enjoy reading ...
"Pak, hujan."Rintik-rintik hujan mulai membasahi kawasan tempat kami menginap selama di Maldives. Rencananya Pak Akhtara yang akan mengajakku melihat Sea Of Star yang berada di Vaadhoo Island. Yaitu sejenis plankton yang mengeluarkan cahaya di malam hari hingga membuat lautan yang di Vaadhoo Island seperti dipenuhi lampu-lampu warna biru cantik. Atau sejenis kunang-kunang laut. Hal indah yang tidak ada di lautan Jakarta dan hanya ada di Maldives saja. Alhasil aku memberengut kecewa karena satu keindahan Maldives harus terlewat karena rintik hujan. Tidak mungkin jika kami nekat pergi ke sana saat hujan seperti ini. Beliau kemudian berjalan ke arahku yang berdiri di teras kamar lalu menengok ke luar. "Alamat batal lihat sea of star nih, Han.""Sayang banget, Pak. Padahal saya udah ngarep banget."Kemudian beliau menarik lenganku agar berdiri memunggunginya. Lalu beliau begitu saja melingkarkan tangannya di perutku dan menumpukan dagunya di pundakku. Sontak aku terkejut dan sediki
Apa katanya? Cemburu melihatku makan siang bersama Mas Hadza? Lalu aku memberanikan diri menatap kedua mata Pak Akhtara dengan keningnya masih ditempelkan dengan keningku. "Jangan dekat-dekat sama lelaki manapun, Han. Saya nggak suka." "Tapi ... saya punya teman, Pak." "Penting suamimu ini atau temanmu?" Pilihan apa ini? Tentu saja penting Mas Hadza dari siapapun! "Dosa besar kalau istri nggak nurut sama suaminya. Apalagi untuk menjaga martabat dan harga dirimu. Teman itu nggak selamanya ada buat kamu. Tapi kalau suami, saya bisa pastikan bakal bisa kamu andalin jadi teman hidup sampai maut memisahkan." Tetap saja aku tidak setuju dengan pemikiran Pak Akhtara. "Pak, saya ... juga butuh berteman. Saya ... " Aku tidak melanjutkan ucapan karena tangan Pak Akhtara yang berada di kedua pinggangku kini menekan bagian depan tubuhku hingga bersentuhan dengan bagian depan tubuhnya pula. "Saya nggak suka kalau dibantah, Han." Lalu aku menggunakan kedua telapak tangan untuk menaha
Sepanjang perjalanan udara, Pak Akhtara tidak pernah lama melepaskan tanganku. Beliau terus menggenggamnya. Terserah beliau saja lah! Yang penting dua cincin berwarna hijau tua oleh-oleh pilihanku dari Maldives telah kusimpan baik-baik di dalam tas. Besok saat di kantor, aku ingin memberikannya pada Mas Hadza. Ah ... hanya menyebut namanya saja, sudah membuat hatiku berbungah dan sangat merindukannya. Tidak siap menunggu esok hari. Dan akhirnya pesawat kami mendarat sempurna di bandara internasional Soekarno Hatta. Lalu Pak Akhtara kembali menggenggam tanganku sembari kami berjalan keluar pesawat. "Setelah ini kayaknya kita harus belajar banyak, Han." "Belajar apa, Pak?" "Kita mulai dari membuka hubungan kita dan mengatakannya pada siapapun. Termasuk orang kantor." Duar!!! Itu artinya, Mas Hadza akan mengetahui identitas pernikahan kami! BIG NO!!!! Aku langsung berhenti melangkah dan menatap Pak Akhtara cemas. "Jangan pernah Bapak ngelakuin itu! Jangan sekali-kali ya, P
Pernah dengar ulasan sebuah artikel kesehatan yang mengatakan performa ranjang lelaki berusia empat puluh tahun ke atas itu masih luar biasa? "Pak ... kan ... kita udah sepakat, kalau kita jalani pelan-pelan. Kok ... Bapak ... minta malam ini?" ucapku lirih dengan terbata-bata. Sejujurnya aku sangat takut dengan keinginan Pak Akhtara yang mengatakan tergantung bagaimana aku bisa membuatnya bertekuk lutut malam ini. Sumpah! Selama menjalani profesi sampingan, aku tidak pernah menghabiskan satu malam pun dengan lelaki yang membayar jasaku. Murni aku hanya menemani mereka lalu pulang! Tidak lebih. Jadi, bagaimana bisa aku membuat Pak Akhtara bertekuk lutut malam ini? Aku tidak memiliki keahlian atau pengalaman membuat pasangan merasa cukup diterbangkan dalam kenikmatan duniawi. Aku masih perawan! Kemudian beliau tertawa lirih dan aku hanya meliriknya. "Kamu tuh aneh, Han. Bilangnya cinta dan nyaman sama saya, tapi waktu diajak melakukan hubungan suami istri, kamu berubah kayak
