Share

Dark White Chapter 06

Dua minggu berlalu setelah kunjungan di Monterio, Bella dinyatakan bersih dan tidak pernah melakukan perundungan. Sebelumnya para penggemar masih sangat mencurigainya hingga akhirnya sebuah unggahan menggemparkan media sosial. Seseorang yang tidak diketahui siapa mengunggah foto surat tulisan tangan yang berisi tentang pembelaan terhadap Bella.

Pria bertubuh tinggi dan kulit putih itu sibuk dengan ponselnya. Ia membuka sosial media Bella untuk memastikan tidak banyak lagi yang menghujatnya. Kasus itu sudah selesai dan ia harap gadis itu bisa hidup dengan lebih tenang meski itu tidak mungkin. Ada banyak hal yang disembunyikan gadis itu, hal itu membuatnya tidak yakin dia bisa hidup dengan tenang.

“Kulihat kasusnya sudah selesai,” ucap seseorang dengan rambut keriting yang tidak lain adalah Hendry.

Pria itu duduk di samping Allen sambil melirik isi ponselnya. Tangan kanannya memegangi sekaleng minuman bersoda. Entah sudah berapa kaleng minuman yang dia minum hari ini.

“Sudah,” jawab Allen singkat, matanya sama sekali tidak beralih dari layar ponselnya.

“Lalu ... kau sudah dapatkan jawabannya?”

“Jawaban?” pria itu mengangkat wajahnya dan menatap Hendry dengan dahi berkerut.

“Kau bilang merasa penasaran padanya, lalu kau apa kau sudah dapatkan jawaban atas rasa penasaranmu itu?” Hendry meletakkan kaleng sodanya ke meja kecil di depan mereka.

“Belum, aku justru semakin merasa penasaran.”

Pandangan matanya menerawang seolah sedang melihat tayangan ulang interaksinya dengan Bella. Ia merasa setiap pertanyaan dan perkataan yang keluar dari mulut gadis itu adalah bentuk dari kegundahan hatinya.

“Jangan terlalu dalam ketika menyelam, kau tidak pernah tahu ada makhluk apa di dalam sana.”

Hendry menepuk pundak Allen pelan. Ia belum pernah melihat sahabatnya itu begitu tertarik pada seseorang. Apalagi melihatnya mengorbankan prinsipnya, itu semakin membuatnya curiga.

“Menurutmu masalah apa yang sering dialami aktris sepertinya?” tanyanya, ia paham apa yang dikhawatirkan Hendry.

“Penggemar fanatik? Penguntit? Semua aktris pasti pernah mengalami itu.”

Sebagian besar kasus yang pernah ditangani Hendry selama ia menjadi pengacara adalah kasus penguntit.

“Menurutmu apa yang paling berpengaruh pada kesehatan mental?”

“Komentar buruk. Bukankah kau tahu sendiri berapa banyak publik figur yang bunuh diri karena ketikan kurang ajar itu?” Hendry menghembuskan nafas berat.

Allen mengangguk, ia tahu itu. Hampir setiap tahun pasti ada aktris yang memilih mengakhiri hidupnya karena hal tersebut. Itulah yang ia takutkan jika sampai terjadi pada Bella.  Gadis itu memang terlihat sangat kuat, tapi ia seolah bisa melihat betapa besar bayangan hitam yang mengintai dibalik wajah cantik tanpa senyuman itu.

Pria itu beranjak dari duduknya. Hari sudah menunjukkan pukul delapan malam dan semua pekerjaannya sudah selesai.

“Apa kau menyukainya?” tanya Hendry curiga.

Yang ditanya tampak berpikir sejenak. “Aku rasa tidak,” jawabnya lalu mengambil jaket tebal yang tergeletak di lengan kursi.

Malam ini ia ada pertemuan dengan Dokter Jhony, seorang dokter spesialis yang cukup dekat dengannya sejak dua tahun terakhir. Tepat pukul setengah sepuluh malam pertemuannya selesai.

Pria itu melajukan mobilnya membelah jalanan yang cukup sepi. Dari jarak cukup jauh ia bisa melihat seorang gadis berdiri di tepi jembatan. Dilihat dari pergerakannya yang mencurigakan membuat pikirannya mengarah pada hal yang tidak-tidak. Satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini adalah, wanita itu akan mengakhiri hidupnya.

Allen menepikan kendaraannya dan langsung keluar. Ia takut wanita itu nekat dan langsung melompat. Pria itu berlari dan langsung menarik gadis itu menjauh dari tepi jembatan.

