Keesokan harinya, usai check-out dari hotel, Zyan dan Zahra dibawa ke Gunung Erciyes yang merupakan salah satu gunung tertinggi di Turki yang mana puncak gunungnya hampir sepanjang tahun tertutup salju. Di sana mereka menaiki kereta gantung untuk menikmati pemandangan di sekitar. Selanjutnya mereka menuju ke Ankara untuk mengunjungi salt lake atau tuz golu. Tempat ini merupakan danau berair asin karena kadar garamnya yang cukup tinggi. Selain sebagai tempat wisata, air danau itu dimanfaatkan untuk pasokan garam Turki yang dipanen setiap bulan Juli—Agustus. Salah satu keunikan danau itu adalah tanah dan airnya berwarna merah muda gelap. Warna tersebut disebabkan oleh alga Dunaliella Salinas yang juga merupakan makanan flamengo dan angsa. Di sana Zyan dan Zahra beruntung karena bisa melihat flamengo yang cantik dan unik.Hari berikutnya mereka pergi ke Istanbul untuk menaiki Bosphorus Cruise. Kapal ini membawa Zyan dan Zahra menyusuri selat yang memisahkan antara benua Asia dan Eropa.
Usai makan pagi, Zyan dan Zahra check-out dari hotel. Zahra yang mengenakan gamis berwarna hijau sage dan jilbab berwarna senada terlihat begitu ceria. Wanita yang mengenakan riasan natural itu sangat senang karena akan segera kembali ke tanah air. Wajahnya yang sudah cantik jadi semakin terlihat memesona, apalagi senyum manis terus tersungging di bibirnya.Penampilan Zyan pun tak kalah menawan. Pria itu mengenakan kemeja yang senada dengan sang istri. Sementara bawahannya mengenakan celana panjang berwarna putih. Sementara untuk alas kaki, keduanya mengenakan sneakers couple warna putih. Mereka melengkapi penampilan dengan kacamata hitam yang juga couple.Sejoli itu diajak berkunjung ke Hagia Sopia, salah satu majid yang sekaligus menjadi bangunan ikonik terpopuler di Istanbul. Masjid yang memiliki arsitekstur unik ini mempunyai sejarah yang cukup panjang.Hagia Sofia awalnya merupakan gereja bagi umat Kristen. Pada masa kesultanan Ottoman atau Utsmaniyyah, bangunan ini diubah menjad
Sehari setelah tiba di Jakarta, Zyan dan Zahra tak langsung ke kantor. Keduanya mengistirahatkan badan setelah menempuh perjalanan yang tak sebentar. Rania memanggil terapis langganan ke rumah untuk memijat putra sulung dan menantunya agar tubuh mereka lebih segar dan lelahnya hilang. Untuk Zahra tentu bukan sembarang terapis, tapi terapis khusus untuk wanita hamil.Setelah seharian hanya di rumah, malam harinya mereka pergi ke dokter kandungan. Selain untuk kontrol rutin juga untuk mengecek kondisi kehamilan Zahra setelah bepergian jauh. Karena baru mendaftar sehari sebelumnya, Zahra mendapat nomor antrian dua puluh. Saat keduanya tiba di rumah sakit, ruang tunggu sudah penuh. Kebanyakan kursi itu diduduki oleh pasangan suami istri. Beberapa ada juga yang bersama anak-anak. Saat Zahra sedang dicek tekanan darahnya, Zyan mencarikan tempat duduk untuk sang istri. Dia tidak masalah berdiri selama menunggu, tapi Zahra harus duduk. Kalaupun nanti tidak ada kursi yang kosong, dia akan mem
Zyan mengernyit begitu mendengar ada yang menyebut namanya. Pria itu berhasil menghindar kala seorang wanita mendekat dan coba mencium pipinya. “Anda siapa ya? Jangan bersikap kurang aja! Saya ini sudah punya istri dan istri saya jauh lebih cantik dan lebih baik daripada Anda!” serunya. Dia tak peduli kalau orang-orang jadi mengalihkan perhatiannya pada mereka.“Masa kamu lupa sama aku? Jahat banget sih! Kita ‘kan dulu sering ketemu dan ngobrol di klub,” sahut wanita berpakaian kurang bahan itu.Zyan menggeleng. “Maaf, saya tidak kenal dengan Anda. Saya juga sudah lama sekali tidak pergi ke tempat-tempat seperti itu.”Wanita itu berdecak. Dia lantas duduk di samping Zyan yang kosong. “Siapa yang mengizinkan Anda duduk di situ?” tukas pria bercambang tipis itu. Terlihat sekali dia merasa tidak nyaman.“Ini ‘kan tempat umum. Siapa saja boleh duduk di sini,” sahut wanita itu dengan santai. Dia mengangkat kaki kanan lalu diletakkan di atas kaki kiri hingga semakin terlihat paha mulusnya
Zyan dan Zahra keluar dari ruang praktik dokter sambil bergandengan tangan. Raut bahagia menghiasi wajah keduanya. Mereka sangat bersyukur karena kondisi janin yang dikandung Zahra sehat, begitu juga dengan ibunya. Kedua calon orang tua itu juga merasa lega sebab sudah mengetahui jenis kelamin calon anak mereka. Ya, walaupun hasil USG belum tentu sama saat lahir, tapi tetap disyukuri.Saat mereka berjalan menuju tempat administrasi, wanita yang mengenakan pakaian seksi itu kembali memanggil Zyan. Namun pria bercambang tipis itu mengabaikan dan tetap berlalu dengan istrinya. Seperti yang dikatakan Zyan sebelumnya, lebih baik mereka menghindari masalah.Tanpa keduanya duga, wanita tadi berdiri lantas mengikuti mereka. “Zyandru, kenapa sih kamu sekarang sombong kaya gini? Aku ‘kan pengen ngobrol sama kamu,” serunya.Zyan tetap mengajak Zahra berjalan dan tak mengindahkan. Pada saat seperti ini dia merasa membutuhkan pengawal yang bisa menjaga mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan. Se
“Kita mau langsung pulang atau mau ke mana dulu?” tanya Zyan saat mereka sudah duduk di dalam mobil. Malam ini Zyan mengemudi mobil sendiri tanpa sopir karena dia ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang belahan jiwa. Sejak pulang dari liburan, mamanya terus saja bersama Zahra, hingga membuatnya hanya bisa mengalah. Mereka hanya bersama saat tidur saja.“Aku mau makan nasi goreng, Bang.” Zahra masih mengingat daftar makanan yang dia inginkan begitu pulang ke Indonesia.“Oke. Mau beli di mana nasi gorengnya?” tanya Zyan sesudah menyalakan mesin mobil.“Di dekat rumah Ayah,” jawab Zahra.“Sekalian mau menginap di sana?” Zyan menoleh ke samping kirinya.Zahra menggeleng. “Enggak. Kita langsung pulang ke rumah Papa setelah makan. Menginap di rumah Ayah besok Sabtu saja.”“Oke.” Zyan kemudian melajukan kendaraan mewah itu meninggalkan tempat parkir rumah sakit.“Tadi kamu bicara sama wanita itu?” Zyan akhirnya bertanya setelah beberapa saat mereka diam.Bumil itu mengangguk. “Iya. Wanit
Zahra sontak menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Begitu pula dengan Zyan. CEO itu menunjukkan raut tak bersahabat pada pria yang memanggil dan tersenyum pada istrinya.“Maaf, siapa ya?” Zahra bertanya pada pria itu karena wajahnya tidak terlihat jelas sebab pencahayaan yang kurang. Pria yang rambutnya klimis itu tersenyum. “Aku Baron, teman SMP dan SMA Amir. Kamu lupa?” “Ya Allah, Mas Baron. Iya, aku ingat sekarang. Penampilannya beda banget dari terakhir ketemu, makanya aku pangling. Udah lama banget juga ‘kan kita ga ketemu?” sahut Zahra dengan ceria.Pria bernama Baron itu tertawa. “Iya. Kayanya terakhir ketemu pas wisuda Amir. Habis itu aku sibuk ma kerjaan. Ini aja aku baru pulang dari kantor. Gimana kabar Ayah dan Ibu? Sehat semua ‘kan? Kalau sama Amir masih sering kontak.”“Alhamdulillah Ayah dan Ibu sehat, Mas,” balas Zahra.“Ngomong-ngomong, kamu makin cantik saja sekarang.” Pujian Baron itu membuat Zyan semakin menampakkan wajah tak suka.Zahra tertawa kecil. “Mas Bar
Sesudah menandaskan makan dan minumnya, Zahra dan Zyan menghampiri istri pemilik warung yang biasanya menerima pesanan dan pembayaran dari pelanggan.“Berapa, Bu?” tanya Zyan sambil mengambil dompet di saku celana belakang.“Tujuh puluh ribu, Mas,” jawab wanita paruh baya itu.Zyan membuka dompet, tapi dia tidak menemukan uang tunai di sana. “Saya tidak bawa uang tunai. Apa bisa bayar pakai QRIS, Bu?” tanyanya. “Maaf, Mas. Kami hanya menerima uang tunai saja. Saya tidak mau ribet, mesti ngambil uang dulu kalau mau belanja ke pasar,” jawab istri pemilik warung.“Kayanya aku masih ada cash, Bang.” Zahra mengambil dompet dari tas. Untung saja masih ada selembar uang seratus ribu di sana. Dia lalu menyerahkan pada ibu tersebut. “Ini, Bu. Ambil saja kembaliannya,” ucapnya.“Loh, Mbak, ini masih sisa tiga puluh ribu,” lontar wanita paruh baya itu.Zahra menggeleng. “Gapapa. Ambil saja. Itu rezeki Ibu dan Bapak.”“Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak, Mas, semoga rezekinya dilancarakan, begitu