"Menikah?" tanya Papa dengan raut tidak percaya.
Kedua alisnya menyatu dengan tatapan terpusat padaku. Lalu melihat Pak Akhtara yang duduk di sebelahku.
"Iya, Pa. Kami ... mau menikah. Makanya aku pulang kemari lalu minta doa restu dari Papa dan Mama."
Dengan wajah masih dipenuhi keterkejutan, Papa menoleh ke Mama yang duduk di sampingnya. Keduanya hanya bisa saling bertukar ekspresi terkejut.
Sedang Pak Akhtara yang duduk di sebelahku hanya diam seribu bahasa seperti kesepakatan. Bahwa beliau tidak akan berkata apapun jika tidak mendapat kode dariku.
"Jihan, Papa masih nggak ngerti, Nak. Kamu tiba-tiba pulang, lalu bawa laki-laki, dan ... minta nikah. Semuanya mendadak banget, Han. Memangnya ada apa?"
Aku membasahi bibir sambil mengatur kegugupan dengan menghela nafas. Sungguh meminta restu menikah itu tidak main-main gugupnya hingga kedua telapak tangan terasa dingin.
Padahal ini hanya meminta restu menikah kontrak. Tapi mengapa auranya seperti akan menikah sungguhan?
"Kita ini ... udah kenal lama, Pa."
Lama dari Hongkong?!
Kenal lama hanya sebatas atasan bawahan di kantor itu yang benar.
"Lalu ... kami sepakat menjalani hubungan ini kayak air mengalir gitu, Pa. Karena kami udah merasa cocok, akhirnya mutusin nikah aja dari pada dosa."
Tuhan, tolong ampuni aku.
Berani menyatut dosa padahal aku dan Pak Akhtara sedang bergelung di dalam dosa hanya demi mendapatkan harta dan menyelamatkan harga diri.
"Han, Papa masih kaget, bingung, dan ... entahlah. Ini terlalu cepat, Han."
"Papa nggak usah kaget. Lagipula aku sama Mas Akhtara udah lama kenalnya, Pa."
Lalu Papa beralih menatap Pak Akhtara dengan sorot serius.
"Udah berapa lama kamu pacaran sama Jihan?"
Pak Akhtara mengeluarkan deheman sembari membenarkan posisi duduk.
"Saya ... kenal Jihan sudah dua tahun, Pak."
Kemudian Papa menelisik penampilan Pak Akhtara dari atas dari hingga bawah.
"Berapa umurmu? Dan apa pekerjaanmu?"
"Umur saya ... tiga puluh delapan tahun, Pak. Dan saya bekerja sebagai manajernya Jihan."
What?! Mengapa Pak Akhtara merubah haluan?
Bukankah semalam beliau sepakat agar merubah umurnya saat mengaku pada Papa? Mengapa sekarang justru berkata jujur?
Yakin sekali bapak manajer ini dengan usia tuanya itu apakah akan diterima Papaku?
Atau otaknya baru saja mengalami penurunan tegangan?
Mama langsung menaikkan kedua alisnya lalu menutup mulutnya dengan kedua tangan. Sedang Papa hanya bisa melongo dan menaikkan kedua alis karena saking terkejutnya.
"Tiga puluh delapan tahun!?" Papa bertanya kembali dengan nada memastikan.
"Iya, Pak," ucap Pak Akhtara lalu mengangguk tegas.
Papa dan Mama kemudian saling tatap dengan pandangan tidak habis pikir lalu menatapku.
"Pa, Ma, usia itu bukan alasan sepasang anak manusia nggak berjodoh. Aku harap Papa dan Mama nggak mempermasalahin umurnya Mas Akhtara. Bukankah laki-laki itu yang dicari adalah tanggung jawab dan kesungguhannya? Buat apa nyari yang seumuran tapi nggak bisa menghidupi? Lalu ujung-ujungnya cerai karena masalah ekonomi. Ya kan?!"
Penjelasanku yang cukup panjang nan lebar itu berisi harapan agar kedua orang tuaku tidak membuat drama penolakan hanya karena usia Pak Akhtara.
