Naykilla menatap kosong ujung sepatunya yang berwarna putih. Di koridor kampus yang tidak begitu banyak di lalui orang, dia duduk dengan tenang. Sesekali matanya melirik kearah lain untuk menghindari rasa bosan yang sepertinya akan datang.
Setelah beberapa hari dari kejadian bioskop baru kali ini Deny menghubungi Naykilla dan mengajak untuk bertemu. Naykilla sedikit kecewa menyadari bahwa tampaknya Deny tidak begitu peduli dengannya yang tiba-tiba menghilang di tengah film terputar. Padahal mereka pergi bersama ke bioskop bukankah seharusnya laki-laki itu khawatir jika Naykilla tidak ada di tempatnya. Atau mungkin keberadaan Vira membuatnya melupakan sosok Naykilla. Selain kecewa, Naykilla juga kesal. Dia sadar bahwa ajakan nonton itu bukan sesuatu yang direncanakan melainkan sebuah kebetulan. Kebetulan pada saat itu Vira tidak bisa pergi karena alasan acara keluarganya. Namun sayangnya mendekati waktu Vira malah mengubah semuanya. Dia ikut serta dan Naykilla tampak seperti orang ketiga di antara mereka berdua. “Udah lama nunggu, Nay?” Naykilla mendongakkan kepalanya. Deny berdiri di depannya saat ini. Laki-laki itu mengenakan kemeja yang warnanya sudah memudar serta kacamata yang mereng bertengger di hidungnya. Sepertinya laki-laki itu begadang semalaman karena matanya yang tampak sayu dan lelah. “Enggak juga. Aku baru aja datang.” Jawab Naykilla dengan berbohong. Rasanya malu jika mengatakan bahwa dia sudah menunggu hampir satu jam lamanya Deny mengambil tempat duduk di samping Naykilla. Dia tersenyum sambil berkata, “Tadi motor Vira pecah ban, jadi aku jemput dia dulu ke kosannya. Makanya akunya gak telat. Maaf, ya.” Naykilla benci menyadari bahwa sikap dan tutur lembut Deny lah yang menjadi suatu kelemahannya yang membuat dia diam saja hampir satu tahun ini tanpa kejelasan dengan laki-laki tersebut. “Iya, enggak apa. Lagian aku nunggunya enggak terlalu lama kok.” Jawab Naykilla setengah terpaksa “Aku ngajak ketemu mau ngasih ini ke kamu..” Deny merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak coklat berukuran besar. “Buat kamu.” Naykilla bingung. Kenapa tiba-tiba ia diberikan coklat. Dalam rangka apa coba? Dan pertanyaan itu terpampang jelas di wajahnya. “Itu hadiah buat kamu.” Deny tersenyum khas. Perlahan sudut bibir Naykilla juga terangkat. Dalam batinnya, akhirnya Deny menyadari kesalahannya dan mencoba untuk membujuk Naykilla. Naykilla senang akan itu. “Deket sama kamu hampir setahun ini buat aku belajar banyak hal. Terutama tentang cewek. Aku jadi paham cewek itu sukanya diperlakuin kayak gimana, apa yang aja yang harus aku hindari untuk buat mood cewek jadi jelek.” Deny menoleh ke arah Naykilla dan menyentuh pundaknya dengan halus. “Makasih ya, Nay. Udah mau jadi temen curhat aku tentang segala hal.” Senyum Naykilla semakin mengembang. Tidak biasanya Deny seperti ini. Apakah Deny sudah menyadari perasaannya untuk Naykilla? Apakah Deny akan menyatakan perasaannya hari ini kepada Naykilla? Naykilla Bersiap. Dia menyampirkan rambutnya di balik telinga dan tersenyum manis kepada Deny. “Nggak perlu Makasi segala kok, Den. Lagian aku juga seneng sama kedekatan kita hampir setahun ini.” Jawab Naykilla dengan sepenuh hati Jika dia dengan Deny berpacaran maka akan ada alasan untuk membatalkan perjodohan aneh dirinya dengan Dirga. Deny cukup berprestasi di kampus dan aktif di beberapa organisas, rasanya itu cukup untuk menandingi Dirga yang bahkan jarang terlihat di kampus. “Harus berterima kasih dong sama kamu. Kalau bukan karena kamu mungkin aku enggak