Home / Historical / Darah dan Takdir / Bab 5: Konspirasi Istana

Share

Bab 5: Konspirasi Istana

Author: A. Rani
last update Huling Na-update: 2025-05-31 00:08:43

Malam semakin larut di Istana Airlangga. Angin dingin menyelinap melewati celah-celah jendela, membelai kulit Saraswati yang masih duduk di lantai kamarnya, dikelilingi oleh gulungan kertas dan dokumen tua yang telah ia bongkar dalam beberapa jam terakhir. Cahaya lentera yang temaram menciptakan bayangan bergerak di sekelilingnya, seakan menari bersama ketegangan yang menggantung di udara.

Di hadapannya, terbuka sebuah surat dengan tinta yang mulai pudar, tetapi kata-katanya masih jelas terbaca. Jemarinya mencengkeram lembaran itu erat-erat, napasnya tertahan saat matanya menelusuri isi yang kini mengubah seluruh pandangannya tentang siapa dirinya.

"Sang Cahaya bukanlah anugerah, melainkan kunci. Dan kunci harus dikorbankan agar gerbang tetap tertutup."

Jantungnya berdebar lebih cepat, seolah-olah baru saja diseret ke dalam jurang yang selama ini ia takuti. Matanya kembali membaca baris itu, berharap bahwa ia hanya salah memahami maksudnya. Namun, tidak ada yang keliru dalam aksara itu. Peran yang selama ini dipujikan kepadanya, yang ia yakini sebagai kehormatan tertinggi, ternyata bukanlah takdir yang mulia. Itu adalah sesuatu yang jauh lebih gelap, lebih mengerikan. Ia bukanlah simbol harapan, tetapi alat yang telah dipersiapkan untuk sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya.

Saraswati menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang berputar tanpa kendali. Jika ini benar, maka ia bukan hanya dikurung di dalam istana untuk dilindungi—tetapi untuk dipersiapkan bagi sesuatu yang tidak pernah ia setujui.

Suaranya hampir bergetar saat ia berbisik kepada dirinya sendiri, "Apa yang telah mereka sembunyikan dariku?"

Sejak surat itu ditemukan di dalam kotak peninggalan Raka, Saraswati tidak bisa lagi tidur dengan tenang. Setiap detik yang ia habiskan di dalam istana kini terasa seperti berada di dalam perangkap yang perlahan-lahan semakin menjeratnya. Keesokan harinya, ia berusaha untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. Seperti biasa, ia menjalani rutinitas paginya—duduk di dalam aula pelatihan untuk menerima pelajaran filsafat dan sejarah dari para guru istana, berjalan-jalan di taman sambil membaca gulungan kitab yang diberikan kepadanya, dan menerima kunjungan dari para pelayan yang selalu memastikan bahwa ia tetap berada dalam batasan yang telah ditentukan. Namun, kini, setiap percakapan dan tatapan yang diberikan kepadanya terasa berbeda.

Semuanya terasa seperti kebohongan. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka, setiap penghormatan yang ia terima, setiap ritual yang ia jalani—semuanya kini terasa seperti kepalsuan yang telah disusun dengan hati-hati untuk membuatnya tetap patuh.

Di tengah lamunannya, suara Mirah, pelayan pribadinya yang paling ia percayai, membuyarkan pikirannya. “Sang Cahaya, Anda tampak tidak seperti biasanya,” ucapnya dengan nada khawatir. “Apakah ada yang mengganggu pikiran Anda?”

Saraswati menoleh, matanya menatap Mirah sejenak sebelum akhirnya ia berkata dengan suara yang lebih rendah. “Mirah, katakan padaku sesuatu.”

Pelayan itu tampak ragu, tetapi kemudian mengangguk. “Apa yang ingin Anda ketahui?”

Saraswati menimbang kata-katanya dengan hati-hati sebelum akhirnya bertanya, “Apa yang sebenarnya terjadi pada Sang Cahaya sebelum aku?”

Mirah tampak terkejut. Ia membuka mulutnya, tetapi tidak ada suara yang keluar untuk beberapa saat. Ia menundukkan kepalanya, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berbahaya untuk diucapkan.

“Aku tidak bisa menjawabnya,” akhirnya Mirah berkata, suaranya nyaris seperti bisikan. “Aku hanya tahu bahwa tidak pernah ada Sang Cahaya yang hidup cukup lama untuk melihat takdirnya sendiri.”

Dada Saraswati mencengkeram seketika.

Ia menatap Mirah dengan sorot mata yang penuh pertanyaan dan ketakutan. “Apa maksudmu?”

Mirah tampak gelisah, tangannya meremas kain di depannya dengan kuat. “Aku tidak tahu banyak, tetapi yang kudengar dari bisik-bisik di antara pelayan istana... Sang Cahaya selalu berakhir dengan cara yang sama.”

Saraswati merasakan tubuhnya melemah. “Apa yang terjadi pada mereka?”

Mirah menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang menguping. Ia lalu menundukkan suaranya lebih dalam. “Mereka… menghilang.”

Saraswati hampir tidak bisa bernapas.

“Mereka tidak mati karena sakit, tidak juga dibunuh secara terbuka. Mereka hanya… menghilang, seolah-olah mereka tidak pernah ada.”

Keheningan yang menyusul kata-kata itu lebih menusuk daripada ribuan pisau. Saraswati tidak bisa lagi menahan dirinya. Malam itu, ia kembali ke tumpukan dokumen yang ia sembunyikan di dalam peti kayunya. Tangannya bergerak cepat, membuka gulungan dan surat yang telah ia kumpulkan, mencari satu petunjuk lagi—sesuatu yang bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada para Sang Cahaya sebelum dirinya.

Setelah beberapa saat, ia menemukan satu dokumen tua yang hampir ia abaikan sebelumnya. Surat itu tidak bertuliskan namanya, tetapi ada simbol kerajaan yang terukir di bagian atasnya, tanda bahwa ini adalah dokumen resmi yang telah disimpan selama bertahun-tahun. Dengan jantung yang berdebar, ia membuka gulungan itu dan mulai membaca.

"Tanggal pelaksanaan: Malam Purnama Ketujuh."

"Persiapan telah selesai. Sang Cahaya akan dipersembahkan untuk menjaga keseimbangan. Tidak boleh ada kesalahan. Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan kerajaan tetap bertahan."

Tangan Saraswati bergetar. Kata ‘dipersembahkan’ menekan dadanya seperti beban batu yang terlalu berat. Peran Sang Cahaya bukanlah sebuah kehormatan. Peran itu adalah sebuah kutukan. Saraswati duduk diam di dekat jendela, membiarkan cahaya rembulan menyinari wajahnya yang pucat. Di luar, angin malam berdesir, membawa kesunyian yang semakin menekan dadanya.

Ia telah menemukan kebenaran. Ia telah menemukan apa yang selama ini disembunyikan dari dirinya. Tetapi ia masih belum tahu bagaimana cara untuk melarikan diri dari takdir yang telah mereka tetapkan untuknya. Lalu, suara ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Ia menoleh dengan cepat, hatinya mencengkeram ketakutan.

“Siapa di sana?” tanyanya dengan suara yang terkendali, meskipun napasnya masih tak teratur.

Suara di balik pintu terdengar lirih, hampir seperti bisikan. “Aku membawa pesan untukmu.”

Saraswati ragu, tetapi kemudian tangannya perlahan bergerak membuka kunci pintu. Saat pintu terbuka sedikit, selembar kertas kecil diselipkan melewati celahnya. Ia mengambilnya dengan hati-hati, lalu menutup pintu kembali dengan cepat sebelum membukanya di bawah cahaya lentera. Hanya ada satu kalimat di sana.

"Kau tidak sendirian. Jika kau ingin keluar, temui aku di taman air suci sebelum fajar."

Darah Saraswati berdesir. Ia tidak tahu siapa yang mengirim pesan itu, tetapi ia tahu bahwa ini mungkin satu-satunya kesempatan yang dimilikinya. Ia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Ia harus bertindak. Sebelum mereka menutup semua jalan keluar. Saraswati berdiri diam di tengah kamarnya, tatapannya terpaku pada pesan yang baru saja ia terima. Cahaya lentera yang bergetar perlahan membuat bayangannya tampak bergoyang di dinding, seolah mencerminkan kegelisahan yang menguasai pikirannya.

"Kau tidak sendirian. Jika kau ingin keluar, temui aku di taman air suci sebelum fajar."

Setiap kata dalam pesan itu terpatri kuat dalam benaknya, menimbulkan pertanyaan yang tak kunjung mereda. Siapa yang menulis ini? Mengapa mereka memilih untuk menghubunginya sekarang, tepat setelah ia menemukan kebenaran tentang perannya sebagai Sang Cahaya? Pikirannya berkelindan dengan berbagai kemungkinan. Bisa saja ini adalah jebakan, sebuah cara lain yang dilakukan istana untuk menguji kesetiaannya, memastikan bahwa ia tidak berusaha menyimpang dari peran yang telah mereka tetapkan untuknya. Namun, jika bukan jebakan, maka ini adalah satu-satunya kesempatan yang mungkin ia miliki untuk mencari tahu lebih banyak, bahkan mungkin untuk menemukan jalan keluar dari nasib yang telah direncanakan untuknya. Ia mengepalkan pesan itu di tangannya, lalu menarik napas dalam-dalam. Keputusan ini tidak bisa ia ambil dengan gegabah.

Dengan langkah hati-hati, Saraswati melangkah ke jendela kamarnya, menatap taman di luar yang masih dibalut kegelapan malam. Dari kejauhan, ia bisa melihat penjaga yang berjaga di gerbang utama istana, tombak mereka berkilat dalam cahaya obor yang remang. Tidak ada tanda-tanda gerakan mencurigakan di sekitar taman air suci, tetapi itu tidak berarti tempat itu benar-benar aman. Ia mengembuskan napas pelan, berusaha menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. Jika ia pergi ke sana dan ini ternyata jebakan, maka semuanya akan berakhir malam ini. Namun, jika ia tetap tinggal, ia mungkin tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lain untuk mengetahui kebenaran sepenuhnya.

Pilihan ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang semua yang telah ia ketahui selama beberapa hari terakhir. Jika benar bahwa Sang Cahaya sebelum dirinya selalu menghilang tanpa jejak, maka ia tidak bisa hanya diam dan menunggu nasib yang sama menimpanya. Ia harus menemukan jawabannya sendiri.

Dengan gerakan cepat dan hati-hati, ia menyelipkan gulungan surat rahasia yang sebelumnya ia temukan ke dalam ikat pinggang jubahnya. Lalu, dengan langkah ringan, ia berjalan ke pintu, menempelkan telinganya untuk memastikan bahwa tidak ada suara langkah kaki di luar. Keheningan yang menyelimuti lorong memberi sinyal bahwa penjaga yang mengawasi kamarnya belum kembali dari pergantian tugas. Ini adalah celah kecil yang bisa ia manfaatkan.

Dengan hati-hati, ia membuka pintu sedikit demi sedikit, memastikan bahwa engselnya tidak berderit. Setelah memastikan lorong benar-benar kosong, ia menyelinap keluar, berjalan di sepanjang dinding dengan napas tertahan. Setiap langkah yang ia ambil terasa begitu panjang. Bayangan obor di sepanjang lorong membuatnya merasa seperti diawasi oleh mata yang tak terlihat. Setiap suara, sekecil apa pun, terdengar lebih keras di telinganya.

Saat ia hampir mencapai pintu belakang menuju taman air suci, langkahnya terhenti. Dari kejauhan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Saraswati bergegas bersembunyi di balik pilar batu besar, menahan napasnya sebaik mungkin. Dua prajurit melintas di lorong, berbicara dengan suara rendah.

"Apa kau dengar kabar dari penasihat kerajaan? Mereka mengatakan bahwa Sang Cahaya mulai bertingkah aneh," kata salah satu dari mereka.

Prajurit lain mendengus. "Tentu saja. Dia terlalu banyak bertanya. Itu tidak pernah berakhir dengan baik bagi siapa pun."

Saraswati merasakan jantungnya mencengkeram. Mereka tidak hanya mengawasi gerak-geriknya, tetapi mereka juga mulai mempertanyakan tindakannya. Begitu para prajurit itu berlalu, ia melangkah keluar dari persembunyiannya dan mempercepat langkahnya menuju taman air suci. Taman itu sunyi ketika ia tiba.

Kolam besar yang biasanya digunakan dalam upacara pembersihan suci berkilauan di bawah sinar bulan. Patung-patung dewa yang mengelilinginya tampak seperti penjaga bisu, menyaksikan keheningan malam yang terasa lebih tegang dari biasanya. Saraswati berdiri di tepi kolam, menajamkan pendengarannya. Tidak ada suara selain gemericik air yang mengalir dari pancuran batu.

"Lalu siapa yang mengirim pesan ini?" pikirnya, keraguan mulai muncul di benaknya.

Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, sebuah suara datang dari balik bayangan di dekat pepohonan.