Ayolah Papa! Mama!
Restuin aja kami biar kalian bisa menempati rumah ini dengan tenang dan aman karena setelah uang dari nikah kontrakku diberikan semua oleh Pak Akhtara, sertifikatnya akan kuberikan pada kalian sebagai hadiah terindah dariku.
"Han, kamu nggak lagi hamil duluan kan, Nak?!" tanya Mama.
Kali ini aku yang menaikkan kedua alis lalu buru-buru menggoyangkan kedua tangan di depan Mama dan Papa.
"Aku nggak hamil duluan, Ma! Sumpah!" ucapku sungguh-sungguh dan mengangkat dua jari.
"Kalau nggak hamil duluan kenapa kamu terburu-buru pengen nikah sama Akhtara? Kami sebagai orang tuamu juga pengen mengenal calonmu. Gimana keluarganya juga. Nggak bisa langsung ujung-ujungnya nikah, Han."
"Tapi --- "
"Keluarga saya sudah mengenal Jihan, Bu. Saya ... sudah mengenalkan Jihan pada keluarga saya dan mereka menyetujui hubungan kami. Malah Papa saya yang mengusulkan kami agar segera menikah. Maka dari itu, saya bertandang kemari ingin meminang Jihan," ucap Pak Akhtara menyela.
Papa dan Mama makin terkejut dengan pengakuan palsu Pak Akhtara lalu kembali saling tatap.
"Tapi, gimana sama resepsi pernikahan kalian? Jujur saja, Akhtara, kami belum memiliki persiapan uang sebanyak itu untuk menggelar pesta pernikahan impian anak semata wayang kami ini," Papa berkata penuh kesungguhan.
Lalu aku mendadak terharu dan cepat-cepat menunduk agar tidak terjadi pertumpahan air mata. Senakal-nakalnya aku, tidak mungkin tidak terharu jika orang tua mengungkapkan keinginan besarnya untukku.
"Masalah resepsi itu bisa dibahas nanti, Pak. Yang penting, kami menikah dulu. Karena orang tua saya sudah menetapkan tanggal baiknya."
Kini Papa dan Mama makin bingung karena terdesak oleh ucapan Pak Akhtara.
"Pa, Ma, nggak usah bingung tentang waktu untuk mengenal Mas Akhtara dan keluarganya. Papa dan Mama bisa mengenalnya seiring berjalannya waktu."
"Kenapa kamu nggak bilang sama Papa dan Mama dari dulu sih, Han? Kenapa semendadak ini?"
"Ibu dan Bapak jangan khawatir. Saya bukan lelaki kurang ajar," ucap Pak Akhtara.
Tetapi lelaki manipulatif. Begitu kah bapak manajer yang terhormat?
"Jihan adalah satu-satunya anakku, Akhtara. Sebagai sesama lelaki, aku pegang janjimu untuk membahagiakan dia. Suatu saat nanti, kalau kamu sampai ingkar, musuhmu adalah aku."
***
Ekspresi berat hati kedua orang tuaku menghantui pikiran Pak Akhtara. Beliau tidak memiliki banyak waktu untuk meyakinkan orang tuaku agar mau menikahkan kami. Atau kedok kami terbongkar di hadapan keluarga Pak Akhtara.
Dan sore itu, Pak Akhtara mengajakku berbelanja banyak hal di supermarket.
"Pak, ngapain belanja bahan makanan sebanyak ini?" tanyaku ketika beliau terus memasukkan bahan makanan ke dalam troli.
"Saya mau merayu orang tuamu biar minggu depan mau datang ke Jakarta lalu menikahkan kita."
Aku melongo seraya menaikkan kedua alis tidak percaya.
"Bapak dapat ide kayak gini dari mana?"
"Internet."
Lalu beliau memasukkan mie dua bal ke dalam troli berikut dengan minyak gorengnya.
"Pak, udah! Stop! Nanti dapur Mama saya nggak cukup! Ini hampir satu troli penuh!" ucapku sambil mendorong pelan troli yang berubah berat ini.
