Akibat salah paham, Zahra dipaksa menikah dengan Zyan, bosnya di kantor. Keduanya tak bisa menolak karena alasan masing-masing. Zyan terancam tidak akan mendapat warisan, sementara Zahra terdesak oleh keadaan. Mereka pun akhirnya sepakat membuat perjanjian sebelum menikah, yang menuntut Zahra agar menurut dan melakukan apa pun yang Zyan inginkan. Lantas, apakah Zahra bisa bertahan dalam pernikahan itu, sementara ia harus menyaksikan Zyan tetap menjalin hubungan dengan wanita lain? Atau akankah Zahra berpaling pada seorang pengusaha muda yang gencar mendekatinya?
View More“Hai, Cantik,” sapa seorang pria bermata sipit saat Zahra baru keluar dari toilet wanita. Pria itu berdiri menyandar di dinding luar toilet dengan senyum menyeringai dan tatapan menggoda.
“Pak Aswin!?” seru Zahra terkejut melihat sosok rekan bisnis bosnya di sana.
“Lama banget di toiletnya. Aku pikir kamu tidur di dalam,” ucap pria yang dipanggil Aswin itu sambil berjalan mendekati Zahra.
“Mau apa Bapak ke sini? Toilet pria di sebelah sana, Pak!” Zahra menunjuk ke arah di belakang pria itu.
“Siapa yang mau ke toilet? Aku ke sini sengaja menunggumu, Cantik.” Aswin mulai melancarkan rayuan.
“Ke-kenapa menunggu saya? Bukannya pembicaraan dengan Pak Zyan sudah selesai?” cecar Zahra setengah gugup. Gadis berhijab itu mulai bersikap waspada karena tak ada orang selain mereka di sana.
“Pembicaraanku dengan Zyan memang sudah selesai. Aku di sini karena ingin bicara secara pribadi denganmu.” Pria yang lebih tua itu mendekatkan wajahnya pada Zahra.
Zahra sontak melangkah mundur. Menjauhkan wajahnya. “Maaf, Pak. Saya rasa tidak ada yang perlu kita bicarakan apalagi soal pribadi. Permisi, saya mau kembali ke dalam. Pak Zyan pasti sudah menunggu saya.”
Gadis itu hendak beranjak, tapi segera dihalangi oleh rekan bosnya itu. Saat Zahra bergerak ke kiri, Aswin mengikuti, begitu juga saat ke arah sebaliknya. “Pak, tolong jangan menghalangi jalan saya,” pintanya dengan suara gemetar sekaligus geram.
“Buat apa buru-buru? Kita bisa bersenang-senang dulu di sini.” Aswin kembali mendekat membuat gadis itu terus mundur sampai akhirnya membentur dinding.
“Jangan macam-macam atau saya akan berteriak!” ancam Zahra yang sudah terpojok. Wajahnya terlihat pias.
Bukannya takut, lawan bicaranya itu malah tertawa. “Coba saja teriak! Tidak akan ada yang mendengar teriakanmu,” tantangnya dengan seringai licik.
Letak toilet itu memang di belakang restoran dan tak banyak yang berlalu-lalang di sana. Tempat yang agak tertutup dan sepi, semakin melancarkan aksi Aswin untuk mendekati sekretaris Zyan itu.
“To—” Aswin membekap mulut Zahra saat gadis itu akan berteriak minta tolong.
"Diam atau kamu akan menyesal!"
Ancaman itu seketika membuat Zahra terdiam. Tubuhnya gemetar karena takut, tak berani bersuara.
"Kamu tidak usah sok jual mahal! Aku akan memberi apa pun yang kamu inginkan plus investasi besar di proyek Zyan," ucap Aswin setengah berbisik di dekat telinganya, membuat Zahra merinding ketakutan.
Gadis itu menggeleng, lidahnya terasa kelu hingga tak bisa bersuara.
Aswin menurunkan tangannya dari mulut gadis itu dan berdecak. "Ck, kamu tidak mau? Yang benar saja! Aku tahu kamu tidak sealim penampilanmu. Kamu tidak jauh beda seperti wanita lain yang suka berpakaian seksi dan terbuka. Bilang saja berapa pengusaha lain memberimu uang setiap kali tidur? Aku akan memberimu dua kali bahkan tiga kali lipatnya!" ucapnya pongah.