"Aku tidak yakin kau benar-benar akan datang."

Saraswati menoleh dengan cepat, jantungnya hampir melompat keluar dari dadanya. Dari kegelapan, seseorang melangkah maju. Seorang pria dengan jubah gelap yang sedikit berkibar tertiup angin malam, wajahnya sebagian tertutup bayangan, tetapi matanya memancarkan kecerdasan yang tajam. Saraswati tidak mengenali pria itu, tetapi entah kenapa, ia merasa bahwa orang ini bukan ancaman.

"Siapa kau?" tanyanya dengan nada waspada.

Pria itu tersenyum tipis, lalu berbicara dengan nada tenang tetapi penuh tekanan. "Aku seseorang yang telah lama menunggu saat seperti ini. Seseorang yang tahu kebenaran yang selama ini disembunyikan dari Sang Cahaya."

Saraswati merasakan tubuhnya menegang. "Apa yang kau maksud?"

Pria itu melangkah lebih dekat, lalu dengan gerakan hati-hati, ia menarik sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah gulungan kertas yang tampak tua dan usang. Ia mengulurkannya ke arah Saraswati.

"Bacalah ini," katanya. "Dan kau akan tahu mengapa kau tidak pernah boleh percaya pada apa pun yang mereka katakan kepadamu."

Saraswati mengambil gulungan itu dengan tangan sedikit gemetar. Ketika ia membuka dan mulai membaca, napasnya tercekat. Tertulis di sana sesuatu yang jauh lebih mengerikan dari apa pun yang pernah ia bayangkan. Sebuah rencana. Sebuah pengorbanan. Sebuah kebenaran yang mengancam tidak hanya hidupnya, tetapi seluruh kerajaan. Saraswati mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan mata yang penuh keterkejutan dan ketakutan.

"Kau tahu semua ini?" suaranya hampir bergetar.

Pria itu mengangguk perlahan. "Dan aku tahu kau tidak bisa mempercayai siapa pun di dalam istana ini. Mereka akan memastikan kau tidak pernah menemukan jalan keluar."

Dada Saraswati terasa semakin sesak. Ia ingin menyangkalnya, tetapi bukti yang ada di tangannya lebih nyata daripada semua kebohongan yang pernah ia dengar.

"Kita tidak punya banyak waktu," pria itu melanjutkan. "Jika kau ingin bertahan, kau harus segera pergi dari tempat ini."

Saraswati menatap gulungan di tangannya, lalu kembali menatap pria itu. Di dalam hatinya, sesuatu berbisik bahwa ia telah mencapai titik tanpa jalan kembali. Ia harus membuat keputusan. Dan kali ini, tidak ada pilihan selain bertarung untuk hidupnya sendiri.

Saraswati menggenggam gulungan kertas yang diberikan pria misterius itu, tangannya sedikit bergetar di bawah cahaya bulan yang menyelinap di antara dedaunan taman air suci. Malam terasa lebih sunyi dari biasanya, seakan seluruh istana menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Ia menatap pria itu dengan penuh kewaspadaan. Wajahnya masih tersembunyi di bawah bayangan, tetapi dari nada suaranya, jelas bahwa ia membawa sesuatu yang lebih besar dari sekadar peringatan.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Saraswati dengan suara yang lebih terkendali meskipun hatinya masih berdebar kencang.

Pria itu tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak membawa ketenangan. "Namaku bukan hal yang penting saat ini," katanya, melipat kedua lengannya. "Yang lebih penting adalah apakah kau siap menerima kebenaran yang selama ini disembunyikan darimu."

Saraswati menelan ludah, lalu menundukkan pandangannya ke gulungan di tangannya. Ia bisa merasakan getaran di dalam dirinya, seperti perasaan mendekati jurang yang dalam. Namun, ia tahu bahwa jika ia tidak membacanya sekarang, mungkin ia tidak akan pernah mendapatkan kesempatan lain.

Dengan napas tertahan, ia membuka gulungan itu perlahan. Tulisan tangan yang tertoreh di atas kertas terlihat tergesa-gesa, tetapi jelas ditulis oleh seseorang yang memiliki wewenang tinggi dalam istana. Matanya menelusuri setiap kata, dan semakin dalam ia membaca, semakin kuat ketakutan yang menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Sang Cahaya adalah pengorbanan. Sebuah jiwa yang harus dilepaskan agar keseimbangan tetap terjaga. Tidak ada jalan lain."

"Setiap generasi, seorang dipilih. Bukan karena kemuliaan, tetapi karena darah mereka mengandung kekuatan yang dibutuhkan untuk menjaga segel tetap tertutup."

"Pengorbanan harus dilakukan sebelum purnama ketujuh, atau kerajaan akan runtuh. Jika Sang Cahaya menolak, maka tindakan harus diambil sebelum kehendaknya mengancam keseimbangan."

Darah Saraswati membeku. Tangannya mencengkeram kertas itu lebih erat, tetapi tubuhnya seakan kehilangan keseimbangan. Ini adalah jawaban yang selama ini ia cari, tetapi juga jawaban yang tidak pernah ia inginkan.

"Apa ini...?" suaranya nyaris tak terdengar, hampir seperti bisikan.

Pria itu menatapnya dengan tatapan penuh pemahaman. "Itu adalah nasibmu. Sebuah kebenaran yang mereka sembunyikan darimu sejak kau lahir."

Saraswati menggeleng, mencoba memahami sesuatu yang terasa begitu tidak masuk akal tetapi sekaligus begitu nyata. "Aku... aku bukan harapan mereka. Aku hanyalah korban yang dipersiapkan untuk mati?"

Pria itu menghela napas panjang, seakan tahu bahwa beban ini terlalu berat untuk seorang gadis yang baru saja menemukan kebenaran tentang hidupnya sendiri. "Mereka menyebutmu Sang Cahaya bukan untuk membawa kejayaan, tetapi untuk menjadi api yang akan padam demi menerangi kerajaan. Setiap Sang Cahaya sebelum dirimu telah menghilang karena mereka tidak pernah dibiarkan bertahan cukup lama untuk mempertanyakan nasibnya."

Saraswati merasakan amarah dan kepedihan bercampur dalam dadanya. Selama ini, ia berpikir bahwa pengurungan dirinya adalah demi keselamatan, demi persiapan menuju sesuatu yang lebih besar. Tetapi kini, ia menyadari bahwa ia tidak pernah dipersiapkan untuk memimpin—ia dipersiapkan untuk mati.

Ia merobek gulungan itu dengan kasar, membiarkan potongan-potongan kertas jatuh ke tanah. "Aku tidak akan membiarkan mereka melakukan ini padaku," katanya, suaranya gemetar, tetapi penuh dengan ketegasan.

Pria itu menatapnya sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Jika kau ingin bertahan, kau harus melarikan diri sebelum purnama ketujuh. Waktumu tidak banyak, dan mereka akan segera bertindak."

Saraswati menatapnya dengan sorot mata penuh tekad. "Aku akan pergi," katanya, hampir tanpa ragu. "Aku tidak akan menjadi korban mereka."

Namun, sebelum pria itu bisa menjawab, suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Saraswati membeku, matanya mencari-cari sumber suara itu. Dari balik semak-semak, dua prajurit istana muncul, wajah mereka penuh dengan kewaspadaan.

"Sang Cahaya!" salah satu dari mereka berseru. "Apa yang Anda lakukan di sini?"

Jantung Saraswati berdegup kencang.

Pria di hadapannya berbisik pelan, cukup hanya untuk didengar olehnya. "Jangan biarkan mereka tahu apa yang kau ketahui. Kita akan bertemu lagi."

Sebelum ia bisa menjawab, pria itu berbalik dengan cepat, melangkah mundur ke dalam bayangan, dan menghilang begitu saja ke dalam kegelapan malam. Saraswati masih berdiri di tempatnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila. Prajurit itu melangkah mendekat, tatapan mereka penuh dengan kecurigaan.

"Anda tidak seharusnya berada di luar sendirian, Sang Cahaya," kata salah satu dari mereka. "Permaisuri telah memerintahkan agar Anda tetap berada di dalam kamar Anda untuk keselamatan Anda."

Saraswati menelan kegelisahannya, lalu memasang ekspresi yang tenang. "Aku hanya ingin melihat taman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

Prajurit itu saling bertukar pandang, tetapi akhirnya mengangguk. "Kami akan mengantarkan Anda kembali."

Dengan perasaan yang masih bergejolak, Saraswati melangkah kembali menuju istana, kali ini dengan beban yang lebih berat di dalam dadanya. Ia telah mengetahui kebenaran. Kini, ia harus mencari jalan untuk melarikan diri. Sebelum mereka menutup semua pintu keluar dan memastikan ia tidak pernah melihat dunia luar lagi. Malam itu, setelah kembali ke kamarnya, Saraswati tidak bisa tidur.

Ia duduk di dekat jendela, menatap langit yang dipenuhi bintang, tetapi pikirannya melayang jauh ke dalam ketakutan yang baru saja ia temukan. Jika benar bahwa setiap Sang Cahaya sebelum dirinya telah menghilang, maka sudah jelas bahwa mereka akan segera mencoba melakukan hal yang sama padanya. Tangan Saraswati mengepal erat. Ia tidak akan menunggu sampai mereka memutuskan kapan waktunya. Ia akan melawan. Ia akan bertahan. Dan yang terpenting, ia akan memastikan bahwa ia bukan lagi boneka yang dikendalikan oleh mereka.

Namun, di luar kamar, di balik tembok yang dingin, seorang mata-mata istana berdiri dalam bayangan, mengamati kamar Saraswati dengan tatapan penuh perhitungan. Laporan telah dikirim. Saraswati telah mencurigai sesuatu.

Dan itu berarti, mereka harus segera bertindak sebelum ia melakukan sesuatu yang tidak terduga.

Malam semakin pekat ketika Saraswati kembali ke dalam kamarnya, tetapi pikirannya tetap terjaga, menolak untuk tenggelam dalam kantuk. Napasnya masih terengah setelah pertemuannya di taman air suci. Pikirannya berputar, memproses setiap kata yang telah ia baca dan dengar malam ini. Ia kini tahu bahwa nasibnya telah ditentukan sejak awal, bahwa kehidupannya bukanlah sebuah kehormatan melainkan sebuah pengorbanan yang telah lama direncanakan.

Ia berdiri di dekat jendela, menatap hamparan langit yang dipenuhi bintang, mencari jawaban di antara kelamnya malam. Namun, tidak ada bintang yang bisa memberikan kepastian tentang apa yang harus ia lakukan selanjutnya. Yang ia tahu hanyalah bahwa ia harus bergerak. Jika tidak, ia akan bernasib sama seperti Sang Cahaya sebelum dirinya—menghilang tanpa jejak, terkubur dalam kebohongan istana.

Tangannya masih menggenggam serpihan kertas yang telah ia robek di taman, tetapi kata-kata yang terukir di dalamnya telah melekat dalam benaknya. Jika ia tidak bertindak, maka sebelum purnama ketujuh, ia akan dijadikan korban dalam ritual yang bahkan belum sepenuhnya ia pahami.

Ia mengalihkan pandangannya ke dalam kamar. Selama ini, ruangan ini adalah satu-satunya tempat yang dikenalnya sebagai rumah, tetapi kini yang ia lihat hanyalah penjara yang semakin menyempit. Setiap kain sutra yang tergantung, setiap perabotan berukir emas, dan setiap jendela yang dipagari besi bukanlah lambang kemewahan, melainkan bukti bahwa ia telah hidup di dalam sangkar sepanjang hidupnya.

Ia melangkah menuju peti kayu di sudut ruangan, tempat ia menyimpan gulungan-gulungan kitab suci yang diberikan kepadanya selama bertahun-tahun. Dengan hati-hati, ia membongkar tumpukan kitab, mencari sesuatu yang mungkin bisa membantunya memahami lebih jauh tentang peran Sang Cahaya. Namun, tidak ada satu pun teks yang menyebutkan tentang pengorbanan. Semuanya hanya berisi pujian dan ramalan yang mengagungkan peran Sang Cahaya sebagai pembawa kejayaan bagi kerajaan.

Kemarahan merayapi dirinya. Begitu banyak kebohongan, begitu banyak kata-kata yang dibuat hanya untuk menutup kebenaran yang sesungguhnya. Ia mulai menyadari bahwa hampir semua yang diajarkan kepadanya bukanlah untuk mempersiapkannya menjadi pemimpin, tetapi untuk membuatnya menerima nasibnya tanpa perlawanan.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Ia bergegas menutup kembali petinya, lalu berdiri dengan waspada. Tidak ada seorang pun yang seharusnya datang ke kamarnya pada waktu selarut ini. Tangannya bergerak ke gagang pintu dengan ragu, tetapi sebelum ia sempat membuka, sebuah suara berbisik dari balik kayu yang dingin.

"Sang Cahaya, ini aku."

