Malam turun perlahan di atas Istana Airlangga, membiaskan kilau perak dari cahaya bulan yang mengambang di langit. Angin berhembus lirih, membawa aroma dedaunan basah dan tanah yang mendingin setelah diterpa matahari sepanjang hari. Di taman belakang istana, gemericik air mancur kecil bercampur dengan nyanyian serangga malam, menciptakan suasana yang menenangkan tetapi juga sarat dengan ketegangan yang tak terlihat.
Di bawah bayang-bayang pohon beringin tua, Saraswati duduk di atas bangku batu, tangannya menggenggam erat selendangnya seakan ingin menahan sesuatu yang tidak bisa ia lepaskan. Di hadapannya, Raka berdiri dengan ekspresi yang sulit ditebak. Sejak pertemuan mereka di malam sebelumnya, ia telah melihat perubahan dalam cara pria itu memandangnya. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, sesuatu yang belum ia ucapkan tetapi begitu jelas terasa dalam caranya mengamati Saraswati.
Keheningan menggantung di antara mereka, terlalu lama hingga akhirnya Raka berbicara, suaranya rendah dan terkendali. "Ada satu pertanyaan yang terus menghantuiku sejak aku tiba di istana ini."
Saraswati menoleh, matanya menangkap kilatan penasaran di wajah pengawalnya. "Apa itu?"
Raka menarik napas dalam sebelum menjawab, "Mengapa kau harus hidup terkurung?"
Pertanyaan itu menghantam Saraswati lebih keras daripada yang ia duga. Ia telah mendengar pertanyaan serupa dalam pikirannya sendiri selama bertahun-tahun, tetapi mendengarnya diucapkan dengan lantang oleh orang lain membuatnya semakin nyata, semakin tak terhindarkan.
Ia mengalihkan pandangannya, menatap air mancur yang berkilauan di bawah cahaya obor. "Karena itulah takdirku," katanya pelan. "Aku adalah Sang Cahaya, yang dijaga agar tetap murni sampai tiba waktunya untuk memenuhi ramalan."
Raka tidak langsung merespons. Ia menatapnya dengan intensitas yang tak biasa, seolah sedang mencoba menembus lapisan kebohongan yang telah dibangun di sekelilingnya sejak kecil. "Kau percaya itu?"
Saraswati membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaan yang selama ini berkecamuk dalam dirinya—keraguan yang terus tumbuh, pertanyaan yang tak pernah terjawab, dan ketakutan yang perlahan berubah menjadi kemarahan.
Akhirnya, ia berkata dengan suara yang lebih lirih, "Aku tidak tahu lagi apa yang harus kupercayai."
Raka menghela napas, lalu melangkah mendekat, menurunkan suaranya seakan takut bahwa kata-katanya bisa membakar tembok istana. "Aku sudah melihat dunia luar, Saraswati. Aku sudah bertarung di perbatasan, melihat rakyat yang kau tak pernah temui, mendengar bisikan mereka tentang istana ini."
Saraswati menegang. "Apa maksudmu?"
Raka menatapnya, matanya gelap oleh sesuatu yang lebih dari sekadar pengalaman perang. "Mereka tidak melihat istana ini sebagai rumah cahaya. Mereka melihatnya sebagai penjara yang dibangun di atas kebohongan. Para petinggi di dalam tembok ini hidup dalam kemewahan, tetapi rakyat—mereka kelaparan, Saraswati. Mereka ditindas oleh pajak yang semakin berat, sementara di dalam sini, para bangsawan tidak pernah merasakan derita itu."
Saraswati merasakan perutnya mencengkeram. Seumur hidupnya, ia selalu mendengar bahwa ia adalah simbol harapan bagi kerajaan, bahwa rakyat melihatnya sebagai anugerah dari para dewa. Tetapi jika yang dikatakan Raka benar, maka semuanya telah diputarbalikkan.
"Mereka berkata bahwa aku adalah harapan mereka," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Raka.
Raka mendekat selangkah lagi, suaranya tegas tetapi tidak menghakimi. "Mungkin dulu mereka percaya itu. Tapi bagaimana mungkin mereka masih bisa berharap kepada seseorang yang bahkan tidak pernah mereka lihat? Seseorang yang hidup di balik dinding tinggi tanpa pernah merasakan penderitaan mereka?"
Saraswati menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dadanya. Ini bukan pertama kalinya ia bertanya-tanya mengapa ia tidak pernah diizinkan melihat rakyatnya sendiri. Mengapa ia tidak pernah diizinkan keluar dari istana, bahkan untuk sekadar mengunjungi desa-desa di sekitar ibu kota.
"Dan itu bukan satu-satunya masalah," lanjut Raka, suaranya semakin serius. "Di luar sana, ada bahaya yang semakin mendekat ke perbatasan kita. Aku tidak tahu apakah mereka menyembunyikan ini darimu, tetapi selama bertahun-tahun, kerajaan-kerajaan tetangga telah mengawasi kita. Mereka melihat kelemahan di dalam istana ini, dan mereka hanya menunggu saat yang tepat untuk menyerang."
Saraswati merasakan darahnya mengalir lebih cepat. "Kau yakin?"
Raka mengangguk, matanya tak meninggalkan tatapan Saraswati. "Aku tidak akan mengatakan ini jika aku tidak yakin. Saat aku masih berada di perbatasan, aku melihat sendiri bagaimana para mata-mata dari kerajaan lain bergerak lebih berani. Mereka bukan hanya mengamati, mereka merencanakan sesuatu. Dan aku curiga bahwa orang-orang di dalam istana ini lebih peduli menjaga rahasia mereka daripada melindungi rakyatnya dari ancaman luar."
Saraswati merasa seakan seluruh dunianya bergeser sedikit demi sedikit. Ia telah menghabiskan hidupnya dalam kebohongan, dan kini, kebohongan itu mulai runtuh satu per satu. Jika Raka benar, maka bukan hanya dirinya yang dalam bahaya—tetapi seluruh kerajaan ini.
Ia menatap pria itu dengan sorot mata yang tak lagi dipenuhi kebimbangan. "Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
Raka mengamati wajahnya, lalu akhirnya berkata dengan nada yang lebih lembut tetapi penuh makna. "Kita harus mencari kebenaran. Kita harus menemukan jalan keluar dari istana ini dan melihat dengan mata kepala kita sendiri apa yang sebenarnya terjadi di luar sana."
Saraswati menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa keputusan ini bukanlah sesuatu yang bisa diambil dengan mudah. Jika mereka ketahuan, ia tidak hanya akan kehilangan kebebasannya, tetapi mungkin juga nyawanya. Tetapi di saat yang sama, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus berada dalam ketidaktahuan.
"Aku tidak akan lari seperti pengecut," katanya akhirnya, suaranya stabil. "Jika aku memang pewaris kerajaan ini, maka aku harus tahu kebenaran tentang rakyatku."
Raka tersenyum kecil, sebuah senyum yang mengandung sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar persetujuan. "Kalau begitu, kita harus mulai bergerak lebih cepat. Karena aku yakin, mereka tidak akan membiarkan kita memiliki cukup waktu."
Di kejauhan, di dalam istana yang megah, seorang pria tua dengan jubah emas duduk di dalam ruang pertemuan yang sunyi. Di depannya, seorang penasihat kerajaan membungkuk rendah, suaranya berbisik penuh kehati-hatian.
"Kita memiliki masalah," kata sang penasihat. "Saraswati mulai mempertanyakan segalanya."
Pria tua itu mengangkat tatapannya, mata tajamnya menyipit. "Dan siapa yang membiarkan itu terjadi?"
Penasihat itu menelan ludah sebelum menjawab, "Pengawal barunya. Raka Mahardika."
Suasana di dalam ruangan menjadi lebih dingin seketika. Pria tua itu menghela napas panjang, jemarinya mengetuk-ngetuk lengan kursinya dengan lambat.
"Jika begitu," katanya dengan suara yang nyaris tanpa emosi, "maka sudah waktunya kita menyingkirkan pengaruh buruk darinya... sebelum semuanya terlambat."
Di luar sana, malam semakin larut, tetapi bahaya yang mengintai Saraswati dan Raka baru saja dimulai.
Langit malam masih dipenuhi kilauan bintang saat Saraswati melangkah kembali ke dalam istana, pikirannya masih terombang-ambing dalam arus kebenaran yang baru saja ia dengar dari Raka. Kata-kata prajurit itu terpatri dalam benaknya, membentuk pusaran pertanyaan yang semakin sulit untuk diabaikan. Dunia luar tidak seperti yang selama ini dikisahkan kepadanya. Rakyat tidak hidup dalam kesejahteraan seperti yang selalu dinyanyikan dalam syair-syair istana. Ada bahaya yang mengintai dari luar perbatasan, tetapi lebih dari itu, ada bahaya yang lebih dekat—bahaya yang lahir dari dalam istana itu sendiri.
Saat ia memasuki koridor panjang menuju kamarnya, Saraswati memperhatikan bahwa istana tampak lebih sunyi dari biasanya. Biasanya, akan ada pelayan yang berlalu-lalang, atau pengawal yang berdiri di setiap persimpangan lorong. Malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Langkah kakinya menggema di antara dinding batu, dan udara terasa lebih dingin, seolah ada sesuatu yang bersembunyi dalam bayangan.
Ketika ia tiba di depan pintunya, tangannya sudah terangkat untuk membuka pegangan kayu berukir itu. Namun, ia tiba-tiba berhenti. Ada sesuatu yang tidak beres.
Ia menajamkan pendengarannya. Suara nafas tertahan. Sebuah keberadaan yang disembunyikan.
Saraswati berbalik dengan cepat, matanya menyapu koridor yang sunyi. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian.
“Siapa di sana?” suaranya terdengar lebih tajam dari yang ia duga, nada ketegangan merayapi setiap kata.
Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Lalu, dari bayangan di ujung lorong, seseorang akhirnya melangkah keluar.
Seorang pria tinggi dengan jubah panjang berwarna hitam keemasan berdiri di bawah cahaya obor yang berkelip. Wajahnya tetap tersembunyi dalam bayangan, tetapi begitu ia melangkah lebih dekat, Saraswati mengenali sosok itu.
Penasihat istana.
Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu pria ini—salah satu penasihat kepercayaan permaisuri, seseorang yang jarang terlihat di luar ruangan pertemuan rahasia. Namun, mengapa ia berada di sini?
"Pulang terlambat malam ini, Sang Cahaya," suara pria itu tenang, tetapi ada sesuatu dalam nadanya yang terasa seperti belati yang diselipkan di balik selendang sutra.
Saraswati menegakkan punggungnya, berusaha tidak menunjukkan ketakutan yang mulai menjalar di dadanya. "Apakah ada sesuatu yang ingin Anda bicarakan, Tuan Penasihat?"
