Gelap dan lembap, lorong bawah tanah yang dilewati Saraswati seakan menelannya dalam kesunyian yang mencekam. Ia bisa mendengar tetesan air dari langit-langit batu yang kasar, menciptakan suara berulang yang menggema di sepanjang terowongan sempit. Dinding di sekelilingnya terasa dingin dan licin, seolah-olah telah menyimpan rahasia yang tak terhitung jumlahnya selama berabad-abad.
Ia tidak tahu sudah berapa lama ia berjalan. Kakinya terasa semakin berat, dan udara di dalam lorong semakin tipis, membuatnya sulit bernapas. Namun, ia tidak bisa berhenti. Setiap langkah yang ia ambil menjauhkannya dari istana, dari cengkeraman mereka yang telah menipunya seumur hidupnya. Lalu, di ujung lorong, samar-samar terlihat cahaya redup.
Saraswati mempercepat langkahnya, napasnya semakin berat. Ketika ia akhirnya keluar dari kegelapan lorong, ia mendapati dirinya berada di tengah hutan lebat yang dipenuhi kabut pagi. Pepohonan tinggi menjulang di sekelilingnya, dahan-dahannya membentuk kanopi alami yang menutupi langit. Burung-burung bernyanyi lirih di kejauhan, dan angin sejuk menyapu wajahnya, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur.
Ia berdiri di sana, menghirup udara segar untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun hidup di balik dinding batu yang mengekangnya. Ini adalah dunia yang belum pernah ia lihat sebelumnya, dunia yang selama ini hanya ada dalam mimpinya. Namun, sebelum ia bisa menikmati kebebasannya, sebuah suara datang dari balik pepohonan.
“Aku tidak menyangka kau benar-benar berhasil keluar.”
Saraswati berbalik dengan cepat, matanya mencari sumber suara. Dari balik kabut, muncul seorang pria yang tampak berusia lebih tua, mengenakan jubah lusuh yang sudah usang oleh waktu. Wajahnya dipenuhi garis-garis ketegasan, tetapi matanya menyimpan kebijaksanaan yang tajam.
"Siapa kau?" tanya Saraswati, tetap menjaga jarak.
Pria itu melangkah lebih dekat, tetapi tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Namaku Ki Jaya. Aku adalah orang yang kau cari, meskipun kau mungkin belum menyadarinya."
Saraswati menatapnya dengan curiga. Nama ini pernah disebutkan oleh pria di pasar sebagai seseorang yang bisa membantunya, tetapi bagaimana mungkin orang asing ini mengetahui keberadaannya?
"Apa kau yang mengirim orang itu untuk membantuku keluar dari kota?" tanyanya.
Ki Jaya tersenyum samar. "Tidak. Tapi aku tahu bahwa pada akhirnya, kau akan datang kepadaku."
Saraswati semakin waspada. "Kenapa?"
Pria itu menatapnya dalam-dalam sebelum akhirnya berkata, "Karena aku tahu siapa dirimu sebenarnya."
Mereka duduk di bawah sebuah pohon tua, di sebuah dataran kecil yang tersembunyi dari jalur utama. Saraswati menyesap teh hangat yang disiapkan Ki Jaya, tetapi pikirannya terlalu kacau untuk bisa menikmati rasanya.
"Apa maksudmu tadi?" tanyanya akhirnya, suaranya lebih keras dari yang ia maksudkan. "Kau mengatakan bahwa kau tahu siapa aku sebenarnya. Apa yang kau maksud?"
Ki Jaya menghela napas panjang sebelum akhirnya menatapnya dengan sorot mata yang lebih serius. "Saraswati, selama ini kau percaya bahwa kau adalah Sang Cahaya, seorang putri yang dipilih oleh kerajaan untuk membawa kejayaan. Tapi itu tidak benar."
Saraswati menegang, jantungnya berdegup lebih cepat. "Aku sudah tahu bahwa mereka ingin mengorbankanku. Tapi kau berbicara seolah-olah ada sesuatu yang lebih besar dari itu."
Ki Jaya mengangguk. "Benar. Karena kau bukanlah putri sejati kerajaan. Kau bukan darah bangsawan."
Saraswati merasakan dunia di sekelilingnya seakan runtuh. Ia mencoba memahami apa yang baru saja dikatakan, tetapi otaknya menolak untuk menerima kenyataan itu.
"Tidak mungkin," katanya, hampir seperti bisikan. "Mereka membesarkanku sebagai putri kerajaan. Aku memiliki darah mereka."
Ki Jaya menatapnya dengan penuh simpati. "Itulah kebohongan terbesar yang mereka tanamkan padamu."
Saraswati menggenggam cangkir teh di tangannya erat-erat, tetapi tidak lagi memperhatikan kehangatannya. "Kalau bukan darah bangsawan, lalu siapa aku sebenarnya?"
Ki Jaya menarik napas dalam sebelum berbicara. "Kau adalah keturunan terakhir dari Klan Rakai, klan yang dulu dikenal sebagai musuh terbesar kerajaan."
Dunia Saraswati kembali berputar.
"Klan Rakai?" ulangnya dengan suara nyaris tak terdengar. Ia pernah mendengar nama itu dalam pelajaran sejarahnya, tetapi selama ini, klan itu selalu digambarkan sebagai kelompok pemberontak yang berusaha menggulingkan kerajaan. Mereka dianggap pengkhianat, orang-orang yang menolak kehendak dewa-dewa dan berusaha menciptakan kekacauan.
"Tidak," Saraswati menggeleng, suaranya bergetar. "Itu tidak mungkin. Klan Rakai dibantai bertahun-tahun lalu. Aku—aku tidak mungkin berasal dari mereka."
Ki Jaya menatapnya dengan penuh kesabaran, tetapi suaranya tetap tegas. "Itu yang mereka ingin kau percayai. Klan Rakai tidak memberontak tanpa alasan. Mereka melawan kerajaan karena mereka tahu tentang rahasia kelam yang selama ini disembunyikan dari rakyat. Mereka tahu bahwa kerajaan mempertahankan kekuasaannya dengan cara yang tidak adil. Dan karena itulah, mereka harus dihancurkan."