Saraswati mengenali suara itu seketika. Mirah. Ia membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat wajah Mirah yang pucat diterpa cahaya lentera di lorong. Pelayan itu tampak gelisah, matanya bergerak cepat ke kiri dan kanan sebelum akhirnya masuk ke dalam dengan cepat, lalu menutup pintu di belakangnya.

"Andai ada orang lain yang melihatku datang ke sini, nyawaku pasti melayang," kata Mirah dengan suara bergetar.

Saraswati mengernyit, menyadari bahwa ketakutan di mata pelayan itu lebih dalam dari biasanya. "Apa yang terjadi?"

Mirah menarik napas dalam sebelum berbicara, suaranya lebih pelan dari bisikan angin. "Aku baru saja mendengar pembicaraan antara Kepala Pengawal Istana dan salah satu penasihat kerajaan. Mereka membahas tentang dirimu. Mereka mengatakan bahwa semuanya sudah dipersiapkan."

Saraswati menegang. "Maksudmu... persiapan untuk—"

"Ya," potong Mirah cepat, matanya penuh kecemasan. "Permaisuri telah memerintahkan agar ritual pengorbanan dilakukan lebih awal. Aku tidak tahu kapan tepatnya, tetapi mereka mengatakan bahwa kau akan segera dipindahkan ke tempat yang telah mereka siapkan."

Darah Saraswati mendingin seketika. Jika mereka mempercepat rencana mereka, maka itu berarti ia memiliki lebih sedikit waktu dari yang ia kira.

"Aku harus pergi dari sini," katanya, lebih kepada dirinya sendiri.

Mirah menatapnya dengan ragu, tetapi kemudian ia mengangguk. "Aku bisa membantumu. Tapi kita harus hati-hati. Mereka telah meningkatkan penjagaan di sekitar istana. Tidak akan mudah untuk keluar tanpa mereka mengetahui."

Saraswati menghela napas, pikirannya berpacu mencari cara untuk melarikan diri. Ia tahu bahwa berlari tanpa rencana hanya akan membuatnya tertangkap dalam hitungan jam. Ia harus mencari cara untuk keluar tanpa menimbulkan kecurigaan.

Matanya tertuju pada jendela kamar, dan sebuah gagasan muncul dalam pikirannya. "Gerbang utama pasti dijaga ketat, tetapi bagaimana dengan jalur pelayan?"

Mirah tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Ada jalur yang digunakan para pelayan untuk keluar masuk membawa persediaan. Itu tidak seketat gerbang utama, tetapi masih ada penjaga yang berpatroli di sekitar sana."

"Jika aku bisa menyamar sebagai pelayan, mungkin aku bisa melewati mereka tanpa menarik perhatian," kata Saraswati, suaranya mulai dipenuhi dengan harapan.

Mirah tampak ragu, tetapi akhirnya ia mengangguk. "Aku bisa mencarikan pakaian untukmu. Tapi itu hanya akan membawamu keluar dari istana, bukan keluar dari kota. Mereka pasti akan mencarimu di setiap sudut kerajaan."

Saraswati mengepalkan tangannya. "Aku akan mencari jalan setelah berhasil keluar dari sini. Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi."

Mirah menatapnya dengan ekspresi khawatir, tetapi akhirnya ia menggenggam tangan Saraswati erat. "Baiklah, aku akan membantumu. Tetapi kau harus berjanji padaku bahwa kau akan menemukan cara untuk bertahan."

Saraswati membalas genggaman itu, merasakan untuk pertama kalinya bahwa ia tidak benar-benar sendirian dalam pertarungan ini. "Aku berjanji," katanya dengan penuh keyakinan.

Mirah mengangguk sebelum bergegas ke pintu. "Aku akan kembali sebelum pergantian penjaga pertama. Bersiaplah."

Saraswati mengangguk dan menatap Mirah hingga ia menghilang di balik lorong. Kini, ia hanya memiliki beberapa jam untuk menyiapkan segalanya. Ia tidak tahu apa yang menantinya di luar sana, tetapi satu hal yang pasti—ia lebih memilih menghadapi ketidakpastian daripada tetap di dalam istana yang hanya menunggu untuk mengorbankannya. Ia tidak akan menjadi Sang Cahaya yang padam dalam kegelapan. Ia akan menjadi api yang membakar kebohongan yang telah lama mengurungnya. Ketika fajar mulai menyingsing, Saraswati telah bersiap.

Di balik pintu, Mirah muncul kembali, membawa sehelai kain lusuh milik para pelayan istana. Ia menyerahkannya kepada Saraswati dengan tatapan penuh harapan, lalu membantu menyembunyikan rambut panjangnya di bawah tudung agar tidak dikenali.

"Jangan menoleh ke belakang," bisik Mirah sebelum mereka beranjak dari kamar.

Dengan napas tertahan, Saraswati mengikuti langkah Mirah, melangkah ke arah yang akan menentukan nasibnya. Di luar sana, di balik gerbang batu yang menjulang tinggi, dunia yang belum pernah ia lihat menunggunya. Dan ia bertekad untuk tidak pernah kembali.

Fajar masih jauh dari cakrawala, namun Saraswati tidak memiliki kemewahan waktu untuk menunggu lebih lama. Cahaya lentera di sudut kamar berkelip samar, menciptakan bayangan bergerak di dinding batu yang dingin. Ia berdiri di depan cermin kecil, mengamati pantulannya yang kini tak lagi mencerminkan Sang Cahaya yang dipuja rakyat, melainkan seorang gadis yang telah memahami bahwa dirinya hanyalah alat dalam permainan istana.

Mirah telah kembali dengan pakaian pelayan yang lebih lusuh dari yang ia bayangkan. Kainnya kasar, berbau debu dan rempah yang telah bercampur dalam kainnya selama bertahun-tahun. Pelayan setia itu dengan cepat membantu Saraswati mengenakan pakaian baru, menutupi rambut panjangnya dengan tudung yang biasa digunakan oleh pekerja dapur. Tidak ada satu pun dari kemewahan yang biasa melekat padanya kini tersisa, dan itu membuatnya merasakan sesuatu yang aneh—seolah-olah ia tengah menghapus identitas yang telah dipaksakan kepadanya sejak lahir.

“Kita harus bergerak sekarang,” bisik Mirah, suaranya nyaris tak terdengar. “Pergantian penjaga akan dimulai sebentar lagi. Jika kita terlambat, mereka akan menyadari bahwa kau tidak ada di kamar.”

Saraswati mengangguk, mencoba menekan detak jantungnya yang berpacu lebih cepat dari biasanya. Ia menarik napas panjang, membiarkan oksigen memenuhi paru-parunya sebelum melangkah keluar dari kamarnya untuk terakhir kalinya.

