Share

Meminta Doa Restu

Penulis: Juniarth
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-04 11:58:25

Lega rasanya usai membayar cicilan rumah yang ditinggali kedua orang tuaku di kampung halaman. Meski rumah itu tidak megah dan besar karena hanya berdiri di atas lahan perumahan sederhana, namun ada kebanggan tersendiri bisa membuat mereka bahagia.

Yang terpenting kedua orang tuaku nyaman menempatinya. Tanpa mobil mewah yang berjajar di garasi seperti dulu. Hanya sebuah motor bebek bekas yang terparkir di teras.

"Halo, Ma. Aku barusan kirim untuk jatah makan minggu ini," ucapku dari sambungan telfon sambil duduk di depan gerai minimarket.

Dengan sekaleng minuman dingin yang menemani langkah takdirku detik ini. 

"Iya, Han. Makasih banyak ya, Nak. Meski nggak kamu kirim nggak apa-apa kok. Mama masih ada uang."

Aku mengerutkan kedua alis menanggapi ucapan Mama. Sebab ini sudah jadwalnya aku mengirim uang jatah makan karena Mama dan Papa tidak bekerja. Menggantungkan seluruh hidupnya padaku usai kalah pemilihan dan jatuh miskin.

"Papamu sekarang bisnis bikin tempe, Han. Lumayan dijual di pasar sama dibeli tetangga sendiri."

"Benarkah?" Aku terkejut dengan seulas senyum bangga.

"Iya, Han. Jadi kayaknya uang dari kamu, lebih baik Mama tabung aja."

"Iya, Ma. Seenaknya Mama aja."

"Han, kemarin Mama mimpi kamu digigit ular. Apa ada lelaki yang dekat sama kamu atau minta kamu jadi pacarnya?"

Kedua alisku terangkat tinggi lalu meraup udara sebanyak mungkin untuk meredam kegugupan ini. Bagaimana mungkin tebakan Mama sejitu ini?

Bagai busur panah tepat sasaran.

Pasalnya, bukan ada lelaki yang dekat denganku atau meminta menjadi kekasihnya. Melainkan mimpi Mama itu berkorelasi dengan takdir hidupku yang sebentar lagi akan dinikahi secara kontrak oleh Pak Akhtara, manajerku. 

Aku tertawa lirih meningkahi ucapan Mama, "Mama bisa aja."

"Kamu boleh berkarir, Han. Tapi jangan lupa cari pasangan. Mama sama Papa minta maaf, belum bisa nyariin kamu jodoh. Tapi doa Mama Papa selalu menyertaimu."

"Astaga, Ma. Santai aja."

"Kalau udah ada calon, kamu bisa ajak kemari, Han. Biar Mama nilai gimana lelaki itu."

Ucapan Mama seakan menegaskan jika aku benar-benar memiliki seorang kekasih atau calon suami sungguhan. Padahal aku dan Pak Akhtara hanya main-main dan terikat kontrak. 

"Ma, akhir pekan ini ... kayaknya aku mau pulang. Udah sebulan nggak pulang," ucapku mengalihkan perhatian. 

"Iya, Han. Mau dimasakin apa?"

"Opor ayam lah, Ma. Sekalian, mau ada yang aku omongin."

"Ngomong apa emangnya, Han?"

***

Mobil Pak Akhtara berbelok di depan minimarket tempat aku menunggunya. Kebetulan minimarket itu bersebelahan dengan kosku.

Hanya berbekal tas ransel zaman kuliah, aku membawa beberapa keperluan untuk pulang kampung selama dua hari saja. Hari ini dan besok kembali bekerja.   

Begitu Pak Akhtara keluar dari mobil dengan pakaian kasual juga rambut yang tersisir klemis, aku segera berdiri dari duduk untuk menyambut manajerku itu. Tapi ia justru berlalu ke dalam minimarket. 