Dari kacamata bening yang bertengger di pangkal hidungnya, Pak Akhtara menatap troli itu dengan seksama.
"Apa ini udah cukup untuk merayu ibumu? Kata internet kalau istri bahagia, suaminya pasti ngikut."
Kali ini aku menepuk jidat sendiri sambil menggeleng pelan.
"Ya sudah. Ayo ke kasir!"
Bukannya membantu mendorong troli berisi bahan dapur ini, Pak Akhtara justru berjalan lebih dulu hingga membuatku kesal sendiri.
"Pak! Trolinya berat!"
Dan sialnya beliau tidak menggubris sama sekali.
Astaga, Tuhan! Ingin sekali kujitak kepala manajer sialanku itu! Andai tidak ingat sopan santun mungkin sudah kulakukan dari tadi.
Sesampainya di rumah, Pak Akhtara langsung membawa sendiri empat kantong plastik hitam barang-barang yang tadi kami beli. Karena ...
"Kamu jangan bantu saya bawa barang-barang ini, Han. Bisa jelek reputasi saya di depan orang tuamu."
"Suka-suka Pak Akhtara aja! Saya capek dorong troli sendirian di supermarket tadi!" ucapku ketus lalu berlalu dari mobil.
Betapa terkejut Mama dan Papa begitu melihat banyaknya barang yang dibelikan Pak Akhtara untuk mereka. Benar saja, Mama begitu berbinar melihat dapurnya terisi penuh bahkan cukup sampai akhir bulan depan.
Tidak sampai disitu, Pak Akhtara juga rela membantu Mama menata semua barang belanjaan itu.
Ciiiihh ... pintar sekali teknik merayunya!
Apa beliau juga sepintar itu merayu atasannya hingga bisa terpilih menjadi salah satu manajer kantor?
Lalu ponselnya yang diletakkan di atas meja ruang tamu kemudian berdering lemah. Penasaran dengan siapa yang menghubungi beliau, aku melongok untuk melihat layar ponselnya.
"Sabrina?" gumamku lirih.
Apakah ini Sabrina calon tunangan asli Pak Akhtara? Atau Sabrina yang lain?
Haruskah aku mengangkatnya untuk memenuhi rasa ingin tahu tentang perpisahan mereka yang sebenarnya?
enjoy reading ....
"Jihan, malam ini biar Akhtara tidur di kamarmu ya? Kamu sama Mama dan Papa tidur di kamar satunya."Tanganku yang akan meraih ponsel Pak Akhtara yang berdering dari Sabrina akhirnya batal karena seruan dari Mama. Duh ... Mama! Kenapa datang di saat yang salah?!"Lha? Kok gitu?" Aku menunjukkan sisi keberatan."Lalu Akhtara kamu suruh tidur di mana?"Lalu muncul Pak Akhtara dari belakang Mama dengan senyum setipis tisyu. Entah racun internet apa lagi yang beliau lancarkan untuk membuat Mama mengikuti permainannya."Lho, Ma? Memangnya kamar kita muat untuk bertiga?" tanya Papa. "Papa ini gimana sih? Masak tamu disuruh tidur ruang tamu? Nggak etis banget apalagi Akhtara udah belanja banyak untuk keluarga kita loh."Nah kan?! Hati Mama luluh hanya karena belanjaan yang Pak Akhtara berikan. Di rumah kami yang sederhana dengan dua kamar inilah Pak Akhtara tidur untuk pertama kalinya. Usai dari kamar mandi, tiba-tiba aku mendengar percakapan diam-diam Papa dan Pak Akhtara di dalam kamar