"Saya memang seorang sekretaris, tapi saya bukan pelacur! Silakan Bapak cari wanita lain yang bersedia tidur dengan Bapak!" tegasnya dengan mata memerah menahan tangis.
Aswin malah tersenyum mengejek. "Halah, nggak usah sok suci! Aku tahu tipe wanita seperti kamu ini awalnya pura-pura nolak, tapi kalau harga sudah cocok juga bakal mau dibawa ke mana saja. Banyak wanita yang penampilannya tertutup seperti kamu, tapi diam-diam open BO!"
Zahra sudah muak mendengar ucapan tidak sopan pria itu. Perasaannya campur aduk, jantungnya berdebar kencang dan badannya gemetar. Namun dia mengumpulkan keberanian dan menginjak kaki Aswin sekuat tenaga.
"Argh!" Pria itu berteriak kesakitan. "Heh, sekretaris belagu! Aku bisa saja menarik investasiku sekarang kalau kamu bersikap tidak sopan!" Aswin mulai mengeluarkan ancamannya. Matanya nyalang menatap Zahra karena tak terima ditolak oleh gadis berhijab itu.
"Bukan saya yang tidak sopan, tapi Bapak yang sudah melecehkan saya!" tukas Zahra tegas, mulai berani melawan pria itu meskipun sekujur tubuhnya terasa kebas.
“Melecehkan katamu? Memangnya aku mencium atau menyentuhmu? Ah, jangan-jangan itu kode biar aku melakukannya?" Aswin terkekeh-kekeh. "Baiklah kalau itu yang kamu inginkan!”
Pria itu menyeringai licik sambil memegang kedua bahu gadis itu agar tidak bergerak. Zahra bisa merasakan embusan napas pria itu mengenai wajahnya.
Zahra memberontak, tapi tenaganya kalah kuat. “Lepaskan saya, Pak! Saya bukan pela—"
“Apa yang kamu lakukan pada sekretarisku?” Sebuah suara bariton dari arah samping berhasil membuat Aswin menjauhkan wajahnya dari Zahra.
“Pak Zyan—” suara Zahra tercekat. Namun dia seketika merasa lega melihat kedatangan bosnya itu.
“Jauhkan tangan kotormu darinya,” ujar Zyan dengan suara tenang, tapi aura dingin menguar begitu tajam, membuat Aswin mendengkus dan melepaskan Zahra dengan kasar.
Setelah terlepas, Zahra langsung bersembunyi di belakang punggung tegap bosnya. Dia mencengkeram sisi jas Zyan, mencari perlindungan.
"Sekretarismu ini jual mahal banget, Yan. Aku cuma mau ajak dia bersenang-senang," lontar Aswin santai.
Rahang Zyan mengeras mendengar ucapan rekan bisnisnya itu. Tatapan matanya menghunus tajam. Nada suaranya masih terdengar tenang tapi mematikan ketika berkata, "Bersenang-senang? Kamu sudah salah memilih orang."
Aswin tertawa meremehkan. "Salah pilih orang? Kenapa? Apa karena kamu juga menidurinya, makanya tidak mau Zahra tidur dengan orang lain?"
"Memangnya kenapa kalau aku tidur dengan sekretarisku? Ada masalah?" tantang Zyan, membuat Zahra seketika menegang.
Gadis itu hendak mengucapkan sesuatu, tapi Zyan kembali bersuara.
"Aku tidak suka ada yang menyentuh milikku," tegasnya sambil menarik Zahra agar berdiri di sampingnya lalu merangkul pinggang sekretarisnya itu posesif.
"Pak—" Zahra hendak melayangkan protes tapi dipotong oleh Zyan.
"Tidak apa-apa orang tahu hubungan kita, Sayang. Yang penting kamu tidak diganggu lagi." Zyan memberi kode pada Zahra lewat tatapan mata agar sekretarisnya itu mengikuti permainannya.
Aswin pun bertepuk tangan sambil tertawa sinis. "Hah! Sudah kuduga kalau dia bukan wanita baik-baik seperti tampilan luarnya. Ternyata dia sudah bermain dengan bosnya sendiri.”
Sindiran itu sungguh membuat harga diri Zahra terinjak-injak. Dia mengepalkan tangan dengan kuat, ingin membela diri.