Saraswati menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang bercampur aduk dalam dirinya. Jika yang dikatakan Ki Jaya benar, maka itu berarti seluruh hidupnya adalah kebohongan. Ia bukanlah putri yang dipilih oleh para dewa. Ia bukanlah cahaya yang dinanti-nantikan oleh rakyat. Ia hanyalah anak dari musuh kerajaan, seseorang yang seharusnya tidak pernah ada.
"Jika mereka sudah membantai klanku," katanya dengan suara yang lebih pelan, "kenapa mereka menyisakanku?"
Ki Jaya menghela napas berat. "Karena mereka membutuhkanmu. Setelah menghancurkan Klan Rakai, mereka menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memastikan bahwa sejarah tidak terulang adalah dengan mengambil keturunan terakhir mereka dan membesarkannya di bawah kendali kerajaan. Mereka ingin kau percaya bahwa takdirmu adalah untuk melayani mereka, padahal seharusnya kaulah yang melawan mereka."
Saraswati menutup matanya, mencoba menenangkan badai yang berkecamuk dalam dirinya. Setiap bagian dari dirinya ingin menyangkal kebenaran ini, tetapi jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa semuanya masuk akal.
Jika ia benar-benar putri kerajaan, mengapa ia tidak pernah dibiarkan keluar dari istana? Mengapa ia selalu dikurung, selalu dipersiapkan untuk sesuatu yang tidak pernah ia pahami? Kini, semuanya jelas. Ia bukanlah Sang Cahaya. Ia hanyalah bayangan dari seseorang yang seharusnya tidak ada. Malam semakin larut ketika Saraswati duduk di depan api unggun kecil yang dibuat Ki Jaya. Bayangan api menari di wajahnya, tetapi matanya tetap kosong, masih mencerna kebenaran yang baru saja ia ketahui.
Ki Jaya menatapnya dari seberang api, membiarkannya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Namun, setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara.
"Kau memiliki pilihan, Saraswati," katanya pelan. "Kau bisa melupakan semua ini dan tetap hidup dalam kebohongan, atau kau bisa melawan mereka yang telah mengkhianatimu."
Saraswati menatap Ki Jaya, lalu menatap langit malam yang luas. Ia tidak tahu harus berbuat apa, tetapi satu hal yang pasti—ia tidak bisa kembali ke istana. Dan untuk pertama kalinya, ia mulai bertanya-tanya. Apakah ia benar-benar ingin menyelamatkan kerajaan ini? Atau... Apakah ia ingin menghancurkannya?
Malam semakin larut, dan di bawah naungan langit yang penuh bintang, Saraswati duduk dalam diam, menatap api unggun yang bergetar diterpa angin hutan. Cahaya jingga menari di wajahnya, tetapi kilatan yang biasanya menyala dalam matanya kini redup, tenggelam dalam badai yang berkecamuk di dalam dadanya.
Pernyataan Ki Jaya masih menggema di telinganya. Kau bukan putri sejati kerajaan. Kau adalah keturunan terakhir dari Klan Rakai.
Ia ingin menyangkal, ingin menolak kenyataan yang baru saja diungkapkan kepadanya. Namun, semakin dalam ia menggali ingatannya, semakin jelas bahwa selama ini ia memang hidup dalam kebohongan. Ia teringat bagaimana para penasihat selalu mengawasi setiap gerak-geriknya, bagaimana ia dilarang untuk keluar dari istana, dan bagaimana setiap pertanyaannya tentang keluarganya selalu dijawab dengan setengah kebenaran atau ditutupi dengan ritual-ritual keagamaan yang dipaksakan kepadanya.
Semuanya bukan karena ia berharga bagi kerajaan. Semuanya karena ia adalah ancaman. Saraswati mengepalkan tangannya, merasakan kehangatan api unggun yang hampir membakar kulitnya. Dadanya bergemuruh dengan kemarahan yang semakin sulit ia kendalikan.
"Apa yang sebenarnya terjadi pada Klan Rakai?" akhirnya ia bertanya, suaranya terdengar lebih tegas dari sebelumnya.
Ki Jaya, yang sejak tadi hanya mengamati, mengangguk kecil sebelum mulai berbicara. "Klan Rakai adalah salah satu klan tertua di Tirta Mandala, bahkan lebih tua dari keluarga kerajaan yang sekarang berkuasa. Mereka bukan sekadar pemberontak seperti yang diceritakan oleh istana. Mereka adalah penjaga keseimbangan, orang-orang yang mengetahui rahasia yang ingin disembunyikan oleh kerajaan."
Saraswati menatapnya, mencari lebih banyak kepastian. "Rahasia apa?"
Ki Jaya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Tirta Mandala tidak seperti yang selama ini kau kira. Kerajaan ini dibangun di atas pengorbanan, dan bukan hanya pengorbanan Sang Cahaya setiap generasi, tetapi juga darah dari mereka yang berusaha mengungkap kebenaran. Klan Rakai pernah menjadi penguasa sejati negeri ini, sebelum mereka digulingkan oleh keluarga kerajaan yang sekarang. Sejak saat itu, mereka berusaha menghapus nama klan itu dari sejarah, membunuh semua keturunannya, dan menyebarkan cerita palsu tentang pemberontakan mereka."
Saraswati mengatupkan rahangnya, mencoba menahan kemarahan yang membara di dalam dirinya. "Lalu, mengapa aku masih hidup?"
Ki Jaya menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab. "Karena mereka membutuhkanmu. Mereka tahu bahwa darahmu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh siapa pun dalam istana. Jika kau mati begitu saja, keseimbangan yang mereka jaga akan runtuh. Itu sebabnya mereka memeliharamu, membesarkanmu, dan menciptakan narasi bahwa kau adalah Sang Cahaya, satu-satunya harapan bagi kerajaan. Padahal, mereka hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengorbankanmu."
