MasukDulu, Alma Raisa adalah seseorang yang percaya pada hati. Ia memilih pekerjaan, teman, bahkan cinta dengan perasaan yang tulus. Namun setelah dikhianati dan disalahkan atas sesuatu yang bukan kesalahannya, Alma belajar satu hal penting: dunia tak butuh rasa, dunia butuh logika. Kini, sebagai analis di perusahaan teknologi iklan, ia dikenal tajam, dingin, dan selalu benar. Hingga Gio Ardian datang — rekan kerja baru dengan cara pandang yang tak terduga. Pria itu membuatnya ingat bagaimana rasanya mempercayai seseorang lagi. Namun di balik proyek besar yang mereka kerjakan bersama, ada sistem yang tak sepenuhnya bersih. Sesuatu yang bisa menghancurkan segalanya bila satu bagian saja tergelincir. Ketika rahasia itu terbongkar, Alma, Gio, dan Rian dijatuhkan tanpa kesempatan membela diri. Dunia yang mereka bangun hancur seketika. Tapi dari puing-puing itu, mereka berdiri kembali — menciptakan Skala, perusahaan kecil yang berawal dari niat sederhana: bekerja dengan jujur, tanpa harus kehilangan diri sendiri. Namun ketika cinta dan karier berjalan beriringan, ujian datang lagi. Kali ini bukan dari sistem, melainkan dari keluarga. Ayah Alma menolak restu karena merasa Gio datang sendiri, tanpa tata, tanpa arah. Dan Alma pun dihadapkan pada dua pilihan: mempertahankan cinta, atau menghormati keyakinan ayahnya.
Lihat lebih banyakGadis itu bangun lima belas menit sebelum alarmnya berbunyi. Bukan karena gelisah, tapi karena terbiasa. Hidupnya diatur dalam blok waktu yang rapi, seperti spreadsheet yang tak pernah dibiarkan kosong. Namanya Alma Raisa, dua puluh tujuh tahun, copywriter andalan di agensi iklan Paper&Pixel. Perfeksionis. Tidak suka kejutan-apalagi yang datang dari orang asing.
Pukul tujuh lewat lima, dia sudah berdiri di depan cermin. Rambut dicepol rapi, alis disikat halus, blazer warna beige disetrika licin dari semalam. Di meja kecil dekat jendela, gelas teh hijau mengepul pelan-tak tersentuh. Pagi-paginya bukan tentang slow living, yoga, atau journaling. Tapi mengecek kalender G****e, me-review draft presentasi, dan menyusun ulang urutan narasi storyboard. Alma membuka laptop, menggigit roti gandum seadanya, lalu mengecek ulang catatan di ponsel. Brief klien? Beres, Storyboard? Revisi fix, Meeting jam 9? HARUS MENANG. Dia bekerja di divisi kreatif Paper&Pixel agensi iklan yang kece dari luar, tapi keras dari dalam. Satu kali gagal, bisa ganti tim. Dua kali? Ganti kantor. Alma bukan tipe yang bisa tenang menghadapi kekacauan. Dia lebih suka pegang kendali dan hari ini, dia siap untuk itu. Pukul sembilan tepat, Alma sudah berdiri di depan whiteboard digital saat sebagian besar tim baru menyelesaikan suapan roti atau kopi sisa sarapan. Tangan kanannya memegang remote pointer seperti sedang memegang komando tempur. "Kita nggak jual hasil instan. Kita tawarkan keberanian," suaranya tenang tapi lantang. "Ini bukan tentang kulit putih glowing. Tapi tentang berani tampil bare face, real. Kampanye ini ngajak orang berdamai sama kaca." Sebagian tim masih menyesap kopi. Anya mencatat seadanya, Wina sibuk membuka laptop yang belum di-restart seminggu, sementara Bu Henny-manajer kreatif-duduk di ujung ruangan, diam, mengamati, menilai. Lalu... "Sorry, ini meeting 'Bare You'?" Seorang pria muncul di ambang pintu tanpa ketuk. Kemeja putih digulung asal, sneakers abu-abu, rambut setengah acak. Tangannya langsung menggapai spidol, seolah sudah tahu tempatnya di ruangan ini. "Lo siapa?" tanya Alma, tajam. "Gio. Art director baru. ID card aja belum jadi," jawabnya santai. Tanpa izin, Gio menghapus satu adegan di storyboard Alma dan menggambar ulang. "Ini bagus. Tapi harusnya ekspresinya bukan datar. Kasih momen emosional-air mata yang belum kering, tapi dia tetap senyum. Relate-nya lebih dapet." Alma mengangkat alis. "Lo pikir segampang itu nyentuh kerjaan orang?" "Gue bukan nyentuh. Gue bantu." "Tanpa diminta." "Kadang insight terbaik datang dari yang nggak diminta." Dialog mereka seperti rally bulu tangkis: cepat, tajam, dan bikin orang di sekitar diam menonton. Bu Henny tersenyum kecil. "Aku suka energi pagi ini." Alma protes, "Bu, dia baru dateng, langsung ubah presentasi saya." "Justru karena itu. Kadang, ide segar datang dari tabrakan." Gio menyeringai. "Copy Queen?" Julukan itu menggantung di udara-nada menggoda, menantang. Alma menyipit. "Hati-hati, gelar itu bisa berubah jadi 'Copy Bakar'." "Tenang, gue cuma bawa korek. Nggak bawa bensin." Tawa kecil pecah, lalu cepat dibungkam. Bu Henny memutuskan. "Deadline minggu depan. Alma dan Gio akan handle proyek ini bareng." Alma menoleh cepat. "Bu, saya biasanya kerja sama Dira atau Yuda." "Yuda cuti. Dira ditarik ke klien fashion. Jadi... silakan beradaptasi." Sebelum keluar, Gio berbisik ke Alma, "Tenang aja, Queen. Gue bukan tipe yang ngerebut tahta. Cuma suka bikin papan caturnya lebih seru." Alma tidak menjawab. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Bukan karena suka. Tapi karena waspada. Atau mungkin... keduanya. --- Pantry kantor jam sebelas siang adalah tempat paling bising yang terasa sepi. Alma duduk di pojok, sendirian, mengaduk-aduk tahu isi yang tak disentuh. Rian-sahabatnya-datang membawa nasi goreng. "Lo ngebunuh tahu isi itu atau cuma terapi visual?" godanya. Alma mendesah. "Pagi-pagi gue udah digas sama cowok baru yang sok koreksi presentasi gue. Sekarang lo nambahin bahan roasting?" Rian tertawa. "Gio? Si artis pensiun dari Singapura itu? Berani banget ya nimpalin ide lo." "Gue tahan karena masih jam kerja." "Lo pernah ngerasa nggak sih... kayak ada orang asing yang tiba-tiba bisa nebak pola pikir lo?" tanya Alma. Rian diam sejenak. "Biasanya lo butuh tiga tahun buat percaya ke orang." "Nah itu yang bikin gue kesel. Kok bisa dia tahu celahnya dari awal?" Rian tersenyum. "Kadang, yang bikin kita terganggu... justru yang bikin kita sadar kita hidup. Bukan cuma jalanin rutinitas." Di lorong, Cici dan Wina berbisik sambil melihat foto blur Gio di grup W******p kantor. Caption-nya: "Copy Queen vs Cowok Singapura: ROUND ONE." "Drama pertama hari ini resmi dibuka," bisik Cici. "Aku dengar Bu Henny sengaja pasangin mereka," tambah Wina. "Bukan buat cinta-cintaan, Win. Proyek. Tapi... you know Bu Henny." Wina membuka Notes di HP-nya. "Fix. Fanart perdana mereka harus dirilis hari ini. Namanya 'GiAl'-Gio dan Alma. Atau 'DeadQueen'-Deadline x Copy Queen." Rian yang kebetulan lewat menggeleng. "Astaga... kantor ini udah kayak fandom aktif." Di sudut pantry, Alma masih termenung. Rian mendekat. "Welcome to Paper&Pixel, di mana naskah bisa mati, tapi gosip hidup selamanya." Alma memijat pelipis. "Baru juga ngasih satu presentasi, udah kayak seleb skandal." Dia menarik napas. Hari baru awal. Dan Gio-dengan segala kejutan dan sikapnya yang nyebelin-telah mengacaukan rutinitas sempurnanya. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang membuatnya penasaran... sesuatu yang mungkin, justru dia butuhkan. --- Alma menghela napas panjang saat tangannya menekan tombol lift. Layar digital di atas pintu menunjukkan angka yang turun perlahan— 7... 6... 5 —seolah mencerminkan pikirannya yang berputar-putar. "Apa benar Bu Henny sengaja memasangku dengan si Gio ini?" gumamnya dalam hati. Lift terbuka. Di dalamnya sudah berdiri seorang pria dengan kemeja putih yang sedikit kusut—Gio. Mata mereka bertemu. "Kebetulan," ujar Gio sambil menyeringai, jarinya menekan tombol lobby. "Atau kesialan," balas Alma, masuk dan berdiri di sudut paling jauh. Udara di dalam lift terasa tegang. Gio memecah keheningan. "Lo masih kesel soal tadi pagi?" "Gue profesional. Nggak ada kesel yang bertahan lebih dari satu meeting." "Tapi lo masih aja ngasih jarak tiga meter kayak lagi jaga social distancing." Alma memicingkan mata. "Lo tuh jenis orang yang selalu dapat respon, ya? Mau itu senyum, kesel, atau—" "Atensi?" Gio menyela. "Iya. Karena hidup terlalu pendek buat nunggu orang lain nyamperin." Lift terbuka. Gio melangkah keluar lebih dulu, tapi berhenti saat Alma tidak mengikutinya. "Kopi?" tawarnya tiba-tiba, menunjuk ke arah kafe di seberang jalan. "Gue traktir. Buat gantiin spidol yang gue hapus tadi." Alma hampir menolak, tapi sesuatu—mungkin rasa penasaran, atau kelelahan—membuatnya mengangguk singkatKeesokkan pagi, ayam berkokok. Matahari baru naik setengah, tapi rumah itu sudah seperti menahan napas. Ibunya sudah di dapur membuat teh hangat. Bapaknya duduk di teras dengan tangan bersedekap, wajah serius. Surat kabar terlipat rapi di meja, tapi jelas ia tidak benar-benar membaca. Alma keluar dengan rambut diikat seadanya, mata sembap. Ia berusaha tersenyum ke ibunya, tapi gagal. “Pagi, Ma,” ucap ibunya lembut. “Kamu tidur?” Sedikit jeda. “Ngga, Bu… cuma merem.” Ibunya meraih tangan Alma, menepuknya pelan. “Kamu kuat, Ma. Ibu ada di sini.” Alma menunduk, menahan air mata yang nyaris jatuh lagi. Bapak Alma menutup surat kabar. “Kemari sebentar.” Alma duduk pelan, jantungnya seperti diperas. “Bapak tanya baik-baik,” suara Bapaknya rendah tapi sangat tegas, “sampai jam berapa kamu akan menunggu laki-laki itu?” “Bapak…” suara Alma pecah. “Jawab.” Alma menatap jalanan depan rumah, kosong. “Gio bilang… dia bakal nyusul. Mungkin dia ada masalah… mungkin—” Bapaknya memotong taja
Alma menatap ponselnya, menelepon lagi, berharap lagi. Bapaknya berdiri di dekat jendela, menyilangkan tangan. “Berapa lama lagi, Ma? Dan berapa kali kamu telpon?” tanyanya tanpa menoleh. “Baru… beberapa kali, Pak.” “Beberapa kali itu berapa?” Alma terdiam. “Tujuh.” Bapaknya menghela napas berat. “Dan dia tidak angkat satu pun?” “…nggak.” Bapak Alma menatapnya langsung, wajah keras tanpa kompromi. “Kalau seorang laki-laki benar-benar berniat datang melamar, dia tidak akan membuat perempuan yang mau dia nikahi mengemis kepastian.” Alma merasa dadanya sesak. “Yah, Gio bukan orang yang—” “Faktanya sekarang dia tidak ada di sini.” Bapak Alma berjalan mondar-mandir di ruang tamu, menahan marah. “Alma, sampai jam berapa kamu mau menunggu?” Suara Bapaknya naik setengah oktaf. “Dari pagi Bapak lihat kamu berkali-kali cek ponsel, tapi anak itu tidak sedikit pun peduli buat kasih satu pesan!” Ibunya menenangkan, “Pak… jangan keras begitu…” Bapaknya menatap istrinya sekilas. “Saya ker
Rumah orang tuanya berdiri di ujung gang. Catnya sudah pudar, tapi halaman penuh bougenville tetap cantik..Begitu Alma membuka pagar, ibunya menoleh dari teras. “Assalamu’alaikum,” ucap Alma pelan.Ibunya tersenyum, wajahnya melembut seperti biasa. “Wa’alaikumussalam… Alma, anak Ibu.”Pelukan hangat langsung menyambutnya. Tapi saat ibunya melepaskan pelukan, nada suaranya berubah sedikit hati-hati. “Alma… katanya kamu dilamar sama cowok?” Lembut, tapi jelas penuh kekhawatiran.Alma terpaku. “Dari mana Ibu bisa tau?”“Bu Nur. Katanya sepupunya dengar dari temennya… katanya kamu udah siap dilamar. Ibu kaget, Ma. Kamu belum bilang apa-apa.”Alma menelan ludah. “Makanya Alma pulang, Bu. Mau jelasin langsung.”Ibunya tidak membantah. Hanya memanggil Bapak dari ruang tengah. “Pak… Alma pulang. Katanya… mau dilamar.”Bapaknya keluar dengan langkah berat. Kacamata masih menempel di hidung, tapi sorot matanya sudah cukup untuk membuat Alma menunduk. “Jadi bener, Ma?” suara ayahnya rendah tapi
Gio melepaskan napas lega, senyumannya melebar. Dia meraih tangan Alma, dan keduanya saling menatap, seperti dunia di sekitar mereka menghilang. Di sudut lain, Reina menepuk bahu Rian sambil hampir menangis. “Kita berhasil, Ian… kita berhasil jadi tim rahasia paling top!”Rian tertawa pelan. “Tenang, Rein. Kalau ada film tentang ini… kita pasti dapet kredit ‘supporting chaos angels’.”Revan, yang memantau dari tablet, ikut tersenyum. “Bro… lo sukses. Semuanya berjalan mulus. Dan gue senang bisa jadi bagian dari rencana gila lo.”Gio menatap mereka semua sebentar, lalu menoleh ke Alma. “Terima kasih… buat aku bisa yakin, dan karena ada orang-orang kayak mereka juga mendukung kita.”Alma tersenyum, menatap ke arah Reina, Rian, dan Revan, lalu kembali ke Gio. “Kalau semua tim ini mendukungmu… berarti aku juga harus percaya sepenuhnya sama kamu.”Gio tertawa pelan. “Tenang… aku janji, semua ini cuma awal dari selamanya kita.”Reina menghela napas lega, lututnya terasa lemas. “Ya ampun… gu


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.