Kendra menggeleng sambil menggumamkan terima kasih. Suci punya keluarga yang harus diprioritaskan. Namun perempuan itu selalu menyempatkan diri untuk ikut mengurus Kendra. Gadis itu tahu, dia berutang terlalu banyak pada Suci.
“Nanti Tante buatkan bubur untukmu ya, Ken. Harus dimakan sampai habis,” ucap Suci sebelum meninggalkan rumah Kendra.
“Terima kasih ya, Tan. Aku selalu saja membuat Tante repot,” balas Kendra.
“Hush! Siapa yang repot? Tante tidak merasa begitu, kok!”
Kendra sempat khawatir jika dia terpaksa tidak masuk kantor karena radang tenggorokannya. Terutama karena ini akan menjadi minggu yang sibuk. Rossa sudah mengisyaratkan agar syuting pra kencan untuk Maxim harus sudah dimulai minggu depan. Hari Senin ini dijadwalkan untuk seleksi peserta secara langsung. Kendra tidak ingin penyakitnya malah membuat pekerjaannya ikut tertunda.
Entah keinginannya untuk sembuh atau obat manjur yang diberikan oleh d
Di mata Kendra, lelaki itu sangat kekanakan karena menampik sepuluh perempuan menawan dengan alasan yang dirasa tidak masuk akal. Ketertarikan seperti apa yang dimaksudnya? Kendra curiga, jangan-jangan dugaan yang dilemparkannya asal-asalan pada Maxim, memang benar adanya. Bahwa pria ini adalah penyuka sesama jenis. Namun, tentu saja dia tak boleh mengulangi tudingan semacam itu di depan Maxim.“Kamu sengaja mau membuatku kesal, ya?” Kendra tidak tahan lagi. Tangan kanannya diletakkan di pinggang. Senyum Kendra runtuh sudah. Wajahnya berubah kaku, dengan warna merah yang mulai menyebar. Marah dan kesal menjadi satu. Dia merasa Maxim sedang mempermainkan dan sengaja menyulitkan.“Aku mau kamu melakukan seleksi ulang karena tidak sesuai dengan harapanku. Apa untungnya kalau aku cuma mau membuatmu kesal? Kamu kira aku suka situasi ini? Aku akan menjalani kencan dengan salah satu di antara sepuluh orang itu. Dan tidak ada satu pun yang menarik buatku!&rdq
“Kamu benar-benar gila kalau mengira aku akan menerima tawaranmu. Semakin aku jauh darimu, semakin tenang hidupku,” geram Kendra dengan nada tajam. Gadis itu menjaga suaranya agar tak didengar orang lain kecuali Maxim. “Kalau bisa, aku tak ingin lagi berurusan denganmu. Aku sangat menantikan segala hal yang melibatkanmu, berakhir. Supaya aku bisa hidup bahagia seperti dulu lagi.”Membiarkan Maxim mengantarnya ke Bandung adalah hal terakhir yang akan dilakukan gadis itu dalam hidupnya. Setelah bicara seperti itu, Kendra pun segera mengabaikan Maxim. Dia sibuk membereskan berkas-berkas di mejanya. Setelahnya, Kendra bersiap untuk meninggalkan kantor.“Ken, Bandung itu jauh, lho!” Entah mengapa, secara ajaib, Maxim masih bertahan di sebelah Kendra. Lelaki itu menunggunya merapikan meja dengan sabar. Diam-diam gadis itu bertanya dalam hati, apakah Maxim memiliki kepribadian ganda? Belum sampai lima belas menit silam mereka bersitegang.
“Untuk apa kamu membawa baju ganti? Kamu kan bisa langsung pulang setelah mengantarku,” kata Kendra curiga. Dia menatap tas bepergian berukuran sedang yang diletakkan Maxim di jok belakang.“Cuma untuk berjaga-jaga,” Maxim beralasan.“Aku cuma merasa kalau kamu ini sedang ... merencanakan sesuatu. Berpura-pura baik untuk membuatku marah. Karena tadinya aku mengira kita sudah tidak ada masalah lagi sejak kamu datang ke kantorku pagi itu. Tapi,” Kendra mengernyit, “nyatanya tadi kamu masih tetap saja orang menyebalkan yang sama. Maaf ya kalau kamu tidak suka mendengar kata-kataku. Tapi aku memang sudah tidak bisa menoleransi sikapmu,” aku gadis itu lagi.Maxim tampak tidak siap dihujani kritik seperti itu. Tangannya yang sedang bersiap menyalakan mesin mobil, berhenti bergerak. Selama tiga detik yang terasa panjang bagi Kendra, mereka saling menantang mata.“Kenapa? Belum pernah ada yang mengucapkan kata
“Radang tenggorokanmu sudah sembuh?” tanya Maxim tidak terduga, mengabaikan kata-kata Kendra barusan. “Kamu sudah berobat ke dokter, kan?”“Perhatian sekali,” sindir Kendra. Namun sesaat kemudian dia segera menyesali sikap buruknya. Paling tidak, selama nyaris satu jam terakhir, Maxim menunjukkan niat baik. Meskipun Kendra tidak tahu apa motivasinya.“Aku sudah ke dokter, dan sekarang sudah agak membaik,” ucap Kendra dengan nada kaku.“Saranku, lebih baik kamu tidur dulu. Nanti kalau sudah tiba di Bandung, aku akan membangunkanmu,” balas Maxim. "Perjalanan kita masih jauh."Meski ingin, mana bisa Kendra memejamkan mata dalam kondisi seperti itu? Rasa takut terlalu besar mencengkeram dadanya. Dia mencemaskan kondisi ibunya. Namun Kendra tidak punya kesempatan untuk meluapkan emosinya.“Aku ... meski sejak tadi mengomel, aku mau berterima kasih padamu. Karena sudah mengantarku. K
Saat itu, Kendra benar-benar membenci Maxim. Kenapa lelaki itu harus bicara dengan nada lembut yang membuat air matanya kembali meruah? Belum lagi harapan Maxim yang diucapkan kemudian. Semua itu kembali menjebol pertahanan Kendra yang sedang berada di salah satu titik terendah hidupnya.Kapan kali terakhir ada orang yang mendoakan ibunya? Apalagi telinga Kendra menangkap ketulusan di suara Maxim, meski penilaiannya patut dipertanyakan juga. Bahkan, Arthur dan Tina sudah terlalu lama mengabaikan sang bunda, Gayatri. Jadi, ketika ada orang lain yang melakukannya, meski itu adalah si arogan Maxim, Kendra benar-benar merasa terharu.“Kamu sering mengunjungi ibumu, Ken?” tanya Maxim setelah Kendra bisa bernapas normal lagi. “Ada jadwal khusus ke sana?”“Aku berusaha ke Bandung dua minggu sekali. Hanya di hari Sabtu. Karena kalau hari Minggu, aku khawatir dengan lalu lintasnya. Aku tidak mau membolos. Kadang aku menginap, tapi itu
Menjelang tiba di rumah sakit, Kendra sudah menelepon perawat yang biasa menangani ibunya. Perempuan berusia pertengahan empat puluhan itu, Inge, menunggu Kendra di lobi rumah sakit yang lumayan sibuk.“Suster, bagaimana kondisi Ibu?” Kendra memegang lengan Inge dengan napas memburu. Wajahnya terasa membeku, napasnya agak terengah, dan matanya berkaca-kaca.Inge berusaha menenangkan Kendra, menghadiahi gadis di depannya dengan seulas senyum dan elusan lembut di punggung tangan.“Kondisi Bu Gayatri sudah stabil. Tapi saya rasa tetap harus menghubungi kamu. Hanya saja, saya tidak mengira kamu akan langsung datang ke sini.”Seseorang menghentikan langkah di sebelah Kendra. Suara napas Maxim yang lebih cepat dari biasa pun menerpa telinga gadis itu.“Ini teman saya, Suster,” Kendra merasa dia punya kewajiban memperkenalkan Maxim dengan Inge. Meski dia tidak tahu apakah label “teman” yang baru disematkanny
“Kalau itu permintaan maaf, aku terima. Sekarang, kita makan dulu, ya?”Kendra akhirnya memilih untuk menutup mulut dan menuruti Maxim kali ini. Sejak tadi entah sudah berapa kali dia mengucapkan kalimat mubazir yang pasti memberikan efek tidak nyaman di telinga lelaki itu. Dan karena Maxim mendadak memutuskan untuk menjadi orang yang penyabar, rasa bersalah Kendra pun naik menjadi dua kali lipatnya.Gadis itu menurut saja ketika Maxim mengajaknya ke sebuah kafe yang buka selama dua puluh empat jam, bersebelahan dengan rumah sakit. Tak mau pusing memilih menu yang ingin disantap karena selera makannya nyaris nol, Kendra memesan nasi goreng dengan suwiran ayam. Sementara Maxim memilih soto bandung dan nasi putih. Gadis itu memaksakan diri menelan makanan yang dipesan meski lidah Kendra sama sekali tidak mampu mendeteksi rasanya. Hambar.“Kamu harus memaksakan diri untuk makan,” tegur Maxim saat melihat Kendra lebih banyak mengaduk-aduk mak
Kendra merasa luar biasa lega ketika esoknya bisa melihat Gayatri lagi. Kali ini, ibunya terlihat sehat walau masih belum diizinkan oleh dokter untuk turun dari tempat tidur. Namun seperti biasa, Gayatri tidak terlalu mempedulikannya. Perempuan itu hidup di dunianya sendiri, menarik diri dari lingkungan.Syukurnya, Maxim menurut saat Kendra memintanya menjaga jarak dari ibunya, secara harfiah. Bagi gadis itu, sungguh menyulitkan melihat ibunya berdiam diri atau mulai berhalusinasi dan berbicara dengan kalimat yang sulit dipahami. Kendra tidak nyaman jika banyak orang di luar sana mengetahui kondisi Gayatri yang sesungguhnya.“Ken, mumpung ingat. Kamu tampil beda dengan kacamata. Lebih matang. Tapi, kalau dilepas, kamu kelihatan lebih muda,” oceh Maxim, membuat kaget.“Kamu mau bilang kalau aku awet muda, kan?” canda Kendra. “Aku sebenarnya tidak betah memakai kacamata. Makanya, saat tidak berada di kantor, aku lebih suka melepas ben