Zyan mengernyit begitu mendengar ada yang menyebut namanya. Pria itu berhasil menghindar kala seorang wanita mendekat dan coba mencium pipinya. “Anda siapa ya? Jangan bersikap kurang aja! Saya ini sudah punya istri dan istri saya jauh lebih cantik dan lebih baik daripada Anda!” serunya. Dia tak peduli kalau orang-orang jadi mengalihkan perhatiannya pada mereka.“Masa kamu lupa sama aku? Jahat banget sih! Kita ‘kan dulu sering ketemu dan ngobrol di klub,” sahut wanita berpakaian kurang bahan itu.Zyan menggeleng. “Maaf, saya tidak kenal dengan Anda. Saya juga sudah lama sekali tidak pergi ke tempat-tempat seperti itu.”Wanita itu berdecak. Dia lantas duduk di samping Zyan yang kosong. “Siapa yang mengizinkan Anda duduk di situ?” tukas pria bercambang tipis itu. Terlihat sekali dia merasa tidak nyaman.“Ini ‘kan tempat umum. Siapa saja boleh duduk di sini,” sahut wanita itu dengan santai. Dia mengangkat kaki kanan lalu diletakkan di atas kaki kiri hingga semakin terlihat paha mulusnya
Zyan dan Zahra keluar dari ruang praktik dokter sambil bergandengan tangan. Raut bahagia menghiasi wajah keduanya. Mereka sangat bersyukur karena kondisi janin yang dikandung Zahra sehat, begitu juga dengan ibunya. Kedua calon orang tua itu juga merasa lega sebab sudah mengetahui jenis kelamin calon anak mereka. Ya, walaupun hasil USG belum tentu sama saat lahir, tapi tetap disyukuri.Saat mereka berjalan menuju tempat administrasi, wanita yang mengenakan pakaian seksi itu kembali memanggil Zyan. Namun pria bercambang tipis itu mengabaikan dan tetap berlalu dengan istrinya. Seperti yang dikatakan Zyan sebelumnya, lebih baik mereka menghindari masalah.Tanpa keduanya duga, wanita tadi berdiri lantas mengikuti mereka. “Zyandru, kenapa sih kamu sekarang sombong kaya gini? Aku ‘kan pengen ngobrol sama kamu,” serunya.Zyan tetap mengajak Zahra berjalan dan tak mengindahkan. Pada saat seperti ini dia merasa membutuhkan pengawal yang bisa menjaga mereka dari hal-hal yang tidak diinginkan. Se
“Kita mau langsung pulang atau mau ke mana dulu?” tanya Zyan saat mereka sudah duduk di dalam mobil. Malam ini Zyan mengemudi mobil sendiri tanpa sopir karena dia ingin menghabiskan waktu berdua dengan sang belahan jiwa. Sejak pulang dari liburan, mamanya terus saja bersama Zahra, hingga membuatnya hanya bisa mengalah. Mereka hanya bersama saat tidur saja.“Aku mau makan nasi goreng, Bang.” Zahra masih mengingat daftar makanan yang dia inginkan begitu pulang ke Indonesia.“Oke. Mau beli di mana nasi gorengnya?” tanya Zyan sesudah menyalakan mesin mobil.“Di dekat rumah Ayah,” jawab Zahra.“Sekalian mau menginap di sana?” Zyan menoleh ke samping kirinya.Zahra menggeleng. “Enggak. Kita langsung pulang ke rumah Papa setelah makan. Menginap di rumah Ayah besok Sabtu saja.”“Oke.” Zyan kemudian melajukan kendaraan mewah itu meninggalkan tempat parkir rumah sakit.“Tadi kamu bicara sama wanita itu?” Zyan akhirnya bertanya setelah beberapa saat mereka diam.Bumil itu mengangguk. “Iya. Wanit
Zahra sontak menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Begitu pula dengan Zyan. CEO itu menunjukkan raut tak bersahabat pada pria yang memanggil dan tersenyum pada istrinya.“Maaf, siapa ya?” Zahra bertanya pada pria itu karena wajahnya tidak terlihat jelas sebab pencahayaan yang kurang. Pria yang rambutnya klimis itu tersenyum. “Aku Baron, teman SMP dan SMA Amir. Kamu lupa?” “Ya Allah, Mas Baron. Iya, aku ingat sekarang. Penampilannya beda banget dari terakhir ketemu, makanya aku pangling. Udah lama banget juga ‘kan kita ga ketemu?” sahut Zahra dengan ceria.Pria bernama Baron itu tertawa. “Iya. Kayanya terakhir ketemu pas wisuda Amir. Habis itu aku sibuk ma kerjaan. Ini aja aku baru pulang dari kantor. Gimana kabar Ayah dan Ibu? Sehat semua ‘kan? Kalau sama Amir masih sering kontak.”“Alhamdulillah Ayah dan Ibu sehat, Mas,” balas Zahra.“Ngomong-ngomong, kamu makin cantik saja sekarang.” Pujian Baron itu membuat Zyan semakin menampakkan wajah tak suka.Zahra tertawa kecil. “Mas Bar
