Share

Meminta Doa Restu

Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia.

Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras.

"Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket.

Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. 

"Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang."

Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin.

"Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijual di pasar sama dibeli tetangga sendiri."

"Benarkah?" Aku terkejut dengan seulas senyum bangga.

"Iya, Han. Jadi kayaknya uang dari kamu, lebih baik Mama tabung aja."

"Iya, Ma. Seenaknya Mama aja."

"Han, kemarin Mama mimpi kamu digigit ular. Apa ada lelaki yang dekat sama kamu atau minta kamu jadi pacarnya?"

Kedua alisku terangkat tinggi lalu meraup udara sebanyak mungkin untuk meredam kegugupan ini. Bagaimana mungkin tebakan Mama sejitu ini?

Bagai busur panah tepat sasaran.

Pasalnya, bukan ada lelaki yang dekat denganku atau meminta menjadi kekasihnya. Melainkan mimpi Mama itu berkorelasi dengan takdir hidupku yang sebentar lagi akan dinikahi secara kontrak oleh Pak Akhtara, manajerku. 

Aku tertawa lirih meningkahi ucapan Mama, "Mama bisa aja."

"Kamu boleh berkarir, Han. Tapi jangan lupa cari pasangan. Mama sama Papa minta maaf, belum bisa nyariin kamu jodoh. Tapi doa Mama Papa selalu menyertaimu."

"Astaga, Ma. Santai aja."

"Kalau udah ada calon, kamu bisa ajak kemari, Han. Biar Mama nilai gimana lelaki itu."

Ucapan Mama seakan menegaskan jika aku benar-benar memiliki seorang kekasih atau calon suami sungguhan. Padahal aku dan Pak Akhtara hanya main-main dan terikat kontrak. 

"Ma, akhir pekan ini ... kayaknya aku mau pulang. Udah sebulan nggak pulang," ucapku mengalihkan perhatian. 

"Iya, Han. Mau dimasakin apa?"

"Opor ayam lah, Ma. Sekalian, mau ada yang aku omongin."

"Ngomong apa emangnya, Han?"

***

Mobil Pak Akhtara berbelok di depan minimarket tempat aku menunggunya. Kebetulan minimarket itu bersebelahan dengan kosku.

Hanya berbekal tas ransel zaman kuliah, aku membawa beberapa keperluan untuk pulang kampung selama dua hari saja. Hari ini dan besok kembali bekerja.   

Begitu Pak Akhtara keluar dari mobil dengan pakaian kasual juga rambut yang tersisir klemis, aku segera berdiri dari duduk untuk menyambut manajerku itu. Tapi ia justru berlalu ke dalam minimarket. 

Lalu aku buru-buru meneguk habis minuman kaleng dingin yang masih ada di atas meja stainles. 

"Maaf nunggu lama," ucap Pak Akhtara lalu duduk di sebelahku dengan meja ini sebagai penghalang. 

Kemudian aku kembali duduk. 

"Tidak apa-apa, Pak."

Dari jarak kurang satu meter ini, aku bisa mencium aroma wangi parfumnya yang menempel di baju. Mirip toko parfum berjalan dan sangat pemborosan!

Usai meneguk habis minuman dinginnya, Pak Akhtara mengajakku masuk ke dalam mobil dan aku mematuhinya. 

"Semoga nggak macet, jadi kita bisa sampai rumah orang tuamu tepat waktu."

Berada di kawasan Lembursitu, Sukabumi, itulah tanah kelahiran Papa. Berjarak hampir tiga jam dari Ibu kota jika ditempuh dengan kendaraan roda empat. 

"Jadi, nanti skenarionya kayak yang kita obrolin kemarin ya, Han," ucap Pak Akhtara sambil fokus menyetir. 

"Iya, Pak."

Dan sepanjang perjalanan itu Pak Akhtara hanya fokus mengemudi sedang aku menonton video lucu di salah satu aplikasi bergambar not nada. 

Awalnya beliau nampak percaya diri tapi ketika mendekati lokasi perumahan orang tuaku, wajah Pak Akhtara mulai terlihat gugup. Seperti akan menemui tukang tagih kredit. 

Meski beliau tidak berkata apapun, namun aku bisa melihatnya dengan jelas kecemasan itu begitu mobilnya melewati pasar Cibadak. Ternyata, orang yang biasanya sangat disegani di kantor ini juga bisa dibuat tak berkutik ketika akan bertemu kedua orang tuaku.

"Han, Papamu itu ... orangnya ... tipenya kayak apa?" Mendadak beliau bertanya demikian.

Aku berpikir sejenak lalu menoleh padanya, "Papa saya itu suka ngobrolin tentang pemerintahan, Pak. Jadi Pak Akhtara bisa mengangkat topik pembicaraan tentang pemilu yang akan datang saja."

Kepala Pak Akhtara mengangguk paham, "Pembahasan yang disukai para orang tua."

Iya, saking sukanya dulu Papa nekat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan berakhir bangkrut. Dan satu hal itu, Pak Akhtara tidak boleh mengetahuinya atau mukaku bisa tercoreng.

Karena usai menjadi seorang putri raja kini aku menjadi buruh rupiah.

"Apa kita perlu mampir ke toko buah? Bawain Mamamu oleh-oleh?"

Yeah, totalitas sekali manajerku ini jika akan bersandiwara. Cocok melamar menjadi sutradara.

Mau bagaimana lagi, Rara tidak memiliki kenalan orang yang bisa menjadi wali nikah palsuku. Juga urusan administrasi di KUA membutuhkan data kependudukan yang valid dan kami tidak memiliki waktu untuk menganulir semua data-data pribadiku di kantor catatan sipil. 

Akhirnya, aku dan Pak Akhtara memutuskan untuk mengatakan pada kedua orang tuaku jika akan menikah. Tapi tanpa ada yang tahu jika kami menikah dengan embel-embel perjanjian di bawah tangan. 

"Yang pagar hijau itu rumah orang tua saya, Pak," ucapku. 

Usai mematikan mesin mobil, Pak Akhtara menghirup nafas sebanyak mungkin lalu dihembuskan pelan. 

"Jadi ini rumah yang kamu cicil pakai uang bonusan nikah kontrak kita?"

Kepalaku mengangguk, "Iya, Pak."

Pak Akhtara melihatnya sekilas dari balik kaca depan mobil.

"Biar saya yang bawa parsel buahnya, Han. Kamu turun duluan."

Aku mengangguk patuh lalu membawa serta tas ranselku. Kemudian membuka pagar hijau setinggi orang dewasa itu. 

"Ma? Assalamualaikum!"

Motor bebek bekas itu ada di teras rumah, ini artinya Papa ada di rumah dan kami hanya perlu berakting seperti kesepakatan. 

Ketika pintu rumah terbuka, bersamaan dengan itu Pak Akhtara menapaki teras rumahku dengan membawa parsel buah.

"Waalaikumsalam. Lho ... Jihan?" ucap Mama terkejut. 

Aku memeluk Mama erat lalu beliau berbisik, "Itu siapa, Han?"

Kemudian aku melepas pelukan dan menoleh. 

"Kenalin, Ma. Ini ... Mas Akhtara," ucapku dengan seulas senyum.

Mendadak lidahku seperti baru saja memakan kaktus hingga getahnya membuat gatal karena memanggil Pak Akhtara dengan sebutan 'Mas Akhtara'. 

Huek!

Pak Akhtara mengangsurkan parsel buah itu dengan sopan sambil tersenyum lalu mencium punggung tangan Mama. 

Uuuuhh ... sopan sekali jika merayu. 

"Ayo, suruh masuk dulu, Han," ucap Mama dengan setengah bingung. 

Usai mempersilahkan Pak Akhtara duduk, Mama kembali membuka suara.

"Han, bantu Mama bikin teh untuk tamumu."

Yeah ... pasti Mama ingin bertanya lebih lanjut tentang siapa itu Pak Akhtara dan ada keperluan apa datang kemari bersamaku.

Biasalah, emak-emak!

Di dapur sempit ini, Mama mulai menginterogasiku yang baru saja mengambil empat gelas untuk membuat teh. 

"Han, siapa itu tadi?"

"Papa mana, Ma?" 

Aku justru bertanya dimana keberadaan Papa.

"Lagi rapat di rumah Pak RT."

"Oh ... " 

Lalu aku melanjutkan membuat teh tapi Mama kembali menghalangi.

"Eh, itu tadi siapa, Han? Kok kamu nggak bilang-bilang mau pulang sama laki-laki? Jangan bilang itu pacarmu?"

***

Sadar jika aku tidak boleh terlalu formal dan kami sedang berakting, aku pun mencoba untuk lebih luwes menghadapi Pak Akhtara yang dingin dan tegas kalau di kantor itu. 

"Minum dulu, Mas," ucapku dengan menyajikan segelas teh hangat. 

Sungguh aku ingin segera membubuhi lidahku dengan gula tiap kali menyebutnya dengan panggilan 'Mas Akhtara'. Aneh sekali rasanya!

Terpaksa aku memanggilnya begitu karena ada Mama di sampingku. 

Lalu terdengar suara pagar terbuka dan begitu aku melihat keluar ternyata itu Papa. Berjalan sambil membawa beberapa kertas di tangan. 

"Lho? Jihan? Itu mobil siapa?"

Aku menunjuk ke arah Pak Akhtara kemudian beliau mencium punggung tangan Papa dengan hormat. 

"Ini ... siapa, Han?" tanya Papa bingung.

Kemudian aku menarik tangan Papa agar duduk dulu di sebelah Mama, sedang aku mengambil duduk di sebelah Pak Akhtara. 

"Ma, Pa, aku sama Mas Akhtara mau minta doa restu. Rencananya, minggu depan ... kami mau nikah."

"Apa?!" 

Juniarth

enjoy reading ...

| Like
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
belum up,masih kutungguin
goodnovel comment avatar
Fi Da
laa....langsung aja
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
ga ada angin ga ada hujan,ibaratnya bikin kaget orang tua,to the poin
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status