Alma, seorang copywriter berbakat di Paper&Pixel, awalnya berseteru dengan Gio, art director baru yang suka mengubah karyanya. Namun, setelah sering bekerja lembur berdua, ketegangan romantis mulai tumbuh. Hubungan mereka diuji ketika Reina, mantan kolega Gio dari Singapura, datang dengan tuduhan yang mengancam. Konflik memuncak saat kebakaran di kantor membuat Gio menyelamatkan Alma, mengorbankan dirinya sendiri. Di rumah sakit, kebenaran tentang masa lalu Gio terungkap, membersihkan namanya. Memulai agency bersama, Alma dan Gio merencanakan pernikahan, tetapi segalanya berantakan—undangan salah cetak, cincin hilang dibawa kucing, dan listrik padam. Di tengah kekacauan, mereka menyadari bahwa selama mereka bersama, memulai dari nol pun tak masalah. Cinta, pengorbanan, dan komitmen di uji dalam perjalanan berliku mereka dari rekan kerja menjadi partner hidup.
View MoreGadis itu bangun lima belas menit sebelum alarmnya berbunyi. Bukan karena gelisah, tapi karena terbiasa. Hidupnya diatur dalam blok waktu yang rapi, seperti spreadsheet yang tak pernah dibiarkan kosong. Namanya Alma Raisa, dua puluh tujuh tahun, copywriter andalan di agensi iklan Paper&Pixel. Perfeksionis. Tidak suka kejutan-apalagi yang datang dari orang asing.
Pukul tujuh lewat lima, dia sudah berdiri di depan cermin. Rambut dicepol rapi, alis disikat halus, blazer warna beige disetrika licin dari semalam. Di meja kecil dekat jendela, gelas teh hijau mengepul pelan-tak tersentuh. Pagi-paginya bukan tentang slow living, yoga, atau journaling. Tapi mengecek kalender G****e, me-review draft presentasi, dan menyusun ulang urutan narasi storyboard. Alma membuka laptop, menggigit roti gandum seadanya, lalu mengecek ulang catatan di ponsel. Brief klien? Beres, Storyboard? Revisi fix, Meeting jam 9? HARUS MENANG. Dia bekerja di divisi kreatif Paper&Pixel agensi iklan yang kece dari luar, tapi keras dari dalam. Satu kali gagal, bisa ganti tim. Dua kali? Ganti kantor. Alma bukan tipe yang bisa tenang menghadapi kekacauan. Dia lebih suka pegang kendali dan hari ini, dia siap untuk itu. Pukul sembilan tepat, Alma sudah berdiri di depan whiteboard digital saat sebagian besar tim baru menyelesaikan suapan roti atau kopi sisa sarapan. Tangan kanannya memegang remote pointer seperti sedang memegang komando tempur. "Kita nggak jual hasil instan. Kita tawarkan keberanian," suaranya tenang tapi lantang. "Ini bukan tentang kulit putih glowing. Tapi tentang berani tampil bare face, real. Kampanye ini ngajak orang berdamai sama kaca." Sebagian tim masih menyesap kopi. Anya mencatat seadanya, Wina sibuk membuka laptop yang belum di-restart seminggu, sementara Bu Henny-manajer kreatif-duduk di ujung ruangan, diam, mengamati, menilai. Lalu... "Sorry, ini meeting 'Bare You'?" Seorang pria muncul di ambang pintu tanpa ketuk. Kemeja putih digulung asal, sneakers abu-abu, rambut setengah acak. Tangannya langsung menggapai spidol, seolah sudah tahu tempatnya di ruangan ini. "Lo siapa?" tanya Alma, tajam. "Gio. Art director baru. ID card aja belum jadi," jawabnya santai. Tanpa izin, Gio menghapus satu adegan di storyboard Alma dan menggambar ulang. "Ini bagus. Tapi harusnya ekspresinya bukan datar. Kasih momen emosional-air mata yang belum kering, tapi dia tetap senyum. Relate-nya lebih dapet." Alma mengangkat alis. "Lo pikir segampang itu nyentuh kerjaan orang?" "Gue bukan nyentuh. Gue bantu." "Tanpa diminta." "Kadang insight terbaik datang dari yang nggak diminta." Dialog mereka seperti rally bulu tangkis: cepat, tajam, dan bikin orang di sekitar diam menonton. Bu Henny tersenyum kecil. "Aku suka energi pagi ini." Alma protes, "Bu, dia baru dateng, langsung ubah presentasi saya." "Justru karena itu. Kadang, ide segar datang dari tabrakan." Gio menyeringai. "Copy Queen?" Julukan itu menggantung di udara-nada menggoda, menantang. Alma menyipit. "Hati-hati, gelar itu bisa berubah jadi 'Copy Bakar'." "Tenang, gue cuma bawa korek. Nggak bawa bensin." Tawa kecil pecah, lalu cepat dibungkam. Bu Henny memutuskan. "Deadline minggu depan. Alma dan Gio akan handle proyek ini bareng." Alma menoleh cepat. "Bu, saya biasanya kerja sama Dira atau Yuda." "Yuda cuti. Dira ditarik ke klien fashion. Jadi... silakan beradaptasi." Sebelum keluar, Gio berbisik ke Alma, "Tenang aja, Queen. Gue bukan tipe yang ngerebut tahta. Cuma suka bikin papan caturnya lebih seru." Alma tidak menjawab. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena suka. Tapi karena waspada. Atau mungkin... keduanya. --- Pantry kantor jam sebelas siang adalah tempat paling bising yang terasa sepi. Alma duduk di pojok, sendirian, mengaduk-aduk tahu isi yang tak disentuh. Rian-sahabatnya-datang membawa nasi goreng. "Lo ngebunuh tahu isi itu atau cuma terapi visual?" godanya. Alma mendesah. "Pagi-pagi gue udah digas sama cowok baru yang sok koreksi presentasi gue. Sekarang lo nambahin bahan roasting?" Rian tertawa. "Gio? Si artis pensiun dari Singapura itu? Berani banget ya nimpalin ide lo." "Gue tahan karena masih jam kerja." "Lo pernah ngerasa nggak sih... kayak ada orang asing yang tiba-tiba bisa nebak pola pikir lo?" tanya Alma. Rian diam sejenak. "Biasanya lo butuh tiga tahun buat percaya ke orang." "Nah itu yang bikin gue kesel. Kok bisa dia tahu celahnya dari awal?" Rian tersenyum. "Kadang, yang bikin kita terganggu... justru yang bikin kita sadar kita hidup. Bukan cuma jalanin rutinitas." Di lorong, Cici dan Wina berbisik sambil melihat foto blur Gio di grup W******p kantor. Caption-nya: "Copy Queen vs Cowok Singapura: ROUND ONE." "Drama pertama hari ini resmi dibuka," bisik Cici. "Aku dengar Bu Henny sengaja pasangin mereka," tambah Wina. "Bukan buat cinta-cintaan, Win. Proyek. Tapi... you know Bu Henny." Wina membuka Notes di HP-nya. "Fix. Fanart perdana mereka harus dirilis hari ini. Namanya 'GiAl'-Gio dan Alma. Atau 'DeadQueen'-Deadline x Copy Queen." Rian yang kebetulan lewat menggeleng. "Astaga... kantor ini udah kayak fandom aktif." Di sudut pantry, Alma masih termenung. Rian mendekat. "Welcome to Paper&Pixel, di mana naskah bisa mati, tapi gosip hidup selamanya." Alma memijat pelipis. "Baru juga ngasih satu presentasi, udah kayak seleb skandal." Dia menarik napas. Hari baru awal. Dan Gio-dengan segala kejutan dan sikapnya yang nyebelin-telah mengacaukan rutinitas sempurnanya. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang membuatnya penasaran... sesuatu yang mungkin, justru dia butuhkan. --- Alma menghela napas panjang saat tangannya menekan tombol lift. Layar digital di atas pintu menunjukkan angka yang turun perlahan— 7... 6... 5 —seolah mencerminkan pikirannya yang berputar-putar. "Apa benar Bu Henny sengaja memasangku dengan si Gio ini?" gumamnya dalam hati. Lift terbuka. Di dalamnya sudah berdiri seorang pria dengan kemeja putih yang sedikit kusut—Gio. Mata mereka bertemu. "Kebetulan," ujar Gio sambil menyeringai, jarinya menekan tombol lobby. "Atau kesialan," balas Alma, masuk dan berdiri di sudut paling jauh. Udara di dalam lift terasa tegang. Gio memecah keheningan. "Lo masih kesel soal tadi pagi?" "Gue profesional. Nggak ada kesel yang bertahan lebih dari satu meeting." "Tapi lo masih aja ngasih jarak tiga meter kayak lagi jaga social distancing." Alma memicingkan mata. "Lo tuh jenis orang yang selalu dapat respon, ya? Mau itu senyum, kesel, atau—" "Atensi?" Gio menyela. "Iya. Karena hidup terlalu pendek buat nunggu orang lain nyamperin." Lift terbuka. Gio melangkah keluar lebih dulu, tapi berhenti saat Alma tidak mengikutinya. "Kopi?" tawarnya tiba-tiba, menunjuk ke arah kafe di seberang jalan. "Gue traktir. Buat gantiin spidol yang gue hapus tadi." Alma hampir menolak, tapi sesuatu—mungkin rasa penasaran, atau kelelahan—membuatnya mengangguk singkatDua tahun yang lalu - Singapura, 3:42 PMGio memilih tangga darurat. Setiap lompatan tiga anak tangga membuat otot betisnya terbakar, tetapi teriakan minta tolong yang samar-samar terdengar di atasnya memacu langkahnya. Ketika mencapai lantai 12, asap sudah begitu pekat hingga ia harus merangkak. Kaca jendela di koridor pecah oleh panas, serpihannya berhamburan seperti hujan beling. "Tolong... ada yang..." Suara lemah itu berasal dari ruang arsip. Gio mendobrak pintu yang sudah setengah hangus. Di balik tumpukan rak yang roboh, Lina—asisten proyek mereka—terjebak dengan kaki tertimpa besi penyangga. Darah mengalir dari luka di dahinya. "Gio... dokumennya..." Lina menggapai-gapai ke arah tas laptop yang terjepit di bawah reruntuhan. "Lupakan itu! Ayo keluar!" Gio menarik besi penyangga dengan sekuat tenaga. Otot lengannya bergetar, urat lehernya menegang. Dengan satu hentakan terakhir, besi itu bergeser cukup untuk membebaskan kaki Lina. Dia mengangkat tubuh Lina yang lemas
Hujan mengguyur deras membasahi aspal parkiran Paper&Pixel, menciptakan genangan-genangan kecil yang memantulkan cahaya lampu jalan. Alma berdiri di bawah atap pendopo kecil, menatap jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 21.37. Taksi online-nya masih 15 menit lagi, jika dia beruntung. Tanpa kendaran pribadi, dia hanya bisa menunggu penuh harap ada taksi yang siap mengangkutnya. "Nyari taksi jam segini emang susah, lo mau nunggu sampe keriput. Belum tentu ada," Gio muncul tiba-tiba di sampingnya, tangan menggenggam kunci mobil BMW seri 3 hitam. Rambut dia yang biasanya rapi kini basah kuyup, menempel di dahi. "Mau numpang nggak? Mumpung gue lagi baik dan berhubung kita searah." Alma mengerutkan kening. "Bentar, lo tau rumah gue?" "Bintaro, kan? Gue tinggal dekat Situ Pondok Aren."Alma hanya menatap horor Gio yang mengetahui banyak tentang dirinya, "Nggak perlu sok kuat. Hujan begini lo bisa sakit, Queen." goda Gio tak lupa senyuman jenakanya. Petir menggelegar di kejauhan
Setelah kejadian Anya kemarin yang bisa Alma dan Gio atasi, gosip tentang mereka yang saling melindungi juga menjaga makin menyebar. Sesekali, banyak yang mendoakan mereka untuk segera jadian. Alma menatap layar laptopnya dengan mata berkaca-kaca. Presentasi untuk klien utama mereka, Surya Kencana Cosmetics, harusnya sudah final semalam. Tapi sekarang, di depan matanya, tagline andalannya yang berbunyi "Bare You: Real is Beautiful" telah berubah menjadi "Flawed is the New Perfect"—disertai foto close-up seorang model dengan bekas jerawat yang sengaja tidak di-retouch. "GIO ARDIAN!" teriaknya, suaranya menggelegar di seantero lantai 12. Beberapa rekan kerja langsung menoleh, termasuk Wina yang sedang mengantarkan dokumen. "Wah, perang dunia ketiga lagi nih," bisiknya pada Rian yang sedang asyik menggambar doodle di notepad. Gio mengangkat kepala dari sketsanya, kacamata aviator-nya melorot di hidung. "Hm?" ujarnya santai, seolah tidak menyadari amarah yang sedang meledak di d
Kantor kreatif Paper&Pixel di lantai 12 Gedung Sudirman Tower tampak lengang di sore hari. Hanya tersisa beberapa karyawan yang masih bertahan menghadapi deadline, termasuk Alma Raisa. Gadis berambut bob pendek itu duduk di meja kerjanya yang dipenuhi sticky notes warna-warni, sambil sesekali menyeruput teh tarik dingin yang mulai berkeringat di gelas kertas. Kucingnya, Wifi, mengintip dari foto screensaver laptop MacBook Pro-nya yang menampilkan dokumen presentasi setengah jadi. "Alma, lo masih hidup?" Rian, teman sekubikelnya, menyodorkan sebungkus martabak mini. "Makan dulu, ntar lo pingsan lagi kayak minggu lalu." Alma menggeleng, jarinya terus menari di atas keyboard. "Gue harus selesaiin presentasi buat Larasati Wijaya besok. Ini klien gede, Rian." Suara notifikasi email mengganggu konsentrasinya. Subject: Revisi Anggaran Project "Surya Kencana" – URGENT! From: Anya Listiana (Finance Dept) To: Tim Kreatif (CC: All Department) "Gio, maaf yaa~ budget cetak moodboar
"Nggak nyangka gue bisa bertahan meeting 12 jam sama si manusia energizer itu," gumamnya sambil membuka kunci. Di dalam, lampu menyala. Rian—sahabat sekaligus tetangga apartemennya—sudah duduk di sofa sambil memegang mangkuk mie instan. "Gue kira lo udah jadi korban pertama pembunuhan art director baru." sambutnya, mata menyipit melihat keadaan Alma. Alma melemparkan tasnya ke karpet. "Masih belum. Tapi besok mungkin." Rian mengangkat alis saat melihat senyum kecil di wajah Alma. "Wait. Lo... nggak benci dia?" "Gue benci caranya nyerobot ide orang. Tapi..." Alma menghela napas. "Konsepnya bagus. Lebih bagus dari yang gue susun seminggu." "Damn, jadi julukan 'DeadQueen' di grup WA beneran terjadi? Deadline bikin lo lunak?" Alma melemparkan bantal ke arahnya. "Diem lo. Besok kita presentasi ke Bu Henny."Saat masuk kamar, HP-nya bergetar. Notifikasi dari Gio: "Btw, gue baru inget. Lo punya alergi kacang kan? Jangan sentuh snack bowl di ruang meeting besok—gue liat ada ka
Kafe itu bernama "Kopi Titik Koma", tempat favorit para kreatif yang butuh kafein dan privasi. Gio memesan dua americano tanpa gula, plus croissant hangat. "Jadi, lo pindah dari Singapura?" tanya Alma, mencoba memulai percakapan netral. "Bukan pindah. Kabur," jawab Gio sambil menyobek croissant. "Dua tahun di sana bikin gue sadar: kreativitas nggak bisa dikurung dalam meeting room ber-AC.""Dan lo pikir Paper&Pixel lebih 'bebas'?" Alma terkekeh. "Wait till you see our burnout rate."Gio menatapnya. "Lo tuh kayak benteng, tau? Lengkap dengan parit dan panah api.""Benteng bertahan karena desainnya sempurna.""Tapi nggak ada yang bisa masuk. Termasuk ide baru."Alma meminum kopinya, rasa pahitnya sepadan dengan nada bicara Gio. "Gue nggak butuh ide baru. Gue butuh ide yang menang.""Ah, si Copy Queen dan tahtanya," Gio menggeleng. "Ever thought that maybe... you're lonely up there?" Pertanyaan itu menggantung. Alma tiba-tiba teringat malam-malam di mana satu-satunya suara adalah ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments