“Kau sekarang termasuk atasanku, Venus.” Venus menoleh menatap Ildara. Sudah seminggu sejak ia berada di kamar serupa rumah sakit itu, dan kini Venus sedang menikmati masa-masa kewarasannya kembali. Kekuatannya sudah lebih baik. Meski telinganya masih suka berdenging menyakitkan di waktu-waktu tertentu. Venus bersandar pada sofa yang didudukinya dengan perasaan tanpa beban. “Apa Kaisar yang menyuruhmu?” tanya anak itu perlahan. Ildara mengangguk. Ia menyesap teh di cangkirnya dengan gerakan anggun. Venus menoleh lagi. Pandangannya menyapu ruangan serupa ruang keluarga yang dipenuhi perabot dan hiasan serba emas itu. Ada foto-foto berpigura yang diletakkan di atas meja, beberapa digantung ke dinding. Sebuah monitor besar menempel di salah satu bagian dinding. Benda itu seakan menyatu dengan dinding itu sendiri. Venus mengawasi jalanan dan beberapa perumahan yang tampak kosong dari monitor itu. Ildara tinggal di sebuah kompleks elit di ujung kota Sembada; tempat yang pasti akan
Di sana banyak sekali para penyihir yang sangat handal. Helena berharap dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dia melewati hutan yang begitu gelap, suara auman serigala membuat dia merinding. Seketika nyalinya menciut, dia takut berada disini sendiri. Helena memutar arahnya, sangat sepi kota di malam hari, semua orang pasti di rumah berkumpul dengan keluarganya. Dia duduk di kursi taman, menatap bunga-bunga indah di hadapannya. Helena paling suka melukis bunga, kelopaknya yang berwarna-warni dan aroma harum dari bunga selalu menginspirasinya. “Kenapa aku bertemu denganmu lagi?” ucap Vale yang tiba-tiba muncul di hadapan Helena. Dia yang sedang duduk hampir saja terjungkal karena terkejut. “Astaga Vale! Kenapa kau mengejutkanku!” teriak Helena gemas. Dia mencubit lengan Vale, namun lelaki itu malah tertawa. “Kau tau kan julukanku dewa angin, aku bisa muncul kapan saja,” ucap Vale menyombongkan dirinya. “Ya, seperti hantu. Kenapa kau ada di sini malam begini?” tanya Helena.
(ALL THIS IS INDONESIAN VERSION. PLEASE BEAR WITH ME, DON'T PURCHASE JUST YET! WILL EDIT AS SOON AS POSSIBLE!)“Jadi, apakah ada yang tahu apa batasan dalam menggunakan Bakat?” Saat ini, Venus dan seluruh murid kelas satu sedang berbaris di tengah-tengah sebuah lapangan tertutup. Dinding-dinding hitam yang mengelilingi tanah lapang itu tampak berdiri angkuh, seakan ingin menghalangi siapapun yang ingin masuk ke lapangan itu tanpa izin. Mereka berada di sana dalam rangka praktik pelajaran Pengembangan Bakat, tepat setelah jam istirahat selesai. Pak Zub, krona pelatih berwajah tegas yang barusan bicara, memandang wajah-wajah di depannya dengan tajam. Venus menoleh pada Virzash dan menatapnya. “Apa?” bisik Virzash, merasa terganggu. “Kau tahu jawabannya?” selidik Venus. “Kau tidak pernah membuka tabletmu?” Venus memutar bola mata. “Kau berkata seakan kau sudah tahu,” gumam Venus sebal. “Kenapa tidak menjawab pertanyaan dari Pak Zub, kalau begitu?” Wajah Virzash memerah. “Aku per
Cakrawala sudah mengguratkan sulur-sulur oranye di angkasa saat Shad dan Venus bangkit berdiri. Mereka bertatapan selama beberapa saat, sebelum akhirnya Shad mengangguk dan tersenyum. “Kau tidak pernah jahat, Ven. Ingat itu,” Shad berujar. Anak laki-laki itu membelai lagi pipi Venus dengan lembut, dan Venus menggenggamnya di sana selama yang bisa ia lakukan. Suara berdenting menarik mereka perlahan kepada kenyataan. Shad menoleh sekilas, tangannya masih menempel di pipi Venus. “Para Pengaman,” sebut Shad sambil lalu. “Sudah cukup, Nak!” seru salah satu Pengaman. “Kembali ke kelasmu! Sebentar lagi Pesawat Darurat akan tiba di sini!” “Bolehkah aku melihatnya saja?” pinta Shad. “Tidak.” Shad menghela napas. Ia menoleh pada Venus yang masih memandangnya. “Sampai jumpa, Ven. Aku tidak akan pernah melupakanmu, aku janji,” Shad bersumpah. Satu belaian terakhir, dan Shad menjauhkan tangannya dari Venus. Ia tiba-tiba berlari, tidak berhenti hingga ia tiba di dalam lift. Bahkan, Venu
Suara berisik tiba-tiba membangunkan Venus. Gadis itu bersusah-payah membuka matanya dan berkedip-kedip memandang jam dinding. Pukul delapan malam. Venus mengeluh dan merutuk dalam hati sambil memeluk kembali bantal gulingnya. Sedetik kemudian ia duduk terkaget saat pintu kamarnya digedor dari luar. “VENUS!” Venus mengeluh lagi. Itu suara ayahnya. Dalam dan besar. Gadis itu tersaruk-saruk menuju pintu untuk membukanya. “Apa-apaan kau ini?!” bentak sang ayah begitu melihat Venus. Venus mengucek mata sambil mencoba merapikan rambutnya menggunakan tangan. Gadis itu merengut sebal pada sosok tegap nan galak di depannya. “Yang apa-apaan itu Ayah,” gerutu Venus. “Kenapa, sih, membangunkan aku malam-malam begini?” “Rapikan dirimu, ganti baju dan sandalmu, lalu pergi ke kamar Ayah.” Ekspresi datar sang ayah mengganggu Venus. Apa ia akan dihukum karena sudah membentak Sella? Namun, kenapa penampilan harus begitu rapi? “Kena—” “Sekarang!” Laki-laki itu kemudian meninggalkan Venus ya
Venus pikir mereka juga akan diantarkan ke dalam bangunan itu setelah Meres membuka pintu. Namun, ternyata ada seseorang yang sudah menunggu di balik pintu untuk menyambut, atau lebih tepat, mencoba mengintimidasi mereka. Orang itu adalah seorang lelaki paruh baya berbadan besar dan kekar. Tatapannya begitu dingin dengan bibir yang senantiasa merengut. Di mata Venus, Meres bahkan tampak lebih ramah dibandingkan orang ini. “Sudah selesai?” Pria itu bertanya pada Meres dengan suara berat. Meres cuma mengangguk, lalu ia keluar bersama Lan tanpa berkata apapun. Dan, dengan berani Venus mengganggu pria seram berpakaian serba putih di depannya itu. Tentu saja dengan perasaan agak keder. “Siapa Anda?” Suara Venus terdengar kecil, tapi ia tak peduli. Lelaki itu memandangnya, seketika menguarkan hawa dingin yang menakutkan. Gawat, Venus bakal ditelannya bulat-bulat! “Rokuga.” Venus membuang napas lega tanpa kentara. “Ayo,” ucap Rokuga seraya berjalan pergi. “Jadi, kita harus memanggiln
Malam itu Barbara kembali bermimpi tentang hutan gelap tempat ia bertemu dengan nenek menakutkan. Ia kembali ketakutan di kegelapan hutan itu, tapi ada sesuatu yang tampak berbeda dari mimpi yang sama sebelumnya. Seorang cowok seumuran Barbara tampak berdiri diam di bawah sorot rembulan, bagaikan lampu panggung yang menyorot seorang artis. Barbara mempertajam penglihatannya dan melihat bahwa wajah cowok itu cukup… imut. Sesuatu seperti menggelitik pikirannya, seakan-akan otaknya sedang berusaha mengingat sesuatu. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, ia tak dapat mengingat siapa cowok itu. Cowok itu tiba-tiba menoleh dan menatap Barbara yang langsung terkesiap saat melihatnya. Mata cowok itu berubah menjadi merah dan darah tampak mengalir lambat ke pipi. Ia mengulurkan tangan ke depan seperti akan mengajak seseorang. “Bara, kau dari mana saja?” cowok itu berkata dengan suara parau. Barbara tak bisa mengalihkan pandangannya dari mata cowok itu yang terus-menerus mengeluarkan darah hi
"That much?" Xingsheng exclaimed in surprise. "And they… Lord Immortal brought them all here?" The three Beauties nodded slowly. However, a few seconds later, the petite woman in the orange dress shook her head. Her facial expression was neutral. "If only the Portal could be closed forever," the woman said, her eyes staring into empty air, "Lord Immortal wouldn't be able to do this anymore." "I don't understand," Vina interrupted suddenly. They all looked at her. "I mean, this guy did a lot of evil deeds, didn't he? Why do you have to address him so respectfully like that?" The three Beauties looked at each other in three directions. Vina rather wanted to feel what it was like to glance at each other in three directions. Again, the woman in the orange dress answered, while Nawa could only smile awkwardly and Astha didn't put any expression on her face. "He has a special relationship with the royals," she said in a casual tone. "You can't go too far or you will lose your head."