Share

Dark White Chapter 05

Hari sudah beranjak gelap saat mereka dalam perjalanan kembali ke Victorian City. Bella menyandarkan punggungnya di kursi mobil. Pandangannya menerawang keluar jendela, mengamati matahari yang mulai tenggelam. Suasana hatinya semakin tidak baik setelah kejadian di sekolah tadi.

Di sampingnya, Allen masih sibuk dengan laptopnya. Entah apa yang sedang dia kerjakan Bella tidak peduli. Ia masih sangat kesal karena tadi Arin bisa lepas dengan sangat mudah.

Suara notifikasi berbunyi dari ponsel gadis itu. Bella mengalihkan pandangannya menuju benda persegi empat itu. Sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

Matanya membulat seolah bola matanya akan keluar dari kelopaknya. Tangan pucat itu terasa sangat dingin dan jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat. Ia tidak berteriak, namun perubahan reaksinya berhasil ditangkap oleh mata Allen.

“Ada apa?” tanya pria itu khawatir saat melihat perubahan tingkah Bella.

Gadis itu hanya menggeleng kaku. Allen berusaha memeriksa ponselnya, namun gadis itu tidak mengizinkan. Tampak jelas dari wajahnya kalau dia sedang ketakutan.

“Berikan padaku,” tegasnya.

Terjadilah aksi tarik menarik antara kedua orang itu. Allen bukan tipe orang yang ingin tahu privasi orang lain. Namun melihat Bella ketakutan seperti ini, ia tidak bisa diam saja.

“Duarr!!” suara ledakan besar mengejutkan mereka. Tiba-tiba saja mobil yang mereka tunggangi oleng dalam kecepatan tinggi. Allen refleks meraih kepala Bella dan berusaha untuk menjaganya supaya tidak terbentur. Dipeluknya kepala gadis itu untuk menghindari benturan.

Suasana di dalam mobil berubah seperti dimasukkan ke dalam mesin kocok. Mobil bergerak tidak terkendali. Bella memejamkan matanya sambil mencengkeram lengan Allen yang memeluknya. Ketakutannya akan pesan misterius itu berubah menjadi takut akan mati.

Di bangku depan Karina berteriak ketakutan. Sementara sopir berusaha menahan agar tidak sampai terjadi kecelakaan. Barang-baran di dalam mobil berlompatan tidak tentu arah. Kotak tisu yang seharusnya berada di dasboard kini melompat hingga ke bangku belakang.

“Akhh!” rintih Allen ketika kepalanya membentur jendela mobil.

“Ciiiittt!” Ban mobil bergesekan dengan aspal menghasilkan suara yang sangat mengiris pendengaran.

Mobil berhasil dihentikan tepat sebelum tikungan tajam. Beruntung saat itu kondisi jalanan sedang lengang. Bella masih dalam posisinya, bersembunyi dibalik lengan Allen. Tangan pucatnya semakin memucat dan bergetar hebat.

Matanya terpejam erat, jemarinya mencengkeram lengan pria yang sedang memeluknya itu erat. Wajahnya basah karena keringat dan air mata yang entah sejak kapan keluar.

“Tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja.” Allen menepuk-nepuk kepala Bella lembut berusaha menenangkan gadis itu.

Gadis itu tidak menjawab dan malah semakin erat genggaman tangannya. Jantungnya seperti akan melompat dari rangkanya. Nafasnya memburu seperti baru saja berlari maraton.

“Hei tidak apa-apa ....” Pria itu terus menepuk-nepuk kepala Bella lembut.

Kantung udara di bangku depan juga sudah mengembang sempurna. Seorang pria di bangku kemudi menghembuskan nafasnya yang masih tidak beraturan. Sedikit saja mereka terlambat, mobil akan langsung tercebur ke dalam parit berukuran sedang di tepi jalanan.

“Kau ... baik-baik ... saja?” ucap gadis itu terbata-bata.

“Darah!” teriaknya kemudian diikuti dengan air matanya yang kembali mengalir deras.

Allen menyentuh dahinya yang tadi terbentur. Ia bisa merasakan darahnya mengalir dari luka kecil di dahinya.

“Tidak apa-apa,” ucapnya.

“Bagaimana bisa tidak apa-apa, kau berdarah.”