Lalu aku buru-buru meneguk habis minuman kaleng dingin yang masih ada di atas meja stainles. 

"Maaf nunggu lama," ucap Pak Akhtara lalu duduk di sebelahku dengan meja ini sebagai penghalang. 

Kemudian aku kembali duduk. 

"Tidak apa-apa, Pak."

Dari jarak kurang satu meter ini, aku bisa mencium aroma wangi parfumnya yang menempel di baju. Mirip toko parfum berjalan dan sangat pemborosan!

Usai meneguk habis minuman dinginnya, Pak Akhtara mengajakku masuk ke dalam mobil dan aku mematuhinya. 

"Semoga nggak macet, jadi kita bisa sampai rumah orang tuamu tepat waktu."

Berada di kawasan Lembursitu, Sukabumi, itulah tanah kelahiran Papa. Berjarak hampir tiga jam dari Ibu kota jika ditempuh dengan kendaraan roda empat. 

"Jadi, nanti skenarionya kayak yang kita obrolin kemarin ya, Han," ucap Pak Akhtara sambil fokus menyetir. 

"Iya, Pak."

Dan sepanjang perjalanan itu Pak Akhtara hanya fokus mengemudi sedang aku menonton video lucu di salah satu aplikasi bergambar not nada. 

Awalnya beliau nampak percaya diri tapi ketika mendekati lokasi perumahan orang tuaku, wajah Pak Akhtara mulai terlihat gugup. Seperti akan menemui tukang tagih kredit. 

Meski beliau tidak berkata apapun, namun aku bisa melihatnya dengan jelas kecemasan itu begitu mobilnya melewati pasar Cibadak. Ternyata, orang yang biasanya sangat disegani di kantor ini juga bisa dibuat tak berkutik ketika akan bertemu kedua orang tuaku.

"Han, Papamu itu ... orangnya ... tipenya kayak apa?" Mendadak beliau bertanya demikian.

Aku berpikir sejenak lalu menoleh padanya, "Papa saya itu suka ngobrolin tentang pemerintahan, Pak. Jadi Pak Akhtara bisa mengangkat topik pembicaraan tentang pemilu yang akan datang saja."

Kepala Pak Akhtara mengangguk paham, "Pembahasan yang disukai para orang tua."

Iya, saking sukanya dulu Papa nekat mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dan berakhir bangkrut. Dan satu hal itu, Pak Akhtara tidak boleh mengetahuinya atau mukaku bisa tercoreng.

Karena usai menjadi seorang putri raja kini aku menjadi buruh rupiah.

"Apa kita perlu mampir ke toko buah? Bawain Mamamu oleh-oleh?"

Yeah, totalitas sekali manajerku ini jika akan bersandiwara. Cocok melamar menjadi sutradara.

Mau bagaimana lagi, Rara tidak memiliki kenalan orang yang bisa menjadi wali nikah palsuku. Juga urusan administrasi di KUA membutuhkan data kependudukan yang valid dan kami tidak memiliki waktu untuk menganulir semua data-data pribadiku di kantor catatan sipil. 

Akhirnya, aku dan Pak Akhtara memutuskan untuk mengatakan pada kedua orang tuaku jika akan menikah. Tapi tanpa ada yang tahu jika kami menikah dengan embel-embel perjanjian di bawah tangan. 

"Yang pagar hijau itu rumah orang tua saya, Pak," ucapku. 

Usai mematikan mesin mobil, Pak Akhtara menghirup nafas sebanyak mungkin lalu dihembuskan pelan. 

"Jadi ini rumah yang kamu cicil pakai uang bonusan nikah kontrak kita?"

Kepalaku mengangguk, "Iya, Pak."

Pak Akhtara melihatnya sekilas dari balik kaca depan mobil.

"Biar saya yang bawa parsel buahnya, Han. Kamu turun duluan."

Aku mengangguk patuh lalu membawa serta tas ranselku. Kemudian membuka pagar hijau setinggi orang dewasa itu. 