Namun, usapan lembut pada pinggangnya membuat gadis itu terpaku. Dia mendongak dan bertemu tatap dengan Zyan yang menggeleng samar, membuat Zahra mengurungkan niatnya untuk membalas ucapan Aswin.
“Baiklah, aku tidak akan menggodanya lagi. Tapi kalau kamu sudah bosan dengannya, kabari aku ya. Aku mau menerima sekretarismu itu meskipun dia bekasmu," seloroh Aswin ringan.
Pria itu berjalan mendekat, lalu berdiri di dekat Zyan yang masih menatapnya tajam. Aswin lantas berkata dengan setengah berbisik. "Aku selalu penasaran dengan wanita yang berpakaian tertutup. Biasanya orang sepertinya akan liar di atas ranjang," katanya sambil menyeringai, menatap Zahra dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Selamat bersenang-senang!" ujar Aswin, menepuk pundak Zyan sebelum berlalu dari sana.
Zahra baru bisa menghela napas lega setelah pria bermata sipit itu tidak kelihatan lagi. Namun, belum sempat mengucapkan sepatah kata pada bosnya itu, sebuah suara yang sangat familier terdengar dari arah belakang, membuat Zahra dan Zyan membatu.
"Jadi kalian diam-diam pacaran dan sudah tidur bersama?"
Zahra membawa nampan berisi dua cangkir lemon tea panas dah sepiring kudapan ke halaman belakang, di mana suaminya sedang duduk berselonjor di gazebo dengan iPad di tangan. Hari ini akhir pekan, tapi keduanya hanya di rumah berdua. Keempat anak mereka sudah sibuk dengan pendidikan dan kegiatannya masing-masing. “Diminum dulu tehnya mumpung masih anget, Bang,” ucap Zahra setelah meletakkan nampan di atas gazebo. Zyan meletakkan iPad di samping lantas tersenyum pada istrinya. “Baik, Cintaku.” Pria itu mengambil salah satu cangkir lalu mencium aroma teh dengan lemon yang begitu menyegarkan. Setelah itu baru menyesapnya. “Nikmat seperti biasa. Terima kasih, Ra,” ucapnya. Zahra yang juga tengah menikmati teh, hanya mengangguk sebagai tanggapan. Dia kembali meletakkan cangkir di atas nampan. “Rumah kita ini sekarang jadi sepi ya, Bang,” gumamnya seraya menyandarkan kepala di bahu suaminya. Zyan meraih tangan kanan sang istri lalu menggenggamnya dengan erat. “Dulu waktu abang ingin namb
Lulus SMP, Zayyan memutuskan keluar dari pesantren setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Qur’an. Dia akan lanjut memperdalam ilmunya di luar pesantren karena tak ingin melihat adik bungsunya kesepian di rumah.Zyel dan Zyra dengan kompak masuk pesantren karena ingin mengikuti jejak sang kakak yang sudah hafal Al-Qur’an. Kedua anak kembar itu katanya juga ingin memberikan mahkota pada mama dan papanya di akhirat nanti. Walaupun berat harus berpisah dengan kedua anaknya sekaligus, Zyan dan Zahra tetap mengizinkan.Zayyan kemudian bersekolah di SMA yang masih satu yayasan dengan SD-nya dahulu. Sekolah berbasis Islam tapi menggunakan kurikulum internasional.“Kak, dapat salam dari kakak kelasku.” Zeza memberi tahu Zayyan saat sang kakak menjemputnya di sekolah dengan motor sport-nya. Sejak berumur 17 tahun dan punya SIM, Zayyan memang mengendarai motor sendiri ke sekolah. Motor sport impian yang merupakan hadiah ulang tahun ke-17 dari kedua orang tuanya. Kadang dia mengantar dan menjemput
