Lucas melemparkan gelas kaca yang dia pegang, sungguh dia tidak menyangka Belarus berani melakukan pengajuan peraturan seperti itu. Sejak nenek moyang, sistem kerajaan tidak pernah berubah, Lucas harus menetapkan hal itu. Di usianya yang sangat muda ini, Lucas masih labil dan terkadang dia bingung bagaimana mengelola keuangan. Semua keputusan ada di tangannya, terlalu rumit baginya jika menentukan semuanya sendiri. Lucas belum terbiasa menjadi pemimpin. Di usianya yang masih jauh lebih muda daripada kakaknya, dia masih ingin bersenang-senang. Lucas, sebelum diangkat menjadi raja, sangat menyukai seni pahat dan berkebun. Dia memiliki rumah kaca tersendiri dan studio pahat. Dia nyaris tidak pernah ingin menjadi raja, itulah mengapa dulu saat ayahnya meninggal dia langsung setuju ketika Axton diangkat menjadi raja. Di saat seperti ini, Lucas ingin mengunjungi kakaknya, dia sangat ingin bercerita tentang keluh kesahnya menjadi seorang raja. Semua permintaan masyarakat telah dia penuhi, ha
Helena semalaman tidak bisa tertidur memikirkan tentang kutukan yang ada pada diri Axton. Dia tidak sanggup jika harus begini. Dia sangat ingin mengembalikan Axton, ingin mengetahui mengapa Axton membunuh kakaknya. Helena bangkit di tengah malam, mengganti bajunya dan menutup kunci rumah. Rencananya malam ini dia ingin menuju Balkan, pusat kota para penyihir. Di sana banyak sekali para penyihir yang sangat handal. Helena berharap dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya. Dia melewati hutan yang begitu gelap, suara auman serigala membuat dia merinding. Seketika nyalinya menciut, dia takut berada disini sendiri. Helena memutar arahnya, sangat sepi kota di malam hari, semua orang pasti di rumah berkumpul dengan keluarganya. Dia duduk di kursi taman, menatap bunga-bunga indah di hadapannya. Helena paling suka melukis bunga, kelopaknya yang berwarna-warni dan aroma harum dari bunga selalu menginspirasinya. “Kenapa aku bertemu denganmu lagi?” ucap Vale yang tiba-tiba muncul di hadapan
Axton, seorang pangeran tampan dan gagah perkasa, dia memiliki fisik sempurna namun tidak dengan kepribadiannya. Axton pangeran yang suka menindas rakyatnya demi keuntungan pribadi. Setiap tahun dia melipatgandakan pajak, sedangkan rakyat miskin yang tidak bisa membayar harus menjadi budaknya. Pagi ini dia mendatangi rumah tua seorang kakek yang bekerja sebagai petani. Dia datang bersama dengan lima pengawalnya."Cepat bayar utang pajakmu!" ucap Axton dengan melipat tangannya di depan dada. Dia bersikap angkuh dan tak peduli seberapa menderita kakek tua itu. Hanya ada satu lembar uang yang dimiliki kakek tua itu, lainnya tidak ada lagi. Axton merampas uang itu lalu pergi."Tuan, apakah kita tidak terlalu kejam? Kakek tua itu sepertinya memang tidak memiliki uang sama sekali," salah satu pengawalnya mengingatkan perbuatan Axton, namun Axton menggeleng kuat. Baginya, setiap detik adalah cara untuk menghasilkan uang lebih banyak. Axton bersikap keras kepala, tidak peduli bagaimana keadaa
Venus tiba-tiba merasa sangat kotor meskipun ia baru saja selesai mandi dengan sabun berbusa banyak. Terlebih lagi, sisa sarapan yang sempat dihabiskannya nyaris naik ke kerongkongan hingga membuat anak itu mabuk luar biasa. Seperti yang dikatakan Ildara: vingsai dapat berteleportasi, baik sendiri maupun dengan orang lain. Masalah terbesarnya adalah: yang dibawa vingsai itu bukan kaumnya sendiri, melainkan manusia volt yang sehat tanpa belatung di wajah mereka. Jika menjaga jarak saja aromanya sudah sangat buruk, Venus benar-benar membayangkan apa jadinya jika ia bersisian dengan vingsai. Berimpitan. Venus awalnya menolak berada di salah satu sisi vingsai itu, tapi Ildara berkata bahwa itulah caranya agar mereka bisa ikut diteleportasi. “Aku akan memegang lenganmu saja, Ildara!” sentak Venus di antara napasnya. Si vingsai mengangkat kepala dan menggeram rendah, seakan ingin mengatakan bahwa cuma itu caranya. Dan Venus harus mau kalau tidak ingin terlambat. Makhluk itu mengguncang
“Kenapa Illdara tidak ikut kemari?” “Aku hanya butuh membunuhmu, Venus, dengan cepat. Aku tak butuh penonton.” Venus masih memandang sekelilingnya. Mereka berdiri di puncak gunung yang datar. Di samping mereka merekahlah sebuah kawah beku nan bersalju. Uap keluar dari sela-sela lubang hidung dan bibir Venus saat ia mengembuskan napasnya. Tubuhnya menggigil dan telinganya berdenging lagi; sebagian karena dingin, sebagian lagi akibat Nyanyian Kenya dulu yang kembali terasa nyeri. Venus meraih Bakat Api sesedikit mungkin, lalu menyebarkan hawa hangat ke dalam tubuhnya sendiri. Rasanya lebih baik. Amerta dan Venus berdiri berjauhan dengan jarak hampir delapan meter satu sama lain. Meski begitu, Venus dapat melihat dengan jelas kebencian tiba-tiba yang muncul di sorot mata Amerta. “Kenapa?” Venus berkata sarkatis. “Baru berani menunjukkan perasaan aslimu padaku? Itukah yang sebenarnya kau rasakan? Kebencian dan bukannya meremehkan?” Amerta mulai berjalan memutari Venus. “Aku tak pern
Dua cahaya kemerahan yang menyala-nyala dari ujung berbeda saling mendekat di tengah desir kegelapan. Siluet manusia yang terbentuk dari bayangan asap berdiri di antara cahaya-cahaya itu. Satu siluet berwarna hitam, yang lain berwarna merah gelap; nyaris menyatu dengan cahaya yang mengikutinya. Cahaya itu lantas membaur saat kedua siluet itu berdekatan. Sebuah kesadaran lain mengawasi mereka dengan perasaan waswas dan ingin tahu. Venus. Kesadaran anak itu … ia merasa seolah tidak memiliki raga. Jiwanya seakan mengambang. Venus mencoba bertelepati dengan Mustaka, tapi pikirannya seperti terbelenggu oleh sesuatu; ada hal lain yang menahannya. Entah apa. Siluet berasap di hadapan anak itu tampak memutar ke arahnya. Venus tiba-tiba menggigil. Namun ia tak bisa bergerak … tak bisa apa-apa. Yang bisa dilakukan Venus hanya mengawasi dengan perasaan dicekam ketakutan. “Lihatlah, Druiksa.” Venus menoleh ke arah siluet hitam yang tiba-tiba berucap dengan suara bergemeretak. “Cicitmu ini s
Napas Venus tersentak keluar. Ia membuka mata kaget, segera setelahnya berkedip-kedip saat cahaya membutakannya. Venus menghela tubuhnya, tetapi langsung terhempas kembali. Erangan tersiksa keluar dari bibirnya. Kepala Venus serasa akan pecah; perutnya mual luar biasa. Cairan pahit berkali-kali naik ke tenggorokannya, tapi Venus selalu menelannya lagi dan lagi. (Anda menjijikkan sekali, Venus.) Tiba-tiba Mustaka bertelepati. Nadanya terdengar jijik. (Diam.) Pikir Venus padanya. Venus mengaduh pelan saat kakinya tiba-tiba berdenyut nyeri. Ia menunduk dan mendapati belitan perban di pahanya yang sempat terluka. Kenangan membanjiri pikiran Venus tiba-tiba. Ia mencengkeram kepalanya saat ingatan itu datang bertubi-tubi seraya membawa rasa sakit tak masuk akal di sana. Seakan belum cukup, telinganya berdenging luar biasa. Venus berteriak; teriakan anak itu serak, dan itu menyakiti tenggorokannya. Benda tajam serasa menusuk-nusuk kedua lubang telinga Venus. Ada seseorang yang memuku
Venus pernah berpikir bahwa hidupnya akan jadi mengesankan, jika ia melakukan kebaikan seperti seorang pahlawan super. Namun, pemikiran itu datang jauh sebelum ia berubah jadi berani. Pernah suatu kali di Bumi Pertama, saat ia baru saja masuk sekolah kanak-kanak, saat pertama kali Bima—ayah angkat Venus—membentaknya. Saat itu Venus mencoba berkenalan dengan seorang anak yang sedang menangis. Ia pikir ia bisa menghentikan tangis anak itu. Tangis anak itu berhenti, tapi Venus mengacaukan segalanya. Saat jam sekolah selesai, ada seekor nyamuk yang hinggap di pipi teman barunya itu. Secara spontan Venus menampar serangga itu; dengan tak sengaja melakukannya terlalu keras. Ibu anak yang pipinya kena tepuk oleh Venus marah karena anaknya kembali menangis; bahkan lebih keras dari sebelumnya. Venus meminta maaf, tapi ibu si anak masih terlihat marah. Bima nyaris menyeret Venus saat mereka pulang hari itu. Begitu tiba di rumah, Bima langsung mencerca Venus dengan nada tertahan. “Kenapa ka