Kata-kata itu menghantam Saraswati lebih keras dari apa pun yang pernah ia dengar sebelumnya. Seluruh hidupnya, ia percaya bahwa ia dipilih oleh para dewa untuk membawa kejayaan bagi kerajaan. Namun, kini ia menyadari bahwa ia hanyalah pion dalam permainan mereka, alat yang mereka pelihara hingga waktunya tiba untuk digunakan.
Ia merasakan dadanya naik turun dengan cepat. Nafasnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan paru-parunya. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan dirinya. Namun, semakin ia berusaha mengendalikan perasaannya, semakin jelas satu hal yang tak bisa ia abaikan.
"Aku telah mengabdi kepada mereka sepanjang hidupku," katanya, suaranya rendah tetapi penuh dengan kemarahan yang tertahan. "Aku percaya kepada mereka. Aku tunduk pada mereka. Tapi mereka..." Ia mengepalkan tangannya, kukunya hampir menembus kulitnya sendiri. "Mereka hanya menungguku untuk mati."
Ki Jaya tetap diam, membiarkan Saraswati mencerna kenyataan yang baru saja ia hadapi.
"Aku tidak bisa kembali ke sana," Saraswati akhirnya berujar, suaranya lebih stabil sekarang. "Tapi aku juga tidak tahu harus pergi ke mana."
Ki Jaya menatapnya dengan penuh pemahaman. "Kau memiliki pilihan, Saraswati. Kau bisa melarikan diri, menjalani kehidupan baru, dan melupakan semua ini. Atau..." Ia berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya menggantung di udara. "Kau bisa melawan mereka."
Saraswati mendongak, menatap Ki Jaya dengan mata yang kini dipenuhi api yang berbeda.
"Melawan mereka?" ulangnya, memastikan bahwa ia tidak salah dengar.
Ki Jaya mengangguk. "Kerajaan telah memanipulasi rakyat selama bertahun-tahun. Mereka berpikir bahwa kau tidak akan pernah tahu siapa dirimu sebenarnya, bahwa kau akan menerima nasibmu tanpa perlawanan. Tapi sekarang kau tahu kebenarannya. Dan kau memiliki kekuatan untuk mengubah segalanya."
Saraswati menatap api unggun di depannya, pikirannya kembali berputar. Jika ia memilih untuk melarikan diri, ia mungkin akan selamat, tetapi kerajaan akan terus melanjutkan kebohongannya. Mereka akan mencari pengganti, menciptakan Sang Cahaya baru yang akan mengalami nasib yang sama dengannya. Tapi jika ia melawan... Ia menelan ludah, menyadari bahwa untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memiliki kendali atas takdirnya sendiri.
"Aku tidak bisa melarikan diri," katanya akhirnya, suaranya mantap. "Bukan setelah mengetahui semua ini."
Ki Jaya tersenyum samar, seolah-olah ia sudah menduga bahwa Saraswati akan berkata demikian. "Kalau begitu, kau harus mulai bersiap. Ini bukan pertempuran yang bisa dimenangkan hanya dengan keberanian. Kau harus kuat, kau harus cerdas, dan kau harus menemukan orang-orang yang bersedia berdiri di sisimu."
Saraswati menatapnya dengan penuh tekad. "Aku akan melakukannya."
Ia tahu bahwa ini bukan keputusan yang mudah. Tetapi untuk pertama kalinya, ia tidak lagi ragu.
Jika kerajaan ingin mengorbankannya, maka ia akan memastikan bahwa mereka akan menghadapi akibatnya.
Jika mereka menganggapnya sebagai ancaman, maka ia akan menjadi ancaman yang lebih besar dari yang pernah mereka bayangkan. Ia bukan lagi Sang Cahaya yang akan mengikuti perintah mereka. Ia adalah api yang akan membakar kebohongan mereka hingga habis. Di dalam istana, Permaisuri Mahadewi berdiri di hadapan cermin besar di kamarnya, menatap bayangannya sendiri dengan sorot mata dingin. Seorang prajurit berlutut di belakangnya, suaranya penuh ketegangan.
"Kami masih belum menemukan jejak Sang Cahaya," lapornya. "Dia menghilang tanpa jejak."
Permaisuri tidak segera menjawab. Jemarinya yang halus bergerak perlahan di sepanjang permukaan cermin, seolah-olah ia bisa melihat sesuatu yang tidak tampak oleh orang lain.
"Temukan dia," katanya akhirnya, suaranya terdengar seperti perintah yang tak terbantahkan. "Dan jika dia menolak kembali ke tempatnya..." Ia berhenti sejenak, membiarkan ancaman tersirat dalam udara.
"Pastikan dia tidak lagi menjadi masalah."
Di luar sana, di bawah langit malam yang luas, Saraswati telah mengambil langkah pertamanya menuju jalan yang tak bisa ia hindari lagi. Dan istana kini bergerak untuk memastikan bahwa ia tidak pernah mencapai akhir dari perjalanannya.
Angin malam berembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh ke bumi. Saraswati masih duduk di depan api unggun yang mulai meredup, tetapi pikirannya jauh lebih liar dari kobaran api yang kini menyusut. Semua yang ia yakini selama ini telah hancur, dan kini ia berdiri di tengah reruntuhan keyakinan itu, mencoba mencari jalan yang akan membawanya ke masa depan yang lebih jelas.
Ki Jaya tetap diam, membiarkan Saraswati bergumul dengan pikirannya sendiri. Ia tahu bahwa kata-kata yang baru saja ia ungkapkan terlalu berat untuk dipahami dalam sekejap. Namun, ia juga tahu bahwa gadis di hadapannya ini lebih kuat daripada yang disangka banyak orang.
Saraswati mengangkat wajahnya, menatap pria tua itu dengan mata yang kini penuh dengan sesuatu yang berbeda—bukan sekadar keterkejutan, tetapi juga kesadaran bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah bisa ia dapatkan kembali. “Jadi selama ini, aku hanyalah alat bagi mereka?” suaranya terdengar serak, hampir tenggelam dalam suara angin yang berdesir di antara pepohonan.
Ki Jaya menatapnya dengan penuh kesungguhan. “Mereka ingin kau percaya bahwa kau adalah sesuatu yang lebih besar dari dirimu sendiri, tetapi hanya dalam batas yang mereka tentukan. Mereka memberimu gelar, membesarkanmu dalam kemewahan, tetapi semua itu tidak pernah menjadi milikmu. Itu adalah jerat yang mereka gunakan untuk membuatmu tetap patuh.”
Saraswati menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa marah yang kini mulai membakar dalam dirinya. Ia merasa seperti boneka yang telah dimainkan oleh tangan-tangan yang tak terlihat, dikendalikan dengan benang yang begitu halus hingga ia tidak pernah menyadarinya. Namun, kini benang itu telah putus, dan ia harus menentukan sendiri ke mana ia akan melangkah.
“Jika aku benar-benar keturunan Klan Rakai,” ia berkata dengan nada yang lebih tegas, “maka mengapa mereka tidak membunuhku seperti yang mereka lakukan kepada yang lain?”
Ki Jaya menghela napas panjang, seolah-olah ia telah menunggu pertanyaan itu sejak awal. “Karena darahmu, Saraswati. Klan Rakai bukan hanya sekelompok pemberontak biasa seperti yang mereka ceritakan padamu. Mereka adalah penjaga keseimbangan, mereka yang tahu rahasia tentang kekuatan yang menjaga kerajaan ini tetap berdiri. Dan kau… kau adalah satu-satunya yang tersisa.”
Saraswati menatap Ki Jaya, mencoba memahami arti dari kata-kata itu. “Apa maksudmu dengan keseimbangan? Apa yang mereka coba pertahankan dengan mengorbankan nyawaku?”
Ki Jaya diam sejenak, lalu berdiri dan berjalan mendekati pohon besar yang tumbuh di dekat api unggun. Ia menyentuhkan tangannya pada batangnya yang kasar, seolah-olah sedang berbicara dengan sesuatu yang tak terlihat. “Kau harus mengerti bahwa kerajaan ini tidak berdiri sendiri. Ada kekuatan yang lebih besar, lebih tua dari para raja yang duduk di singgasana mereka. Para leluhur dari Klan Rakai adalah mereka yang mengetahui rahasia ini, dan mereka bersumpah untuk menjaga keseimbangan antara kekuatan itu dan dunia manusia.”
Saraswati mengernyit. “Dan bagaimana aku berhubungan dengan semua ini?”
Ki Jaya menoleh, menatapnya dengan mata yang tajam seperti belati. “Darahmu membawa kekuatan itu, meskipun kau belum menyadarinya. Kerajaan membesarkanmu bukan karena mereka ingin kau memimpin, tetapi karena mereka ingin memastikan bahwa kekuatan itu tetap berada di bawah kendali mereka. Jika kau menghilang atau mati sebelum waktunya, mereka akan kehilangan kendali itu.”
Jantung Saraswati berdegup lebih cepat. Ia mulai memahami apa yang selama ini terjadi. “Jadi, jika aku menolak untuk mengorbankan diriku, kerajaan akan berada dalam bahaya?”
Ki Jaya mengangguk pelan. “Bukan kerajaan yang dalam bahaya, tetapi mereka yang telah berkuasa selama ini. Jika kau memilih untuk bertahan, jika kau menolak peran yang mereka tentukan untukmu, maka kau akan mengguncang dasar dari sistem yang telah mereka bangun selama bertahun-tahun.”
Saraswati menatap nyala api yang berkedip di hadapannya. Pilihan yang kini terbuka di depannya begitu jelas, tetapi juga begitu berbahaya. Ia bisa tetap bersembunyi, berusaha menjalani kehidupan baru yang jauh dari bayangan istana. Namun, itu berarti ia akan membiarkan kebohongan ini terus berlanjut, membiarkan generasi berikutnya dijebak dalam nasib yang sama. Atau ia bisa melawan. Ia bisa menghadapi mereka, merobohkan tembok-tembok kebohongan yang telah mereka bangun dengan darah dan pengorbanan.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan emosi yang mendidih dalam dirinya. “Aku ingin tahu lebih banyak,” katanya akhirnya, suaranya tidak lagi ragu. “Jika aku memang memiliki kekuatan ini, maka aku harus belajar bagaimana menggunakannya.”
Ki Jaya tersenyum tipis, sorot matanya penuh dengan sesuatu yang menyerupai kebanggaan. “Kau sudah mengambil langkah pertama, Saraswati. Tapi ini baru permulaan.”
Saraswati duduk diam di dalam pondok kayu kecil tempat Ki Jaya membawanya. Cahaya bulan masuk melalui celah-celah dinding, menerangi rak-rak kayu yang dipenuhi gulungan naskah tua dan benda-benda peninggalan dari masa lalu. Ki Jaya tengah membuka salah satu gulungan itu, mengamati simbol-simbol yang terukir di dalamnya.
“Ini adalah sejarah yang telah dihapus dari catatan resmi kerajaan,” katanya sambil mengulurkan gulungan itu kepada Saraswati. “Bacalah, dan kau akan mengerti apa yang sebenarnya terjadi sebelum semuanya diambil darimu.”
Saraswati mengambil gulungan itu dengan hati-hati, merasakan tekstur kertas yang sudah mulai rapuh di bawah jemarinya. Ketika ia membuka dan mulai membaca, matanya membelalak. Di halaman pertama, ada gambar lambang yang selama ini ia kenal sebagai lambang kerajaan—tetapi ada sesuatu yang berbeda. Di bawahnya, tertera sebuah nama yang tidak pernah ia dengar sebelumnya. Nama keluarganya yang sebenarnya. Darah Saraswati berdesir. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia melihat bukti nyata bahwa ia bukan milik mereka. Bahwa ia bukan bagian dari kerajaan yang selama ini membentuknya. Bahwa ia adalah sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang mereka coba buatnya percayai. Dan kini, tidak ada jalan untuk kembali.