Tangannya yang masih gemetar berusaha mencari sesuatu untuk mengobati. Namun yang ia lakukan justru malah bingung dan tidak tahu harus apa. Cepat-cepat Allen meraih kedua tangan pucat itu. Bisa ia rasakan betapa dinginnya jemari Bella.

“Aku – aku kira kita akan ....”

“Ssstt! Semuanya selamat.” Ditatapnya kedua bola mata biru itu dalam.

Di depan sana Karina masih berusaha mengatur nafasnya. Mereka seperti baru saja selamat dari maut. Pak sopir terlebih dahulu keluar untuk memeriksa keadaan.

“Semua baik-baik saja?” tanya Karina masih dengan wajah pucat dan tangan gemetar.

“Ban mobil kita bocor, kita ganti dulu,” ucap seorang pria dengan topi baret miring.

Bella keluar dari mobil dengan langkah gemetar. Ia bahkan sudah seperti tidak bisa berjalan dengan benar. Gadis itu duduk di kursi panjang sebuah halte. Di sampingnya Karina juga masih berusaha menenangkan diri.

“Aku pikir kita umurku hanya sampai sini saja.” Karina meletakkan tangannya di dadanya.

Bella tersenyum kecil melihat tingkah wanita itu. Sementara kedua pria itu sibuk mengganti ban mobil. Beruntung mereka membawa ban cadangan. Matahari sudah tumbang di ufuk barat dan penerangan sangat minim di wilayah ini.

“Sudah selesai?” tanya Karina saat melihat dua pria itu menutup bagasi mobil.

“Sudah,” ucap pak sopir sambil berjalan mendekat.

“Krrrkk!” Spontan Bella memegangi perutnya yang berbunyi. Mereka belum makan apa-apa sejak berangkat tadi. Bella juga jarang sarapan pagi, jadi wajarlah kalau dia merasa lapar.

“Bagaimana kalu makan dulu?” tanya Allen.

“Kalian saja, perutku terasa mual. Belikan aku makanan ringan!”

Karina berjalan sempoyongan memasuki mobil diikuti dengan sopir yang sejak tadi mengantar mereka. Bella dan Allen memutuskan untuk masuk ke sebuah minimarket kecil yang berada tidak jauh dari tempat mobil mereka terparkir.

“Tunggu sebentar,” ucapnya menghentikan Allen.

Gadis itu mengaduk-aduk tas  selempangnya seperti mencari sesuatu. Ia mengeluarkan selembar plester dan kapas halus yang selalu ia bawa ke mana pun dia pergi. Tangan pucatnya yang masih gemetar menarik lengan Allen untuk mengajaknya duduk di sebuah kursi yang ada di depan minimarket.

Bella meneteskan obat luka ke selembar kapas dan mulai membersihkan luka di kepala peria itu. Sejenak ia lupa kejadian di sekolah tadi, pikirannya masih dipenuhi dengan insiden yang hampir merenggut nyawa mereka.

“Aduh!” rintihnya saat gadis itu menekan lukanya terlalu kasar.

“Berhenti merengek,” ketus Bella dan justru semakin kasar mengobati lukanya.

“Kau sangat tidak cocok menjadi perawat.”

Pria itu menyentuh plester yang menempel di dahinya. Sementara gadis itu sama sekali tidak menggubris dan memilih membereskan isi tasnya.

Bella mendekati sebuah almari pendingin yang berisi minuman bersoda. Tangannya meraih sekaleng minuman soda, namun langsung dicegah oleh Allen. Pria itu merebut minuman yang sudah ada di tangan Bella dan mengembalikannya ke lemari pendingin.

“Hei! Ada masalah apa?” Sontak gadis itu merasa kesal.  

“Ini.” Pria itu menyodorkan susu kotak rasa strawberry yang sangat dibenci oleh Bella.

“Tidak enak.” Gadis itu kembali berusaha membuka lemari pendingin untuk mengambil minuman soda. Tapi lagi-lagi ditahan oleh Allen.

“Sudah ini saja.” Allen meraih tangan Bella dan menyerahkan susu kotaknya, memaksa gadis itu untuk meminumnya.

Bella berjalan malas menuju sebuah kursi dan meja kecil yang disediakan oleh minimarket. Ia menyantap sepotong roti yang lagi-lagi dipilihkan oleh Allen. Entah kenapa pria itu sangat mengekangnya kali ini.

“Kau ini kenapa?” tanyanya kesal dengan sikap pria itu.