akan bisa jadian sama Vira.” Seketika, dunia Naykilla terasa berhenti. Senyumnya memudar, membeku di tengah wajahnya yang mulai kehilangan warna. Deny… jadian… sama Vira? “Oh…” Hanya itu yang keluar dari bibir Naykilla. Napasnya terasa berat, seolah udara di sekitarnya berubah menjadi kabut tebal yang sulit ditembus. Deny tetap tersenyum, tidak menyadari perubahan drastis di wajah Naykilla. “Iya, jadi ternyata selama ini Vira itu nungguin sinyal dari aku. Tapi aku tuh bingung, Nay. Makanya aku sering cerita ke kamu. Dan ternyata kamu tuh ngebuka mataku banget soal perasaan cewek, soal cara ngelihat tanda-tanda.” Naykilla menatap kosong ke depan. Sepatu putihnya yang tadi jadi pusat perhatian kini tak lagi menarik. Ada semacam suara berdengung di kepalanya, seperti bisikan kecewa yang perlahan berubah menjadi jeritan dalam hati. “Waktu di bioskop itu, Vira bilang dia suka aku,” lanjut Deny tanpa sadar betapa setiap katanya terasa seperti tusukan bagi Naykilla. “Dan aku pikir, ya... mungkin itu waktu yang tepat buat aku nyatain perasaan aku juga.” Naykilla mengangguk pelan, mencoba terlihat tenang meski dadanya sesak. Coklat besar di pangkuannya terasa lebih berat dari seharusnya. Ternyata ini bukan hadiah atas harapan, tapi tanda terima kasih karena telah "membantu" Deny menemukan cinta sejatinya — yang bukan dirinya. “Seneng deh kalo kamu seneng karena udah jadian sama Vira. Akhirnya ya...” Naykilla akhirnya bicara, suaranya nyaris tak terdengar. Deny menatapnya. “Makasih ya, Nay. Kamu luar biasa pengertian banget. Kamu ngasih aku waktu buat berduaan sama Vira di bioskop. Kalua bukan karena kamu ini semua enggak akan terjadi.” Naykilla mengangguk lagi. Kali ini lebih cepat, seolah ingin segera mengakhiri percakapan itu. Dia memaksakan senyum terakhir, senyum yang ditarik dari sisa-sisa harga diri dan luka yang masih hangat. “Semoga kalian langgeng ya,” katanya sambil berdiri, memeluk kotak coklat erat-erat. “Aku… pulang duluan ya.” Dan sebelum Deny sempat menjawab, Naykilla sudah berjalan menjauh, menyusuri koridor yang semakin sepi. Suaranya bergema lembut, tapi tak mampu menyaingi suara hatinya yang retak. Langkah-langkah Naykilla perlahan berubah menjadi lari kecil. Air mata yang sejak tadi ditahan kini jatuh juga, membasahi pipinya yang dingin tertiup angin senja. Ia tak tahu harus ke mana, tapi yang jelas... ia ingin pergi dari rasa sakit ini, sejauh mungkin. Grep!! Sebuah tangan menarik Naykilla dengan kuat. “Lo kenapa nangis? Siapa yang buat lo nangis kayak gini?” tanpa ragu Dirga menangkup wajah Naykilla Air mata Naykilla belum sempat mengering ketika ia mendongak dan mendapati Dirga—dengan tatapan tajam dan penuh amarah—berdiri di hadapannya. Kedua tangannya masih menangkup wajah Naykilla, menahan agar perempuan itu tak kembali lari. “Kak Dirga...” suara Naykilla parau, seperti tercekik oleh rasa malu dan luka yang masih hangat. “Jawab. Siapa yang nyakitin lo, Nay?” nada Dirga dingin, tapi matanya penuh khawatir. Napasnya memburu, seolah ia sudah berlari mencarinya sejak tadi. Naykilla buru-buru menghapus air matanya. “Gak penting. Gue cuma lagi pengen nangis aja.” “Jangan bohong.” Dirga menatapnya dalam. “Gue liat sendiri lo barusan sama Deny. Dia bilang apa ke lo?” Naykilla terdiam. Genggaman tangannya mengencang di kotak coklat itu. Rasanya perih untuk mengulang kalimat yang baru saja mematahkan hatinya. Tapi Dirga berdiri di situ, tak berniat melepaskannya sebelum dia mendapat jawaban. “Dia... jadian sama Vira,” ujar Naykilla akhirnya, lirih. “Dan... katanya, gue