Lorong istana begitu sunyi. Saraswati berjalan dengan kepala tertunduk, mengikuti langkah Mirah yang bergerak dengan tenang namun pasti. Setiap sudut istana yang dilewatinya terasa berbeda dari sebelumnya. Tempat yang selama ini menjadi dunianya kini berubah menjadi labirin jebakan yang bisa menelannya kapan saja. Mereka melewati pelayan lain yang sedang membawa tumpukan kain dari ruang penyimpanan, tetapi tidak ada seorang pun yang mencurigai keberadaan Saraswati. Ia menyadari bahwa selama bertahun-tahun, para pelayan hanya memandangnya dari jauh, tidak pernah benar-benar mengenalnya secara dekat.

Mereka akhirnya sampai di lorong belakang yang mengarah ke dapur utama. Dari sana, ada sebuah pintu kecil yang digunakan para pelayan untuk membuang sisa makanan ke luar istana. Itu adalah satu-satunya jalur yang bisa ia gunakan untuk melarikan diri tanpa menarik perhatian. Namun, sebelum mereka bisa mencapai pintu itu, langkah mereka terhenti ketika suara berat memecah kesunyian.

“Kalian! Berhenti di situ!”

Saraswati merasakan tubuhnya membeku. Dari arah lain lorong, seorang prajurit berjalan mendekati mereka, matanya mengamati mereka dengan penuh selidik. Mirah berdiri tegak di sampingnya, tidak menunjukkan tanda-tanda panik, meskipun Saraswati bisa merasakan ketegangan yang memancar darinya.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya prajurit itu dengan nada curiga.

Mirah membungkuk hormat, suaranya terdengar tenang tetapi penuh kewaspadaan. “Kami diperintahkan untuk membuang sisa kain dari ruang penyimpanan, Tuan. Pagi ini ada banyak yang harus dibersihkan sebelum upacara besar nanti.”

Prajurit itu menyipitkan matanya, lalu mengalihkan tatapannya pada Saraswati. “Kenapa dia memakai tudung? Aku tidak pernah melihatmu di dapur sebelumnya.”

Saraswati tahu bahwa inilah saatnya ia berbicara. Jika ia ragu atau menunjukkan sedikit saja ketakutan, maka semuanya akan berakhir sebelum sempat dimulai.

“Aku baru direkrut kemarin,” jawabnya dengan suara yang ia usahakan agar terdengar lelah. “Aku dari desa di luar tembok istana. Aku tidak tahu banyak tentang aturan di sini.”

Prajurit itu masih menatapnya dengan penuh keraguan. Saraswati merasakan ketegangan semakin menumpuk, tetapi ia menolak untuk menunjukkan kelemahan.

Akhirnya, pria itu mendengus. “Pastikan kau bekerja dengan benar,” katanya dingin. “Dan jangan membuat masalah.”

Tanpa menunggu lebih lama, ia berbalik dan berjalan menjauh, membiarkan mereka melanjutkan perjalanan. Saraswati hanya bisa menarik napas lega begitu pria itu benar-benar menghilang di balik bayangan.

Mirah menggenggam tangannya erat, lalu berbisik, “Ayo, kita harus cepat.”

Ketika mereka akhirnya mencapai pintu belakang, Saraswati menahan napasnya sebelum Mirah dengan hati-hati menarik palang kayu yang mengunci pintu. Udara malam langsung menyambut mereka begitu pintu terbuka, membawa aroma tanah basah dan bunga-bunga liar yang tumbuh di luar tembok istana.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Saraswati merasakan dunia luar yang begitu dekat di hadapannya. Ia hanya tinggal melangkah keluar, dan ia akan bebas. Namun, saat ia hendak bergerak, Mirah tiba-tiba menahannya.

“Kau tidak bisa pergi begitu saja,” katanya dengan suara yang bergetar. “Begitu mereka menyadari kau hilang, mereka akan mencari ke mana-mana. Jika kau ingin bertahan, kau harus memiliki tujuan.”

Saraswati menggigit bibirnya. Mirah benar. Melarikan diri dari istana bukanlah akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar.

“Tahukah kau ke mana aku harus pergi?” tanyanya akhirnya.

Mirah tampak berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ada seseorang yang bisa membantumu. Dia adalah orang yang pernah bekerja untuk istana bertahun-tahun lalu, tetapi sekarang hidup dalam pengasingan. Jika kau bisa menemukannya, mungkin dia bisa memberikan jawaban yang kau butuhkan.”

Saraswati menatap Mirah dengan penuh rasa terima kasih.

“Aku akan menemukannya,” katanya. “Dan aku akan kembali suatu hari nanti.”

Mirah tersenyum kecil, meskipun matanya masih dipenuhi kekhawatiran. “Berhati-hatilah.”

Saraswati mengangguk, lalu melangkah keluar dari istana. Udara dingin menyelimuti tubuhnya saat ia mulai berlari, menjauh dari kehidupan yang selama ini telah mengurungnya. Di dalam istana, alarm mulai berbunyi. Penjaga-penjaga bergegas ke lorong-lorong, wajah mereka dipenuhi kepanikan.

Di ruang singgasana, Permaisuri Mahadewi berdiri di depan jendela besar, menatap langit yang mulai berpendar dengan cahaya fajar. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan marah di matanya.

Seorang penasihat berlutut di belakangnya. “Sang Cahaya telah menghilang.”

Permaisuri menghela napas panjang, seolah-olah ia telah menduga ini akan terjadi. “Kirim semua prajurit ke luar tembok istana. Temukan dia sebelum dia pergi terlalu jauh.”

Penasihat itu mengangguk dan segera pergi, meninggalkan permaisuri dalam keheningan. Ia menatap ke arah cakrawala, lalu berbisik pelan, suaranya seperti ancaman yang tertahan.

“Kau boleh lari, Saraswati,” katanya. “Tapi kau tidak akan bisa bersembunyi selamanya.”

Di luar tembok istana, Saraswati terus berlari, tanpa mengetahui bahwa para pemburunya telah dilepaskan. Dan bahwa pertarungan sejatinya baru saja dimulai. Saraswati terus berlari melintasi jalanan sempit yang belum pernah ia tapaki sebelumnya. Kegelapan masih menyelimuti kota di luar istana, hanya diterangi oleh obor-obor yang bergantung di sudut-sudut bangunan tua. Nafasnya memburu, jantungnya berpacu dengan ritme yang tak beraturan.

