Semesta RainObrolanku dengan Aksara memaksaku memutar adegan belasan tahun lalu saat usiaku baru menginjak tujuh tahun. Hari itu, hari ulang tahunku - hari yang kemudian di masa depan ingin kulupakan saja dari hidup yang kejam dan telah merenggut nyawa orang-orang yang kusayangi. Ayah berjanji untuk menyelesaikan dengan cepat persidangan yang dia pimpin pada hari itu. Dia berjanji akan pulang cepat dan membelikan aku sebuah cake yang akan menemani perayaan hari ulang tahunku. "Aku juga mau dong, Yah. Aku mau brownies!" seruan Mahen pada hari itu kembali terdengar dalam tempurung otakku. Mahen - kakak lelakiku - memang lebih suka brownies ketimbang cake atau kue lainnya. Ayah tertawa menanggapi permintaan anak lelakinya yang berjarak tiga tahun lebih tua dariku. "Kamu memang nggak kalah ya! Oke, Ayah bakal belikan brownies buat jagoan Ayah. Yang kecil aja ya. Kan kamu doang pasti yang bakal makan!""Ih, mana ada kayak gitu. Nggak bisalah. Harus yang ukuran besar. Mau makan sendi
Semesta AksaraTanpa sadar aku merangkul pundak Rain dan membawanya ke dalam pelukan ketika mendung di wajah gadis itu menjadi hujan. Rasanya hatiku ikut perih melihatnya menitikkan air mata. Bahkan tangisan yang semula terdengar samar - akibat Rain menahan diri - kini makin tergugu dalam pelukanku. Siapa yang menyangka, jika sosok gadis mungil dalam pelukanku kini, menjalani kehidupannya dengan begitu berat. Aku menjadi paham, mengapa wajah Rain selalu terlihat muram dan terkesan sukar untuk didekati. Masa lalu membuatnya seperti itu. Tentu tak mudah kehilangan orang tua dengan cara yang kejam seperti itu. Mati tertembak di hadapannya demi melindungi gadis serta sang kakak yang turut mati hari itu. Aku tak bisa membayangkan bagaimana terkoyaknya jiwa Rain saat itu hingga sekarang. Aku tahu, ia belum sepenuhnya sembuh dari trauma. Bisa terbukti ketika hujan turun dan kami terjebak di halte bus lebih dari seminggu yang lalu. Dia bahkan harus mengalami nasib buruk dari sang paman
Semesta RainIde Aksara selalu terdengar gila. Apa yang ia harapkan dari pemburuan hujan bagi seseorang yang sudah puluhan tahun membenci hujan? Apa dia berharap rasa takut itu bakal sembuh dalam satu hari saja? Anehnya, aku justru tak merasa resah ataupun khawatir, meski ketakutan itu masih ada. Terlebih ketika aku menyadari bahwa motor yang dikendarai Aksara membawa kami ke Bogor. Bogor, kota penuh kenangan sebelum Jakarta menarik kami - ibu, ayah dan Kak Mahen - dengan paksa untuk tinggal di sana. Menjadi bagian dari manusia yang bergerak cepat di antara hiruk-pikuk dunia. Ada rindu yang diam-diam menyusup. Mengisi celah kosong yang tak lagi pernah terisi. Seandainya ayah dulu tak menerima mutasi kerja ke kejaksaan pusat, apakah kami masih tetap bersama-sama? Tinggal di lereng pegunungan dengan kota yang memiliki intensitas cukup tinggi di negeri ini. Mataku basah akibat andai-andai yang dengan cepat menguap menjadi asa. Juga akibat hujan yang kini semakin deras mendera bumi.
Semesta KamiBogor membawa kabar baik dan buruk. Aku (Rain) bisa sedikit demi sedikit pulih dari rasa takut terhadap hujan. Sementara aku (Aksara) harus terbaring di rumah akibat flu yang menyerang. Aksara: Beruntung, sakit yang kuderita tidak berlangsung lama. Setidaknya tidak sampai mengganggu persiapan lomba baca puisi yang akan kami ikuti. Ya, sebenarnya cukup menganggu. Bu Asri sampai marah besar. Tapi, tidak berlangsung lama karena aku bisa mengejar ketinggalan. Semua juga berkat dukungan partner sepanggung yang kini jadi kekasihku. Haha ... cukup cepat kan progres kami? Ya, kalau aku boleh jujur, sudah lama sebenarnya aku tertarik sama Rain. Hanya saja, dia bukan gadis yang mudah didekati. Rain: Tidak, aku bukan gadis yang sulit didekati. Itu hanya omong kosong Aksara saja. Dia hanya tidak percaya diri dengan kemampuannya. Lagian, siapa sih yang tidak kesal, jika dari awal dia sudah mengibarkan bendara perang. Kan dia yang tidak percaya kalau aku sakit datang bulan saat
Semesta RainAku bergegas lari ke koridor kampus saat mendung tiba-tiba menghitam. Padahal sepuluh menit lalu, langit masih tampak cerah saat aku keluar dari rumah. Sial, kalau saja tahu hujan akan turun, aku lebih baik tidak ikut kelas siang. Biar saja dosen galak dan kejam itu membubuhkan nilai c untuk mata kuliah yang tidak aku ikuti. Toh, satu nilai c tidak akan berpengaruh pada IPK-ku yang selalu cumlaude atau dengan pujian.Angin kencang dan aroma petrichor yang menusuk hidung membuat tubuhku gemetar. Setidaknya, sebelum rintik pertama jatuh membasahi bumi, aku harus segera sampai di kelas.Sial, sial. Hari apa sih ini? Bisa-bisanya aku terjebak di kampus saat hari berhujan.Aku benci hujan. Sangat membencinya sampai-sampai aku ingin menghapuskan hujan dari namaku sendiri. Ya, aku ingin sekali menghapus hujan dari namaku."Woo ... santai dong, Rain!" teriak Aruna - satu-satunya teman satu kelas yang aku kenal - saat kami hampir be
Semesta Rain"Asli lo aneh banget hari ini. Kenapa sih?"Aruna bertanya penasaran saat aku memintanya menemani ke perpustakaan menemui Bu Asri. Tidak biasanya memang, aku memintanya hanya sekadar untuk mengantar ke perpustakaan. Bagi Aruna, aku adalah orang paling mandiri yang pernah dia kenal. Tak pernah sekalipun aku meminta bantuannya. Apalagi hanya sebatas menemui Bu Asri yang justru lebih sering kutemui daripada mengiyakan permintaannya untuk mengantar ke pusat perbelanjaan."Nggak, itu sih lo aja yang rese. Pake teriak panggil Nugraha segala. Gue kan yang jadi malu.""Bego, lo aja tiba-tiba jadi aneh gitu. Siapa coba yang nggak panik. Bocah gila!"Aku tak mengacuhkan pernyataan Aruna. Setidaknya hujan tak lagi sederas sebelumnya dan petir ataupun guntur tak lagi terdengar suaranya. Beruntung pula kuliah dibatalkan karena dosen yang seharusnya mengajar mata kuliah Pragmatik tidak bisa hadir karena ada kerabatnya meninggal dunia. Namun, e
Semesta AksaraTidak biasanya Bu Asri memanggilku, terkhusus memintaku untuk mewakili kampus untuk mengikuti lomba. Bukan berarti selama ini aku tidak berprestasi. Sebagai mahasiswa yang aktif berkegiatan di kampus ataupun di luar kampus, namaku cukup diperhatikan. Halaman koran sering kali mencetak namaku di kolom esai ataupun sastra. Hanya saja terkadang aku malas mengikuti kompetisi demi kepentingan almamater. Apa untungnya bagiku? Kampuslah yang akan lebih banyak disorot jika aku berhasil meraih juara.Itu pula mengapa pihak kampus juga tidak pernah memintaku untuk mengikuti jenis lomba apa pun. Bahkan ada peraturan tak tertulis yang menyatakan,"Jangan pernah libatkan Aksara dalam hal yang hanya akan membuatmu malu!". Mengikuti lomba salah satunya. Sebab, jika itu tidak sesuai keinginan, sudah tentu bakal memalukan kampus."Jadi Ibu meminta saya mengikuti lomba baca puisi?" tanyaku meyakinkan Bu Asri yang duduk di hadapanku. "Atas pertimbangan ap
Semesta AksaraPenjelasan Bu Asri tentang lomba yang akan kami ikuti sama sekali tak sanggup keterima dengan baik. Pikiranku penuh dengan sosok perempuan yang duduk di sampingku. Tetap tanpa ekspresi.Sebenarnya sudah lama aku memperhatikan gadis manis yang duduk di sampingku itu. Lebih tepatnya saat malam akrab jurusan dua tahun lalu.Sebagai ketua Himaprodi yang bertanggung jawab pada kegiatan, aku memperhatikan setiap maba yang mengikuti acara. Tidak ada seorang pun yang luput dari pantauanku. Bahkan aku benar-benar memastikan apakah ada maba yang kabur dari rumah demi mengikuti kegiatan dan memalsukan tanda tangan persetujuan orang tuanya.Atau yang paling parah, kabur di tengah-tengah acara demi bertemu pacar maupun gebetan. Dari semua kemungkinan yang bisa saja terjadi, kasus terakhir adalah hal yang paling rawan dan tak bisa kubiarkan begitu saja.Meski begitu, dari semua maba yang mengikuti kegiatan, hanya Rain yang bisa memikat