Malam semakin larut, tetapi pikiran Saraswati masih berputar, dihantui oleh kebenaran yang baru saja ia ketahui. Di hadapannya, gulungan naskah tua terbuka di atas meja kayu, kata-kata di dalamnya tampak seperti bisikan dari masa lalu yang telah lama dikubur. Ki Jaya duduk di seberangnya, menatapnya dengan mata yang penuh kesabaran, seolah-olah ia telah menunggu bertahun-tahun untuk momen ini.
Saraswati mengusap pelan permukaan naskah itu dengan jemarinya. Tulisan-tulisan di dalamnya tidak seperti teks yang biasa ia pelajari di istana. Simbol-simbol kuno terukir dalam tinta yang telah memudar, tetapi masih menyimpan makna yang tajam. Lambang yang ia kenal sebagai simbol kerajaan ternyata memiliki bentuk lain, sebuah tanda yang lebih tua, lebih kuat, dan lebih dalam daripada yang pernah ia sadari.
Ia menarik napas panjang sebelum berbicara. “Jadi, selama ini… keluarga kerajaan menggunakan sejarah yang telah dimanipulasi untuk menjaga kekuasaan mereka?”
Ki Jaya mengangguk pelan. “Bukan hanya sejarah, tetapi juga kepercayaan rakyat. Mereka menulis ulang kisah-kisah lama, menghapus nama-nama yang tidak menguntungkan bagi mereka, dan membentuk narasi baru yang menjadikan mereka sebagai garis keturunan ilahi. Klan Rakai, leluhurmu, bukanlah pemberontak yang mereka klaim. Mereka adalah penjaga keseimbangan yang sebenarnya.”
Saraswati menggigit bibirnya, mencoba menahan kemarahan yang mulai membakar dadanya. Seluruh hidupnya telah dipenuhi dengan kebohongan. Ia telah diajari untuk mengagumi orang-orang yang sebenarnya telah menghancurkan keluarganya. Ia telah dididik untuk memuliakan mereka yang telah menghapus nama leluhurnya dari sejarah.
“Aku ingin tahu segalanya,” katanya akhirnya, suaranya dipenuhi dengan tekad yang baru. “Tidak ada lagi kebohongan. Aku ingin tahu siapa aku sebenarnya, dan mengapa mereka takut padaku.”
Ki Jaya menatapnya dengan tajam, lalu mengambil gulungan lain dari rak di belakangnya. “Kalau begitu, kita mulai dari awal,” katanya sambil meletakkan gulungan itu di hadapan Saraswati. “Dengarkan baik-baik, karena apa yang akan kau ketahui tidak akan bisa kau lupakan.”
Berjam-jam Saraswati menghabiskan waktunya di dalam pondok kecil itu, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Ki Jaya. Ia belajar tentang Klan Rakai, tentang bagaimana mereka bukan sekadar kelompok pemberontak, tetapi penjaga dari sesuatu yang lebih besar. Mereka adalah pemegang rahasia yang menjaga keseimbangan antara kekuatan dunia dan kekuasaan manusia.
Dahulu, Klan Rakai hidup berdampingan dengan kerajaan, bukan sebagai musuh, tetapi sebagai penasihat dan pelindung. Namun, seiring berjalannya waktu, penguasa yang serakah menganggap mereka sebagai ancaman. Para raja ingin memiliki kendali penuh atas kerajaan tanpa ada kekuatan lain yang membatasi mereka. Maka, mereka menciptakan sebuah alasan untuk memusnahkan Klan Rakai.
Mereka menyebarkan cerita tentang pengkhianatan, membakar desa-desa mereka, dan memburu setiap anggota klan hingga ke akar. Para pendeta istana menyatakan bahwa klan itu membawa kutukan, bahwa darah mereka adalah darah pemberontakan yang harus dimusnahkan. Namun, satu bayi selamat. Satu-satunya pewaris darah Rakai yang tidak berhasil mereka bunuh.
Saraswati merasakan tubuhnya menegang saat menyadari arti dari cerita itu. “Aku adalah bayi itu,” katanya pelan, hampir seperti berbisik kepada dirinya sendiri.
Ki Jaya mengangguk. “Mereka tidak bisa membunuhmu karena darahmu memiliki sesuatu yang mereka butuhkan. Kau bukan sekadar anak terakhir dari klan itu, Saraswati. Kau adalah kunci yang menjaga sesuatu yang jauh lebih besar.”
Saraswati mengernyit, tidak sepenuhnya memahami maksud kata-kata itu. “Apa maksudmu dengan ‘kunci’?”
Ki Jaya terdiam sejenak sebelum menjawab. “Ada kekuatan yang telah lama dikunci oleh Klan Rakai, kekuatan yang tidak boleh jatuh ke tangan orang yang salah. Mereka berpikir bahwa dengan membesarkanmu dalam istana, dengan menjadikanmu tunduk pada mereka, mereka bisa menggunakan kekuatan itu untuk memperkuat kekuasaan mereka.”
Saraswati merasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. “Dan jika aku mati…?”
“Segel yang mereka jaga selama ini akan melemah,” Ki Jaya berkata dengan suara berat. “Dan itu bisa berarti bencana.”
Saraswati menatapnya, napasnya semakin berat. Ia selalu berpikir bahwa perannya sebagai Sang Cahaya adalah tentang pengorbanan untuk keselamatan kerajaan, tetapi kini ia menyadari bahwa itu hanyalah alasan untuk sesuatu yang jauh lebih gelap. Mereka tidak membutuhkannya sebagai pemimpin. Mereka membutuhkannya sebagai tumbal.