"Ma? Assalamualaikum!"

Motor bebek bekas itu ada di teras rumah, ini artinya Papa ada di rumah dan kami hanya perlu berakting seperti kesepakatan. 

Ketika pintu rumah terbuka, bersamaan dengan itu Pak Akhtara menapaki teras rumahku dengan membawa parsel buah.

"Waalaikumsalam. Lho ... Jihan?" ucap Mama terkejut. 

Aku memeluk Mama erat lalu beliau berbisik, "Itu siapa, Han?"

Kemudian aku melepas pelukan dan menoleh. 

"Kenalin, Ma. Ini ... Mas Akhtara," ucapku dengan seulas senyum.

Mendadak lidahku seperti baru saja memakan kaktus hingga getahnya membuat gatal karena memanggil Pak Akhtara dengan sebutan 'Mas Akhtara'. 

Huek!

Pak Akhtara mengangsurkan parsel buah itu dengan sopan sambil tersenyum lalu mencium punggung tangan Mama. 

Uuuuhh ... sopan sekali jika merayu. 

"Ayo, suruh masuk dulu, Han," ucap Mama dengan setengah bingung. 

Usai mempersilahkan Pak Akhtara duduk, Mama kembali membuka suara.

"Han, bantu Mama bikin teh untuk tamumu."

Yeah ... pasti Mama ingin bertanya lebih lanjut tentang siapa itu Pak Akhtara dan ada keperluan apa datang kemari bersamaku.

Biasalah, emak-emak!

Di dapur sempit ini, Mama mulai menginterogasiku yang baru saja mengambil empat gelas untuk membuat teh. 

"Han, siapa itu tadi?"

"Papa mana, Ma?" 

Aku justru bertanya dimana keberadaan Papa.

"Lagi rapat di rumah Pak RT."

"Oh ... " 

Lalu aku melanjutkan membuat teh tapi Mama kembali menghalangi.

"Eh, itu tadi siapa, Han? Kok kamu nggak bilang-bilang mau pulang sama laki-laki? Jangan bilang itu pacarmu?"

***

Sadar jika aku tidak boleh terlalu formal dan kami sedang berakting, aku pun mencoba untuk lebih luwes menghadapi Pak Akhtara yang dingin dan tegas kalau di kantor itu. 

"Minum dulu, Mas," ucapku dengan menyajikan segelas teh hangat. 

Sungguh aku ingin segera membubuhi lidahku dengan gula tiap kali menyebutnya dengan panggilan 'Mas Akhtara'. Aneh sekali rasanya!

Terpaksa aku memanggilnya begitu karena ada Mama di sampingku. 

Lalu terdengar suara pagar terbuka dan begitu aku melihat keluar ternyata itu Papa. Berjalan sambil membawa beberapa kertas di tangan. 

"Lho? Jihan? Itu mobil siapa?"

Aku menunjuk ke arah Pak Akhtara kemudian beliau mencium punggung tangan Papa dengan hormat. 

"Ini ... siapa, Han?" tanya Papa bingung.

Kemudian aku menarik tangan Papa agar duduk dulu di sebelah Mama, sedang aku mengambil duduk di sebelah Pak Akhtara. 

"Ma, Pa, aku sama Mas Akhtara mau minta doa restu. Rencananya, minggu depan ... kami mau nikah."

"Apa?!" 

Juniarth

enjoy reading ...

| 5
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
belum up,masih kutungguin
goodnovel comment avatar
Fi Da
laa....langsung aja
goodnovel comment avatar
Miyuk Kaslan
ga ada angin ga ada hujan,ibaratnya bikin kaget orang tua,to the poin
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Bahagia Selamanya

    POV AKHTARA Satu tahun kemudian ... "Selamat, Pak. Bayinya lahir sehat. Perempuan."Aku yang sedang menemani Jihan melahirkan secara sesar itu pun tidak kuasa menahan haru dan bahagia karena kami dipercaya Tuhan untuk merawat cipataan-Nya yang sangat lucu dan menggemaskan.Adiknya Akhtira. Setelah suster membersihkan putri kami tercinta, aku segera menggendongnya. Lalu melafadzkan suara adzan di telinganya. Dengan mata berkaca-kaca, aku mencium pipinya penuh cinta. Lalu memberikannya pada Jihan yang masih terbaring di atas meja operasi. "Mau Ayah kasih nama siapa?""Aksara Badsah Ubaid."Kemudian Jihan terlihat sedikit memanyunkan bibir."Aku yang hamil susah payah, tapi nama kedua anakku mirip Ayah semua." Protesnya. "Ya udah saya ganti.""Diganti apa?""Aksara Febriana Ubaid."Jihan menganggukkan kepala setuju dengan melakukan skin ship bersama putri kami. "Namanya kelihatan ada ceweknya. Kalau yang pertama kayak laki-laki, Yah.""Apapun yang kamu mau, Sayang."Kemudian aku da

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Janji Tak Akan Berpisah Lagi

    POV AKHTARARumah megahku yang berada di Bogor terasa begitu sepi, dingin, dan mati. Tidak ada suara tawa atau celotehan Akhtira.Dulu aku mendiami rumah ini hanya untuk menaruh lelap, berganti pakaian, dan berpesta dengan rekan-rekan bisnis. Bukan sebagai tempat untuk melepas kepenatan atau mendulang kebahagiaan.“Dulu saya suka pulang ke rumah ini karena ada kamu, Han,” ucapku.Sambil bergelung dengan satu selimut yang sama dengan Jihan. Di kamar yang ia tempati dulu.“Gombal. Nyatanya Bapak juga masih keluar sama Merissa padahal ada saya di rumah.”Kemudian aku membawanya dalam pelukan hingga kulit kami saling bersentuhan.“Saya nemenin Merissa belanja doang. Dan sengaja pulang agak malam biar kamu cemburu.”Tangan Jihan kemudian memukul dadaku.“Jahat!”Aku tersenyum lalu mencium kening dan memeluknya.“Saya jahat sama kamu dan jahat sama diri saya sendiri. Saya pengen cepat pulang, ketemu kamu, lalu mendapatkan hak saya. Tapi saya sengaja ngulur-ngulur waktu biar kamu cemburu. Soa

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Ingin Kamu Padahal Masih Sore

    POV AKHTARA“Pa, aku sama Ayahnya Tira mau ke Bogor,” ucap Jihan ketika kami semua duduk di kursi meja makan.“Ngapain ke Bogor?!” Tanya Papanya Jihan ketus.Jihan yang sedang menyuapi Akhtira kemudian menatapku yang duduk di sebelah putraku itu.Kemudian Papanya Jihan langsung menatapku dengan ekspresi tidak suka.“Mau merencanakan apa lagi kamu, Akhtara?! Nggak usah bawa-bawa Jihan pergi jauh dari kami! Kami nggak percaya sama kamu!”Inilah alasan kuat mengapa Jihan dan Akhtira tidak diperbolehkan untuk tinggal seatap saja denganku. Mereka berpikir jika aku masihlah jahat seperti dulu. Dan sudah pasti aku harus sabar dan kuat menghadapi sikap mereka.“Aku khawatir kamu udah bikin rencana di Bogor lalu Jihan sama Tira nggak pulang-pulang! Kalau kamu mau ke Bogor, pergi aja sendiri sana!”“Meski Jihan udah kembali jadi hakmu, tapi aku sebagai Papanya nggak mau kejadian buruk itu kembali terulang!”Usai menelan makanan, aku menatap Papanya Jihan, mertuaku.Aku menyadari mengapa amarah b

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Saya Kangen Dia

    POV AKHTARA Dengan jarak sedekat ini sambil menatap wajah cantik Jihan, aku benar-benar terlena. Wanita yang ada di hadapanku saat ini telah resmi menjadi istriku, pendamping hidupku. Tidak ada kata terlarang untuk menyentuh wajahnya dengan kedua tanganku. Bahkan aku dihalalkan untuk menyentuhnya lebih dari ini. Andai tidak lupa akan janjiku untuk membuatnya nyaman terlebih dahulu, mungkin aku bisa memilikinya saat ini juga.Kemudian aku menurunkan kedua tangan dari wajahnya lalu berdiri dari bersimpu dan mundur dua langkah. Sungguh, berdekatan dengan Jihan membuat naluriku sebagai seorang pria tergugah sepenuhnya.Kini aku benar-benar tahu mengapa saat bersama Merissa, aku tidak pernah sukses menjadi pria sejati. Jawabannya sudah pasti karena aku tidak mencintai dia sama sekali dan hatiku benar-benar menginginkan Jihan seorang. "Kenapa, Pak?" Aku menggeleng sembari tersenyum. "Saya cuma mau kamu nyaman dulu, Han. Saya takut kalau nggak menjaga sikap, justru kamu yang terpaksa."

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Apakah Secepat Ini?

    POV AKHTARA Usiaku hampir menyentuh angka empat puluh lima tahun. Sedang Jihan masih berusia tiga puluh tahun. Perbedaan usia kami membuat ia lebih cocok menjadi keponakanku. Dan sebagai pria yang sudah berumur, siapa yang tidak senang jika memiliki istri yang masih muda, cantik, dan solehah?Inilah yang disebut dengan perhiasan dunia. Apalagi dia telah melahirkan keturunanku yang sehat dan tampan, Akhtira."Khilaf?" Tanya Jihan keheranan.Dengan bersedekap sambil menyandarkan punggung pada pintu kamar hotel yang kami tempati, aku fokus menikmati wajah cantik Jihan yang penuh dengan riasan pengantin dari kejauhan.Sungguh cantik!Lalu aku mengangguk sekilas. "Maksudnya?""Kalau kemarin saya cuma bisa mencintai kamu tanpa bisa memiliki, maka berbeda dengan sekarang. Saya boleh mencintai kamu sedalam apapun karena kamu resmi hanya akan menjadi milik saya aja, Han."Jihan nampak sedikit salah tingkah dengan ucapanku lalu dia membuang muka. Imut dan menggemaskan sekali.Andai aku tidak

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Jangan Lepaskan Jihan Lagi

    POV AKHTARA Aku sudah tidak merasa asing lagi dengan sebutan 'perjanjian pra nikah'. Karena ketika aku akan menikahi Jihan untuk kedua kalinya dan memberinya madu dengan menikahi Merissa, aku menggunakan perjanjian pra nikah dengan alasan untuk melindungi harta bendaku. Saat itu, aku mencampuradukkan hal yang disebut cinta dan sayang dengan racun bernama dendam. Hingga aku menganggap Jihan dan Merissa adalah sama-sama perempuan yang harus kuwaspadai mana kala akan mengeruk hartaku semata.Tapi ternyata, aku keliru besar. Karena saat menikahi Jihan untuk kedua kalinya, dia benar-benar sudah berubah. Hanya aku saja yang tidak menyadari. Hingga tega menduakannya dengan Merissa. "Aku restui niat baikmu kembali menikahi Jihan untuk ketiga kalinya, Akhtara."Aku langsung tersenyum lega dengan perasaan bahagia tiada terkira mendengar ucapan Papanya Jihan. Meski beliau mengatakannya dengan ekspresi yang datar dan acuh. "Agama cuma ngasih kamu batas menikahi Jihan hanya tiga kali. Dan jang

