Share

Tangisan Mentari dan Penyesalan Bian

"Cuma sampai di situ aku berhasil mengingatnya saat sadar. Aku gak mimpi, Senja. Malam itu, nyata." Mentari menggertakkan giginya. Terlalu mabuk sampai tidak sadar sedang bercinta secara nyata dengan pria yang ia mimpikan di saat yang bersamaan.

"Dan aku udah gak pernah lihat Bian lagi setelah bangun di pagi itu. Dia pergi. Ninggalin aku. Jauhin aku," isak Mentari menyudahi caritanya kepada Senja.

Senja memeluk kembarannya dengan erat. Senja tidak tahu kalau Bian akan setega itu menyakiti perasaan Mentari.

"Aku niatnya cuma minum sedikit malam itu buat ngilangin sakit hati aku, Senja. Tapi aku gak tahu kalau bakal kalap mau ngabisin dua botol. Paginya kepalaku seperti mau pecah. Ditambah lagi dengan fakta aku ditinggal sendiri dalam keadaan telanjang," Tangis Mentari semakin menjadi. Tubuhnya bergetar hebat.

Senja hanya bisa mengelus punggung wanita itu untuk menenangkannya. Tidak ada kata-kata yang pas yang harus Senja ucapkan. Semuanya sangat menyakitkan.

"Dan beberapa Minggu setelah itu, aku tahu aku hamil, aku mau cari Bian ke kantornya. Tapi..."

Mentari ingat, dia melihat Bian bersama seorang wanita memasuki mobil pria itu dan pergi begitu saja tanpa tahu kehadirannya. Wanita yang berstatus sebagai dokter yang Mentari ingat bernama Kania.

"Itulah alasan kenapa aku gak pernah lagi ke sini. Aku hanya mengurung diri di rumah. Sampai Mama dan Papa pergi ke luar negeri, aku tetap gak keluar kamar. Aku gak tahu gimana nasib aku dan anak itu ke depannya. Aku bingung dan takut, Senja."

Senja menepuk pelan punggung Mentari. "Sampai akhirnya aku ngirim e-mail ke Bian sekaligus bukti pemeriksaan dari rumah sakit. Aku gak tahu apa dia baca atau enggak. Setelah itu, aku nelpon kamu dan bohong, lalu..."

"Kamu pergi sesuai saran aku buat nenangin diri, tapi kamu malah gak kembali selama setahun," potong Senja dengan nada sedih.

Ya, benar. Bahkan, Mentari masih ingat dengan jelas, kejadian mengenaskan yang menimpanya hingga ia kehilangan janin mungil itu. Mentari depresi, bahkan orangtuanya sampai harus membawanya ke psikiater. Butuh waktu 7 bulan untuk Mentari kembali terlihat normal dan menerima kehilangan tersebut.

Hal yang Mentari syukuri, kedua orangtuanya selalu berada di pihaknya bahkan ketika tahu Mentari mengandung benih pria yang tidak Mentari sebutkan siapa. Mentari hanya tidak ingin Merusak hubungan baik antara orangtua angkatnya dengan Hasna.

"Jadi, selama ini kamu di mana? Balik ke luar negeri?" tanya Senja.

Mentari menggeleng. "Aku masih di dalam negeri. Di kampung halaman orangtua angkatku," jawab Mentari.

Senja ingat, beberapa kali Bian mencari Genta hanya untuk meminta bantuan agar bisa bertemu Mentari. Waktu itu, Senja jelas bingung. Apa lagi hubungannya dengan Bian? Bukankah pria itu juga menolak kembarannya? Lalu, kenapa masih mencari? Dan Senja tahu jawabannya, Bian pasti sudah melihat e-mail yang Mentari kirimkan padanya. Sayangnya, pria itu terlambat. Mentari sudah pergi.

Senja memang sering berkomunikasi dengan Mentari semenjak wanita itu pergi, bahkan kedua putrinya juga sama. Hanya saja, Senja tidak pernah menanyai keberadaan kembarannya itu di mana, karena berharap Mentari yang berinisiatif memberi tahunya lebih dulu.

"Aku bahkan gak bisa buang perasaan sialan ini, Senja. Aku masih aja mencintai pria tak berperasaan seperti dia. Kenapa? Kenapa?! Aku benci perasaan ini," isak Mentari.

"Cinta gak bisa disalahkan, Mentari. Dia memang hadir tanpa melihat waktu, kondisi dan tujuannya. Kita hanya bisa berusaha untuk mengendalikannya. Mau dipendam, diungkapkan, atau dibunuh secara diam-diam, itu pilihan yang sama-sama beresiko."

***

Di ruangan Genta, Bian tampak menunduk dengan kedua tangan yang saling meremas. Genta tahu adiknya pasti syok dengan informasi yang baru saja ia beri tahu. Genta juga tahu, Bian pasti sangat menyesal karena membuang kesempatan yang mungkin, tidak akan pernah lagi ada untuk kedua kalinya.

"Untuk informasi yang lebih detail, kamu cari aja sendiri. Aku yakin, kamu lebih dari mampu hanya untuk menggali informasi setahun yang lalu," ujar suami Senja tersebut.

Bian tetap diam. Ingatannya berlalu ke satu tahun yang lalu. Di pagi yang cerah, ia terbangun dengan lengan memeluk posesif seorang wanita. Bian jelas bahagia, apalagi setelah melewati malam panas bersama wanita itu. Mentari.

Kalau bukan karena jam penerbangannya dan mengejar jam rapat dengan dewan direksi di luar negeri, Bian tidak akan meninggalkan Mentari sendirian di pagi itu. Sayangnya, Bian tidak bisa merubah jadwal yang sudah ia susun sejak satu bulan lamanya.

"Aku... Bingung, Mas..." Bian merasa pundaknya lebih berat. Seolah beban yang dipikulnya bertambah berkali-kali lipat.

"Kamu pikirkan dulu," Genta menepuk pundak sang adik. "Dan aku mohon, jangan rusak acara malam ini. Kamu tahu, kan, Mentari pulang karena menghargai Ibu yang ulang tahun hari ini. Jadi, tolong, jaga suasana hati dan emosi kamu. Apa pun itu, hal-hal yang mau kamu bahas sama Mentari, aku harap diselesaikan setelah acara usai. Ibu udah jelas kecewa. Dan aku gak mau lihat Ibu makin kecewa karena kacaunya acara makan malamnya," lanjut Genta.

Bian mengangguk pelan, "seharusnya aku yang gak pulang mendadak kayak gini. Aku cuma terlalu bersemangat untuk ketemu dia, Mas. Aku... Merindukan Mentari," balas Bian.

Genta ikut mengangguk. Dia tahu bagaimana tersiksanya sang adik selama ini. Makanya Genta membantu mencari informasi tentang Mentari secara diam-diam. Genta tidak mau kalau Senja sampai tahu. Genta tidak ingin istrinya jatuh sakit karena tahu kejadian yang sebenarnya terjadi pada kondisi Mentari. Senja sangat pemikir, dan itu salah satu alasan Genta menyembunyikannya.

"Oci lihat kamu masuk ke kamar Mentari, dia juga dengar kamu bentak Mentari, dan aku, Senja serta Ibu menyusul karena itu. Oci sampai nangis. Aku ingin kamu jaga ucapan dan intonasi bicaramu selama di sini. Aku gak mau anak-anakku sampai ketakutan. Kamu paham?" Genta jelas sedang menekan kekesalannya atas tingkah ceroboh Bian.

"Iya, Mas, maaf," sesal Bian. "Aku juga berterima kasih ke Oci karena suka laporin hal-hal tentang Mentari," ungkapnya.

Genta menghela napas panjang. Sepertinya kisah cinta adiknya ini benar-benar mengenaskan. Menduda ditinggal istri dan anaknya karena lebih dulu dipanggil Tuhan, lalu berhubungan dengan Nurul, dan menjalin hubungan gelap dengan Kania. Sekarang malah terombang-ambing karena kesalahpahaman yang terjadi dengan Mentari.

"Jangan putus asa. Kamu harus tetap waras demi Mentari. Bukannya kamu sendiri yang berulah? Tidak langsung membalas ketika Mentari mengungkapkan perasaannya. Membuatnya juga salah paham akan tipe wanita idamanmu setelah bertemu Kania," decak Genta.

Ya, Bian akui semua memang bersumber darinya. Andai saja malam itu Bian langsung membalas perasaan Mentari, mungkin sekarang mereka sudah menimang bayi mungil.

"Mas?" Suara Senja yang memanggil serta ketukan berulang kali di pintu ruang kerjanya, membuat Genta segera beranjak.

Genta tersenyum saat membuka pintu  dan Senja berdiri di sana. "Mentari, pingsan," lapor Senja dengan suara bergetar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status