Tanpa mengetuk pintu, aku begitu saja membuka pintu ruang kerja Pak Akhtara. Pelan sekali hingga beliau tidak mendengar aku membuka pintunya. Karena berbarengan dengan itu pula, beliau memutar sebuah musik lirih sambil menatap keluar jendela dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Beliau pasti sedang memikirkan sikapku yang berkebalikan dengan ucapan cintaku. Yeah, cinta palsu demi hartanya. "Pak?" Beliau seperti terkejut lalu menoleh dengan cepat. Kemudian mengambil sebuah map dari meja kerjanya. "Saya lagi sibuk, Han. Baru aja dihubungi Papa. Disuruh ngecek keuangan rumah sakit. Ada trouble," ucapnya tanpa menatapku. Beliau kemudian duduk di kursi kerjanya lalu mengambil laptop dari dalam tas dan segera menyalakannya. "Saya tahu Bapak bohong." Seketika beliau seperti membeku mendengar tebakanku. Hanya beberapa detik namun beliau kembali sok sibuk. "Buat apa saya bohongin kamu. Saya ini orang sibuk, Han." Kemudian aku berjalan mendekat ke samping beliau yang se
"Kamu mau kan jadi milik saya sepenuhnya, Han? Tanpa paksaan?" Aku mengangguk dengan seulas senyum palsu. "Saya bahagia banget, Han." Kemudian beliau mencium pipiku lalu berpindah ke leherku. Astaga, badanku langsung panas dingin dalam sekejap mata. Lalu nafasku mendadak seperti orang sedang berlatih senam pernafasan. Mengambil nafas panjang lalu dihembuskan perlahan dengan mata berketip cepat. Maklum, ini akan menjadi pengalaman pertamaku menghabiskan malam pertama dengan suami. Lebih tepatnya suami yang tidak kucintai namun aku benar-benar terpaksa melayaninya demi harta! Tapi itu hanya beberapa detik saja lalu beliau menarik wajahnya dan kembali menatapku dalam kegelapan kamar. "Kenapa, Pak?" Aku takut beliau kecewa lalu aku batal menikmati hartanya. "Nggak sekarang, Han." Apa maksudnya? Pak Akhtara tidak serta merta mewujudkan keinginan biologisnya begitu bisa membuatku tunduk. Yeah, pada akhirnya, akulah yang bertekuk lutut padanya. Bukan aku yang membuat beliau berte
Aku segera memegang lengan kokoh Pak Akhtara lalu mendorong tubuhnya yang menimpaku. "Pak? Pak Akhtara? Bangun, Pak?" Beliau tetap ambruk di atasku dengan nafas orang seperti sesak nafas! Astaga! Bagaimana ini? Kupikir berita tentang seorang pria dewasa usai bercinta di kamar hotel lalu meninggal dunia itu isapan jempol semata. Tapi ternyata, ini benar-benar terjadi padaku! Pak Akhtara pingsan atau justru meninggal dunia? Apa? Meninggal dunia? Ah .... polisi pasti bakal menangkapku karena yang membuat beliau meninggal setelah bercinta. Dan yang lebih buruk lagi, sudah dipenjara, kehilangan keperawanan, belum mendapatkan bisnis seperti yang dijanjikan beliau, lalu ditinggalkan Mas Hadza. Ini gila!!!! "Pak! Bangun, Pak!" Aku gugup dan terus berusaha membangunkan dan menyingkirkannya dari atasku. Nafasnya yang terdengar kasar itu menerpa kulit pundakku. Begitu aku berhasil menggulingkan Pak Akhtara ke sisi kiriku, tiba-tiba saja tangan beliau menarik badanku hingga aku yang
Aku memilih tidak terlelap lagi hingga subuh menjelang. Lalu menghidupkan televisi di ruang tengah. Mataku tertuju ke arah televisi tapi pikiranku melayang-layang kesana kemari. "Pagi, sayang," sapanya dari belakang. Kemudian beliau mencium pipi kiriku dengan kedua tangannya bertengger di pundakku. Aku sangat terkejut dengan morning kiss dan sapaan Pak Akhtara pagi ini. Pasalnya pikiranku sedang berkelana dan beliau datang mengagetkan. Aroma sabun yang segar dari tubuhnya tercium olehku. Itu artinya beliau usai menunaikan mandi besar. Lagi pula, mengapa juga sih main cium saja? Hatiku sedang tidak bersemangat meski memandangnya. "Saya pikir kamu kemana." "Saya ... pengen lihat tivi aja, Pak. Takut di kamar ganggu Bapak tidur." "Ayo kita ibadah subuh dulu, Han." Beliau kemudian berjalan mengitari sofa panjang yang kududuki lalu mengulurkan tangannya. Dan aku menerima tangannya kemudian menarikku kembali ke kamar untuk beribadah bersama. Dengan baju muslim dan peci putih d