“Kesehatan itu mahal harganya,” ucapnya sambil kembali memainkan ponsel.

“Wah ... kau bahkan lebih cocok menjadi seorang dokter daripada pengacara.” Gadis itu menggeleng tidak percaya.

“Aku berikan ini pada mereka dulu,” ucapnya lalu melenggang pergi tanpa membawa ponselnya.

Ia menenteng plastik keresek berisi makanan untuk Karina dan sopirnya. Bella hanya diam mengabaikan. Mulutnya masih penuh dengan roti cokelatnya. Ini menjadi roti ketiga yang ia makan.

Suara getaran ponsel menghentikan aktivitasnya. Itu bukan berasal dari ponselnya, melainkan ponsel Allen. Ia tidak berani mengangkatnya dan memilih untuk membiarkan.

“Astaga orang itu, kenapa ponselnya tidak dibawa saja,” ketusnya sambil menyambar ponsel Allen.

Ia ingin mengabaikannya, namun ponsel itu terus bergetar membuat gadis itu geram. Di layar ponsel tampak nama si penelepon.

“Dokter Jhoni?” dahinya berkerut melihat namanya.

“Berikan,” ucap Allen sambil merebut ponselnya dari tangan Bella.

Wajahnya terlihat sedikit serius ketika melihat Bella memegangi ponselnya. Pria itu mulai menjauh untuk berbicara dengan si penelepon. Sesekali ia melirik ke arah Bella cemas. Sementara gadis yang dilirik masih sibuk dengan makanannya.

“Dokter Jhoni? Sepertinya tidak asing,” gumam gadis itu.

Pria itu kembali duduk di hadapan Bella. Gadis itu memperhatikan ada yang berbeda dari mata pria itu. Sedikit berubah warna, namun ia berusaha menghentikan rasa ingin tahunya. Mungkin saja karena hari sudah gelap dan efek lampu minimarket yang berwarna kuning.

“Kenapa?” tanya pria itu saat menyadari Bella memperhatikannya.

Gadis itu hanya menggeleng dan mengalihkan perhatiannya pada jalanan yang sepi. Matanya tertuju pada sebuah bangunan yang cukup jauh dari tempatnya saat ini. Seketika ia mengingat bangunan apa itu dan apa yang ada di dalamnya.

Matanya tidak berkedip memperhatikan bangunan tua itu. Karena kepanikannya tadi sampai-sampai ia tidak menyadari dirinya sedang berada di wilayah mana.

“Itu rumah sakit jiwa ... bangunannya memang sudah tua,” ucap Allen menjelaskan saat menyadari Bella terus memperhatikan bangunan tua itu.

“Aku tahu,” gumamnya hampir tidak terdengar. “Sudah lama sekali,” lanjutnya dengan suara semakin tidak jelas.

Itu adalah rumah sakit jiwa tempat mamanya berada. Sudah lima tahun sejak terakhir kali dia datang. Batinnya teriris setiap kali melihat bangunan itu. Ia merasa sangat bersalah pada mamanya yang ia tinggalkan di sana sementara dirinya hidup di kota.

Sebelumnya Bella sangat sering mengunjungi Elena, namun setelah kejadian wanita itu mengamuk membuatnya ketakutan untuk menengoknya lagi. Bella merasa saat itu Elena sudah benar-benar bukan Elena yang ia kenal.

“Apa mereka semua diperlakukan dengan baik?” tanyanya sambil terus menerawang rumah sakit jiwa itu.

“Tentu, memangnya kenapa?” Lagi-lagi ia merasa ada yang aneh pada gadis itu.

“Kau pernah merasa bersalah hingga terlalu malu untuk bertemu seseorang?” tanyanya pada pria yang kini sedang menatapnya dalam.

“Pernah,” jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari mata Bella.

“Apa yang kau lakukan?”

“Menemuinya.”

Bella tersenyum tipis lalu kembali menatap bangunan tua itu. Ia sama sekali tidak punya keberanian untuk menunjukkan wajahnya di hadapan wanita yang telah melahirkannya itu. Batinnya mengatakan kalau ia sangat ingin menjenguk Elena, tapi wajahnya terlalu malu untuk menampakkan diri.

“Kadang ketakutan tidak kunjung hilang karena kita sendiri yang memupuknya. Kita terlalu dikuasai oleh pikiran buruk yang kita ciptakan sendiri.”

Tatapannya tulus mengarah pada gadis di hadapannya itu.

“Kau benar ....” Bella menghembuskan nafas berat.

“Hatimu mengatakan kau merindukannya, kau ingin menemuinya, tapi pikiranmu mencegahnya. Hanya karena sugesti buruk yang kau ciptakan sendiri. Datang dan temui dia, karena bisa jadi dia juga merindukanmu.”

Bella tertawa kecil. “Aku bertanya-tanya berapa banyak pekerjaanmu sebenarnya. Bagaimana bisa kau cocok di segala bidang?”

“Aku memang pandai dan juga tampan.” Pria itu mengangkat sebelah alisnya menyebalkan.

Bibir Bella yang tadi sempat tersenyum tipis langsung kembali menciut melihat betapa percaya dirinya pria di hadapannya itu. Ia merasa menyesal telah memberikan pujian pada pengacara menyebalkan itu.

“Kau tidak bisa menyangkalnya karena itu kenyataan.” Pria itu tersenyum miring.

Bella memutar bola matanya malas. Ia tidak pernah membicarakan hal yang menyinggung tentang masa lalunya sebelumnya. Meski itu hanya sekedar pertanyaan iseng seperti yang ia tanyakan pada Allen tadi. Tidak tahu dapat dorongan dari mana ia berbicara seperti itu pada pria di hadapannya itu.

“Ngomong-ngomong, gadis tadi temanmu?” tanyanya.

Melihat reaksi Bella seperti tadi membuat Allen berasumsi bahwa mereka tidak memiliki hubungan yang baik.

“Astaga aku hampir melupakannya. Kenapa? Apa kau menyukainya? Sampai-sampai membela dia daripada klienmu sendiri?”

Gadis itu menghempaskan punggungnya di sandaran kursi. Tangannya terlipat dan tatapannya tajam menatap Allen. Suasana hatinya kembali memburuk karenanya.

“Aku justru melindungimu. Kau bisa dituntut atas tindak ancaman, asal kau tahu saja.”

“Apa dia pantas disebut sebagai teman?” Bella tertawa kecil. “Menurutmu seperti apa yang bisa disebut sebagai teman?”

“Entahlah ... orang bilang teman adalah mereka yang selalu ada bersamamu.”

“Maka apa dia bisa disebut teman? Dia selalu ada bersamaku, dia selalu mengulik apa pun tentangku. Seperti menaburi garam di atas luka yang masih merah.” Gadis itu seperti sedang melihat cuplikan masa sekolahnya.

“Sangat mengherankan ketika kini aku dituduh sebagai pelaku padahal aku adalah korban. Sementara kalian selalu memutuskan hukuman berdasarkan bukti sedangkan aku tidak memiliki bukti apa pun. Kejadian itu sudah sangat lama, tapi mereka mengungkitnya kembali dan menjadikan aku penjahatnya.”

“Kita pasti menang di kasus ini,” ucap pria itu berusaha menenangkan Bella.

“Begitukah?”

Bella memutar bola matanya malas dan memilih berdiri dan bersiap pergi. Mereka sudah terlalu lama berada di sini, ia takut Karina menunggu terlalu lama. Tempat ini sangat sepi, pasti akan sangat berbahaya.

“Kau pasti bisa.” Allen menepuk kepala gadis itu pelan lalu tersenyum simpul.

“Jangan rusak rambutku,” ketusnya sambil menyingkirkan tangan pria itu dari kepalanya.

“Ini bukan rambutmu,” ucap pria itu tanpa rasa bersalah.

Gadis itu mengabaikannya dan memilih berjalan cepat mendekati Karina yang masih menyantap roti isinya. Lima menit kemudian mereka berangkat untuk kembali ke Victorian City.

“Apa benar sudah aman?” tanyanya memastikan.

Jantungnya kembali berdegup lebih kencang. Mencium aroma mobil membuatnya kembali terbayang kejadian tadi sore.

“Tenang, bannya sudah diganti, tidak akan terjadi apa-apa.” Karina menoleh ke bangku belakang dan tersenyum manis padanya.

Hari ini terasa sangat panjang dengan rentetan kejadian menyebalkan terjadi secara beruntun. Bella memutuskan tidur di perjalanan pulangnya, ia tidak pernah selelah ini sebelumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status