punya peran besar karena udah bantu mereka deket. Dia bilang gue temen curhat yang baik.” Tangis Naykilla turun semakin deras hingga membuatnya jadi sesegukkan. “Gue suka sama dia tapi dia jadian sama cewek lain.” Dirga menghela napas berat. Rasanya tidak tega melihat Naykilla menangis pilu seperti itu di hadapannya. Dengan langkah pasti dia menuntut Naykilla menuju parkiran dan membawanya masuk ke dalam mobil. Suasana kampus di sore itu sepi jadi kedekatan mereka berdua tidak menarik perhatian banyak orang. Di dalam mobil, hanya suara pelan tangis Naykilla yang terdengar, menyatu dengan deru AC yang dingin menusuk kulit. Dirga tidak banyak bicara. Ia hanya diam sambil sesekali menatap Naykilla dari sisi mata. Tangan kirinya menggenggam kemudi, sementara tangan kanan perlahan meraih tisu dari dashboard dan menyodorkannya ke arah Naykilla. “Minum dulu,” ucapnya pelan sambil menyodorkan botol air mineral kecil dari kantong samping pintu mobil. Naykilla menerimanya, mengangguk pelan sebagai bentuk terima kasih. Ia masih belum bisa bicara. Tenggorokannya kering dan hatinya terasa seperti sedang diremas dari dalam. Bahkan hadiah manis yang ia peluk sejak tadi kini tergeletak di pangkuannya tanpa makna. Dirga menoleh, kali ini sepenuhnya. “Nay, boleh gue ngomong jujur?” Naykilla hanya menoleh sekilas, matanya sembab, tapi ia tidak menolak. Itu sudah cukup bagi Dirga. “Lo sebenernya enggak perlu nangisin cowok jelek itu sampai kayak gini. Lihat..” Dirga mengambil kotak coklat pemberian dari Deny dan mengangkatnya ke udara. “Coklat yang dia kasih ke lo aja coklat yang murah. Gue yakin rasa coklat ini enggak enak dan bakal bikin lo sakit perut. Kalau beginian aja dia nggak bisa kasih effort lebih gimana nanti di masa depan. Mau lo kalau lapar cuma makan cinta doang, huh?” Naykilla sempat terdiam sejenak melihat ulah Dirga yang mengangkat kotak coklat itu seperti benda tercela. Ucapan sarkastisnya terlalu nyeleneh untuk tidak ditanggapi—tapi juga terlalu lucu untuk tidak membuat bibir Naykilla sedikit bergetar. Tangisnya yang tadi menguasai perlahan digantikan dengan sesenggukan kecil bercampur senyum tipis yang coba ia tahan. “Kak Dirga... lo apa-apaan sih.” ucap Naykilla, suaranya parau tapi terdengar sedikit geli. “Gue bisa kasih lo sesuatu yang beribu kali lipat lebih dari coklat terkutut ini. Jadi mending lo nangisnya jangan kelamaan.” Ia meletakkan kotak coklat itu di dashboard dengan gerakan malas. Matanya menatap jalan di depannya walau mobil belum juga bergerak. Dirga menghembuskan napas pelan. Tangannya kembali ke setir, tapi kali ini ia menggenggamnya erat, seolah sedang menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar amarah karena Naykilla disakiti—ia sedang menahan dirinya sendiri. “Lo tahu,” katanya lagi, nadanya lebih tenang tapi sarat makna, “gue pikir perjodohan kita itu omong kosong. Gue pikir, mana mungkin gue bisa klik sama orang yang bahkan gak gue kenal baik. Tapi makin hari... lo makin bikin gue kepikiran terus sama lo.” “Ngapain jadi bahan soal kita sih..” Naykilla merengut kesal dan mulai menghapus air matanya perlahan Dirga menoleh cepat, tatapannya tajam tapi tidak marah. “Maksud gue lo nolak cowok sekeren gue seharusnya nangisin cowok yang lebih keren dari gue, bukan nangisin cowok yang mukanya kayak kodok zuma gitu.” Naykilla spontan tertawa kecil, kali ini tulus. Suara tangis yang tadinya berat dan menyiksa berubah menjadi tawa lirih yang entah kenapa terasa melegakan. Ia menggeleng pelan sambil menatap Dirga yang kini menyunggingkan senyum puas, seolah ucapan barusan adalah pencapaian paling penting hari itu. “Kodok Zuma, Kak? Seriusan?” Naykilla mengusap sisa air mata di pipinya sambil menahan tawa. Dirga mengangguk mantap. “Lo pikir gue nggak nyari referensi? Gue sampai buka PlayStation 2 cuma buat liat lagi tampangnya. Biar makin yakin kalau si jelek emang bukan level lo.” “Gila sih lo…” Naykilla menunduk, bahunya berguncang kecil menahan geli. “Tapi makasih, ya. Serius.” “Ya iyalah,” jawab Dirga pelan. Ia menatap Naykilla sejenak, kali ini lebih lama. “Karena lo bukan cuma calon tunangan gue. Tapi sekarang... kayaknya gue pengen lo lebih dari itu.” Mata Naykilla kembali menatap Dirga. Ada sesuatu yang melintas cepat di antara mereka—ketulusan, mungkin. Atau mungkin rasa yang belum mereka pahami sepenuhnya, tapi terasa nyata. “Gue belum bisa terima perjodohan kita, Kak.” kata Naykilla jujur, suaranya lembut tapi tegas. Dirga tidak terkejut. Ia hanya mengangguk, perlahan. “It’s okay, enggak masalah. Biasanya pikiran cewek suka berubah. Hari ini bisa bilang enggak, tapi besoknya bisa beda lagi. Jadi intinya selama gue masih suka sama lo, gue bakal tetap tunggu.” Naykilla menatap pria itu dengan pandangan berbeda sekarang. Bukan hanya sebagai sosok yang dijodohkan dengannya, tapi seseorang yang... mungkin, bisa di bilang cukup gila karena menyukai sosok seperti dirinya. “Kak Dirga...” Naykilla menarik napas panjang. “Semua perasaan manusia itu bisa berubah, entah itu cewek ataupun cowok. Suatu saat lo pasti bisa aja suka sama cewek lain yang lebih segalanya dari gue.” Dirga mengangkat alis, lalu mencondongkan tubuh sedikit, ekspresinya serius. “Kalau gue sampai bikin lo sakit hati, lo boleh siram gue pake air got depan kampus. Gue bakal ikhlas.” Mereka berdua tertawa lagi, dan di antara tawa itu, rasa sakit di hati Naykilla perlahan mulai terobati. Mungkin belum hilang sepenuhnya, tapi luka itu sudah mulai dijahit dengan kehadiran Dirga—yang, anehnya, mulai terasa pas di tempatnya. “Mau cari makanan manis? Gue bisa traktir lo apa aja.” Tawar Dirga penuh harap pada Naykilla Naykilla memiringkan kepalanya, menatap Dirga dengan mata yang mulai kembali hidup. “Lo yakin mau traktir? Gue lagi pengen banget es krim—tiga scoop, topping-nya banyak, dan pastanya dua porsi.” Dirga pura-pura kaget, mata membulat seolah baru dengar kabar bumi mau kiamat. “Dua porsi pasta? Lo abis patah hati atau abis lari maraton sih?” “Dua-duanya,” Naykilla menjawab santai sambil menyandarkan tubuh ke jok mobil, ada senyum yang masih malu-malu tapi nyata di wajahnya. “Patah hati lari dari bioskop. Jadi boleh dong dapet jatah makan dua kali lipat.” Dirga terkekeh. “Oke, deal. Tapi dengan satu syarat...” Naykilla melirik tajam. “Apa lagi?” “Lo harus janji buat gak nangis lagi cuma karena cowok yang enggak lebih ganteng dari gue.” Diam sejenak. Naykilla memandang ke luar jendela mobil, lalu kembali menoleh dengan pelan. “Gue enggak janji, tapi gue akan coba.” Dirga mengangguk, senang dengan jawaban itu. “Gue terima. Dan sekarang kita berangkat sebelum tempat favorit lo itu tutup dan lo berubah pikiran ngajak makan seblak level sepuluh.” Mobil perlahan melaju meninggalkan parkiran kampus yang mulai lengang. Di dalamnya, dua hati yang tadinya terasa jauh kini mulai mendekat, pelan tapi pasti. Dan di tengah perjalanan menuju tempat makan itu, Naykilla membuka notifikasi di ponselnya. Sebuah pesan dari Deny masuk: “Nay, makasih ya udah ngerti. Semoga kita tetap bisa temenan kayak dulu.” Naykilla hanya membaca sekilas. Ia tidak membalas. Kali ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia memilih untuk tidak memberi ruang pada sesuatu yang sudah menyakitinya. Ia menoleh pada Dirga yang kini bersiul kecil menyetel playlist musik lama—jenis lagu yang biasanya dia sebut "lagu ala bapak-bapak"—tapi entah kenapa, terasa cocok dengan suasana. Naykilla tersenyum. __ Sementara itu... Di tempat lain, Vira duduk di salah satu kafe kecil dekat kampus. Tangannya menggenggam ponsel yang terus-terusan menampilkan chat terakhir dari Deny: "Maaf ya tadi gak bisa nemenin kamu ke lab. Tadi ketemu Naykilla dulu bentar.” Wajah Vira muram. Di depannya, gelas kopi yang mulai mendingin tak lagi menarik. Gula di dasarnya masih utuh, belum sempat diaduk. Sama seperti hatinya yang kini mulai terasa pahit, tak peduli seberapa manis awal hubungan itu dimulai. Di awal, dia pikir memenangkan Deny dari Naykilla adalah pencapaian. Sebuah validasi bahwa dirinya lebih diinginkan, lebih dicintai. Tapi sekarang, rasanya seperti mendapatkan hadiah yang sudah rusak di dalamnya. Dan Vira tahu, perasaan seperti itu... bukan pertanda baik. Pikirannya melayang ke hari di bioskop. Saat dia tiba-tiba memutuskan ikut—bukan karena ingin menonton film, tapi karena takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya miliknya. "Kenapa rasanya jadi biasa aja, ya.” gumam Vira pada dirinya sendiri, lirih. Tangan kirinya membuka galeri. Foto mereka bertiga waktu masih akrab dulu. Deny di tengah, Naykilla dan Vira di sisi kanan dan kiri. Mereka tertawa dalam foto itu—sebuah kenangan yang sekarang terasa seperti kebohongan.Naykilla mengigit ujung jarinya, dia merasa gugup. Sementara Lina sibuk memasukkan beberapa pasang baju ke dalam koper berukuran besar. “Bunda...” Naykilla memanggil setengah merengek Lina menoleh kebelakang dan mengangkat alisnya melihat sang anak meringkuk di sudut ranjang. “Kamu kenapa lagi sih, Nay?” Naykilla menghela napas pelan. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada boneka kesayangannya. “Tolong bilangin dong sama Dirga. Nay belum siap tinggal serumah sama dia.” Bulu kuduk Naykilla merinding membayangkan akan tinggal satu atap dengan seorang Dirga untuk selama-lamanya. Dua hari yang lalu sudah dia habiskan dengan Dirga dan tidur di rumah mewah oma-nya, dan itu luar biasa berat bagi Naykilla. Menjadi seorang istri dadakan membuatnya tidak tahu harus berbuat apa dan harus melakukan apa. Dan begitu juga dengan Dirga. Interaksi mereka berdua begitu canggung. “Nay! Gimana ceritanya suami istri enggak serumah? Kamu jangan aneh-aneh, deh.” Lina melanjutkan kembali kegiata
Hari itu berjalan dengan begitu cepat dengan banyaknya hal yang terjadi. Dirga sendiri masih merasa di awang-awang antara mimpi dan tidak. Dia bahkan tak tahu harus merasakan apa hari ini. Pernikahannya beriringan dengan hari kematian nenek tercintanya.Tak terhitung sudah berapa kali Dirga menerima ucapan bela sungkawa dari kerabat dekat maupun tamu undangan yang datang. Setiap kali ada yang menyampaikan dukacita, Dirga hanya bisa mengangguk lemas, senyum tipis terpaksa menghias bibirnya."Dirga.." Janne mendekat. Menatap kasihan putra semata wayangnya harus menghadapi hari yang begitu berat ini.Jas hitam yang tadinya rapi sekarang sudah tak berbentuk lagi. Dasinya sudah berantakan bahkan jas-nya pun sudah tak dia kenakan lagi."Udah tengah malam. Istirahat sana." Ucap JanneDirga menggeleng pelan. "Nanti, Mi. Masih ada beberapa tamu yang datang."Janne tersenyum lembut. "Tapi Naykilla nungguin kamu, Dirga."Tubuh lelah Dirga tersentak. Dia seperti melupakan status barunya yang suda
begitu memasuki ruangan terlihat tubuh tua terbaring lemah dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya. Matanya setengah terbuka, napasnya berat dan terputus-putus. Tapi ketika Dirga mendekat, ada sedikit cahaya di matanya. “Oma…” bisik Dirga sambil berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan keriput itu. Wajah sang Oma bergerak sedikit, bibirnya terbuka samar. “Dir… ga…” suara itu begitu pelan, tapi cukup untuk membuat mata Dirga berkaca-kaca. “Cu.. Cucu Oma akhirnya datang.” “Iya, Oma. Ini Dirga… Dirga udah di sini,” jawabnya serak. Tangannya menggenggam tangan sang nenek lebih erat, seolah ingin menyalurkan sisa tenaga yang dia punya. Di belakangnya, Naykilla berdiri diam. Terlalu takut untuk mengganggu, tapi terlalu tersentuh untuk berpaling. “Maaf ya, Oma telat…” Dirga menunduk, air matanya menetes satu per satu. “Dirga minta maaf…” Sang nenek hanya menggeleng perlahan, lalu dengan susah payah mengangkat tangan satunya untuk menyentuh wajah cucunya. “Kuliah.. Dirga b
“Menurut lo ada yang beda nggak dari seorang Dirga akhir-akhir ini?” Audrey menoleh, dia memicingkan matanya ke arah Silla sebelum akhirnya menghadap ke depan tepatnya di bangku bagian pojok sana, dimana ada Dirga dan beberapa temannya sedang duduk ngopi dan merokok. “Lo ngerasa juga, ya?” Adurey bertanya balik “Hum.” Silla mengangguk, “Beberapa hari terakhir dia jadi rajin ke kampus bahkan seminggu ini hampir full. Padahal jadwal dia ke kampus cuma tiga hari doang, kan?” “Bener banget, Sill. Enggak cuma itu aja, dia akhir-akhir sikapnya kayak berubah gitu. Enggak kayak biasanya yang mukanya suka jutek.” Dalam diam Naykilla menguping pembicaraan kedua sahabatnya. Dia takjub dengan kemampuan mereka yang memperhatikan Dirga begitu detail. Dia sendiri tidak pernah terpikirkan sampai ke sana. Hal ini membuat Naykilla jadi khawatir. Khawatir kalau semua fans Dirga seperti kedua sahabatnya itu. “Jangan-jangan rumor yang beredar kalau Dirga lagi pacaran sama salah satu cewek di k
Naykilla menggerutu di dalam hati. Sekarang dia baru menyesali tindakannya yang begitu mudahnya berkata iya atas ajakan Dirga semalam. Lihat lah dampaknya sekarang. Mereka jadi pusat perhatian semua orang. “Lo suka buku yang mana?” tanya Dirga sambil melihat beberapa buku yang menarik pandangannya. “Kalau ada yang lo suka ambil aja, soal bayaran biar jadi urusan gue.” Ucapnya dengan begitu ringan tanpa beban Naykilla masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia membuka salah satu buku berukuran sedikit lebar untuk menutupi seluruh wajahnya dari pandangan semua orang di sana. Meski dia sudah menggunakan topi untuk bersembunyi tapi tetap saja itu terasa kurang. Sementara Dirga tersenyum geli melihat tingkah laku Naykilla yang menurutnya lucu karena membaca buku terbalik walau tampak jelas gadis itu tidak benar-benar sedang membaca. Dengan jahil Dirga mencubit pelan pipi Naykilla. Perhatiannya langsung beralih. “Lo suka baca buku terbalik?” pertanyaan Dirga membuat Naykilla jadi salah