Sesuai kesepakatan, Mama dan Papa datang ke Jakarta menggunakan travel agensi lalu menginap di sebuh hotel. Semua itu dibiayai oleh Pak Akhtara karena beliau lah yang paling membutuhkan pernikahan ini. Aku dan Pak Akhtara sepakat untuk menggelar akad nikah ini ketika malam hari. Karena tidak mungkin jika kami mengambil izin cuti kantor untuk menikah. Selain itu pernikahan ini terikat oleh waktu tertentu sesuai perjanjian dan tidak boleh sampai diketahui siapapun apalagi orang kantor, kecuali keluarga besar. Pernikahan ini hanya formalitas di depan keluarga Pak Akhtara saja. Bukan untuk konsumsi publik. Tidak ada resepsi mewah karena semuanya disediakan mendadak sekali. Usai dirias secantik mungkin di hotel tempat kedua orang tuaku menginap, sebuah gaun putih dengan payet indah itu disodorkan padaku. Ukurannya begitu pas dan penampilanku begitu cantik jelita dengan sanggul paes ageng dan bunga melati yang menjuntai sampai di depan dada. "Han, kamu dan Akhtara itu mau menikah. Ma
Benar sekali tebakanku! Pak Akhtara nampak terkejut dan bingung bagaimana menjelaskannya. Tentang orang tuaku yang belum kami sepakati agar merubah nama panggilanku menjadi Sabrina. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Orang tuaku tetap memanggilku dengan nama Jihan, seperti biasanya di hadapan kedua orang tua Pak Akhtara. Wajah lelah Pak Akhtara makin tertekan karena rencana kami kurang matang. Sudah barang pasti aku dan Pak Akhtara sama-sama dilanda kecemasan saat ini. Jika sudah begini, aku harus memainkan peran sebagai Sabrina palsu dan istri kontrak dengan baik. Jangan sampai rahasia kami terkuak. Karena aku juga tidak mau kedua orang tuaku mengetahui skenario pernikahan bohongan kami. Aku segera meraih lengan Pak Akhtara dan merangkulnya mesra di hadapan kedua orang tuanya. Beruntung Pak Akhtara langsung bisa mengerti maksudku. "Saya kalau di kantor dipanggil Sabrina, Ma, Pa. Soalnya nama Jihan itu ada tiga. Seringnya kalau manggil Sabira itu kayak beribet. Jadi lebih terbia
"Aku bilang keluar, Jihan!" Bentak Pak Akhtara. Sedang otakku segera memproses perintahnya dengan tangan masih mendekap gaun pernikahan putih yang menutupi dadaku. "Keluar? Apa Bapak tidak mikirin nasib kita gimana selanjutnya kalau orang-orang rumah tahu saya keluar dari kamar Bapak dalam keadaan setengah tanpa busana kayak gini? Mereka bisa ngiranya Bapak melecehkan saya di malam pertama." Penjelasanku itu kemudian menyadarkan Pak Akhtara. Beliau langsung berpikir sejenak kemudian menatapku kembali. "Siapa yang nyuruh kamu masuk kamar saya?!" Aku kembali mendekap gaun pernikahan ini meski payetnya cukup membuat permukaan kulit dadaku seperti digelitiki. Lagipula, kenapa perias dan Mamanya Pak Akhtara lama sekali kembalinya? "Saya disuruh Mamanya Pak Akhtara masuk ke kamar ini. Saya pikir ini kamar saya yang disiapkan Bapak untuk saya." "Ini kamar saya, Jihan!" Bentaknya lagi dengan mata membola. "Mana saya tahu, Pak! Bapak jangan bentak-bentak saya! Soalnya saya juga ngga
"Akhtara! Halo! Kamu dengar aku?" Kemudian dengan secuil ide cemerlang, aku berusaha menyesuaikan suara perempuan yang kumiliki ini berganti menjadi suara lelaki. Hanya dengan mengeluarkan deheman dengan suara dalam. "Hem!" "Akhtara, aku mohon! Maafin aku! Aku bisa jelasin segalanya! Aku nggak bermaksud bohongin kamu! Aku cuma sedang nyari waktu yang tepat biar kamu nggak salah paham," ucap Sabrina yang asli. Sungguh suaranya terdengar begitu empuk dan merdu seperti penyanyi. Kemudian penilaianku tentang penampilannya yang gendut dan tidak cantik seketika berubah. Jangan-jangan dia itu sebenarnya cantik? Tapi setelah mendengar ucapannya, aku mengernyitkan kedua alis dengan rasa penasaran yag teramat. Memangnya apa yang sedang dirahasiakan Sabrina hingga Pak Akhtara begitu marah? "Akhtara, please, ngomong sesuatu. Jangan diam aja! Aku mohon maafin aku. Aku bersedia nyingkirin segalanya demi kamu. Demi hubungan kita, Tar. Aku cinta kamu, Tara. Please. Please, Tara," ucapnya den