Malam semakin pekat, tetapi tidak ada kantuk yang menghampiri Saraswati. Ia berdiri di luar pondok, menatap langit yang dipenuhi bintang, pikirannya masih berputar dengan kecepatan yang nyaris membuatnya pusing.
Di kejauhan, suara burung malam dan serangga hutan terdengar, tetapi bagi Saraswati, dunia terasa begitu sunyi. Ia merasa seolah-olah seluruh hidupnya baru saja berubah dalam semalam, dan ia tidak tahu bagaimana cara untuk kembali.
Ki Jaya melangkah keluar dari pondok, berdiri di sampingnya dengan tangan bersedekap. “Kau tidak harus memutuskan semuanya malam ini,” katanya lembut. “Tetapi kau harus mempersiapkan diri. Istana akan mencari cara untuk menangkapmu kembali, dan mereka tidak akan berbelas kasih jika mereka tahu kau telah mengetahui kebenaran ini.”
Saraswati mengepalkan tangannya. “Aku tidak bisa hanya bersembunyi. Aku harus melakukan sesuatu.”
Ki Jaya menatapnya dengan tajam. “Dan apa yang ingin kau lakukan?”
Saraswati terdiam sejenak, lalu menatap pria tua itu dengan sorot mata yang tidak lagi ragu. “Aku ingin melawan mereka.”
Ki Jaya menghela napas panjang, tetapi ada sedikit senyuman di wajahnya. “Kalau begitu, kau harus belajar bagaimana cara bertahan.”
Saraswati mengangguk, menyadari bahwa perjalanannya baru saja dimulai. Ia telah kehilangan identitas yang selama ini ia percaya, tetapi di saat yang sama, ia telah menemukan sesuatu yang lebih besar. Ia bukan lagi putri yang dipersiapkan untuk dikorbankan. Ia bukan lagi Sang Cahaya yang harus tunduk pada kehendak istana. Ia adalah pewaris terakhir Klan Rakai. Dan ia tidak akan membiarkan sejarah berulang. Di kejauhan, di dalam istana yang masih mencari jejaknya, para penguasa mulai menyusun rencana baru. Mereka telah kehilangan kendali atas Saraswati.
Dan kini, mereka akan melakukan apa pun untuk memastikan bahwa ia tidak akan pernah bisa menggulingkan mereka. Udara malam menyelimuti Saraswati dengan hawa dingin yang menggigit. Ia berdiri di ambang hutan, memandangi pepohonan yang menjulang tinggi, seakan menjadi dinding alami yang memisahkan dirinya dari dunia yang selama ini ia kenal. Angin berembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang telah jatuh, membisikkan sesuatu yang nyaris terdengar seperti panggilan masa lalu.
Di dalam dirinya, badai tak kunjung reda. Fakta bahwa ia bukanlah darah bangsawan, bukan Sang Cahaya seperti yang selama ini ia percayai, telah mengubah segalanya. Kini, setiap kenangan yang pernah ia miliki bersama keluarga kerajaan terasa seperti kepalsuan yang dipahat dengan hati-hati. Senyum permaisuri, perhatian para penasihat, bahkan setiap doa yang ia ucapkan dalam ritual suci—semuanya menjadi seperti rantai yang telah lama membelenggunya tanpa ia sadari.
Di belakangnya, Ki Jaya masih berdiri dengan tenang, sosoknya tampak kokoh meskipun usia telah meninggalkan jejak di wajah dan posturnya. Matanya tetap tajam, seolah mampu menembus pikiran Saraswati yang tengah kacau. Ia menunggu, memberi ruang bagi gadis itu untuk memahami sendiri ke mana langkahnya akan menuju.
Saraswati menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara segar memenuhi paru-parunya sebelum menghembuskannya perlahan. “Mereka akan mencariku,” katanya akhirnya, suaranya lebih stabil daripada yang ia kira. “Mereka tidak akan berhenti sampai mereka menemukanku.”
Ki Jaya mengangguk pelan. “Itulah yang akan mereka lakukan. Kau adalah kunci yang mereka butuhkan, dan mereka tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”
Saraswati mengepalkan tangannya, merasakan getaran samar di dalam tubuhnya. Bukan hanya ketakutan yang mengalir dalam darahnya, tetapi juga kemarahan yang mulai menyala, membakar ketidakpastian yang masih tersisa. “Aku tidak ingin hanya bersembunyi. Jika aku memang membawa darah Klan Rakai, maka aku ingin tahu apa yang membuat mereka begitu takut padaku.”
Ki Jaya tersenyum tipis, sorot matanya berubah seakan melihat sesuatu yang selama ini ia tunggu-tunggu. “Itu adalah awal yang baik. Tapi sebelum kau bisa melawan mereka, kau harus tahu siapa dirimu sebenarnya. Kekuatan apa yang kau miliki. Warisan apa yang telah mereka coba musnahkan.”
Saraswati menatapnya penuh selidik. “Kau bilang Klan Rakai adalah penjaga keseimbangan, bahwa mereka memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh keluarga kerajaan. Apa yang sebenarnya mereka jaga?”
Ki Jaya tidak segera menjawab. Ia berjalan perlahan menuju pondoknya, lalu mengambil sebuah kotak kayu yang telah tertutup rapat dengan ukiran kuno di permukaannya. Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah gulungan yang tampak lebih tua dari semua naskah yang sebelumnya Saraswati baca.
“Di dalam gulungan ini,” Ki Jaya berkata dengan suara rendah, “terdapat catatan terakhir yang ditinggalkan oleh leluhur Klan Rakai sebelum mereka dihancurkan.”
Saraswati menerima gulungan itu dengan hati-hati, merasakan betapa ringkihnya benda itu di tangannya. Ia membuka lipatannya perlahan, matanya menelusuri tulisan tangan yang telah mulai pudar, tetapi masih cukup jelas untuk dibaca.
