Lana melangkah ke lantai dasar menuju swalayan terbesar di gedung itu. Anak itu memilih beberapa makanan yang paling mahal dan besar, sebagai balas dendam karena tidak diperbolehkan membeli es krim.Nisa yang melihatnya, membiarkannya saja, asal yang dipilih anak itu makanan bermutu yang tidak membangkitkan kembali penyakit yang baru saja sembuh kemarin.Anak itu melirik Nisa setiap kali akan mengambil apa yang dia inginkan, berharap wanita yang menjaganya itu melarangnya atau panik karena tidak akan bisa membayar belanjaannya yang banyak. Namun Nisa tidak perlu khawatir karena kartu kredit milik Ferdi masih ada di tangannya. Dia belum memiliki kesempatan untuk mengembalikannya, nanti saat mereka pulang dari mall ini dia berniat akan mengembalikannya.“Den Lana, mau apa kamu membeli stroller? Itu dibutuhkan oleh bayi, kamu sudah tidak memerlukannya lagi karena kan sudah besar, apa kamu mau balik jadi bayi lagi?” tegur Nisa ketika Lana mencoba mengangkat sroller itu dan ingin meletakk
Nisa terkejut mendengar seruan itu, sementara Ferdi bersikap biasa saja bahkan seakan tidak melihat penampakan mantan istrinya yang sudah seperti hiena marah. Berkacak pinggang memelototi mobil Ferdi yang masuk ke garasi.Dan bocah yang duduk di bangku belakang bersama Nisa langsung melompat turun ketika melihat ibunya, padahal wajah wanita itu sudah mengebul merah."Ibuuuuu," teriak Lana.Beruntung wanita itu langsung menyambut anaknya ke dalam gendongannya. Nisa sempat mengira kalau Lucia bakal tidak mempedulikan Lana saking marahnya.Lucia langsung masuk ke rumah begitu Ferdi juga masuk, meninggalkan Nisa dengan barang belanjaan.Begitu masuk ke dapur, Nisa bertemu dengan Lala dan Ningsih yang akan pulang ke rumah masingmasing, namun mereka tidak mempedulikan Nisa yang menyapa."Sudah mau pulang, Mbak?" sapa Nisa saat berselisih dengan Lala, perempuan itu hanya meliriknya saja."Ini, aku bawakan roti buat anak Mbak di rumah." Nisa menyerahkan bungkusan kecil ke arah Ningsih, tapi p
"Bu-bukan, Nyonya. Kami hanya bercanda, lagian saya tidak tau seperti apa pelet itu," ujar Nisa terkejut karena suara itu begitu melengking hingga menusuk keras saraf pendengarannya."Benar begitu, Bi Nia?" Lucia menanyakan pembantu senior di rumah Ferdi."Betul, Nyonya," jawab beliau santai."Aku mau membuat spaghetti untuk Lana, cepat siapkan peralatannya," ujar Lucia lagi sambil menatap bengis ke arah Nisa.Tanpa diperintah dua kali, Nisa langsung beranjak dari tempatnya dan mengambil sebungkus spaghetti dan peralatan masak lainnya.*"Apa maksud Lana dengan pria tambun?" tanya Ferdi ketika putranya menceritakan tentang kejadian di mall tadi. Mengatakan kalau Mbak Nisa telah diganggu oleh pria tambun."Lelaki dengan perut besar, Yaaah. Dia mengganggu Mbak Nisa, menarrrik tangannya dengan keras," jawab Lana dengan kesal."Lalu, apa yang terjadi?" Ferdi bertanya lagi, entah kenapa dihatinya terasa ada yang mengganjal, meresahkan."Tentu saja Lana usir dia, Yah. Lana menyundul pantat
"Jangan terlalu percaya sama orang baik di depan kita, Mbak. Mereka bisa menusuk di belakang." Bukannya menjawab, Mang Udin malah semakin membuat Nisa bingung.Terlintas di benak Nisa tentang Bi Nia yang terkadang baik kepadanya, terkadang juga judes. Sama seperti 2 pekerja perempuan lainnya, sekarang mereka malah terang-terangan jutek padanya.Tiba-tiba Lana datang dan langsung meletakkan kepalanya di paha Nisa. Anak itu memejamkan matanya namun raut wajahnya mengatakan kalau anak itu sedang kesal.“Kenapa?” tanya Nisa sambil menyugar rambut anak itu. Dia sudah tidak aneh lagi dengan sikap Lana yang suka berubah-ubah terhadapnya, kadang baik kadang jutek bahkan terlihat manja.“Nenek. Lagi-lagi mengatai ibu,” jawabnya tanpa lama. “Padahal, kali ini ibu tidak buat salah.”“Kali ini?” tanya Nisa memancing respon anak itu.“Ya, memang ibu sering bikin ayah marah. Tapi kali ini kan tidak.” Lana masih memejamkan matanya, menikmati tangan Nisa yang memainkan rambutnya.Nisa tidak tau apa y
Esok harinya, sebelum bersiap berangkat ke kantor, Nisa menyempatkan diri untuk mencuci pakaian yang memang sudah di tumpuk oleh Lala di samping mesin cuci.Tiba-tiba Ningsih menghampirinya dan tanpa kata mengambil pakaian yang ada di tangan Nisa, lalu mulai memilah-milah pakaian untuk dicuci. Padahal pekerjaan wanita yang sebaya dengannya itu adalah mengurusi taman di rumah itu.“Sudah tinggalin saja, Nisa. Kamu siapin sarapan Tuan, sebelum beliau mencari kamu seperti semalam,” ujar Bi Nia. Tiba-tiba beliau muncul dan melihat Nisa yang tidak bergerak sambil menatap Ningsih dengan bingung.Nisa cuma bisa menurut dan akhirnya meninggalkan Ningsih yang masih diam, meski dia bertanya-tanya ketika dia berjalan menjauh, dia mendengar bisikan antara Bi Nia dan Ningsih.“Mbak Nisa, aku mau makan roti lapis kayak ayah,” seru Lana melompat dari anak tangga terakhir.“Lho, Den Lana sudah mandi? Mandi sama siapa?” Nisa mengelus pucuk kepala anak majikannya begitu sampai ke sampingnya. Anak kecil
Bi Nia adalah bibinya Lucia. Kakak dari almarhumah ibu dari wanita itu. Bi Nia itulah yang menjadi mata-mata di rumah Ferdi, dan yang mengatur semua pekerja di rumah mantan suami keponakannya bahkan membuat pengasuh Lana dipecat karena tidak mau menuruti kemauan mereka.“Aku akan mencari cara agar wanita itu keluar dari rumah Ferdi. Aku tidak akan menyerah sebelum mendapatkan uang yang banyak dari Ferdi.” Ikrar Lucia.“Tapi, Lucy. Apa hanya uang yang kamu pikirkan, apa kamu tidak mau kembali lagi dengan pria mapan itu?” Bi Nia mengambil beberapa barang dan menambah tumpukan di keranjang dorongnya.“Oh, tidaklah, Bi. Pria itu begitu kaku, belum lagi ibunya yang cerewet. Aku hanya tidak suka kalau dia hidup tenang, apalagi menjalin hubungan yang damai dengan lawan jenis.” Lucia tersenyum licik.“Cih, persis ibumu. Aku hanya ingin uang, Lucy. Kamu tau kan anakku yang sekolah di luar negri sangat boros.”“Bibi tenang saja, sebentar lagi aku mendapat proyek yang besar.” Bi Nia menatapnya b
Lucia yang dikenal sebagai artis cantik, namun tanpa talenta yang membanggakan, nyatanya hal itu memang benar.Tapi, karirnya lebih bagus dari artis yang memiliki kemampuan akting yang mumpuni. Hal ini karena yang dilakukannya saat ini, bergelut dengan sang sutradara di dalam kamar yang panas nan menggairahkan."Janji ya, Mas. Kamu bakal mengasih peran buatku di film barumu," ujar Lucia kepada lelaki tambun yang sekarang sedang memeluknya. Keringat keduanya sudah membeku akibat AC yang dinyalakan sangat kencang.Pip pip pip. Lelaki itu menurunkan AC 3 tingkat, sekarang udara di kamar itu lebih ke sejuk daripada dingin."Iya, pasti. Kamu tenang saja, yang penting kamu berakting yang bagus saat audisi nanti," ujar lelaki tambun itu sambil memeluk Lucia dan sesekali memelintir puncak gunung mas milik wanita itu."Kenapa harus seleksi lagi sih, kenapa tidak langsung jadikan aku sebagai tokoh utama wanita?" Protes Lucia manja."Aku tidak bisa melakukan itu, Sayang. Karena ini kerja tim. Se
"Maaf, Mbak. Mbaknya ngomong sama siapa, ya?" Tiba-tiba seorang pemuda menyapa Nisa yang berbicara sendiri. Dari raut pemuda itu terlihat waspada sambil mengedarkan matanya di sekeliling Nisa."Saya pikir, Mbak tadi bicara dengan ponsel, tapi saya liat-liat lagi, tidak ada headset di lubang telinganya." Pemuda itu menatap Nisa dengan ketakutan.Nisa yang juga terkejut, heran melihat reaksi pemuda itu. "Oh, maaf mengagetkanmu. Saya hanya sedikit stres dengan pekerjaan hari ini," ujar Nisa beralasan."Oh, syukurlah." Pemuda itu menghembuskan nafasnya lega, karena sempat mengira kalau Nisa sedang berbicara dengan makhluk tak kasat mata."Pegawai baru, ya?" tanya Nisa yang merasa lucu melihat pemuda itu membuang keteganganya."Iya, Mbak. Baru 2 bulan, masih masa percobaan," jawabnya santai kemudian."Semoga betah, ya." Setelah Nisa mengatakan itu, lift yang akan turun ke lantai dasar berhenti di lantai 3."Duluan, ya," lanjut Nisa yang diangguki sopan oleh pemuda tadi.Nisa mendengar keri