“Mama Papa sama orang tuanya Jihan setuju kalau resepsi pernikahan kalian diadain bulan depan. Gimana, Tar?” tanya Mamanya Pak Akhtara. 'Apa?!!' 'Resepsi?!!' Jeritku dalam hati. Lalu kedua bola mataku membelalak tidak percaya menatap beliau dengan mulut terkatup erat. “Kira-kira kalian mau undang teman kerja di kantor berapa ratus orang, Tar, Han? Biar Mama sama Papa bisa estimasi mau pesan catering berapa porsi,” ucap Mamanya Pak Akhtara kembali dengan nada teramat bahagia. Sedang aku dan Pak Akhtara seperti kutu usai disengat listrik bertegangan tinggi saja. Bagaimana tidak terkejut jika pernikahan diam-diam kami kini justru akan diproklamirkan oleh kedua orang tua. Padahal mati-matian kami tidak ingin siapapun orang di kantor tahu pernikahan kontrak ini agar tidak menjadi gunjingan. “Tara, Jihan, kok malah bengong aja?” Kemudian aku menoleh ke arah Pak Akhtara yang meraup udara sebanyak mungkin lalu dimasukkan ke dalam paru-paru hingga berulang kali. Sedang aku berulang kali
Mati aku! Mulutku ini mengapa tidak bisa diam menyumpahi lelaki itu dari tadi. Nah kan, kalau ketahuan rekan satu kantor seperti ini, justru berbahaya dan berpotensi membuka rahasia kami yang sebenarnya. Aku segera mempercepat memoles wajah lalu tersenyum palsu pada Fita. “Gue duluan, Fit.” *** Sepanjang hari aku bekerja sebaik mungkin sembari melupakan apa yang Pak Akhtara lakukan padaku tadi pagi. Hingga secara tidak sengaja, aku berpapasan dengannya waktu akan pergi makan siang bersama teman-teman satu kubikel. Kebetulan beliau baru saja membuka pintu ruangannya. Kandangnya! “Siang, Pak Akhtara,” ucap beberapa temanku bersamaan. “Siang.” “Kami makan siang dulu, Pak.” “Silahkan.” Tanpa mengangguk hormat seperti karyawan yang lain, aku berlalu begitu saja seperti tidak melihatnya dengan ekspresi bodoh amat. “Han, lo berani banget nggak hormat sama Pak Akhtara,” celetuk Ita, teman satu kubikelku yang lain saat kami berjalan bersisian. “Heh?! Nggak kok. Gue hormat kok. Lo a
"Ehm ... kamu udah makan malam?" Aku melirik ke kiri lalu kembali menatap Pak Akhtara yang sudah duduk di bangku kemudi. Ada apa gerangan manajer sekaligus suami kontrakku ini bertanya tentang aku sudah makan atau belum? "Belum, Pak." Jawabku jujur. Kepalanya lantas mengangguk pelan dengan menatapku, "Mau makan malam dulu?" Jamur yang seharusnya berisi spora, kini berisi pertanyaan tentang sikap Pak Akhtara yang berubah sedikit baik itu, tumbuh berjejer di dalam otakku. "Boleh, Pak." "Saya udah nyuruh Bik Wati nyiapin makan malam untuk kita di rumah." Oh ... aku pikir beliau akan membawaku makan malam di luar. Ternyata, kami akan makan malam di rumahnya. Mungkin Pak Akhtara tidak mau menuai resiko jika kami keluar berduaan. Tidak lucu andai ada orang kantor yang memergoki kebersamaan kami lalu muncul kesalahpahaman yang membuat kami dikenai sanksi perusahaan. Peraturan perusahaan kami menyebutkan jika sesama karyawan tidak boleh menjalin hubungan asmara atau melakukan perse