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Mari Berdamai

    POV AKHTARA Satu unit motor untuk kaum lelaki baru saja kubayar lunas. Dan kini motor itu tengah dinaikkan ke mobil pick up menuju alamat Farhan. "Apa Farhan mau menerimanya, Pak?" Tanya Faris yang duduk di sebelahku."Saya nggak peduli dia mau menerima hadiah dari saya atau nggak, Ris. Karena saya berniat memberikan hadiah itu sebagai ucapan terima kasih ia pernah berjasa dalam kehidupan Jihan dan Akhtira. Saya nggak mau jadi orang yang nggak tahu terima kasih."Kami duduk bersebelahan dengan menatap proses motor seharga lima puluh juta itu akhirnya berhasil dinaikkan ke atas bak mobil. Segala kelengkapannya kuserahkan pada pihak penjual motor. "Kamu urus sisanya ya, Ris. Saya mau ketemu Tira."Kemudian aku menyetir mobil dan sengaja singgah sebentar ke salah satu mall untuk mengunjungi salah satu gerai yang menjual mainan. Apalagi jika bukan untuk membelikan Tira mainan baru. Putraku itu ternyata tidak mudah untuk didekati. Dan sepertinya aku harus membelikan mainan yang sangat m

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Kesempatan Terakhir

    POV AKHTARA Sepasang tiket VIP dari biro perjalanan ke tanah suci sudah siap di tangan. "Apa kamu yakin ini adalah cara terbaik bikin kedua orang tua Jihan mau merestui hubungan saya sama Jihan, Ris?" Tanyaku."Kita coba saja dulu, Pak. Kalau Bapak ngasih harta atau rumah baru, belum tentu orang tua Bu Jihan luluh. Justru marah yang iya. Tapi kalau hadiah sepaket perjalanan ke tanah suci, saya rasa itu adalah hadiah terbaik sepanjang masa."Apa yang dikatakan Faris ada benarnya. "Oke. Saya akan hubungi Jihan kalau nanti malam mau bertamu ke rumahnya.""Semoga semuanya lancar, Pak."Hampir satu minggu ini aku dan Faris berpikir tentang hadiah terbaik untuk kedua orang tua Jihan agar sudi menerimaku lagi. Dan pilihan kami jatuh pada tanah suci. Dan selama satu minggu itu pula, aku selalu memikirkan Jihan dan Akhtira. Apakah Jihan mendapat omongan yang tidak mengenakkan dari kedua orang tuanya karena memilihku?Ataukah semuanya baik-baik saja tidak seperti dugaanku?Sebab, satu minggu

  • Dari Pacar Sewaan, Berakhir di Pelaminan   Beri Saya Maaf

    POV AKHTARA“Maaf katamu?” Tanya Farhan dengan suara sinis.“Waktu Jihan merawat Akhtira sendirian, dihina orang lain perempuan nggak benar karena melahirkan tanpa suami, lalu Akhtira dihina anak haram, siapa yang jadi tameng untuk mereka heh?!”Aku tidak menjawab dan hanya menatap Farhan. Membiarkan dia menyelesaikan ucapannya. “Aku!” Dia menepuk dadanya dengan wajah benar-benar kesal.“Bukan kamu! Yang tiba-tiba datang ngambil semua yang aku usahakan!” ucapnya dengan menunjuk dadaku.“Kamu memang ayah kandung Akhtira, tapi aku yang lebih banyak berjasa ke mereka! Aku menyayangi mereka itu tulus!”“Dan Jihan nggak mungkin berpaling kalau bukan karena kamu pakai acara pura-pura mau mati! Biar apa, heh?! Dapat simpati Jihan dengan cara pintas? Iya?!”Kepalaku menggeleng dengan menatap Farhan yang begitu kecewa dan sakit hati.“Munafik!”“Saya nggak perlu menjelaskannya ke kamu karena saya tahu kamu nggak butuh itu, Far.”Tanpa berkata lagi, Farhan kemudian menaiki motornya dengan ekspr

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status