“Hei apa masalahmu?!” teriak gadis itu kesal.

Pria itu terdiam melihat gadis dengan kupluk rajut berwarna merah hati itu. Jika melihat ekspresi gadis ini, sepertinya dugaannya salah.

“Aku pikir kau ....” Pria itu tidak melanjutkan ucapannya.

“Bunuh diri? Kau pikir aku segila itu?” Gadis itu tertawa kecil melihat tingkah absurdnya.

“Hei ... siapa pun akan berpikir seperti itu jika melihatmu seperti ini. Lagian apa yang kau lakukan selarut ini di tempat seperti ini?”

Gadis yang tidak lain adalah Bella itu berjalan mendekati pembatas jembatan. Anak-anak rambutnya yang menyembul dari balik kupluknya bergoyang tertiup angin malam. Kulit putih pucatnya sama sekali tidak tertutup riasan.

“Sedang menjadi Arrabella,” ucapnya sambil tersenyum tipis.

“Kau pikir selama ini dirimu siapa?” Laki-laki itu turut mendekat ke tepi jembatan.

“Entahlah, orang-orang mengatakan aku bidadari. Ahh bukankah aku memang secantik bidadari?” Bella menghembuskan nafasnya dalam.

Pandangannya mengarah pada bulan yang hampir sempurna tertutup awan. Tidak banyak bintang yang terlihat malam ini dan itu membuatnya sedikit kecewa.

“Suasana hatimu sedang bagus?” tanya pria itu.

“Apa-apaan ini ... apa aku terlihat sedang bahagia?” Bella memutar badannya menghadap pria yang kini berdiri di sampingnya.

“Suasana hatiku baik sampai seseorang tiba-tiba ribut karena mengira bidadari ini akan bunuh diri.”

Bella merasa akhir-akhir ini dirinya lebih terbuka dengan Allen. Semenjak pria itu tahu dirinya mengidap kelainan albino. Pada awalnya ia mengira dirinya sudah tamat karena Allen mengetahui segalanya. Tapi lambat laun, ketakutan itu menghilang.

“Mengherankan, seorang aktris papan atas pergi malam hari tanpa dikawal oleh bodyguardnya.”

“Hei! Apa kau tidak melihat penampilanku? Aku terlihat sangat berbeda, tidak akan ada yang mengenaliku,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Hening menyelimuti keduanya, tidak ada yang berkomentar. Keduanya disibukkan dengan pikiran masing-masing.

“Terima kasih,” ucap Bella pelan.

Ini untuk pertama kalinya ia mengucapkan kata-kata itu dengan hangat. Allen menoleh ke arahnya, agaknya pria itu juga merasa heran.

“Apa ini? Aku seperti berbicara pada orang lain. Apa kau mabuk?” Allen menempelkan punggung tangannya ke dahi gadis itu.

“Kau mau mati?” ditepisnya tangan pria itu kasar lalu berbalik menatap aliran air sungai yang deras di bawah sana.

Pria itu benar, Bella juga merasa dirinya berubah. Ia merasa lebih mudah mengungkapkan isi hatinya akhir-akhir ini. Sungguh itu sedikit mengganggunya, tapi anehnya ia merasa lebih nyaman seperti ini.

“Aku harus menghadiri acara ragam besok. Ah dasar pria tua menyebalkan itu ... bukankah aku seharusnya hiatus terlebih dahulu sampai keadaan lebih baik?”

Bella menghela nafas berat. Ia takut kalau-kalau sesuatu yang buruk terjadi besok. Ia yakin masih banyak orang yang berusaha menggali lebih dalam tentang keburukan-keburukannya.

“Kau bisa melakukannya,” ucap Allen berusaha menyemangati.

“Menurutmu begitu?”

Allen mengangkat tangan kanannya hendak mengusap kepala gadis itu, namun gerakannya terhenti saat melihat mata biru itu meliriknya tajam.

“Lakukan saja ... tapi aku tidak akan luluh.” Gadis itu mengangkat sebelah alisnya membuat pria itu kembali menarik tangannya.

“Lakukan saja, mungkin belum semua orang percaya padamu. Tapi pasti ada di antara mereka yang masih mendukungmu. Jangan kecewakan mereka hanya karena komentar buruk beberapa orang.”

Bella menggeleng pelan lalu bertepuk tangan. “Wah, apa kau belajar sastra? Bagaimana bisa bahasamu semeyakinkan itu?”