“Pa, Ma, aku mau masuk SMP yang ada di pesantren.” Zayyan mengungkapkan keinginannya pada Zyan dan Zahra saat mereka dalam perjalanan pulang dari acara Parents Day di sekolahnya.Zyan dan Zahra tentu saja terkejut mendengar keinginan putra pertama mereka itu. Keduanya saling memandang sebelum memberi tanggapan.“Kak Zayyan, serius mau masuk pesantren?” tanya Zahra sambil menoleh ke kabin tengah di mana putra sulungnya duduk.Zayyan mengangguk. “Iya, Ma.”“Kenapa mau masuk pesantren, Kak?” Zahra kembali bertanya.“Aku ingin jadi hafiz, Ma. Pak Guru bilang kalau kita hafal Al-Qur’an, nanti kita bisa memberi mahkota pada orang tua di hari kiamat nanti karena itu aku ingin memberikannya sama Papa dan Mama,” jawab Zayyan dengan tenang.“Masya Allah, Kak, mulia sekali tujuanmu. Terima kasih ya, Kak.” Zahra tak dapat menahan rasa haru mendengar jawaban Zayyan. Dia mengusap sudut matanya dengan tisu.“Menjadi hafiz ‘kan tidak harus masuk pesantren, Kak. Besok Papa carikan ustaz yang bisa memb
"Yeay, Mama sama Papa sudah pulang. Mana oleh-olehnya?" todong Zyra yang baru pulang dari sekolah dan melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tengah bersama si bungsu, Zeza."Lihat Mama sama Papa itu ya mengucapkan salam terus salim dulu, jangan langsung minta oleh-oleh," tegur Zyan."Iya, Pa." Zyra kemudian menyapa dan menyalami kedua orang tuanya. Tidak bertemu selama satu minggu membuatnya sangat rindu. Meminta oleh-oleh hanya basa-basinya. Melihat kedua orangnya di rumah adalah kebahagiaan terbesarnya. Gadis kecil itu kemudian meminta pangku pada papanya.Zyel yang masuk belakangan langsung menyapa, menyalami, dan memeluk keduanya. Dia lantas duduk di samping sang mama. Wanita yang sangat dirindukannya. Bukan tak rindu pada Zyan, rindu juga tapi kadarnya berbeda. Zyel memang lebih dekat dengan sang mama daripada papanya."Kak Zyel dan Kak Zyra, ganti baju dulu ya. Setelah itu baru main lagi," pinta Zahra."Nanti saja ganti bajunya, Ma. Aku masih mau sama Papa," sahut Zyra yang b
Pukul 3.00 dini hari, Zyan dan Zahra dijemput di hotel oleh tim dari pengelola balon udara. Mereka diantar ke kantor pengelola tersebut untuk menikmati sarapan di sana. Sesudah itu keduanya dibawa ke lokasi peluncuran balon udara.Zyan dan Zahra disambut oleh staf yang ramah dan profesional yang mendampingi mereka sambil menunggu persiapan sebelum penerbangan. Selama balon udara digelembungkan dan disiapkan, keduanya diberikan penjelasan tentang perjalanan yang akan ditempuh dan tindakan yang diperlukan untuk keselamatan. Pilot dan kru yang berpengalaman memastikan Zyan dan Zahra merasa nyaman dan siap untuk memulai perjalanan di angkasa.Zyan naik ke keranjang terlebih dahulu, setelah itu baru membantu istrinya. Mereka kemudian memasang sabuk pengaman sesuai dengan pedoman keselamatan sebelum lepas landas. Di keranjang tersebut hanya ada Zyan, Zahra, dan sang pilot. Setelah semua siap, pilot pun mulai menerbangkan balon udara.Perlahan-lahan balon itu terangkat dari tanah dan mengang
Zyan berbaring di samping Zahra setelah mendayung samudra cinta dan meraih surga dunia bersama. Kepuasan tergambar jelas di wajah keduanya. Titik-titik basah di kening dan mengilapnya tubuh karena keringat menjadi bukti betapa panasnya permainan mereka.Zyan dan Zahra tak bisa selepas itu saat di rumah. Saat mereka sedang bermesraan sering muncul perasaan was-was bila salah satu anak mereka mengetuk pintu kamar. Bukan hanya sekali hal itu terjadi, tapi sering kali. Apalagi kalau sedang hujan deras dan suara guntur terus terdengar. Atau terbangun tengah malam karena mimpi buruk, pasti langsung ke kamar orang tuanya.Pernah saat keduanya sudah menyatukan tubuh dan sedang berusaha menggapai nirwana, pintu kamar digedor-gedor dari luar oleh Zyra yang menangis sembari memanggil-manggil mereka. Tidak dilanjut tanggung, tapi kalau dilanjut pasti akan membangunkan seisi rumah karena suara bising yang dibuat Zyra. Terpaksa keduanya mengakhiri permainan sebelum mencapai puncak dan langsung menge
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments