Share

Dark White Chapter 04

Bella dibangunkan dengan suara nyaring yang berasal dari ponselnya. Itu bukan notifikasi pesan atau panggilan melainkan suara alarm. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Bella bangun ketika alarm berbunyi.

Ini pertama kalinya Bella bisa tertidur lelap tanpa mimpi buruk. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Diperhatikannya pakaian yang ia kenakan. Ia tidak memakai baju tidur seperti biasanya, pakaiannya masih sama persis dengan yang ia pakai tadi malam.

“Iuhh!”  

Kepalanya spontan bergerak mundur ketika mencium bau bir dari lengan bajunya. Matanya kini tertuju pada kupluk rajut yang tergeletak di lantai kamar.

“Astaga! Apa yang baru saja terjadi?” Matanya membulat sempurna.

Bella mengacak rambutnya frustrasi. Bayang-bayang wajah bingung Allen masih tergambar jelas di ingatannya. Biasanya gadis itu tidak akan ingat dengan apa yang dia lakukan saat mabuk, tapi sialnya kali ini ia mengingat semuanya.

“Pengacara menyebalkan itu ... astaga ini sangat memalukan!”

Ia menyembunyikan kepalanya dibalik selimut tebal. Seolah dengan begitu rasa malunya akan sedikit berkurang. Padahal sama sekali tidak, justru malah semakin jelas teringat tentang tingkah absurdnya di depan Allen.

“Tidak apa-apa, pria itu hanya melakukan wawancara saja. Kita tidak akan pernah bertemu lagi,” gumamnya masih dengan posisi menyembunyikan kepala dibalik selimut.

Ponselnya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Jemari pucatnya menyembul dari balik kain tebal nan hangat yang menutupi kepalanya. Meraih benda itu dan mulai berbicara dengan manajernya.

--“Jangan lupa kita akan ke Monterio hari ini,” ucap Karina nun jauh di sana.

“Iya,” jawabnya lalu memutuskan sambungan telepon.

“Tidak apa-apa, itu normal bagi orang mabuk. Untuk apa aku merasa malu, haha lucu sekali,” ucapnya sambil melipat selimut tebalnya.

Lima belas menit berlalu Bella selesai membersihkan diri dan mulai merias wajah. Aktivitasnya terhenti saat ia hendak memasang rambut palsu. Tiba-tiba saja ia teringat kejadian kemarin dan itu membuatnya kesal. Kepala agensinya sudah tahu, tinggal menunggu waktu saja sampai semua orang tahu.

“Pria tua menyebalkan!” gumamnya sambil menatap rambut palsu itu penuh kebencian.

“Aku penasaran, bagaimana reaksinya jika nanti semua orang tahu.”

Bella menghembuskan nafas berat lalu memasang wig itu serapi mungkin. Ia sendiri belum siap jika harus menunjukkan semuanya sekarang.

Bola matanya melirik layar ponsel yang berkedip sebentar. Karina sudah berisik karena ia belum datang. Wanita itu mengirim puluhan pesan beruntun.

Pukul delapan pagi ia sampai di gedung agensinya. Ia dikejutkan dengan seorang pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria dengan setelan jas hitam rapi dengan kacamata berframe tipis bertengger di atas hidungnya. Orang yang sama dengan yang memergokinya mabuk malam tadi.

“Sedang apa dia di sini?”

Bella bertanya pada Karina, namun matanya yang tajam terkunci pada sosok menyebalkan di hadapannya. Bukankah aneh melihat orang yang selama ini tidak mau berurusan dengan dunia entertaiment, kini tiba-tiba melanggar prinsipnya sendiri. Pikiran buruknya langsung tertuju pada kejadian rambut palsunya kemarin.

“Apa kau menyesal tidak mengunggahnya ke internet kemarin? Kau berharap kejadian itu akan terjadi lagi kali ini?” tanyanya sinis.

“Begini, dia mengambil alih kasus ini. Pengacara Hendry juga sudah menyetujuinya,” ucap Karina berusaha menghentikan aktrisnya itu.

Bella memutar bola matanya malas. Entah kenapa ia merasa sangat benci pada pria itu sejak dia mengetahui rahasianya. Antara khawatir dan malu membuatnya memilih untuk membenci.

“Haha ... lucu sekali,” sinisnya.

Lima belas menit berlalu mereka sudah dalam perjalanan menuju Monterio. Butuh waktu dua jam untuk mereka bisa sampai di sekolah lamanya. Suasana hati Bella benar-benar sedang tidak baik karena Allen berada di antara mereka. Berulang kali pikirannya mengingat tentang kejadian tadi malam. Bagaimana bisa ia mencurahkan isi hatinya pada orang yang baru dikenal?

Setelah perjalanan panjang nan melelahkan, akhirnya mereka sampai di sebuah sekolah kecil di tengah kota terpencil. Bella keluar dari mobil dan langsung disambut dengan suasana yang lekat dengan masa lalunya. Jantungnya berdegup kencang. Ia seperti bisa melihat rekaman ulang ketika dirinya masih bersekolah di sini.

“Ada apa?” tanya Karina saat melihat gadis itu terdiam cukup lama.

Bella tersadar dari lamunannya dan menyadari bahwa semua orang menatapnya bingung. Gadis itu memperbaiki posisi anak rambutnya yang sedikit berantakan. Dihembuskannya nafas perlahan untuk menyiapkan batinnya.

“Kenapa kita tidak datang saat hari libur saja?” tanyanya saat melihat beberapa siswa dengan baju olah raga di lapangan basket.

“Mereka tidak akan ada di sini kalau kita datang hari libur,” jawab manajernya.

Sepanjang jalan jantungnya terasa seperti akan keluar dari rangkanya. Dahulu ia berada di sini sebagai korban bullying dan sekarang ia kembali sebagai pelaku? Tuduhan itu benar-benar berkebalikan dengan kenyataan yang ada.

Mereka memasuki sebuah ruangan lumayan luas yang dihiasi dengan rak-rak berisi piala dan album kenangan.

“Beliau sedang mengajar, silakan tunggu sekitar lima belas menit lagi,” ucap seorang wanita yang sepertinya guru baru.

Bella memilih melihat-lihat isi ruangan sambil menunggu gurunya datang. Gadis itu berjalan mendekati sebuah rak yang berisi album foto para alumni. Tatapannya terhenti pada sebuah album usang yang merupakan album yang berangka tahun 2017. Diambilnya album itu dan mulai melihat-lihat.

Matanya menyusuri gambar-gambar para alumni. Pandangannya terhenti pada sebuah foto gadis dengan rambut hitam berantakan. Itu adalah foto dirinya tujuh tahun yang lalu.

“Hitam?” tanya seseorang yang entah sejak kapan berada di sampingnya.

Bella mengangguk. “Dulu aku tinggal dengan nenek setelah ayahku meninggal. Dia takut aku tidak punya teman karena penampilanku. Jadi aku dipaksa mewarnai rambut.”

“Lalu, kenapa sekarang kau memilih tidak mewarnainya? Bukankah akan lebih aman seperti itu?” Pria itu menunjuk foto gadis tanpa senyuman itu.

Bella menghela nafas berat. “Apa kau selalu bertanya sebanyak ini?”

Gadis itu menutup album foto dan melemparkannya ke arah Allen. Beruntung pria itu sigap dan berhasil menangkap. Bella berjalan menjauh meninggalkan Allen yang masih diselimuti ribuan pertanyaan.

Seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal memasuki ruangan. Dia adalah wali kelas Bella saat ia masih bersekolah di sini. Hubungan keduanya tidak terlalu dekat, namun cukup tahu tentang seperti apa Bella.

Tiga puluh menit terasa sangat lama. Akhirnya mereka selesai melakukan wawancara dengan mantan wali kelasnya. Hari sudah menunjukkan pukul dua siang dan sudah saatnya bagi mereka untuk pulang.

“Aku ke toilet dulu,” ucap Bella.

“Perlu kutemani?” Pertanyaan menggelikan itu berasal dari Karina.

Bella menggeleng dan langsung meninggalkan manajer dan pengacaranya. Sepanjang perjalanan semua mata tertuju padanya. Sebagian dari mereka berbisik-bisik membicarakannya. Tanpa perlu bertanya pun ia tahu apa yang sedang dibicarakan para siswa itu. Pasti tidak jauh-jauh dari skandal yang sedang menjeratnya saat ini.

Toilet sekolah ini jauh lebih bagus dan bersih dari saat ia bersekolah di sini dulu. Bella menatap pantulan wajahnya di cermin. Gadis itu membasahi jemarinya dengan air dingin lalu memperbaiki riasan tipisnya.

“Brak!” suara keras berasal dari salah satu bilik kamar mandi membuat gadis itu terlonjak. Toilet ini sangat sepi saat ia masuk tadi, suara sekeras itu membuatnya penasaran.

“Sudah kubilang, kau tidak akan pernah bisa lepas dari kami!” ucap seseorang dari dalam sebuah bilik diikuti dengan suara guyuran air.

Gelak tawa puas terdengar membuat Bella memutuskan untuk memeriksa. Gadis itu mengintip ke sebuah bilik kamar mandi yang terbuka. Matanya membelalak ketik melihat seorang gadis basah kuyup dikelilingi tiga orang yang berusaha untuk menyakitinya. Ia mengambil ponsel dan mulai merekam.

“Brakk!!” Bella memukul daun pintu toilet membuat empat gadis berseragam kusut itu terkejut. Ditatapnya tajam ketiga gadis yang sedang merundung salah satu temannya itu. Ia pernah berada di posisi korban perundungan, jadi ia tahu seperti apa rasanya.

“Bukankah akan sangat menyenangkan jika aku bawa ini ke ranah hukum?” Gadis itu memperlihatkan video yang tadi ia rekam.

“Ini akan menjadi bukti paling kuat untuk menjebloskan kalian ke penjara. Ah kalian masih dibawah umur, tapi setidaknya lapas remaja sudah bisa menghancurkan masa depan kalian bukan?” Gadis itu memutar-mutar ponselnya sambil terus menatap tajam tiga siswa itu.

“Bukankah kau juga melakukan ini? Lantas kenapa sekarang menjadi sok-pahlawan seperti ini?” ucap salah satu dari mereka yang sepertinya merupakan pemimpinnya.

“Benarkah? Lalu haruskah aku melakukan hal yang sama? Mengguyur kepala kalian dengan air ini?”

Kakinya menendang sebuah ember berisi air bekas pel lantai. Tatapan tajamnya masih mengarah pada ketiga siswa yang kini terlihat sangat ketakutan. Sementara gadis yang menjadi korban hanya diam kedinginan.

“Ada apa ini?” tanya seseorang dari arah belakang.

Bella membalikkan badan untuk melihat siapa yang berbicara. Ia mematung ketika melihat seorang gadis dengan seragam guru magang berdiri tidak jauh darinya. Seketika ingatan masa lalunya kembali berkelebat. Gadis yang berdiri di hadapannya ini adalah orang yang sama dengan dia yang telah merundungnya tuju tahun yang lalu.

Bella menyunggingkan senyum sinis. Matanya meneliti dari ujung kepala sampai kaki gadis itu. Dia sama sekali belum berubah, masih sama seperti dulu. Mustahil Bella lupa.

“Lama tidak berjumpa ... Arin,” ucap gadis itu sambil menatap tajam gadis yang dipanggil Arin itu.

“Apa yang kau lakukan di sini?” Tampak jelas dari matanya kalau dia sangat kesal.

Bella menyodorkan ponsel yang berisi video perundungan yang dilakukan oleh tiga siswa itu.

“Rasanya seperti melihat rekaman  ulang kejadian tujuh tahun yang lalu bukan? Lucu sekali ketika melihat rumor sekarang mengatakan aku pelakunya.”

Bisa dilihat jemari Arin bergetar ketika melihat video itu. Tak peduli seberapa keras gadis itu berusaha menahan tapi tetap bisa terbaca jelas dengan matanya.  

“Kau urus dulu mereka bertiga lalu kita bicara,” ucap gadis itu sambil melirik ketiga siswa yang kedapatan merundung itu.

Tiga gadis itu mengekor di belakang Arin seperti truk derek. Bersamaan dengan itu, ponselnya bergetar karena ada panggilan masuk.

“Aku akan segera kembali,” ucapnya lalu menutup sambungan telepon.

“Kau ... cepat ganti pakaian atau kau akan sakit,” perintahnya pada gadis yang masih berjongkok di dalam bilik kamar mandi.

“Kau bertingkah seperti pahlawan padahal kau sendiri seorang perundung,” ucap gadis itu sambil melirik Bella sinis.

“Benarkah? Maka pastikan kau menyimak kelanjutan beritanya setelah ini.” Bella menaikkan sudut bibirnya sebelah lalu melenggang pergi.

Dari jarak yang bisa dibilang cukup jauh Bella bisa melihat Wajah karina yang merengut karena terlalu lama menunggu. Bella tidak ada jadwal sama sekali setelah ini, namun Karina bertingkah seolah mereka punya jadwal padat. Semua acaranya dibatalkan sementara sampai isu itu dikonfirmasi tidak benar.

“Apa yang kau lakukan? Kenapa lama sekali?” tanya wanita itu kesal.

“Jangan langsung pergi, aku membawa saksi baru.” Bella kembali merapikan posisi poninya yang berantakan terkena angin.

“Siapa?” tanya Allen yang sepertinya juga sudah kesal menunggu terlalu lama.

Gadis itu mengabaikan pertanyaan Allen dan memilih duduk di sebuah kursi panjang. Matanya menatap seorang gadis dengan seragam guru magang yang sedang berjalan mendekati mereka. Bella menunjuk gadis itu dengan dagunya.

“Siapa dia?” tanya Karina penasaran.

“Teman lama,” ucapnya lagi-lagi dengan nada sinis.

Entah mereka bisa disebut sebagai teman atau tidak. Masa lalu mereka tidak terlalu dekat, tapi gadis itu justru yang selalu ada di dekatnya. Selalu ada bukan sebagai sahabat tapi sebagai perundung.

“Teman yang paling paham tentang aku.” Bella berdiri dan mendekati gadis itu lalu menepuk pundaknya pelan.

“Suatu keberuntungan bisa bertemu lagi ... teman lama.”

Arin sama sekali tidak berkomentar. Ia sadar gadis yang dulu ia ganggu kini memiliki karier yang lebih baik darinya yang berulang kali magang, namun belum pernah diterima sebagai pegawai tetap.

“Kau bisa langsung tanyai dia,” ucapnya sambil menunjuk Arin dengan dagunya.

“Kenapa kau lakukan ini?” tanya gadis itu dengan wajah seolah dialah yang paling tersakiti saat ini.

“Aku hanya memintamu memberikan keterangan saja, tidak mengungkap hubungan kita dahulu.”

“Tapi tetap saja  ....” Gadis magang itu menghela nafas berat.

“Kau tidak bisa melakukan ini,” ucap Allen tiba-tiba.

“Kenapa?”

“Jika dia menolak bersaksi maka kau tidak bisa memaksanya. Anda boleh pergi,” ucap Allen ketika melihat wajah Arin yang terlihat tidak nyaman.

“Begitukah? Jadi aku penjahatnya sekarang?” Bella tertawa sinis.

“Saya menolak bersaksi,” ucap Arin sambil berusaha menyembunyikan senyum sinisnya.

Allen mengangguk lalu mempersilakan gadis itu untuk pergi. Bella tertawa kecil, lagi-lagi Arin terlindungi. Aktingnya sangat bagus sampai-sampai seorang pengacara mempercayainya. Akan lebih baik jika dia mendaftar agensi drama.

Arin berjalan mendekati Bella masih dengan tampang lugunya. “Lihat siapa yang menang,” bisiknya tepat di telinga.

“Tolong jangan membawaku ikut campur ke dalam masalahmu,” ucap gadis itu sambil menunduk lalu pergi meninggalkan mereka semua.

“Pemaksaan, omong kosong apa lagi itu.”

“Jika sikapmu seperti ini, orang akan semakin yakin kalau kau seorang perundung,” ucap Allen sambil menatap Bella tajam.

“Benarkah? Baiklah ... terima kasih sudah menyelamatkan orang yang sudah membuat masa sekolahku menjadi kenangan terburuk.” Jujur ia merasa kecewa karena Allen lebih membela Arin.

“Baru saja aku berpikir kau berbeda. Ah sudahlah.”

Bella berjalan cepat memasuki mobil mereka. Kesempatannya untuk membalas dendam terhapus oleh aturan hukum yang menyebalkan itu. Lagi-lagi ia kalah di hadapan Arin. Bahkan setelah sekian lama ia masih tetap berada di bawah gadis itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status