LOGINAlma masih bangun pagi seperti biasa. Alarm jam enam berbunyi. Ia meraih ponsel setengah sadar, refleks membuka chat Gio. Tidak ada pesan baru. Ia menutup layar, bangkit, dan tetap mandi. Tetap pakai kemeja kerja. Tetap mengikat rambut dengan rapi. Semuanya berjalan… normal.Normal versi Alma adalah bergerak tanpa berpikir terlalu jauh. Air hangat mengalir di kulitnya, kopi menetes pelan di mesin, sepatu dipakai sambil berdiri. Tidak ada yang berubah—kecuali dadanya yang terasa sedikit lebih kosong dari biasanya, seperti ada ruang kecil yang lupa diisi. Di jalan menuju kantor, ia hampir mengetik, Udah sampe? Tapi jarinya berhenti di atas layar. Kata-kata itu terasa terlalu biasa untuk sesuatu yang tidak biasa. Terlalu ringan untuk situasi yang sejak semalam menggantung tanpa penjelasan. Alma mengunci ponselnya, menaruhnya kembali ke tas, dan menatap jalanan yang bergerak mundur di balik kaca mobil. Lampu merah. Klakson. Orang-orang menyebrang dengan wajah setengah mengantuk. Kota t
Alma menatap layar laptopnya, jari-jari menggantung di atas keyboard, tapi tidak bergerak. Beberapa kali ia mulai mengetik email, lalu menghapusnya. Kata-kata yang ingin ia tulis terasa tidak cukup, tidak pantas, atau terlalu lemah untuk menjangkau Gio. Ia menarik napas panjang. Mata berkeliling ruang kantor yang riuh—keyboard diketik cepat, percakapan bisik-bisik di sisi meja, aroma kopi dari mesin di pojok—namun semuanya terdengar jauh. Kosong. Seperti dunianya sendiri tiba-tiba tertahan di udara, dan tidak ada yang bisa ia pegang. Akhirnya, ia mengetik hanya satu kalimat, seolah itu cukup untuk mengekspresikan seluruh kegelisahan yang menumpuk. To: gio@skala.co.id Subject: Sayang, kamu baik-baik saja? Hatinya berdegup keras ketika menekan tombol send. Ia menunggu, berharap ponselnya akan bergetar, suara notifikasi muncul, apapun—tanda bahwa Gio masih ada di dunia yang sama dengannya. Tapi tidak sampai lima menit, balasan otomatis muncul di layar: Out of Office Terima kasih at
Pagi datang, tapi tanpa Gio. Matahari di Jakarta tidak pernah sehangat pelukan yang Alma harapkan. Cahaya masuk dari jendela, menempel di lantai, tapi tidak mampu menembus rasa hampa di dada. Tidak ada suara pesan masuk, tidak ada dering telepon, tidak ada notifikasi yang membawa sedikit kehangatan. Alma duduk di tepi ranjang, rambut masih berantakan, jaket masih tersampir di kursi, dan koper kecil yang tadi dibawa dari Tegal masih di pojok kamar. Tangannya gemetar saat mengambil ponsel.Ia mencoba menelepon. Sekali. Dua kali.Tidak aktif.Hatinya mulai berdetak lebih cepat. Napasnya sedikit tersengal. Ia mencoba menenangkan diri, menyuruh otak dan hatinya untuk tidak panik. Ia mengetik pesan, perlahan. Setiap huruf terasa seperti menaruh kepingan hatinya di atas layar.Alma: Sayang, kamu di mana?Satu centang.Lalu dua.Dibaca.Tapi… tidak ada jawaban.Alma menatap layar ponsel beberapa saat, mencoba mencari alasan. Mungkin… benar-benar sibuk? Mungkin ada urusan yang mendesak?Ia men
Kereta terus melaju, membawa mereka semakin jauh dari Tegal dan semakin dekat pada kota yang tak pernah benar-benar tidur. Stasiun-stasiun kecil berganti nama, berganti wajah, lalu menghilang begitu saja. Waktu seperti dipotong-potong, tapi pikiran Alma tetap utuh di satu titik yang sama. Ia membuka ponsel. Pesan dari Ibunya masuk beberapa menit lalu.Sudah berangkat, Nak?Alma membalas singkat.Sudah, Bu. Di kereta. Nanti sampai aku kabari.Ia menatap layar sebentar lebih lama dari yang diperlukan, lalu mematikannya. Rasanya seperti menutup pintu kecil yang aman, lalu memilih berdiri di lorong yang belum sepenuhnya terang. Gio masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini lebih lama. Jempolnya bergerak cepat, lalu berhenti. Mengetik, menghapus. Menghela napas pelan. Alma tidak bertanya. Ia hanya mengamati dari sudut matanya. Dulu, ia selalu percaya diam adalah bentuk pengertian. Tapi kini, diam terasa seperti ruang kosong yang makin melebar. "Kamu laper?” tanya Gio tiba-tiba, tanpa menoleh
Ruangan langsung hening. Bapak Alma mengangkat alis, jelas terkejut. “Kau… anak mereka?” Gio mengangguk. “Aku nggak pernah mau nyambungin hidup ku dengan masa lalu keluarga ku. Tapi ternyata… mereka punya dendam ke keluarga Alma karena peristiwa Aurora dulu. Dan sekarang, mereka nggak setuju aku melamar Alma.” Alma terduduk, suaranya hampir hilang. “Jadi… keluarga kamu nggak mau aku… cuma karena aku.... pihak yang ngerusak Aurora?” Gio memegang tangannya. “Sayang… akunggak peduli masa lalu itu. Aku nggak pernah lihat lo sebagai bagian dari masalah itu. Buat ku… kamu itu rumah.” Air mata Alma perlahan mengalir. “Tapi kenapa kamu nggak bilang dari awal? Kenapa aku baru tau sekarang?” “Karena aku takut kamu bakal mikir cintanya bakal jadi ribet. Aku takut kamu ninggalin aku duluan.” Suaranya pecah. Bapak Alma akhirnya bicara, suaranya tegas namun terkendali. “Gio, pernikahan itu bukan cuma tentang hati. Ini soal dua keluarga. Kalau keluargamu sudah menolak sejak awal… bagai
Lampu ruang tamu hangat, menyinari wajah-wajah lelah tapi lega. Aroma teh hangat dan kue tradisional masih tersisa di udara. Alma duduk di samping Gio, tangannya tetap menggenggam tangan Gio. Ibunya tersenyum lembut, menyiapkan cangkir teh. “Gio, anak Ibu… duduklah. Minum dulu, biar hangat badanmu.”Gio tersenyum sopan, menerima cangkir itu. “Terima kasih, Bu. Maaf ganggu ketenangan malam Ibu dan Bapak.”Ibunya hanya tersenyum, lalu menatap Alma sebentar. “Alma, anak Ibu… kamu pasti lega sekarang, kan? Semua sudah jelas.”Alma mengangguk, mata masih basah. “Ya, Bu… akhirnya semua jelas. Gue takut aja tadi… takut dia gak datang.”Ibunya menepuk lembut pundak Alma. “Kalau sudah niat baik, insya Allah jalan akan di buka. Sekarang… nikmati malam ini. Semua masih awal, tapi hati tenang itu penting.”Bapak Alma berdiri, menatap Gio dengan tatapan tajam tapi tak sekeras tadi. “Gio… kamu datang terlambat, tapi yang penting kamu datang. Aku ingin kamu tau, pernikahan itu bukan hanya soal cinta