Pria itu menatapnya dengan mata yang tajam, seakan sedang menimbang setiap gerakannya. "Hanya memastikan bahwa Anda baik-baik saja. Saya mendengar bahwa Anda semakin sering menghabiskan waktu di taman belakang istana... berbicara dengan pengawal pribadi Anda."
Napas Saraswati tertahan. Ia tahu bahwa ini bukan sekadar percakapan santai. Ini adalah peringatan.
"Kau tahu, Putri," pria itu melanjutkan, suaranya tetap lembut, tetapi semakin menusuk, "beberapa percakapan lebih baik tidak diucapkan di tempat terbuka. Ada hal-hal yang sebaiknya tidak dipertanyakan, demi kesejahteraan kerajaan ini… dan diri Anda sendiri."
Saraswati mengepalkan tangannya di balik lipatan jubahnya, mencoba menahan ketegangan yang melingkupinya. "Jika saya tidak boleh mempertanyakan sesuatu, lalu bagaimana saya bisa memahami dunia yang akan saya pimpin?"
Penasihat itu tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya. "Dunia tidak selalu membutuhkan pemahaman dari seorang pemimpin, tetapi ketaatan. Ingat itu, Sang Cahaya. Orang-orang di dalam istana ini telah lama menjaga Anda, melindungi Anda dari segala sesuatu yang tidak perlu Anda ketahui. Jangan biarkan pikiran Anda teralihkan oleh seseorang yang mungkin tidak memiliki kepentingan yang sama dengan kita."
Saraswati tahu apa maksudnya. Ini adalah ancaman terselubung, bukan hanya terhadap dirinya, tetapi juga terhadap Raka.
Ia menatap pria itu, berusaha membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajahnya yang dingin. Lalu, dengan suara yang lebih stabil dari yang ia kira, ia menjawab, "Saya memahami maksud Anda. Saya akan lebih berhati-hati."
Penasihat itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Bagus," katanya. "Karena dalam waktu dekat, akan ada keputusan besar yang menyangkut masa depan Anda. Kami tidak ingin ada gangguan, bukan?"
Saraswati merasakan udara di sekitarnya semakin berat. Ia tahu bahwa yang dimaksud pria itu bukan sekadar peringatan. Ini adalah pemberitahuan bahwa sesuatu akan terjadi, dan ia harus bersiap.
Tanpa menunggu jawaban, pria itu membungkuk dengan sopan, lalu berbalik dan berjalan kembali ke dalam bayangan, menghilang seperti hantu yang datang hanya untuk meninggalkan ketakutan.
Saraswati tetap berdiri di tempatnya untuk beberapa saat, membiarkan kata-kata itu terpatri dalam pikirannya.
Sesuatu sedang terjadi di dalam istana ini.
Dan mereka mengawasinya lebih dekat dari yang ia duga.
Keesokan paginya, ketika Saraswati bangun dan keluar dari kamarnya, sesuatu yang tidak biasa telah terjadi.
Di luar pintunya, dua prajurit tambahan kini berjaga, wajah mereka tanpa ekspresi, tetapi posisi mereka jelas menunjukkan bahwa mereka tidak hanya sekadar penjaga biasa.
Saat ia melangkah melewati lorong menuju taman, ia melihat lebih banyak prajurit yang ditempatkan di titik-titik strategis. Setiap sudut istana tampaknya dijaga lebih ketat daripada sebelumnya, seakan mereka sedang bersiap untuk sesuatu.
Dan ketika ia tiba di taman, Raka sudah menunggunya di tempat biasa. Namun, kali ini, ia tidak sendirian.
Di belakangnya, dua prajurit lain berdiri, memperhatikannya dengan tajam.
Saraswati bertemu tatapan Raka, dan dalam sekejap, ia mengerti apa yang sedang terjadi.
Mereka tidak lagi hanya mengawasi dirinya.
Kini, mereka juga mengawasi Raka.
Angin pagi bertiup melewati taman, tetapi Saraswati merasa udara semakin menyesakkan.
Ia telah melangkah terlalu jauh.
Dan istana kini mulai menutup jeratnya.
Hari itu terasa lebih panjang daripada biasanya. Langit masih biru terang tanpa awan, tetapi di dalam istana, suasana semakin suram. Saraswati berjalan perlahan di sepanjang lorong menuju taman, merasakan tatapan tajam para penjaga yang kini berlipat ganda jumlahnya. Setiap langkahnya terasa diawasi, setiap gerakannya seakan dinilai. Ia tahu, sejak percakapannya dengan penasihat semalam, kebebasannya semakin terkikis.
Ketika ia akhirnya sampai di taman belakang, Raka sudah berdiri di bawah pohon beringin besar, kedua lengannya bersedekap di depan dada, matanya penuh kewaspadaan. Namun, kali ini, mereka tidak sendirian. Dua prajurit berdiri tidak jauh dari mereka, berpura-pura berjaga tetapi jelas sedang memantau setiap gerakan.
Saraswati melangkah mendekat, berusaha terlihat biasa seolah-olah tidak ada yang salah. "Mereka mulai mengawasi kita," bisiknya begitu ia cukup dekat dengan Raka.
Raka tetap menatap ke kejauhan, suaranya terdengar datar tetapi sarat dengan ketegangan yang ia sembunyikan. "Aku tahu. Mereka menempatkan penjaga tambahan di luar kamarmu, dan sekarang mereka mengawasi setiap orang yang berbicara denganmu, termasuk aku."
Saraswati menarik napas dalam-dalam. "Aku sudah menduga ini akan terjadi, tetapi aku tidak mengira mereka akan bergerak secepat ini."
Raka menoleh sedikit, ekspresinya tetap terjaga. "Apa yang terjadi semalam?"
Saraswati mengalihkan pandangannya ke arah air mancur di tengah taman, memastikan tidak ada yang cukup dekat untuk mendengar percakapan mereka. "Penasihat kerajaan menemuiku. Dia tidak secara langsung mengancamku, tetapi dia memperingatkanku untuk tidak mempertanyakan apa pun. Dia tahu tentang perbincangan kita. Mereka tahu bahwa aku mulai meragukan segalanya."
Raka mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. "Mereka tidak akan berhenti di situ. Jika mereka sudah mulai mencurigai kita, itu berarti mereka akan segera mengambil tindakan lebih besar."
Saraswati menatapnya, matanya penuh dengan tekad yang semakin menguat. "Kita harus menemukan jalan keluar sebelum itu terjadi. Jika kita menunggu lebih lama, mereka akan memastikan aku tidak bisa melarikan diri."
Raka terdiam sejenak, lalu akhirnya berkata dengan suara lebih pelan. "Aku telah mencoba mencari tahu tentang lorong bawah tanah yang kau sebutkan. Salah satu prajurit senior pernah mendengar desas-desus bahwa ada jalur rahasia yang digunakan keluarga kerajaan di masa perang. Namun, tidak ada yang tahu pasti di mana letaknya, kecuali para penjaga istana tertua."
Saraswati merasa ada harapan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. "Jika jalur itu memang ada, kita harus menemukannya."
Raka mengangguk pelan, lalu menoleh sekilas ke arah dua prajurit yang masih berdiri di seberang taman. "Tetapi dengan pengawasan seperti ini, kita harus lebih berhati-hati. Mereka tidak akan membiarkan kita berkeliaran tanpa alasan yang jelas."
Saraswati memikirkan hal itu sejenak, lalu berkata dengan suara yang lebih tenang, "Aku akan mencari cara untuk mendapatkan informasi dari dalam istana. Mungkin ada catatan atau dokumen lama yang bisa membimbing kita ke jalur itu. Tetapi kita harus bertindak cepat."
Raka menatapnya dalam-dalam, seolah menilai kesungguhannya. "Aku akan membantumu, tetapi kau harus berjanji satu hal. Jika situasi menjadi terlalu berbahaya, kau harus bersiap untuk bertarung. Jika mereka mengetahui rencana kita sebelum kita siap, mereka tidak akan memberikan kita kesempatan kedua."
Saraswati menatap pria itu dengan serius. Ia tahu betapa berisikonya ini, tetapi ia juga tahu bahwa tidak ada pilihan lain. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri sejak lama," katanya dengan suara yang teguh. "Aku tidak akan membiarkan mereka mengendalikan nasibku lebih lama lagi."
Raka tersenyum tipis, tetapi tidak ada kehangatan di baliknya. "Kalau begitu, kita harus mulai bergerak sekarang."
Malam tiba lebih cepat dari yang Saraswati harapkan. Di dalam kamarnya, ia duduk di depan meja kayu tua, menatap gulungan-gulungan dokumen yang telah ia kumpulkan dari perpustakaan istana. Beberapa di antaranya berisi peta lama, catatan perang, dan riwayat pembangunan istana sejak zaman dahulu. Namun, tidak satu pun menyebutkan secara langsung keberadaan lorong rahasia yang mereka cari.
Ia membuka satu gulungan lagi, matanya menyusuri baris demi baris tulisan yang mulai memudar seiring waktu. Saat hampir menyerah, sesuatu menarik perhatiannya. Di sudut dokumen yang nyaris tak terbaca, ada catatan kecil yang sepertinya tidak termasuk dalam isi utama teks.
"Jalan ke luar yang tersembunyi, tempat di mana air bertemu dengan batu, hanya bisa ditemukan oleh mereka yang mengetahui arti pengorbanan sejati."
Saraswati membaca ulang kalimat itu beberapa kali. Kalimat itu terdengar seperti petunjuk, tetapi terlalu samar untuk dipahami dengan mudah. Ia menggigit bibirnya, mencoba mengingat apakah ada tempat di dalam istana yang sesuai dengan deskripsi itu. Lalu, sesuatu muncul di benaknya. Air dan batu. Satu-satunya tempat di dalam istana yang memiliki elemen tersebut dalam jumlah besar adalah taman air suci, tempat yang selama ini dianggap sebagai tempat paling sakral di istana. Sebuah tempat di mana hanya para pendeta dan keluarga kerajaan yang diizinkan masuk.
Jantung Saraswati berdetak lebih cepat. Jika itu benar, maka lorong rahasia yang mereka cari mungkin tersembunyi di sana. Ia bangkit dengan cepat, mengambil gulungan itu dan menyelipkannya ke dalam lengan jubahnya. Ia harus memberitahu Raka secepat mungkin. Tetapi saat ia membuka pintu kamarnya, langkahnya terhenti. Dua prajurit yang sebelumnya berjaga kini telah digantikan oleh seseorang yang lain. Seseorang yang lebih berbahaya. Kepala Pengawal Istana. Pria itu berdiri dengan tegap, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi matanya menatap Saraswati dengan dingin. Di belakangnya, dua prajurit lain berdiri dalam sikap siap siaga.
"Sang Cahaya," katanya dengan suara berat. "Saya diperintahkan untuk membawa Anda menemui permaisuri. Sekarang."
Saraswati merasakan tengkuknya menegang. Mereka tahu. Atau setidaknya, mereka mencurigainya lebih dalam dari sebelumnya. Ia mengangguk perlahan, menyembunyikan dokumen yang ia bawa di balik lengan bajunya, lalu melangkah keluar dari kamarnya dengan hati-hati. Di dalam dadanya, ketegangan semakin menumpuk. Mereka harus bertindak sebelum semuanya terlambat.
Langkah Saraswati bergema di sepanjang lorong istana yang diterangi obor, menciptakan bayangan panjang yang menari di dinding batu. Kepalanya tegak, tetapi di dalam dadanya, jantungnya berdegup liar. Dua prajurit berjalan di belakangnya, menjaga jarak yang cukup untuk memastikan bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk melarikan diri. Sementara itu, di sampingnya, Kepala Pengawal Istana melangkah dengan diam, tatapannya lurus ke depan seperti seseorang yang tahu bahwa tugasnya bukan sekadar mengantar, tetapi memastikan ia tidak melakukan sesuatu yang tak terduga.
Saraswati berusaha mengendalikan napasnya, menahan ketegangan yang semakin mencengkeram tubuhnya. Ia tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, sesuatu yang lebih dari sekadar undangan biasa dari permaisuri. Selama ini, ia hanya dipanggil ke hadapan permaisuri dalam upacara-upacara resmi atau ketika ada ritual khusus yang harus ia jalani sebagai Sang Cahaya. Namun, kali ini, suasananya berbeda. Tidak ada pengumuman sebelumnya, tidak ada pengawalan biasa, hanya keheningan yang menggantung di udara seperti ancaman yang tak terucapkan.
Ketika mereka mencapai aula besar, pintu kayu berukir yang menjulang tinggi terbuka perlahan, memperlihatkan ruangan yang diterangi oleh lentera-lentera gantung yang memancarkan cahaya redup keemasan. Di ujung ruangan, Permaisuri Mahadewi duduk dengan anggun di atas singgasananya, mengenakan jubah sutra ungu tua yang disulam dengan benang emas. Wajahnya tetap seperti biasanya—tenang, nyaris tak terbaca, tetapi mata tajamnya mengamati Saraswati dengan cara yang membuat udara di ruangan terasa lebih berat.
Saraswati melangkah maju, merasakan tatapan dari para penasihat yang berdiri di sisi permaisuri. Ia mengenali beberapa dari mereka—orang-orang yang selama ini berada di balik keputusan-keputusan penting kerajaan, tetapi jarang sekali terlibat langsung dalam urusannya. Fakta bahwa mereka ada di sini malam ini hanya memperkuat kecurigaannya bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa.
"Datanglah lebih dekat, Saraswati," suara permaisuri terdengar lembut, tetapi di balik kelembutan itu ada nada yang sulit diartikan.
Saraswati melangkah lebih maju, menjaga ekspresinya tetap terkendali. Ia menundukkan kepalanya sedikit sebagai bentuk penghormatan, lalu menunggu dalam keheningan.
Permaisuri menatapnya lama sebelum akhirnya berbicara. "Beberapa hari terakhir, aku mendengar bahwa kau semakin sering berbicara dengan pengawal barumu. Itu menarik."
Darah Saraswati berdesir. Ia tahu ke mana arah percakapan ini akan bermuara. "Raka hanya menjalankan tugasnya sebagai pengawalku," jawabnya dengan nada yang netral.
Permaisuri tersenyum kecil, tetapi senyum itu tidak mencapai matanya. "Tentu saja. Seorang pengawal memang bertugas untuk menjaga, tetapi tidak seharusnya ia menjadi seseorang yang mempengaruhimu dengan pemikiran-pemikiran yang tidak perlu."
Saraswati mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya sudah berdegup semakin cepat. "Jika yang Anda maksud adalah aku mulai mempertanyakan banyak hal, maka itu karena aku ingin memahami dunia yang suatu hari nanti harus aku pimpin."
Salah satu penasihat yang berdiri di sisi permaisuri menghela napas, lalu berbicara dengan nada penuh perhitungan. "Dunia tidak selalu membutuhkan pemimpin yang mempertanyakan segalanya, Sang Cahaya. Dunia membutuhkan pemimpin yang tahu kapan harus mendengar dan kapan harus diam."
Kemarahan perlahan membakar di dalam diri Saraswati, tetapi ia tahu bahwa ini bukan saatnya untuk melawan secara terbuka. Ia harus bermain dengan cermat, harus menjaga agar mereka tidak melihat bahwa ia sudah mengetahui lebih banyak daripada yang seharusnya.
"Aku hanya ingin memahami peranku dengan lebih baik," katanya, memilih kata-kata dengan hati-hati. "Jika aku memang benar-benar Sang Cahaya, maka bukankah sudah seharusnya aku memahami apa yang terjadi di sekelilingku?"
Permaisuri menyandarkan tubuhnya pada singgasana, matanya menyipit sedikit. "Kau akan memahami segalanya pada waktunya, Saraswati. Tetapi jangan biarkan pikiranmu teralihkan oleh mereka yang tidak memahami tempatnya di dalam istana ini."