Ia tidak tahu pasti ke mana harus pergi, tetapi langkahnya terus membawanya menjauh dari istana, dari kehidupan yang telah menjeratnya, dan dari takdir yang ingin mereka paksakan kepadanya. Setiap lorong yang ia lewati terasa begitu asing, penuh dengan bayangan yang bergerak seiring hembusan angin malam.

Di kejauhan, suara genderang peringatan mulai dipukul, pertanda bahwa istana telah menyadari kehilangannya. Ia menelan ludah, menyadari bahwa waktunya semakin sempit. Mereka akan mengerahkan seluruh prajurit untuk menangkapnya, dan jika ia tertangkap, tidak akan ada lagi kesempatan kedua.

Langkahnya membawanya ke pasar kota yang masih sepi, hanya beberapa pedagang yang mulai mengatur dagangan mereka sebelum fajar tiba. Ia mempercepat langkahnya, mencoba bercampur di antara bayang-bayang kios yang belum sepenuhnya dibuka. Namun, di sudut jalan, ia mendengar sesuatu yang membuat darahnya berdesir.

"Dia tidak akan pergi jauh. Sebarkan orang-orang kita ke setiap pintu keluar kota."

Saraswati menekan tubuhnya ke balik sebuah kios tua, napasnya tertahan. Suara itu milik salah satu kapten pengawal istana, seseorang yang pernah ia lihat berdiri di dekat singgasana permaisuri. Jika mereka sudah sampai sejauh ini, itu berarti perintah telah diberikan.

Ia harus segera keluar dari kota sebelum jalan-jalan mulai dijaga lebih ketat.

Matanya menyapu sekeliling, mencari jalan keluar. Di sisi timur pasar, ia melihat sebuah jalan kecil yang menuju ke luar kota, jalan yang tampak lebih sunyi dibandingkan jalur utama yang kemungkinan besar sudah dikuasai oleh prajurit istana. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah cepat, menjaga gerakannya tetap ringan agar tidak menarik perhatian. Namun, sebelum ia bisa mencapai jalan keluar, sebuah tangan tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya. Saraswati tersentak, tubuhnya menegang seketika. Ia menoleh, bersiap melawan, tetapi yang ia temukan adalah sepasang mata tajam milik seorang pria tua dengan janggut putih yang tampak mengenali dirinya.

"Jangan bergerak," bisik pria itu dengan nada rendah, tetapi tegas.

Saraswati menatapnya dengan waspada, mencoba menilai apakah pria ini teman atau musuh. Namun, sebelum ia bisa mengatakan apa pun, pria itu menariknya ke dalam sebuah gang sempit yang tersembunyi di balik tumpukan karung gandum.

"Apa yang kau lakukan? Aku harus keluar dari kota ini," bisik Saraswati dengan nada mendesak.

Pria itu menatapnya tajam, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Saraswati merasa bahwa ia tidak berniat mencelakainya. "Jika kau keluar sekarang, kau akan tertangkap dalam hitungan menit," katanya pelan. "Mereka sudah menutup semua gerbang utama. Kau butuh jalan lain."

Saraswati menelan kegelisahannya, mengetahui bahwa pria ini mungkin benar. Ia mengawasi sekeliling, memastikan tidak ada yang melihat mereka. "Siapa kau?" tanyanya akhirnya.

Pria itu tersenyum samar, tetapi tidak menjawab langsung. "Seseorang yang tidak ingin melihat Sang Cahaya padam sebelum waktunya," katanya sebelum berbalik dan berjalan ke ujung gang. "Ikuti aku. Aku tahu jalan keluar yang tidak dijaga."

Saraswati menatap punggung pria itu dengan penuh keraguan, tetapi ia tahu bahwa ia tidak punya banyak pilihan. Ia bisa tetap di sini dan akhirnya tertangkap, atau ia bisa mengikuti pria ini dan mengambil risiko. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia akhirnya melangkah maju. Pria itu membawanya ke dalam sebuah rumah tua di pinggiran pasar, bangunan yang tampaknya telah lama ditinggalkan. Di dalamnya, hanya ada beberapa perabot usang dan rak kayu yang dipenuhi dengan gulungan kertas tua yang berdebu. Cahaya lilin kecil di sudut ruangan menjadi satu-satunya sumber penerangan, menciptakan suasana yang suram dan penuh rahasia.

Saraswati berdiri di tengah ruangan, masih menahan waspada. "Ke mana kau akan membawaku?" tanyanya, suaranya sedikit lebih keras daripada yang ia maksudkan.

Pria itu menutup pintu dengan hati-hati, lalu berbalik menghadapnya. "Ada terowongan tua di bawah rumah ini," katanya. "Dulu, ini digunakan oleh orang-orang istana yang ingin melarikan diri dari kota tanpa diketahui."

Saraswati mengerutkan kening. "Mengapa kau membantuku?"

Pria itu menghela napas sebelum menjawab. "Karena aku pernah melihat bagaimana istana memperlakukan mereka yang dianggap sebagai 'Sang Cahaya' sebelumnya," katanya dengan nada berat. "Dan aku tidak akan membiarkan mereka melakukannya lagi."

Jantung Saraswati berdetak lebih cepat. Ini berarti pria ini tahu lebih banyak daripada yang ia duga.

"Kau tahu tentang mereka yang datang sebelumku?" tanyanya, suaranya lebih rendah, hampir seperti bisikan.

Pria itu menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk. "Aku tahu. Dan aku juga tahu bagaimana mereka menghilang, satu per satu."

Saraswati mengepalkan tangannya, amarah dan ketakutan bercampur dalam dirinya. "Aku tidak akan berakhir seperti mereka."

Pria itu menatapnya dengan penuh kesungguhan. "Kalau begitu, kau harus bertindak lebih cepat dari mereka yang mengejarmu."

Ia berjalan ke sudut ruangan dan menarik papan kayu yang tersembunyi di bawah rak buku. Sebuah lorong gelap terbuka di hadapan mereka, udara di dalamnya terasa lembap dan dingin.

"Ini akan membawamu keluar dari kota," kata pria itu. "Jangan berhenti. Jangan menoleh ke belakang. Begitu kau sampai di luar, cari seseorang bernama Ki Jaya di Desa Rimba. Dia bisa membantumu."

Saraswati mengangguk. Ia tidak tahu apakah ia bisa mempercayai kata-kata pria ini, tetapi ia tahu bahwa satu-satunya cara untuk bertahan adalah dengan bergerak. Ia melangkah mendekati lorong, menatap kegelapan yang menunggunya.