"Di dalam darah kita tersimpan kekuatan yang tidak boleh jatuh ke tangan mereka yang tamak. Kita adalah penjaga gerbang, pemegang kunci yang memastikan bahwa dunia ini tetap berada dalam keseimbangan. Namun, mereka ingin mengambilnya. Mereka ingin menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Jika kita kalah, maka akan ada hari di mana satu-satunya pewaris yang tersisa harus memilih—apakah ia akan tunduk, atau ia akan menyalakan kembali api yang telah dipadamkan.”
Darah Saraswati berdesir. Ia membaca kalimat itu berulang kali, memastikan bahwa ia tidak salah memahami maksudnya.
“Kunci… gerbang… apa maksudnya?” Ia menoleh kepada Ki Jaya, matanya dipenuhi dengan pertanyaan yang mendesak.
Ki Jaya menarik napas panjang, lalu duduk di dekat perapian yang mulai meredup. “Kerajaan yang kau kenal tidak didirikan dengan cara yang bersih. Mereka membangun kekuasaan mereka di atas sesuatu yang tidak seharusnya mereka sentuh. Ada kekuatan yang telah disegel sejak zaman dahulu, kekuatan yang hanya bisa dikendalikan oleh mereka yang memiliki darah Rakai.”
Saraswati mengernyit. “Dan aku memiliki darah itu.”
Ki Jaya mengangguk. “Itulah sebabnya mereka menjadikanmu Sang Cahaya. Mereka tahu bahwa suatu saat, ketika segel itu melemah, hanya darahmu yang bisa memperkuatnya kembali.”
Saraswati terdiam, mencoba mencerna kebenaran yang semakin dalam. Jadi, mereka tidak hanya ingin mengorbankannya untuk menjaga kekuasaan mereka, tetapi juga untuk memastikan bahwa mereka tetap dapat mengendalikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kerajaan.
Ia merasakan dadanya berdenyut dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Jika ia memang memiliki kekuatan untuk menentukan nasib segel itu, maka pertanyaannya bukan lagi apakah ia akan tunduk pada perintah mereka. Pertanyaannya adalah apa yang akan ia lakukan dengan kekuatan itu.
Ia menggigit bibirnya, tatapannya kembali kepada Ki Jaya. “Jika aku memilih untuk tidak memperkuat segel itu… apa yang akan terjadi?”
Ki Jaya menatapnya dalam-dalam, seolah memastikan bahwa gadis di hadapannya benar-benar siap untuk mendengar jawabannya. “Mereka akan kehilangan kendali atas kekuatan yang telah mereka manfaatkan selama ini. Dan jika itu terjadi, kerajaan akan runtuh.”
Saraswati menarik napas tajam, tubuhnya menegang. Ia tahu bahwa jawabannya akan membawa konsekuensi besar. Jika ia memperkuat segel itu, maka ia akan mengikuti rencana yang telah mereka susun selama ini. Tetapi jika ia memilih untuk membiarkan segel itu melemah, maka ia akan menjadi penghancur kerajaan yang selama ini ia anggap sebagai rumahnya.
Dalam keheningan yang semakin tebal, Ki Jaya berbicara lagi, suaranya lebih lembut kali ini. “Pilihannya ada padamu, Saraswati. Apakah kau ingin menyelamatkan kerajaan ini… atau mengakhirinya?”
Malam telah berlalu, dan ketika fajar menyingsing, Saraswati masih berdiri di tempat yang sama, memandangi cakrawala yang perlahan berubah warna. Ia tahu bahwa ia telah sampai pada titik yang tidak bisa ia hindari lagi.
Ia tidak lagi bisa menganggap dirinya sebagai seorang putri. Ia tidak lagi bisa berpura-pura bahwa kehidupannya hanyalah tentang mengikuti takdir yang telah ditetapkan untuknya. Kini, ia memiliki pilihan—pilihan yang bisa mengubah segalanya.
Di kejauhan, di dalam istana megah yang telah menjadi tempat tinggalnya selama ini, permaisuri duduk dengan tenang di dalam ruangannya, menanti kabar dari para pengawal yang telah dikirim untuk mencarinya.
Seorang penasihat mendekat dan membungkuk hormat sebelum berbicara. “Sang Cahaya masih belum ditemukan, Baginda. Namun, beberapa mata-mata kami melaporkan bahwa ia telah menerima perlindungan dari seseorang yang mengetahui asal-usulnya.”
Permaisuri tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia hanya menatap lurus ke depan, lalu berbicara dengan suara dingin dan tegas. “Kirim lebih banyak prajurit. Jika ia telah mengetahui kebenaran, maka tidak ada lagi yang bisa menjamin kesetiaan hatinya.”
Penasihat itu mengangguk sebelum bergegas pergi, meninggalkan permaisuri dalam keheningan yang semakin berat. Di luar sana, di bawah cahaya pagi yang baru saja merekah, Saraswati mengepalkan tangannya, matanya dipenuhi dengan tekad yang tak tergoyahkan. Ia telah menghabiskan hidupnya untuk mengikuti perintah mereka. Kini, tibalah saatnya bagi mereka untuk menghadapi dirinya.