Sesudah menandaskan makan dan minumnya, Zahra dan Zyan menghampiri istri pemilik warung yang biasanya menerima pesanan dan pembayaran dari pelanggan.“Berapa, Bu?” tanya Zyan sambil mengambil dompet di saku celana belakang.“Tujuh puluh ribu, Mas,” jawab wanita paruh baya itu.Zyan membuka dompet, tapi dia tidak menemukan uang tunai di sana. “Saya tidak bawa uang tunai. Apa bisa bayar pakai QRIS, Bu?” tanyanya. “Maaf, Mas. Kami hanya menerima uang tunai saja. Saya tidak mau ribet, mesti ngambil uang dulu kalau mau belanja ke pasar,” jawab istri pemilik warung.“Kayanya aku masih ada cash, Bang.” Zahra mengambil dompet dari tas. Untung saja masih ada selembar uang seratus ribu di sana. Dia lalu menyerahkan pada ibu tersebut. “Ini, Bu. Ambil saja kembaliannya,” ucapnya.“Loh, Mbak, ini masih sisa tiga puluh ribu,” lontar wanita paruh baya itu.Zahra menggeleng. “Gapapa. Ambil saja. Itu rezeki Ibu dan Bapak.”“Alhamdulillah. Terima kasih, Mbak, Mas, semoga rezekinya dilancarakan, begitu
Rahang Zyan mengetat melihat Zahra berbicara dengan Baron. Baru ditinggal sebentar saja, sudah ada pria yang mendekati istrinya. Bagaimana kalau ditinggal lama? Bisa jadi belahan jiwanya itu dikelilingi banyak pria.Pria bercambang tipis itu memarkirkan mobil begitu dekat dengan tempat istrinya menunggu. Tanpa mematikan mesin mobil, dia keluar dari kendaraan mewahnya lalu berjalan menghampiri sang pujaan hati.“Ayo, kita pulang.” Zyan mengulurkan tangan kanannya pada Zahra.Wanita yang mengenakan hijab merah muda itu tersenyum menyambut kedatangan suaminya. Dia kemudian meraih tangan Zyan. Pria yang sudah menghalalkannya itu lantas membantunya berdiri.“Mas Baron, terima kasih sudah ditemani. Aku pulang dulu.” Zahra berpamitan pada teman kakaknya itu sebelum pergi.“Ya, hati-hati. Salam buat Ayah dan Ibu,” sahut Baron.Zahra mengangguk. “Insya Allah, kusampaikan.”Tak mau istrinya berbicara lebih lama dengan pria berpenampilan necis itu, Zyan lekas mengajak Zahra masuk ke mobil. Seper
Zyan terkejut mendengar pertanyaan sang istri. Pria bercambang tipis itu sontak menginjak pedal rem sampai mentok. Membuat mobil berhenti mendadak dan menimbulkan suara berdecit. "Astaghfirullah!" seru Zahra yang kaget karena mobil berhenti mendadak. "Kenapa berhenti, Bang? Apa mobilnya bermasalah?" tanyanya kemudian. Zyan tak menjawab. Dia melihat kondisi jalanan sembari menyalakan lampu sein kiri, lantas menepikan kendaraannya begitu ada kesempatan. Untung saja jalanan cukup lengang jadi tidak menimbulkan kecelakaan karena Zyan mengerem mendadak. Meskipun membuatnya diumpat banyak orang, dia tidak peduli. "Bang, mobilnya beneran ada masalah ya? Kok malah minggir dan berhenti?" Zahra kembali bertanya karena suaminya sama sekali belum memberi jawaban. Zyan menggeleng. "Mobilnya tidak apa-apa." Pria itu akhirnya bersuara. "Terus kenapa kita berhenti?" cecar Zahra. "Abang harus bicara dan meluruskan sesuatu sama kamu." Zyan melepas sabuk pengaman lalu duduk menyamping menghada
Sabtu malam selepas Isya, Zyan dan Zahra pergi berdua. Pria itu menepati janjinya mengajak sang istri bertemu dengan teman-temannya sesama anggota klub motor, seperti janjinya beberapa hari yang lalu. Malam ini, Zahra mengenakan celana jin untuk ibu hamil, kaos putih lengan panjang, dan jaket kulit warna hitam yang dibeli di Turki. Kepalanya ditutup dengan hijab warna hitam, sementara untuk alas kaki, bumil itu mengenakan sepatu bot pendek yang warnanya senada dengan hijabnya. Tak beda jauh dengan Zyan. Pria itu juga mengenakan celana jin, kaos pas badan warna putih, dan jaket kulit serta sepatu bot yang couple-an dengan sang istri. Membuat penampilan kedua orang itu tampak serasi bila disandingkan. Outfit mereka malam ini diatur oleh Zyan.Zyan berani mengajak istrinya naik motor setelah sebelumnya berkonsultasi dengan dokter kandungan. Begitu sang dokter mengizinkan, dia pun langsung merancang semuanya, termasuk outfit yang mereka kenakan malam ini. Pria itu membeli helm, kaos tan