Share

7

Author: SUNBY
last update Last Updated: 2025-05-01 09:28:08

Naykilla menatap kosong ujung sepatunya yang berwarna putih. Di koridor kampus yang tidak begitu banyak di lalui orang, dia duduk dengan tenang. Sesekali matanya melirik kearah lain untuk menghindari rasa bosan yang sepertinya akan datang.

Setelah beberapa hari dari kejadian bioskop baru kali ini Deny menghubungi Naykilla dan mengajak untuk bertemu. Naykilla sedikit kecewa menyadari bahwa tampaknya Deny tidak begitu peduli dengannya yang tiba-tiba menghilang di tengah film terputar. Padahal mereka pergi bersama ke bioskop bukankah seharusnya laki-laki itu khawatir jika Naykilla tidak ada di tempatnya. Atau mungkin keberadaan Vira membuatnya melupakan sosok Naykilla.

Selain kecewa, Naykilla juga kesal. Dia sadar bahwa ajakan nonton itu bukan sesuatu yang direncanakan melainkan sebuah kebetulan. Kebetulan pada saat itu Vira tidak bisa pergi karena alasan acara keluarganya. Namun sayangnya mendekati waktu Vira malah mengubah semuanya. Dia ikut serta dan Naykilla tampak seperti orang ketiga di antara mereka berdua.

“Udah lama nunggu, Nay?” Naykilla mendongakkan kepalanya. Deny berdiri di depannya saat ini. Laki-laki itu mengenakan kemeja yang warnanya sudah memudar serta kacamata yang mereng bertengger di hidungnya. Sepertinya laki-laki itu begadang semalaman karena matanya yang tampak sayu dan lelah.

“Enggak juga. Aku baru aja datang.” Jawab Naykilla dengan berbohong. Rasanya malu jika mengatakan bahwa dia sudah menunggu hampir satu jam lamanya

Deny mengambil tempat duduk di samping Naykilla. Dia tersenyum sambil berkata, “Tadi motor Vira pecah ban, jadi aku jemput dia dulu ke kosannya. Makanya akunya gak telat. Maaf, ya.”

Naykilla benci menyadari bahwa sikap dan tutur lembut Deny lah yang menjadi suatu kelemahannya yang membuat dia diam saja hampir satu tahun ini tanpa kejelasan dengan laki-laki tersebut.

“Iya, enggak apa. Lagian aku nunggunya enggak terlalu lama kok.” Jawab Naykilla setengah terpaksa

“Aku ngajak ketemu mau ngasih ini ke kamu..” Deny merogoh sesuatu dari dalam tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak coklat berukuran besar. “Buat kamu.”

Naykilla bingung. Kenapa tiba-tiba ia diberikan coklat. Dalam rangka apa coba? Dan pertanyaan itu terpampang jelas di wajahnya.

“Itu hadiah buat kamu.”

Deny tersenyum khas. Perlahan sudut bibir Naykilla juga terangkat. Dalam batinnya, akhirnya Deny menyadari kesalahannya dan mencoba untuk membujuk Naykilla. Naykilla senang akan itu.

“Deket sama kamu hampir setahun ini buat aku belajar banyak hal. Terutama tentang cewek. Aku jadi paham cewek itu sukanya diperlakuin kayak gimana, apa yang aja yang harus aku hindari untuk buat mood cewek jadi jelek.” Deny menoleh ke arah Naykilla dan menyentuh pundaknya dengan halus. “Makasih ya, Nay. Udah mau jadi temen curhat aku tentang segala hal.”

Senyum Naykilla semakin mengembang. Tidak biasanya Deny seperti ini. Apakah Deny sudah menyadari perasaannya untuk Naykilla? Apakah Deny akan menyatakan perasaannya hari ini kepada Naykilla?

Naykilla Bersiap. Dia menyampirkan rambutnya di balik telinga dan tersenyum manis kepada Deny.

“Nggak perlu Makasi segala kok, Den. Lagian aku juga seneng sama kedekatan kita hampir setahun ini.” Jawab Naykilla dengan sepenuh hati

Jika dia dengan Deny berpacaran maka akan ada alasan untuk membatalkan perjodohan aneh dirinya dengan Dirga. Deny cukup berprestasi di kampus dan aktif di beberapa organisas, rasanya itu cukup untuk menandingi Dirga yang bahkan jarang terlihat di kampus.

“Harus berterima kasih dong sama kamu. Kalau bukan karena kamu mungkin aku enggak akan bisa jadian sama Vira.”

Seketika, dunia Naykilla terasa berhenti. Senyumnya memudar, membeku di tengah wajahnya yang mulai kehilangan warna. Deny… jadian… sama Vira?

“Oh…” Hanya itu yang keluar dari bibir Naykilla. Napasnya terasa berat, seolah udara di sekitarnya berubah menjadi kabut tebal yang sulit ditembus.

Deny tetap tersenyum, tidak menyadari perubahan drastis di wajah Naykilla. “Iya, jadi ternyata selama ini Vira itu nungguin sinyal dari aku. Tapi aku tuh bingung, Nay. Makanya aku sering cerita ke kamu. Dan ternyata kamu tuh ngebuka mataku banget soal perasaan cewek, soal cara ngelihat tanda-tanda.”

Naykilla menatap kosong ke depan. Sepatu putihnya yang tadi jadi pusat perhatian kini tak lagi menarik. Ada semacam suara berdengung di kepalanya, seperti bisikan kecewa yang perlahan berubah menjadi jeritan dalam hati.

“Waktu di bioskop itu, Vira bilang dia suka aku,” lanjut Deny tanpa sadar betapa setiap katanya terasa seperti tusukan bagi Naykilla. “Dan aku pikir, ya... mungkin itu waktu yang tepat buat aku nyatain perasaan aku juga.”

Naykilla mengangguk pelan, mencoba terlihat tenang meski dadanya sesak. Coklat besar di pangkuannya terasa lebih berat dari seharusnya. Ternyata ini bukan hadiah atas harapan, tapi tanda terima kasih karena telah "membantu" Deny menemukan cinta sejatinya — yang bukan dirinya.

“Seneng deh kalo kamu seneng karena udah jadian sama Vira. Akhirnya ya...” Naykilla akhirnya bicara, suaranya nyaris tak terdengar.

Deny menatapnya. “Makasih ya, Nay. Kamu luar biasa pengertian banget. Kamu ngasih aku waktu buat berduaan sama Vira di bioskop. Kalua bukan karena kamu ini semua enggak akan terjadi.”

Naykilla mengangguk lagi. Kali ini lebih cepat, seolah ingin segera mengakhiri percakapan itu. Dia memaksakan senyum terakhir, senyum yang ditarik dari sisa-sisa harga diri dan luka yang masih hangat.

“Semoga kalian langgeng ya,” katanya sambil berdiri, memeluk kotak coklat erat-erat. “Aku… pulang duluan ya.”

Dan sebelum Deny sempat menjawab, Naykilla sudah berjalan menjauh, menyusuri koridor yang semakin sepi. Suaranya bergema lembut, tapi tak mampu menyaingi suara hatinya yang retak.

Langkah-langkah Naykilla perlahan berubah menjadi lari kecil. Air mata yang sejak tadi ditahan kini jatuh juga, membasahi pipinya yang dingin tertiup angin senja. Ia tak tahu harus ke mana, tapi yang jelas... ia ingin pergi dari rasa sakit ini, sejauh mungkin.

Grep!!

Sebuah tangan menarik Naykilla dengan kuat.

“Lo kenapa nangis? Siapa yang buat lo nangis kayak gini?” tanpa ragu Dirga menangkup wajah Naykilla

Air mata Naykilla belum sempat mengering ketika ia mendongak dan mendapati Dirga—dengan tatapan tajam dan penuh amarah—berdiri di hadapannya. Kedua tangannya masih menangkup wajah Naykilla, menahan agar perempuan itu tak kembali lari.

“Kak Dirga...” suara Naykilla parau, seperti tercekik oleh rasa malu dan luka yang masih hangat.

“Jawab. Siapa yang nyakitin lo, Nay?” nada Dirga dingin, tapi matanya penuh khawatir. Napasnya memburu, seolah ia sudah berlari mencarinya sejak tadi.

Naykilla buru-buru menghapus air matanya. “Gak penting. Gue cuma lagi pengen nangis aja.”

“Jangan bohong.” Dirga menatapnya dalam. “Gue liat sendiri lo barusan sama Deny. Dia bilang apa ke lo?”

Naykilla terdiam. Genggaman tangannya mengencang di kotak coklat itu. Rasanya perih untuk mengulang kalimat yang baru saja mematahkan hatinya. Tapi Dirga berdiri di situ, tak berniat melepaskannya sebelum dia mendapat jawaban.

“Dia... jadian sama Vira,” ujar Naykilla akhirnya, lirih. “Dan... katanya, gue punya peran besar karena udah bantu mereka deket. Dia bilang gue temen curhat yang baik.”