Langit Tirta Mandala merona merah keemasan saat matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Angin lembut berembus melalui menara-menara istana, membawa aroma dupa dan bunga yang masih tersisa dari upacara syukuran yang diadakan siang tadi. Di bawah cahaya yang semakin temaram, ibu kota mulai berdenyut dengan kehidupan barunya—pedagang menutup kios-kios mereka, prajurit berpatroli di jalan-jalan utama, dan rakyat berjalan pulang dengan langkah ringan, membawa harapan akan masa depan yang lebih baik.Namun, di dalam dinding batu yang megah, seorang ratu duduk sendirian di ruang pribadinya, merenungi apa yang telah terjadi dan apa yang masih harus ia hadapi.Saraswati menatap ke luar jendela besar yang menghadap ke kota, kedua tangannya bertumpu di tepian kayu yang diukir dengan motif naga air, lambang kebesaran keluarganya. Rambut hitamnya tergerai, tidak lagi disanggul seperti saat upacara resmi. Ia telah menjalani berbagai pertempuran, baik di medan perang maupun di dalam istana, tetapi h
Fajar menyingsing di atas ibu kota Tirta Mandala, menghamparkan cahaya keemasan yang perlahan merayap melewati menara-menara istana yang megah. Udara masih dipenuhi sisa-sisa aroma dupa dan bunga dari upacara malam sebelumnya, menandai awal dari era baru bagi kerajaan yang telah melalui begitu banyak pertumpahan darah. Di alun-alun utama, ribuan rakyat berkumpul, memenuhi setiap sudut untuk menyaksikan peristiwa yang akan tercatat dalam sejarah.Di tengah kerumunan yang luas, Saraswati berdiri di atas panggung batu yang dikelilingi oleh para pembesar kerajaan, prajurit, dan rakyat yang menunggu dengan harapan bercampur kewaspadaan. Jubah kebesarannya menjuntai megah, tenunannya berwarna biru laut dengan sulaman emas yang melambangkan kejayaan Tirta Mandala. Sebuah mahkota perak, yang lebih sederhana dari yang dikenakan raja-raja sebelumnya, bertengger di kepalanya. Ia memilihnya dengan sengaja—bukan sebagai simbol kekuasaan mutlak, tetapi sebagai tanda bahwa kepemimpinannya bukan tent
Langit senja membentang di atas perkemahan mereka, menyapu cakrawala dengan warna merah keemasan yang perlahan memudar ke dalam kegelapan malam. Di kejauhan, suara angin menerpa dedaunan hutan, berbisik di antara pepohonan seolah membawa pesan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang hatinya gelisah.Saraswati berdiri di tepi perkemahan, matanya menatap ke arah lembah yang terbentang di hadapannya. Mereka telah berkemah di sana selama dua malam sejak meninggalkan ibu kota, mengikuti jejak Adhiraj yang semakin sulit dilacak. Meskipun ia yakin mereka berada di jalur yang benar, ada sesuatu yang lebih berat yang menghimpit dadanya—sesuatu yang bukan berasal dari peperangan atau takhta, tetapi dari sesuatu yang jauh lebih dalam.Langkah kaki yang ia kenali dengan mudah terdengar di belakangnya. Raka mendekat, membiarkan kehadirannya terasa sebelum akhirnya berdiri di sampingnya. Lelaki itu telah bersamanya sejak awal, sejak ia masih terkurung di dalam istana, dan kini mereka berdiri di t
Dingin fajar menyelimuti ibu kota Tirta Mandala ketika kabut sisa peperangan mulai perlahan menghilang. Bangunan-bangunan yang hancur menjadi saksi bisu dari pertempuran besar yang baru saja berakhir. Di alun-alun utama, rakyat berkumpul dalam diam, menanti kepastian tentang masa depan yang telah mereka perjuangkan dengan darah dan air mata.Saraswati berdiri di puncak tangga istana, mengenakan pakaian perang yang masih ternoda debu dan darah. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tetap tajam. Hari ini bukan tentang kemenangan, melainkan tentang keputusan yang akan mengubah jalan sejarah.Di hadapannya, Raja duduk di singgasana yang tidak lagi miliknya. Tangannya terikat di belakang kursi yang pernah menjadi simbol absolut kekuasaan. Meskipun dikalahkan, sorot matanya tetap tajam, seolah ia masih memiliki kendali atas apa yang terjadi. Di sampingnya, Adhiraj berdiri dalam diam, wajahnya penuh luka dan kebencian, tetapi tanpa perlawanan.Saraswati menatap ayahnya lama, merasakan begitu ban
Langit di atas ibu kota Tirta Mandala berubah kelam, seakan merespons perang besar yang kini melanda setiap sudut kota. Asap membubung dari bangunan-bangunan yang terbakar, suara dentingan pedang beradu dan teriakan kematian bergema di sepanjang jalan berbatu. Rakyat yang selama ini terbelenggu oleh ketakutan kini bangkit, mencabut senjata seadanya—parang, tongkat, dan obor—dan bertempur melawan pasukan kerajaan.Saraswati berdiri di atas tembok barat istana, napasnya berat setelah pertempuran yang tak kunjung usai. Di bawahnya, lautan manusia bertempur sengit, dan di dalam istana sendiri, peperangan masih berlangsung di setiap lorong dan aula megah.Ia menoleh ke arah Raka yang berdiri di sampingnya, pedang pria itu sudah ternoda darah, dan wajahnya penuh goresan. “Kita tidak bisa bertahan lebih lama,” kata Raka, suaranya penuh ketegangan. “Pasukan kerajaan masih lebih kuat. Jika bala bantuan tidak datang, kita akan terkepung.”Saraswati mengeratkan genggaman pada gagang pedangnya. “
Angin dingin berembus membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Pasukan pemberontak bergerak dalam senyap, menyusuri jalan setapak yang menuju ibu kota, Tirta Mandala. Langkah-langkah mereka penuh kehati-hatian, menyatu dengan bayangan pepohonan yang tinggi. Saraswati menunggangi kudanya di barisan depan, matanya tajam menatap ke depan, sementara jubah gelapnya berkibar diterpa angin.Dari puncak bukit, benteng megah ibu kota mulai terlihat di kejauhan. Cahaya obor di menara-menara penjaga tampak seperti bintang-bintang redup yang mengambang di udara malam. Tirta Mandala berdiri kokoh, sebuah kota yang selama ini hanya ia kenal sebagai penjara berlapis emas, tetapi malam ini ia kembali, bukan sebagai gadis yang dikurung dalam istana, melainkan sebagai pemimpin pemberontakan yang menuntut haknya.Raka berada di sampingnya, tangannya tetap dekat dengan gagang pedangnya, siap menghadapi kemungkinan terburuk. “Mereka sudah tahu kita akan datang,” katanya lirih, suara beratnya