Semesta Rain"Dosa hukumnya membiarkan pesan seseorang padahal dia sudah membacanya!"Pesan dari lelaki menyebalkan itu muncul lagi meskipun aku sudah mengabaikannya. Sengaja, aku tidak mau berurusan dengan lelaki itu lebih dari urusan lomba. Kalau saja bukan akibat kesalahan memencet notifikasi di layar bar, aku juga tidak berniat membaca pesan dari lelaki menyebalkan itu. Sementara aku masih berusaha menebak-nebak siapa oknum yang telah menyebarkan nomorku kepada lelaki menyebalkan itu, benda pipih yang terletak di atas itu terus bergetar dan menampilkan pesan dari orang yang sama. "Katanya tak ada yang paling tabah selain hujan bulan Juni. Faktanya, aku manusia paling tabah ketika pesan sudah berubah dua centang biru, tapi kamu pura-pura bisu!"Balasan dari lelaki menyebalkan itu membuatku mual. Aku memang sengaja tak membalasnya dan hanya membacanya dari menu notifikasi di layar bar. Itu pun karena sebal akibat getaran ponsel yang cukup mengganggu aktivitas makanku. Namun, tak
Semesta Aksara"Buset, galak banget sih," ucapku saat mendengar jawaban ketus Rain di ujung panggilan telepon. Bukannya sok jaim ataupun berusaha bersikap baik, perempuan itu masih saja menunjukkan sisi galaknya padaku. Padahal, setiap perempuan mengharapkan apa yang kulakukan pada perempuan itu sekarang.Mereka pasti bakal bersorak senang ketika menerima telepon dariku. Tak jarang cewek-cewek itu dalam sekejap menjadi sosok menggemaskan dengan suara yang diimut-imutkan. Bahkan tidak sedikit yang mengirimkan pesan setiap malam, hanya demi memintaku mengirim voice note - telepon jika perlu, sebagai lagu pengantar tidur. Sementara makhluk yang satu ini, manusia bernama Rain - bukan Raina - sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan sedikit pun. Dia memang berbeda. Sangat berbeda. "Ya makanya nggak usah pakai basa-basi segala. Apa yang lo mau?" Suara galak Rain masih terdengar di ujung pelantang suara. "Oke, gue nggak bakal basa-basi lagi. Sekarang, gue ada di depan rumah lo!""Hah
Semesta Aksara"Kenapa wajah lo suntuk gitu?"Pertanyaan Narendra mengalihkan fokusku. Aku memutuskan pergi ke tongkrongan ketimbang pulang ke rumah. Pikiran tentang Rain masih terus menganggu dan aku butuh sesuatu untuk mengalihkan hal itu. Pergi ke tongkrongan menjadi satu-satunya pilihan di saat suntuk seperti sekarang. "Ndra, lo bilang Rain dapat beasiswa kan?""Iya, kenapa? Lo beneran tertarik sama, Rain?""Nggak penting, tapi gue barusan ke rumahnya. Dia anak orang kaya anjir. Rumahnya gede banget. Tinggal di kawasan perumahan mewah. Nggak salah tuh dia dapat beasiswa?"Narendra mengendikkan bahu. Aku menatapnya tak percaya. Temanku itu, dia adalah sumber dari segala informasi. Dari staf hingga rektor, tak ada yang luput dari pengawasan Narendra.Dia juga yang menjadi sumber informan ketika ada hal yang tak beres di kampus. Termasuk penggelapan uang yayasan yang sempat dilakukan sejumlah karyawan baru-baru ini. Narendra mendapatkan semua buktinya hingga membuat mereka tak bi
Semesta AksaraBangunan dua lantai yang terlihat kuno dibandingkan bangunan di sekitarnya, terlihat gelap saat aku tiba di sana. Seakan tak ada tanda-tanda orang yang menghuni bangunan tersebut. Hanya ada sebuah nyala lampu di lantai dua yang tampak temaram dengan pintu balkon dibiarkan terbuka. Kelambu yang menutupi pintu, bergerak tertiup angin malam yang berembus pelan. Aku mengambil ponsel dari saku celana dan berusaha menghubungi sebuah nomor yang baru saja tersimpan di ponselku. Tetap tak ada jawaban. Bahkan pesan yang terakhir kali aku kirimkan pada gadis itu masih centang satu. Gelisah menyelimuti diriku. Aku menatap sekeliling untuk mencari celah agar bisa melompat masuk ke dalam rumah tersebut. "Gila! Apa gue harus senekat ini?" bisikku pada diri sendiri.Namun, perasaanku makin tak tenang. Entah mengapa, pikiranku terus terbayang pada adegan beberapa waktu lalu saat aku masih berada di depan rumah ini.
