Share

14. Pura-pura Pedul?

Fatih menoleh ke Zayna. Dahi berkerut menandakan kebingungan. "Ini sudah bisa masak, lho," tanggapnya.

"Sudah jangan banyak omong. Ajarkan saja, Fatih. Mama juga tahu kamu jago masak, waktu sekolah dulu ambil jurusan tata boga."

"Iya-iya, Ma." Fatih setuju. "Tapi nanti saat kita sudah pindah rumah. Tidak apa-apa, 'kan, Zay?" Fatih menoleh ke Zayna.

Zayna mengangguk. Mendengar jawaban Fatih, Zayna senang sekali.

"Ah, anak Papa. Bilang saja ingin bermesraan di dapur sama istri sambil masak, kan?" goda Hasan. "Kalau di rumah ini banyak orang, jadi tidak ada kesempatan," lanjutnya.

"E-nggak begitu, Pa," elak Fatih.

Desi terkekeh kecil. "Papa ini ada-ada saja. Ingat dulu sebelum ada Bi Astri juga Papa modus, selalu mengganggu Mama kalau masak. Main peluk dari belakang," cerita Desi panjang lebar.

Hasan cemberut. "Jangan diceritakan juga kali, Ma di depan anak-anak. Malu Papa."

"Pagi, Ma, Pa," sapa Latisa dan Denia yang baru turun dari lantai atas, keduanya sudah rapi mengenakan seragam sekolah.

"Hei, sayang. Good morning!" Desi mencium kening kedua putrinya dengan penuh kasih sayang lalu menyuruh untuk duduk dan sarapan pagi. "Ya sudah selamat menikmati sarapan! Jangan lupa berdoa." Desi berdiri, pertama mengambil nasi ke piring suaminya, kedua nasi untuk dua putrinya.

Zayna juga melakukan hal demikian, melayani Fatih. Dia tersenyum melihat Pak Hasan, Mama Desi, Denia, dan Fatih makan dengan lahap. Terkecuali Latisa yang tampak tidak berselera. Sejak turun, Latisa tidak bersuara, mukanya ditekuk dan cemberut.

"Kamu kenapa, Sa?" tanya Zayna dengan nada lembut. "Kok nggak di makan?" tanyanya lagi. Berbeda dengan Denia yang makan dengan lahap.

Latisa diam tidak menjawab. Menatap piring sudah terisi nasi lauk pauk yang diambilkan oleh Mamanya, dia Menarik-narik baju Mamanya yang duduk di sebelahnya.

"Kenapa sayang?"

"Tisa mau sarapan roti aja, Ma. Lagi nggak mood sarapan nasi."

Awalnya Desi berniat memaksa Latisa untuk memakan sarapan yang telah disediakan, karena takut menyinggung Zayna. Tapi Zayna memberi isyarat agar keinginan Latisa dituruni saja. Desi langsung menyuruh Bi Astri untuk membuatkan sarapan roti untuk Latisa.

"Manja kamu. Sudah besar harusnya jangan pilih makanan," komentar Fatih.

Latisa memeletkan lidah pada Fatih. "Biarin!"

****

Mobil Fatih berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah. Fatih dan Zayna mengantar Latisa berangkat ke sekolah setelah mengantar Denia ke sekolah menengah pertama.

"Eh, cium tangan dulu," tahan Fatih ketika Latisa hendak membuka pintu mobil belakang. "Kamu ini asal main cabut aja."

Latisa memutar bola mata dengan malas, sedikit mencondongkan badan untuk menurut mencium punggung tangan Fatih dan Zayna dengan ogah-ogahan. "Assalamualaikum," salamnya dengan malas.

"Jangan malas-malasan begitu dong. Kualat nanti," tegur Fatih dan mulai memberi nasehat ke adiknya. "Jaga etika sopan santun. Mulutnya juga harus dijaga jangan sampai menyakiti orang lain, Sa. Ingat itu."

Latisa mengurungkan niat membuka untuk pintu mobil. Bibirnya cemberut dan ekspresi wajah kesal. Sejak Fatih menikah dan Zayna tinggal satu rumah, sifat gadis itu benar-benar berubah. Entah apa penyebabnya.

"Sudah, Mas. Biarkan saja, diusia Tisa sekarang sedang labil. Emosi naik turun," ucap Zayna melihat ke kursi penumpang di mana Latisa duduk.

"Tidak, Zay. Harus aku tegur. Biar anak itu tidak berbuat seenaknya sama kamu."

"Kak Fatih apa-apaan, sih?!" Suara Latisa meninggi dan mata mendelik. "Jangan sok care dong sama Kak Zay. Tisa tahu semuanya kalau Kak Fatih cuma pura-pura baik sama Kak Zayna!" lanjutnya menekan semua kalimat.

"TISA!" bentak Fatih tanpa berpikir panjang dulu. "BICARA APA KAMU?!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status