. Stop ya, jangan ganggu aku dengan kalimat nggak ngefek kamu itu." "Memang benar, Sayang. Iya sudah jangan dipikirkan. Ini aku sudah pesan makan." Keduanya mengobrol lama usai makanan datang, terlihat jelas bahwa kedua sejoli itu tengah menikmati waktu yang terbuang. Alina merasa beban terlepas jika berbincang-bincang dengannya, laki-laki humoris dan banyak menyimpan cinta selalu membuat hatinya bergejolak. "Lin, kenapa sih kamu masih belum mau menikah? Padahal aku sudah menunggu selama dua tahun terakhir ini." "Kan aku sudah bilang ada misi yang harus aku selesaikan dulu." “Misi apa? Dari dulu kamu selalu bilang begitu. Apa misi kamu adalah memindahkan Gunung Bromo ke dekat Gunung Rinjani? Atau menguras air Danau Toba?" Alina terkekeh mendengar pernyataan pria di depannya kini. "Ngawur!" Selang beberapa menit, keseruan keduanya malah terpecahkan, mereka kedatangan dua orang yang berhenti di meja makan miliknya. "Eeh Pak Yasa?" sapa satu dari dua gadis cantik. "Saya Wiwin, Pak. Mahasiswi bimbingan Bapak. Ternyata pantas skripsi saya belum kelar kelar direvisi, sibuk kencan toh." "Ssttt, berani banget kamu bilang gitu ke dosen pembimbing," sela salah satu sahabatnya. "Bu, Pak, maafkan teman saya." Begitu kata gadis disebelahnya. "Mulutnya kadang nggak bisa direm." Hah? Alina dipanggil ibu? Oh tidak, wajah cantik, penampilan oke, dan masih muda kok dipanggil ibu? Nggak salah? "Kalau aku ditanya mau pilih antara Albert Einstein atau Nikola Tesla, kayaknya aku akan pilih Nikola Tesla deh," ucapnya ngelantur. “Kenapa, Win?" "Agar bisa masuk ke mesin waktu Pak Nikola terus gantiin Ibu duduk di samping Pak Yasa. Hahahaa..." Dia terkekeh sendiri, yang lain malah menatapnya aneh dan agak tak beres. "Sinting kamu yaa!" Sahabatnya malah melentikkan jari ke keningnya. Yasa dan Alina memutar kepala pening, pertemuan mereka harus diganggu para gadis yang kuliahnya belum kelar-kelar, pasti mereka jadi begini karena terlalu lama menjadi mahasiswa. "Hitungan ketiga kalian tidak pergi dari sini, saya pastikan skripsi kalian tidak akan selesai dua tahun ke depan. Satu," "Maaf Paaaaakkkk...." Baru saja hitungan pertama dua gadis itu berlari terbirit-birit. "Maafkan mereka Bu Alina," ledek Yasa kemudian. Hal itu malah membuatnya mendapat kepalan tangan. “Jangan galak galak jadi dosen. Lagian mahasiswa kamu kocak dan cantik cantik." "Secantik cantiknya mereka, tetap di mata dan di hatiku hanya kamu nomor satu." "Mulai deh!" Ia malah tertawa lepas. 🍁 Pernah mendengar bahwa sifat lelaki itu penasarannya tinggi? Kali ini Alina akan mencoba itu, sedikit menjauh dan mengabaikan Yuda mungkin akan membuat hubungan mereka membaik kembali. Pulang dari tempat makan bersama Yasa, ia langsung beraksi. [Alina, bawa berkas kerja sama dengan perusahaan Pena Group ke ruangan saya.] Oke. Ini waktunya. Sebelum masuk Alina memperbaiki rambut dan menarik napas dalam, demi kesuksesan balas dendam ia akan membuat pria sialan di dalam sana bertekuk lutut. Dua kali ketuk pintu, ia masuk. Tanpa ada ucapan atau hal lain Alina meletakkan berkas ke meja kemudian berlalu tanpa melirik. Gadis itu tidak tahu kalau Yuda kini memandangi punggungnya yang hilang di balik pintu. Sorenya ada meeting mendadak yang mengharuskan Alina turun tangan. Mau tidak mau ia harus bertemu Yuda, semakin dipancing semakin lelaki penasaran. "Kamu presentasikan yang ini," jelasnya. "Lalu bagian ini jabarkan per-point," tunjuknya ke layar komputer. Alina mengangguk kedua kali tanpa suara. “Lalu bagian ini lompat saja." Anggukan ketiga terlihat. "Alina, kamu paham kan?" "Iya," jawabnya singkat. Tanpa ekspresi dan tanpa reaksi yang berarti. Gadis itu langsung mengambil alih berkas di meja dan menuju ruang meeting. Saat itu Yuda mulai terusik bahkan tidak tenang. Jika seperti ini mereka tak akan bisa bekerja sama dengan baik, apalagi hatinya. Sungguh berdetak kencang ketika menatap wajah gadis itu amat dekat. Ini