Semesta RainTubuhku membeku. Aku tak sanggup bergerak ketika sebaris kalimat terucap dari bibir Aksara. "Are you okay, Rain?"Aku mendadak bisu. Tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun meski sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan yang terucap. "Katakan kalau memang ada yang sakit, Rain. Katakan!"Suara Aksara kembali terdengar. Mengaduk-aduk perasaan dalam jiwaku yang mendadak menjadi lemah akibat mendengar kalimat yang terucap dari mulut laki-laki itu. Tubuhku gemetar. Ada perasaan yang tak sanggup kujelaskan.Rasanya, sudah lama sekali aku tak mendengar seseorang bertanya padaku, apakah aku baik-baik saja setelah bertahun-tahun lalu. Mungkin, Aruna sering kali menanyakan pertanyaan yang sama. Hanya saja, ruh dari pertanyaan yang diucapkan Aruna tidak seperti Aksara. Aku tidak membandingkan kekhawatiran mereka berdua. Jelas, aku bisa merasakan mereka sama-sama khawatir melihat keadaanku.
Semesta RainHarusnya ini menjadi hari pertama kami latihan bersama sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Pada hari Sabtu di sela-sela kesibukan jadwal kami di akhir pekan. Namun, sudah hampir sepuluh menit, baik aku ataupun Aksara tak satu pun yang memulai percakapan. Selain sapaan "hai" singkat ketika kami pertama kali bertemu beberapa saat lalu. Kami sama-sama bungkam dan sibuk dengan pikiran masing-masing dalam diam. Meski sebenarnya, aku tahu bahwa Aksara menahan diri untuk tidak bicara. Mulut lelaki itu pasti sudah gatal ingin segera mengatakan apa pun yang tertahan di ujung lidahnya. Pernyataan-pernyataan konyol atau mungkin tanggapan serius seperti saat terakhir kali kami bertemu. "Lo, gimana punya pikiran kalau selama ini gue cuma pura-pura?"Aku masih ingat pertanyaan yang diajukan Aksara tiga hari lalu sebelum pergi dari rumah Paman Bara. Aku bahkan masih ingat bagaimana senyum kecut itu membingkai wajahnya. "Berarti, nggak semua berhasil lo tipu kan?"Tangan Aksara men
Semesta AksaraAku tidak tahu, apa yang membuat hubunganku dengan Rain mendadak jadi dingin. Mungkin akibat pertanyaan yang ia ungkapkan beberapa hari lalu di rumah perempuan itu. Ada percikan api yang membuatku merasa tak nyaman. Bukan karena ucapan perempuan itu keliru, tapi justru sebaliknya. Meski begitu aku tetap berusaha menyangkal dan tak mau mengakui kebenaran ucapan Rain. Ia tak sepenuhnya salah bahwa selama ini, aku hanya berpura-pura tampak baik-baik saja. Sekalipun itu hanya tameng yang kugunakan untuk menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya. Aku tak ingin orang lain tahu, bahwa seorang Baruna Aksara - sang penguasa lautan kata-kata - sebenarnya tak lebih dari kepompong kosong yang sudah lama ditinggalkan penghuninya. Sosok pemuda itu bahkan tak tahu, mana jati dirinya yang sebenarnya. Ia bisa jadi orang yang berbeda, tergantung siapa yang dihadapi. Ya, satu-satunya hal yang tak bisa berbohong hanyalah sorot matanya. Seperti yang diucapkan Rain. Kini, ketika aku
Semesta Aksara"Mampir dulu yuk, Sa. Malming juga, nggak mungkin ke sekre kan lo?""Sori, Le. Gue mesti balik sekarang."Aku menolak tawaran tegas dari Lea setelah mengantar perempuan itu ke rumahnya. Bagaimanapun aku tahu maksud Lea menggiringku buat mampir ke rumah perempuan itu. Kedua orang tuanya sibuk bekerja dan hanya meninggalkan Lea seorang diri dan ditemani beberapa asisten rumah tangga. Apalagi yang diharapkan perempuan itu dari seorang lelaki dalam keadaan rumah sepi?Aku memang tak pernah menganggap serius rumor yang beredar tentang Lea. Bahwa perempuan itu sering kali having sex dengan teman-teman cowoknya.Tapi, melihat sikap Lea yang selalu berusaha meminta aku ke rumahnya setiap kali dalam keadaan sepi, selalu membuatku waspada. Lagipula, ini bukan sekali dua kali Lea berusaha membujukku buat tetap tinggal setelah mengantarkan dia pulang. "Yah, padahal gue tadi pagi baru aja bikin cookies yang mau gue kasih tunjuk ke elo." Wajah Lea tampak kecewa. Lebih dari itu,