Sebelum ia masuk, pria itu berbicara sekali lagi. "Ingat, istana tidak akan berhenti mencarimu. Kau bukan hanya seorang gadis yang kabur—kau adalah ancaman bagi mereka."

Saraswati menatap pria itu untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam lorong. Papan kayu kembali ditutup, mengunci kepergiannya dari dunia yang selama ini mengurungnya. Di luar sana, istana masih dalam kekacauan, para prajurit menyebar ke segala penjuru untuk mencari jejaknya. Tetapi kini, ia telah lolos dari jangkauan mereka. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia benar-benar bebas. Namun, di balik kebebasan itu, bahaya yang lebih besar telah menunggunya.

Di ruang pertemuan istana, Permaisuri Mahadewi duduk dalam diam, tatapannya tajam menatap peta kerajaan yang terbuka di hadapannya. Para penasihat dan kepala pengawal berdiri di sekelilingnya, menunggu perintahnya.

"Apa yang sudah kita ketahui?" tanya permaisuri, suaranya dingin dan terkontrol.

Salah satu penasihat maju dengan ekspresi tegang. "Kami kehilangan jejaknya di pasar. Sepertinya dia mendapat bantuan dari seseorang yang mengetahui jalan-jalan tersembunyi."

Permaisuri menyipitkan matanya. "Temukan dia," katanya, suaranya seperti belati yang menusuk. "Gunakan segala cara yang diperlukan. Jika dia lolos, maka seluruh kerajaan ini dalam bahaya."

Di luar istana, Saraswati berlari menuju takdir yang belum ia pahami sepenuhnya. Dan di belakangnya, bayangan istana terus mengejarnya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Darah dan Takdir   Epilog

    Langit Tirta Mandala merona merah keemasan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin lembut berembus melalui menara-menara istana, membawa aroma dupa dan bunga yang masih tersisa dari upacara syukuran yang diadakan siang tadi. Di bawah cahaya yang semakin temaram, ibu kota mulai berdenyut dengan kehidupan barunya—pedagang menutup kios-kios mereka, prajurit berpatroli di jalan-jalan utama, dan rakyat berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa harapan akan masa depan yang lebih baik.Namun, di dalam dinding batu yang megah, seorang ratu duduk sendirian di ruang pribadinya, merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang masih harus ia hadapi.Saraswati menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke kota, kedua tangannya bertumpu di tepian kayu yang diukir dengan motif naga air, lambang kebesaran keluarganya. Rambut hitamnya tergerai, tidak lagi disanggul seperti saat upacara resmi. Ia telah menjalani berbagai pertempuran, baik di medan perang maupun di dalam istana, tetapi h

  • Darah dan Takdir   Bab 20: Awal Baru

    Fajar menyingsing di atas ibu kota Tirta Mandala, menghamparkan cahaya keemasan yang perlahan merayap melewati menara-menara istana yang megah. Udara masih dipenuhi sisa-sisa aroma dupa dan bunga dari upacara malam sebelumnya, menandai awal dari era baru bagi kerajaan yang telah melalui begitu banyak pertumpahan darah. Di alun-alun utama, ribuan rakyat berkumpul, memenuhi setiap sudut untuk menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.Di tengah kerumunan yang luas, Saraswati berdiri di atas panggung batu yang dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, prajurit, dan rakyat yang menunggu dengan harapan bercampur kewaspadaan. Jubah kebesarannya menjuntai megah, tenunannya berwarna biru laut dengan sulaman emas yang melambangkan kejayaan Tirta Mandala. Sebuah mahkota perak, yang lebih sederhana dari yang dikenakan raja-raja sebelumnya, bertengger di kepalanya. Ia memilihnya dengan sengaja—bukan sebagai simbol kekuasaan mutlak, tetapi sebagai tanda bahwa kepemimpinannya bukan tent

  • Darah dan Takdir   Bab 19: Raka dan Sari

    Langit senja membentang di atas perkemahan mereka, menyapu cakrawala dengan warna merah keemasan yang perlahan memudar ke dalam kegelapan malam. Di kejauhan, suara angin menerpa dedaunan hutan, berbisik di antara pepohonan seolah membawa pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hatinya gelisah.Saraswati berdiri di tepi perkemahan, matanya menatap ke arah lembah yang terbentang di hadapannya. Mereka telah berkemah di sana selama dua malam sejak meninggalkan ibu kota, mengikuti jejak Adhiraj yang semakin sulit dilacak. Meskipun ia yakin mereka berada di jalur yang benar, ada sesuatu yang lebih berat yang menghimpit dadanya—sesuatu yang bukan berasal dari peperangan atau takhta, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam.Langkah kaki yang ia kenali dengan mudah terdengar di belakangnya. Raka mendekat, membiarkan kehadirannya terasa sebelum akhirnya berdiri di sampingnya. Lelaki itu telah bersamanya sejak awal, sejak ia masih terkurung di dalam istana, dan kini mereka berdiri di t

  • Darah dan Takdir   Bab 18: Pilihan yang Sulit

    Dingin fajar menyelimuti ibu kota Tirta Mandala ketika kabut sisa peperangan mulai perlahan menghilang. Bangunan-bangunan yang hancur menjadi saksi bisu dari pertempuran besar yang baru saja berakhir. Di alun-alun utama, rakyat berkumpul dalam diam, menanti kepastian tentang masa depan yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan air mata.Saraswati berdiri di puncak tangga istana, mengenakan pakaian perang yang masih ternoda debu dan darah. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap tajam. Hari ini bukan tentang kemenangan, melainkan tentang keputusan yang akan mengubah jalan sejarah.Di hadapannya, Raja duduk di singgasana yang tidak lagi miliknya. Tangannya terikat di belakang kursi yang pernah menjadi simbol absolut kekuasaan. Meskipun dikalahkan, sorot matanya tetap tajam, seolah ia masih memiliki kendali atas apa yang terjadi. Di sampingnya, Adhiraj berdiri dalam diam, wajahnya penuh luka dan kebencian, tetapi tanpa perlawanan.Saraswati menatap ayahnya lama, merasakan begitu ban

  • Darah dan Takdir   Bab 17: Perang Besar

    Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita tidak bisa bertahan lebih lama,” kata Raka, suaranya penuh ketegangan. “Pasukan kerajaan masih lebih kuat. Jika bala bantuan tidak datang, kita akan terkepung.”Saraswati mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya. “

  • Darah dan Takdir   Bab 16: Konfrontasi dengan Sang Raja

    Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan gagang pedangnya, siap menghadapi kemungkinan terburuk. “Mereka sudah tahu kita akan datang,” katanya lirih, suara beratnya

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status