tidak bisa dibiarkan. Yuda galau sendiri dengan kegelisahan yang melanda. Diabaikan Alina seperti meriam yang ganas, menakutkan. Usai meeting sore itu, Yuda langsung menarik lengan Alina ke ruangan. Pria itu mendorongnya hingga bertemu ke dinding, kini wajah mereka kembali dekat dengan jarak hanya setengah jengkal. "Jangan menghindar lagi!" Bravoo! Pria buaya ini sudah masuk jebakan. Lagian siapa yang tahan dengan pesona sekretaris barunya itu? "Saya mohon, jangan menghukum saya dengan tak memperdulikan saya Alina." "Bapak apa-apaan? Kemarin bentak saya agar menjauhi Anda, sekarang memaksa saya untuk tidak menghindar?" "Itu karena ada Valen, jika tidak ada dia kita bisa habiskan waktu berdua." Dasar lelaki mesum! Apa pria seperti ini yang dulu Aira nikahi? Bahkan Alina merasa amat jijik harus disentuh olehnya. "Heh! Pria beristri ingin main api rupanya? Saya bukan perempuan semacam itu!" Alina mendorong keras tubuh Yuda hingga terlepas dari cengkeramannya. "Lalu apa yang kamu inginkan?" Alina terdiam sejenak. “Kalau kamu mau, kita bisa jalani hubungan ini diam diam tanpa sepengetahuan Valen.” Alina tercengang luar biasa. Apa harus sejauh ini dalam bersandiwara? “Jawab saya Alina, kamu mau kan?” Kak Aira, apa yang harus aku katakan sekarang? Jika bukan demi Kakak aku sudah merobek mulut suamimu ini dan akan kukasih kucing. "Saya tidak bisa menjalani hubungan tanpa status." "Kalau begitu mulai hari ini kita pacaran. Bagaimana?" Alina tersenyum singkat tapi tak berani menatap wajahnya. "Tapi ada syaratnya, saya boleh kapan pun ke rumah Bapak. Bagaimana?" "Buat apa?" “Yaa, untuk berkunjung," jawab Alina sedikit gugup. "Oke. Deal!" Kenapa jadi serumit ini? Tapi tidak apa-apa, demi Kak Aira aku ikhlas. Sekarang jalan untuk mengungkap kejahatan dua manusia iblis ini semakin mudah. Rumah itu, pasti ada sesuatu di dalamnya. Yas. Ini hanya sandiwara saja. Bersambung....🍁"Clara? Ngapain kamu di sini?" Bima terlihat tegang dengan kedatangan perempuan itu.Sementara Alina, ia menatap lekat ke arah Clara. Wajah cantik, adem dipandang, solehah, dan pastinya akan menjadi istri yang baik untuk Bima. Dia perempuan yang sempurna dan Alina hanya beban."Jadi Alina juga istri kamu, Mas?" tanyanya dengan halus.Ruangan itu senyap seketika. "Mas, aku mau bicara sama Clara berdua saja."Suara Alina memecahkan keheningan."Bicara apa, Lin? Aku akan tetap di sini.""Aku mohon, Mas. Tolong keluar dulu dari sini. Aku mau bicara berdua dengan Clara," bujuknya dengan memelas.Melihat mata berkilau istrinya, Bima melunak dan membiarkan mereka berdua saja di dalam ruangan. Sedikit canggung, tapi bagaimana pun mereka sudah jadi madu, membagi suami dengannya. Apakah Alina akan sanggup?Tapi semua ini bukan salah Clara, dia perempuan baik dan lembut. Pasti ia juga terpukul dengan kenyataan yang terjadi."Ada apa, Mbak?" ucapnya dengan tatapan teduh. "Bagaimana kandungan Mba
"Nikahi Clara sekarang juga," ucapnya lagi dengan nada lebih mengancam. "Saya hitung mundur. Tiga...."Suasana semakin ricuh, Bima masih belum bisa menyatukan hati dan pikiran saat ini. Jika menikah dengan Clara maka ia seakan menyakiti Alina bertubi tubi. Tapi jika tidak dilakukan, maka ia menyepelekan tugas dan mengorbankan Ririn."Dua....Saaa.....""Baik, saya akan menikahi Clara."Jawaban Bima membuat semua menatap dirinya tak percaya."Kak, apa yang sedang Kak Bima katakan? Tarik lagi, Kak. Ini semua jebakan, jangan percaya ucapan lelaki ini. Kak Bimaaa!" Berontak Ririn masih tidak berdaya."Bagus. Pilihan yang sangat bijak.""Kak Bima!""Diam!" gertak lelaki itu ke Ririn.Sementara Clara yang masih terbengong, kembali duduk di hadapan penghulu. Di sampingnya lelaki bertubuh kekar juga ikut duduk dan langsung menjabat tangan penghulu. Kuncoro sebagai wali nikah menyaksikan pernikahan anaknya dengan desir."Kak Bimaaaa, hentikan Kaaaak!"Teriakan Ririn tidak diperhatikan, Bima den