“Kau memang menyebalkan,” gumam pria itu saat melihat reaksi  Bella.

“Kau pikir dirimu menyenangkan?” sinisnya.

“Sudah malam, kau harus pulang.”

Hari sudah semakin larut dan di atas sana awan hitam semakin tebal. Allen menarik tangan gadis itu dan membawanya menuju mobil.

“Apa-apaan ini?” Gadis itu menghempaskan tangannya.

“Pulang ....”

Pria itu membuka pintu mobil dan mendorong Bella pelan untuk menyuruhnya masuk. Gadis itu hanya memutar bola matanya kesal.

“Kau datang ke ini dengan siapa? Ini jauh dari rumahmu?”

Allen mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jembatan ini berjarak sekitar tujuh kilo meter dari rumah Bella. Ia juga tidak melihat gadis itu membawa kendaraan lain.

“Jalan ...” jawabnya santai. “Aku tidak berniat datang ke sini, kakiku yang menginginkannya.”

Mata Allen membulat sempurna mendengar jawaban gadis itu. Tujuh kilo meter bukan jarak yang pendek jika ditempuh dengan berjalan kaki. Diliriknya pakaian yang dikenakan gadis itu. Ia mengenakan celana olah raga dan hoodie yang serba hitam.

Sebagian orang melampiaskan masalahnya dengan membuat dirinya lelah. Dengan harapan ketika raganya lelah, ia bisa melupakan masalahnya sejenak. Allen berpikir itulah yang sedang dilakukan oleh Bella saat ini.

“Ini lebih baik dari pada mabuk seperti waktu itu,” ucapnya sambil tertawa kecil.

“Kata siapa? Aku baru ingin ke sana. Turunkan aku di minimarket itu.”

“Tidak,” tegasnya.

Sepuluh menit berlalu, mereka hampir sampai di rumah Bella. Gadis itu memperhatikan isi di dalam mobil pengacara yang pernah membantunya itu. Pandangannya terhenti pada kantong plastik bening yang terlihat berisi berbagai macam obat.

“Kau sakit,” tanyanya sambil menatap kantong plastik itu.

“Vitamin,” ucap Allen singkat.

Gadis itu mengangguk meski tidak terlalu yakin. Jika Allen tidak mengatakannya itu berarti rahasia. Dan Bella bukan tipe orang yang suka ingin tahu tentang rahasia orang lain. Karena dia sendiri memiliki rahasia dan ia tidak suka jika orang lain menguliknya.

Mereka sampai di depan rumah mewah bercat abu-abu yang tampak sepi. Belum sempat gadis itu turun dari mobil, seseorang dengan pakaian serba hitam baru saja keluar dari gerbang rumahnya. Matanya terbuka lebar, bagaimana bisa ada orang lain masuk ke rumahnya tanpa izin. Gadis itu cepat-cepat keluar dari mobil dan disusul oleh Allen.

“Hei! Apa yang baru saja kau lakukan!” teriaknya.

Orang itu tampak terkejut dan berbalik ia langsung tahu siapa orang itu. Orang itu menoleh kaku.

“Aku menunggumu lama sekali, dari mana saja kau? Aku mengantarkan naskah untuk acara besok,” ucapnya.

Orang itu tidak lain adalah Karina, manajer yang mengurus segala tentangnya. Hampir saja Bella memukulnya karena masuk tanpa izin. Setelah tahu kalau itu Karina, amarahnya mereda. Tapi tetap saja ia merasa kesal karena dia datang tanpa izin.

Karina menyerahkan print out naskah yang akan ia gunakan untuk menjawab pertanyaan besok. Allen memperhatikan wanita yang tampak gugup itu curiga.

“Aku pergi, masih banyak yang harus kukerjakan,” pamitnya lalu berlari kecil memasuki mobilnya.

Allen terus memperhatikan wanita itu dengan tatapan tajam. Bahkan sampai mobilnya menghilang di belokan ujung jalan ini, ia masih memperhatikannya.

“Jangan lupa mengunci pintu,” ucapnya lalu berjalan mendekati mobilnya.

Bella mengerutkan kening bingung. Mobil itu bergerak menjauh dari rumahnya. Ini berbeda dengan terakhir kali Allen mengantarkannya pulang. Hari itu dia menunggu sampai ia mematikan lampu kamar. Tapi hari ini, dia pergi begitu saja seperti ada yang harus dikerjakan.

Ia menggelengkan kepalanya kencang, berusaha menghapuskan pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu pikirannya.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status