Naykilla mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Entah harus bagaimana lagi dia menolak tapi tidak pernah di gubris sama sekali oleh kedua orang tuanya. Memangnya apa yang di kejar? Naykilla masih muda. Masih banyak hal yang ingin dia capai, bahkan kuliah pun dia belum lulus. Bukankah terlalu terburu-buru jika menyuruhnya untuk menikah sekarang, kan? Di sisi lain, Dirga itu bukan dari keluarga sembarangan. Walaupun dulunya orang tua mereka adalah teman dekat tapi tidak perlu sampai harus seperti ini. Dia tidak mengenal baik Dirga meski di masa balita mereka berteman tapi itu kan sudah lama sekali dan mereka pun sudah tidak ingat lagi. Untuk alasan itu Naykilla berpikir jika kedua orang tua mereka bertindak terlalu jauh. “Kenapa harus Dirga, sih?” tanya Naykilla dengan wajah yang tertunduk Irwan berdehem pelan. Dia tersenyum hangat ke arah Naykilla meski tidak terlihat oleh gadis itu. “Keluarga mereka baik, Nay. Enggak banyak orang dari keluarga terpandang tapi sebaik mereka. Ay
Naykilla menatap kosong ujung sepatunya yang berwarna putih. Di koridor kampus yang tidak begitu banyak di lalui orang, dia duduk dengan tenang. Sesekali matanya melirik kearah lain untuk menghindari rasa bosan yang sepertinya akan datang. Setelah beberapa hari dari kejadian bioskop baru kali ini Deny menghubungi Naykilla dan mengajak untuk bertemu. Naykilla sedikit kecewa menyadari bahwa tampaknya Deny tidak begitu peduli dengannya yang tiba-tiba menghilang di tengah film terputar. Padahal mereka pergi bersama ke bioskop bukankah seharusnya laki-laki itu khawatir jika Naykilla tidak ada di tempatnya. Atau mungkin keberadaan Vira membuatnya melupakan sosok Naykilla. Selain kecewa, Naykilla juga kesal. Dia sadar bahwa ajakan nonton itu bukan sesuatu yang direncanakan melainkan sebuah kebetulan. Kebetulan pada saat itu Vira tidak bisa pergi karena alasan acara keluarganya. Namun sayangnya mendekati waktu Vira malah mengubah semuanya. Dia ikut serta dan Naykilla tampak seperti orang ke
"Dia cocok sih rambut pendek begini. Keliatan rapi banget. Tapi.. rambut panjangnya itu loh.." Audrey meletakkan ponselnya di atas meja. Terpampang jelas di sana foto seorang Dirga yang dia ambil diam-diam saat di dalam kelas. "Bikin dia keliatan sexy, macho.. dan, dan.. aduh, bingung gue mau ngedefinisiin dia kayak apa." Silla tergelak. Melihat ponsel Audrey dan memperbesar layar foto itu di beberapa tempat. "Selain potong rambut, dia kayaknya cukur kumis halusnya itu. Pantes jadi lebih fresh banget ya Drey idola kita." Audrey mengangguk setuju. "Gue penasaran deh, Kak Dirga kalau tidur terus mulutnya nganga bakal kelihatan ganteng atau jelek, ya." Naykilla menggelengkan kepalanya. Pembicaraan tentang Dirga terus berputar di sekitarnya. Di rumah, ada sang bunda yang dengan heboh menceritakan tentang Dirga. Sementara itu di kampus ada kedua sahabatnya yang tergila-gila dengan Dirga dan terus membicarakan laki-laki tersebut. "Kalau itu sih cuma istrinya Kak Dirga yang tau." Sahut S
Pagi yang cerah di ruang makan dengan meja yang berukir rumit menandakan bahwa berharga mahal dan berkualitas rumit, keluarga Dirga sedang menikmati sarapan bersama.Di meja yang begitu panjang dan ruangan yang luas serta berbagai menu makanan, hanya ada tiga orang di sana. Dirga dan kedua orang tuanya."Menurut Mami, mending kamu potong rambut terus copot semua tindik-tindik aneh kamu itu." Ucap Janne, yang sejak tadi tidak berhenti memberikan siraman rohani kepada Dirga"Cewek zaman sekarang suka sama cowok yang rapi. Kamu walaupun ganteng tapi enggak rapi, mana mungkin Naykilla mau sama kamu." Lanjutnya lagiDirga menghentikan kegiatan makannya lalu bersandar pada kursi, "Perlu Mami tahu, di luar sana banyak kok cewek yang mau sama aku walaupun penampilan aku kayak gini."Rudy tertawa. Dia menutup laptopnya untuk bergabung dengan kedua orang di depannya. "Ya itu karena kamu ber-uang, Dirga. Mereka tahu kamu dari keluarga kaya. Kalau bukan karena alasan itu Papi yakin mereka enggak