Saraswati memahami dengan jelas bahwa kata-kata itu adalah peringatan. Ini bukan hanya tentang dirinya, tetapi juga tentang Raka. Mereka telah mencurigai mereka berdua, dan kini mereka ingin memastikan bahwa ia tidak akan menyimpang lebih jauh dari jalan yang telah mereka tetapkan.
Permaisuri lalu melambaikan tangannya sedikit, memberikan isyarat kepada Kepala Pengawal yang berdiri di dekat pintu. "Mulai malam ini, Saraswati tidak akan lagi ditemani oleh pengawal pribadinya yang sekarang. Raka Mahardika akan dipindahkan dari tugasnya."
Dunia Saraswati seakan berhenti berputar.
Ia menatap permaisuri dengan keterkejutan yang tidak bisa ia sembunyikan. "Anda tidak bisa melakukan itu," katanya, suaranya nyaris berbisik.
Permaisuri mengangkat alisnya, seolah terhibur oleh reaksinya. "Aku bisa melakukan apa pun yang diperlukan demi menjaga stabilitas istana ini."
Saraswati merasakan tubuhnya menegang. Ini adalah pukulan yang tidak ia duga akan datang secepat ini. Jika Raka dipindahkan, maka itu berarti mereka telah kehilangan satu-satunya sekutu yang bisa membantunya keluar dari istana ini.
Ia mencoba mencari cara untuk membalikkan situasi, tetapi sebelum ia bisa berbicara, permaisuri melanjutkan, "Besok pagi, ia akan ditugaskan kembali ke perbatasan. Tempat di mana ia seharusnya berada sejak awal."
Kepalanya terasa berdenyut, napasnya semakin berat. Ini bukan sekadar pemindahan. Ini adalah pengasingan.
Saraswati tahu apa yang mereka lakukan. Mereka ingin memisahkannya dari satu-satunya orang yang bisa membantunya. Mereka ingin memastikan bahwa ia tetap berada di bawah kendali mereka.
Tangannya mengepal di balik lipatan jubahnya, tetapi ia tetap menatap permaisuri dengan mata yang kini menyala dengan sesuatu yang berbeda—bukan sekadar ketakutan, tetapi tekad.
"Aku mengerti," katanya akhirnya, suaranya lebih tenang dari yang ia kira. "Tetapi ingat satu hal, Permaisuri. Tidak ada yang bisa dikurung selamanya. Bahkan cahaya pun selalu menemukan jalannya keluar dari kegelapan."
Permaisuri tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Saraswati dalam-dalam sebelum akhirnya tersenyum tipis. "Kita lihat saja nanti," katanya dengan suara yang nyaris seperti bisikan. Saraswati menundukkan kepalanya sedikit, lalu berbalik dan berjalan keluar dari aula dengan langkah yang tegap. Di dalam dadanya, badai sudah mulai bergemuruh. Jika istana ingin menghancurkan satu-satunya harapannya untuk melarikan diri, maka ia harus menemukan cara lain. Dan kali ini, ia tidak akan menunggu lebih lama lagi.
Di luar aula, di bawah langit malam yang gelap, Raka berdiri di halaman belakang istana, dikelilingi oleh beberapa prajurit yang bersiap untuk mengawalnya keluar dari ibu kota ke perbatasan. Ia tahu bahwa ini bukan hanya sekadar pemindahan tugas biasa. Saat ia menatap ke arah jendela tinggi tempat Saraswati berada, ia bisa merasakan bahwa malam ini bukanlah akhir. Malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Dan apa pun yang terjadi, ia tidak akan meninggalkannya begitu saja.
Langit di atas Istana Airlangga tampak lebih kelam malam itu, seolah-olah alam pun ikut menyembunyikan keheningan yang bergelayut di setiap sudutnya. Saraswati berjalan melewati lorong panjang dengan langkah tegap, meskipun hatinya masih bergemuruh oleh keputusan permaisuri yang menghempaskan rencananya dalam sekejap. Bayangan obor yang terpancang di dinding bergetar pelan diterpa angin, menciptakan ilusi seakan tembok-tembok batu di sekelilingnya semakin menyempit.
Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Bagaimana mereka bisa bertindak begitu cepat? Apakah mereka telah mengawasi sejak awal? Atau ada seseorang yang membocorkan niatnya? Ketidakpastian itu menyiksa pikirannya, tetapi satu hal yang ia tahu dengan pasti—ia tidak punya banyak waktu lagi.
Ketika ia berbelok menuju taman belakang, dua prajurit yang sebelumnya hanya berjaga di titik tertentu kini berdiri lebih dekat dari biasanya. Mereka tidak menghalanginya, tetapi tatapan mereka begitu tajam, seolah-olah menunggu alasan sekecil apa pun untuk bertindak. Saraswati menahan napasnya, berusaha terlihat tidak peduli, meskipun dadanya terasa sesak oleh kenyataan bahwa ruang geraknya semakin terbatas.
Di bawah pohon beringin besar di sudut taman, sosok Raka berdiri dengan punggung tegap, mengenakan pakaian prajuritnya yang sudah tampak lebih sederhana dari biasanya. Di belakangnya, tiga prajurit lain berjaga dalam posisi siaga, menandakan bahwa perintah pemindahan telah resmi berlaku.
Saraswati melangkah mendekat, tetapi sebelum ia bisa berbicara, salah satu prajurit yang mengawal Raka lebih dahulu membuka suara. “Sang Cahaya, perintah permaisuri telah ditetapkan. Prajurit Raka Mahardika akan segera meninggalkan istana malam ini.”
Jantungnya berdenyut keras di dalam dadanya. Ini lebih buruk dari yang ia kira. Mereka tidak menunggu fajar untuk mengirim Raka pergi. Mereka ingin menghilangkannya secepat mungkin.
Saraswati menatap Raka, berharap menemukan jawaban dalam tatapan matanya. Namun, wajah prajurit itu tetap tenang, hanya ada sedikit ketegangan di rahangnya yang menandakan bahwa ia sama sekali tidak menerima keputusan ini dengan mudah.
“Aku ingin berbicara dengannya sebelum ia pergi,” kata Saraswati dengan suara yang terdengar lebih tajam dari yang ia rencanakan.
Prajurit yang tadi berbicara tampak ragu, tetapi kemudian ia melirik ke arah atas istana, seolah memastikan apakah mereka sedang diawasi. Akhirnya, ia mengangguk kecil, meskipun tubuhnya tetap dalam posisi waspada.
Raka melangkah maju, cukup jauh dari telinga para prajurit tetapi masih dalam jarak yang tidak mencurigakan. Saraswati menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara, suaranya hampir seperti bisikan. “Ini bukan hanya pemindahan. Mereka ingin memastikan kau tidak ada di dekatku lagi.”
“Aku tahu,” jawab Raka dengan nada rendah. “Mereka takut kita terlalu banyak tahu.”
Saraswati merasakan kemarahan membakar dadanya. “Mereka merampas semua yang kumiliki, dan sekarang mereka ingin menyingkirkan satu-satunya orang yang bisa membantuku.”
Raka menatapnya dalam-dalam, lalu berkata, “Kau harus lebih berhati-hati, Saraswati. Mereka tidak akan berhenti sampai mereka yakin kau tidak memiliki siapa pun yang bisa kau percayai.”
Kata-kata itu terasa seperti belati yang menusuk ke dalam hatinya. Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak akan membiarkan mereka menang, bahwa ia akan menemukan cara untuk membalas semua ini. Tetapi sebelum ia bisa mengucapkan sesuatu, Raka menambahkan sesuatu yang membuatnya semakin terguncang.
“Aku akan kembali.”
Saraswati menatapnya, mencari kepastian dalam nada suaranya. Raka tidak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi ada keteguhan dalam tatapannya yang membuatnya percaya.
“Bagaimana caranya?” ia bertanya pelan.
“Aku tidak tahu,” Raka mengakui. “Tapi aku berjanji, ini bukan perpisahan selamanya.”
Keheningan menggantung di antara mereka, hanya diselingi oleh suara dedaunan yang berguguran tertiup angin malam. Saraswati ingin mempercayainya, tetapi ia juga tahu bahwa dunia di luar istana penuh dengan bahaya yang bisa membuat Raka tidak pernah kembali.
Saat ia hendak menjawab, salah satu prajurit di belakang Raka berdeham keras. “Waktunya habis.”
Raka menatap Saraswati untuk terakhir kalinya, lalu melangkah mundur. Saraswati tidak ingin mengatakan selamat tinggal, karena itu terdengar seperti sesuatu yang final. Ia hanya mengangguk, meskipun dalam hatinya, ia ingin berteriak, ingin menghentikan semua ini, ingin menantang siapa pun yang mencoba mengendalikan hidupnya.
Raka berbalik dan mulai berjalan pergi, diapit oleh para prajurit yang mengawalnya menuju gerbang belakang istana. Langkahnya tegap, tetapi Saraswati tahu bahwa kepergiannya bukanlah keputusan yang ia terima begitu saja. Ketika sosoknya akhirnya menghilang di balik bayang-bayang tembok batu, Saraswati merasakan sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya—kesepian yang begitu pekat, bercampur dengan kemarahan yang tidak bisa ia redam. Mereka telah merampas banyak hal darinya. Tetapi ia tidak akan membiarkan mereka merampas dirinya.
Malam itu, Saraswati tidak bisa tidur. Ia duduk di dekat jendela kamarnya, menatap langit yang penuh bintang tetapi terasa lebih dingin dari biasanya. Hatinya dipenuhi dengan tekad yang semakin kuat, tetapi juga dengan kesadaran bahwa ia tidak bisa bertindak gegabah. Lalu, sesuatu menarik perhatiannya. Di luar, di bawah bayangan taman, seorang pelayan berjalan dengan langkah cepat, membawa sebuah kotak kecil yang tampak disembunyikan di balik lengan bajunya. Saraswati mengenali sosok itu—Mirah, pelayan yang telah lama bekerja di istana dan satu-satunya orang yang pernah menunjukkan kepedulian kepadanya selain Raka.
Dengan cepat, Saraswati beranjak dari duduknya, mengambil selendang dan menyelinap keluar dari kamarnya tanpa menarik perhatian penjaga yang berjaga di depan pintu. Ia mengikuti Mirah dengan langkah hati-hati, memastikan bahwa ia tidak terlihat oleh siapa pun.
Saat Mirah tiba di bagian taman yang lebih tersembunyi, Saraswati melangkah maju, suaranya nyaris berbisik. “Mirah.”
Mirah terlonjak, tetapi begitu ia melihat siapa yang memanggilnya, ekspresi ketakutannya berubah menjadi kelegaan. “Sang Cahaya,” katanya dengan suara lirih, lalu dengan cepat menyodorkan kotak kecil yang ia bawa. “Ini dari Raka.”
Dada Saraswati mencengkeram. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membuka kotak itu dan menemukan sesuatu yang tidak ia duga—sebuah gulungan kecil yang tampak tua, dengan segel lilin yang sudah sebagian pecah. Ia menatap Mirah, mencari penjelasan.
“Dia meninggalkannya untuk Anda sebelum pergi,” bisik Mirah. “Dia bilang… ini mungkin satu-satunya jalan keluar Anda.”
Saraswati menatap gulungan itu, matanya membelalak saat menyadari apa yang ia pegang. Sebuah peta. Peta menuju sesuatu yang telah lama tersembunyi di bawah istana. Dan mungkin, ini adalah kunci untuk kebebasannya.
Langit Tirta Mandala merona merah keemasan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin lembut berembus melalui menara-menara istana, membawa aroma dupa dan bunga yang masih tersisa dari upacara syukuran yang diadakan siang tadi. Di bawah cahaya yang semakin temaram, ibu kota mulai berdenyut dengan kehidupan barunya—pedagang menutup kios-kios mereka, prajurit berpatroli di jalan-jalan utama, dan rakyat berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa harapan akan masa depan yang lebih baik.Namun, di dalam dinding batu yang megah, seorang ratu duduk sendirian di ruang pribadinya, merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang masih harus ia hadapi.Saraswati menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke kota, kedua tangannya bertumpu di tepian kayu yang diukir dengan motif naga air, lambang kebesaran keluarganya. Rambut hitamnya tergerai, tidak lagi disanggul seperti saat upacara resmi. Ia telah menjalani berbagai pertempuran, baik di medan perang maupun di dalam istana, tetapi h
Fajar menyingsing di atas ibu kota Tirta Mandala, menghamparkan cahaya keemasan yang perlahan merayap melewati menara-menara istana yang megah. Udara masih dipenuhi sisa-sisa aroma dupa dan bunga dari upacara malam sebelumnya, menandai awal dari era baru bagi kerajaan yang telah melalui begitu banyak pertumpahan darah. Di alun-alun utama, ribuan rakyat berkumpul, memenuhi setiap sudut untuk menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.Di tengah kerumunan yang luas, Saraswati berdiri di atas panggung batu yang dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, prajurit, dan rakyat yang menunggu dengan harapan bercampur kewaspadaan. Jubah kebesarannya menjuntai megah, tenunannya berwarna biru laut dengan sulaman emas yang melambangkan kejayaan Tirta Mandala. Sebuah mahkota perak, yang lebih sederhana dari yang dikenakan raja-raja sebelumnya, bertengger di kepalanya. Ia memilihnya dengan sengaja—bukan sebagai simbol kekuasaan mutlak, tetapi sebagai tanda bahwa kepemimpinannya bukan tent
Langit senja membentang di atas perkemahan mereka, menyapu cakrawala dengan warna merah keemasan yang perlahan memudar ke dalam kegelapan malam. Di kejauhan, suara angin menerpa dedaunan hutan, berbisik di antara pepohonan seolah membawa pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hatinya gelisah.Saraswati berdiri di tepi perkemahan, matanya menatap ke arah lembah yang terbentang di hadapannya. Mereka telah berkemah di sana selama dua malam sejak meninggalkan ibu kota, mengikuti jejak Adhiraj yang semakin sulit dilacak. Meskipun ia yakin mereka berada di jalur yang benar, ada sesuatu yang lebih berat yang menghimpit dadanya—sesuatu yang bukan berasal dari peperangan atau takhta, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam.Langkah kaki yang ia kenali dengan mudah terdengar di belakangnya. Raka mendekat, membiarkan kehadirannya terasa sebelum akhirnya berdiri di sampingnya. Lelaki itu telah bersamanya sejak awal, sejak ia masih terkurung di dalam istana, dan kini mereka berdiri di t
Dingin fajar menyelimuti ibu kota Tirta Mandala ketika kabut sisa peperangan mulai perlahan menghilang. Bangunan-bangunan yang hancur menjadi saksi bisu dari pertempuran besar yang baru saja berakhir. Di alun-alun utama, rakyat berkumpul dalam diam, menanti kepastian tentang masa depan yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan air mata.Saraswati berdiri di puncak tangga istana, mengenakan pakaian perang yang masih ternoda debu dan darah. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap tajam. Hari ini bukan tentang kemenangan, melainkan tentang keputusan yang akan mengubah jalan sejarah.Di hadapannya, Raja duduk di singgasana yang tidak lagi miliknya. Tangannya terikat di belakang kursi yang pernah menjadi simbol absolut kekuasaan. Meskipun dikalahkan, sorot matanya tetap tajam, seolah ia masih memiliki kendali atas apa yang terjadi. Di sampingnya, Adhiraj berdiri dalam diam, wajahnya penuh luka dan kebencian, tetapi tanpa perlawanan.Saraswati menatap ayahnya lama, merasakan begitu ban
Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita tidak bisa bertahan lebih lama,” kata Raka, suaranya penuh ketegangan. “Pasukan kerajaan masih lebih kuat. Jika bala bantuan tidak datang, kita akan terkepung.”Saraswati mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya. “
Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan gagang pedangnya, siap menghadapi kemungkinan terburuk. “Mereka sudah tahu kita akan datang,” katanya lirih, suara beratnya