Pernikahan tiba.......Alina sudah selesai di rias dengan gaun putih melilit tubuhnya. Pilihan Ririn untuknya memang yang terbaik. Rasanya menikah untuk kedua kali tak pernah ia bayangkan, tapi takdir yang membawa perempuan itu pada pilihan."Kak Alina cantik sekali, kayak putri kerajaan," imbuh Ririn."Bisa aja mujinya.""Lah, memang benar, Kak. Ya sudah, kita turun. Sebentar," ucapnya menghampiri pintu kamar. Saat ia buka ternyata Bu Nuri."Sudah siap? Bima dan Bu Lila sudah datang.""Mama sudah datang?" tanya Ririn memastikan."Sudah, Rin. Mereka menunggu kalian turun. Dipercepat ya."Bu Nuri kembali berlalu, kini Alina berjalan keluar dibantu oleh Ririn. Semua mata menuju ke arahnya, apalagi Bima. Ia terus saja memandang secara bergantian wajah calon istri dan jam tangan. Team wedding Clara sudah menunggu di sana, kalau Bima tidak cepat akan sangat fatal. Sementara sang Mama masih menahan rasa yang bergejolak. Cantik memang cantik menantunya ini, tapi melihat perutnya yang mengg
Dengan gerakan panik, Bima menyetir mobil kecepatan tinggi. Sesaat sudah sampai, ia langsung bergegas menghampiri pintu. Namun belum saja diketuk, pintu sudah terbuka lebar."Happy birthday Om Biiiim....." teriak Dani mengibas ngibaskan balon ke atas.Hah? Lelaki itu malah menaikkan alis, ia saja tidak ingat tanggal kelahirannya sendiri."Tante Alina baik baik saja kan, Dan?" Ia masih saja mencemaskan perempuan itu.Alina begitu disebut namanya seketika nongol di belakang Dani dengan senyum."Lin, kamu nggak apa apa? Aku ditelpon Ibu, katanya kamu kesakitan.""Buktinya aku baik baik aja. Ibu sengaja bilang gitu, aku yang suruh.""Tidak lucu bercandanya Alina, aku panik.""Ide Ririn, aku juga ikut idenya dia."Hah? Bima memandang ke samping, baru wajah adiknya kembali terlihat."Kamu juga di sini?""Iya dong. Surprise buat Kakakku tercinta."Bima mendekat dan menyentil keningnya."Ya sudah, kita makan malam saja di dalam, ayok." Di meja makan sudah dipenuhi beberapa menu, tentunya mas
Bima duduk di ruang tengah ditemani Clara, seorang pembantu menyuguhkan minuman hangat untuknya. Beberapa saat perempuan dengan model rambut di gerai ikal datang, ia ikut duduk berhadapan dengan lelaki itu. "Bima ya?" tanyanya dengan wajah berbinar. "Iya benar Tante." "Memang semua cerita dari Clara tidak cacatnya. Kamu ganteng, cool, manis, abdi negara lagi. Cocok dengan Clara yang seorang aktivis muda," ucapnya memuji. Lelaki itu hanya tersenyum simpul. "Ya sudah kalau memang sudah sama sama cocok, pernikahan kalian dipercepat saja." Bima berusaha memikirkan celah, lebih cepat lebih baik. "Dua hari lagi, bagaimana?" Lelaki yang sedang meneguk segelas minuman seketika tersedak, bahkan hampir mengeluarkannya lagi. "Kamu kenapa?" "Nggak nggak, cuma tersedak saja." "Makanya hati hati kalau minum." Clara terlihat cemas. Akan rumit jika pernikahan mereka dilakukan cepat, takutnya akan tabrakan dengan pernikahannya dengan Alina. "Sepertinya harus di undur beberapa hari. Karena a
"Lagi bahas apa?" Seketika Agung dan Wawan datang mengacaukan pembicaraan mereka."Ini loh lagi bahas Kak Agung.""Bahas saya? Ada apa?"Lelaki itu melirik ke arah Bima dan Wawan secara bergantian."Ngapain lihat saya? Kita berdua baru datang," sanggah Wawan tak terima dengan tatapan curiga."Ririn, sebenarnya Agung itu....." Clara kembali melanjutkan tapi dengan cepat Agung menarik tangan Ririn menjauh."Eeh eh Kak Agung, mau ke mana?" ucapnya menurut.Keduanya berhenti di area agak jauh dari mereka."Kamu dengarkan apa kata saya, apapun yang mereka katakan sama kamu, jangan pernah percaya sebelum saya yang mengatakannya. Paham?""Memangnya mereka mau mengatakan apa, Kak?""Yaaaa," lelaki itu terlihat berpikir. "Apapun itu. Intinya jangan percaya."Ririn seperti orang polos yang tak tahu menahu apa tujuan pembicaraan Agung kali ini."Sudah bicaranya? Sekarang kita pulang," Bima menarik lengan adiknya menuju mobil."Tunggu, Kak. Mobilnya mana muat untuk kita berenam. Muat sih, tapi d