Tangis Naykilla turun semakin deras hingga membuatnya jadi sesegukkan. “Gue suka sama dia tapi dia jadian sama cewek lain.”

Dirga menghela napas berat. Rasanya tidak tega melihat Naykilla menangis pilu seperti itu di hadapannya. Dengan langkah pasti dia menuntut Naykilla menuju parkiran dan membawanya masuk ke dalam mobil. Suasana kampus di sore itu sepi jadi kedekatan mereka berdua tidak menarik perhatian banyak orang.

Di dalam mobil, hanya suara pelan tangis Naykilla yang terdengar, menyatu dengan deru AC yang dingin menusuk kulit. Dirga tidak banyak bicara. Ia hanya diam sambil sesekali menatap Naykilla dari sisi mata. Tangan kirinya menggenggam kemudi, sementara tangan kanan perlahan meraih tisu dari dashboard dan menyodorkannya ke arah Naykilla.

“Minum dulu,” ucapnya pelan sambil menyodorkan botol air mineral kecil dari kantong samping pintu mobil.

Naykilla menerimanya, mengangguk pelan sebagai bentuk terima kasih. Ia masih belum bisa bicara. Tenggorokannya kering dan hatinya terasa seperti sedang diremas dari dalam. Bahkan hadiah manis yang ia peluk sejak tadi kini tergeletak di pangkuannya tanpa makna.

Dirga menoleh, kali ini sepenuhnya. “Nay, boleh gue ngomong jujur?”

Naykilla hanya menoleh sekilas, matanya sembab, tapi ia tidak menolak. Itu sudah cukup bagi Dirga.

“Lo sebenernya enggak perlu nangisin cowok jelek itu sampai kayak gini. Lihat..” Dirga mengambil kotak coklat pemberian dari Deny dan mengangkatnya ke udara. “Coklat yang dia kasih ke lo aja coklat yang murah. Gue yakin rasa coklat ini enggak enak dan bakal bikin lo sakit perut. Kalau beginian aja dia nggak bisa kasih effort lebih gimana nanti di masa depan. Mau lo kalau lapar cuma makan cinta doang, huh?”

Naykilla sempat terdiam sejenak melihat ulah Dirga yang mengangkat kotak coklat itu seperti benda tercela. Ucapan sarkastisnya terlalu nyeleneh untuk tidak ditanggapi—tapi juga terlalu lucu untuk tidak membuat bibir Naykilla sedikit bergetar. Tangisnya yang tadi menguasai perlahan digantikan dengan sesenggukan kecil bercampur senyum tipis yang coba ia tahan.

“Kak Dirga... lo apa-apaan sih.” ucap Naykilla, suaranya parau tapi terdengar sedikit geli.

“Gue bisa kasih lo sesuatu yang beribu kali lipat lebih dari coklat terkutut ini. Jadi mending lo nangisnya jangan kelamaan.”

Ia meletakkan kotak coklat itu di dashboard dengan gerakan malas. Matanya menatap jalan di depannya walau mobil belum juga bergerak.

Dirga menghembuskan napas pelan. Tangannya kembali ke setir, tapi kali ini ia menggenggamnya erat, seolah sedang menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar amarah karena Naykilla disakiti—ia sedang menahan dirinya sendiri.

“Lo tahu,” katanya lagi, nadanya lebih tenang tapi sarat makna, “gue pikir perjodohan kita itu omong kosong. Gue pikir, mana mungkin gue bisa klik sama orang yang bahkan gak gue kenal baik. Tapi makin hari... lo makin bikin gue kepikiran terus sama lo.”

“Ngapain jadi bahan soal kita sih..” Naykilla merengut kesal dan mulai menghapus air matanya perlahan

Dirga menoleh cepat, tatapannya tajam tapi tidak marah. “Maksud gue lo nolak cowok sekeren gue seharusnya nangisin cowok yang lebih keren dari gue, bukan nangisin cowok yang mukanya kayak kodok zuma gitu.”

Naykilla spontan tertawa kecil, kali ini tulus. Suara tangis yang tadinya berat dan menyiksa berubah menjadi tawa lirih yang entah kenapa terasa melegakan. Ia menggeleng pelan sambil menatap Dirga yang kini menyunggingkan senyum puas, seolah ucapan barusan adalah pencapaian paling penting hari itu.

“Kodok Zuma, Kak? Seriusan?” Naykilla mengusap sisa air mata di pipinya sambil menahan tawa.

Dirga mengangguk mantap. “Lo pikir gue nggak nyari referensi? Gue sampai buka PlayStation 2 cuma buat liat lagi tampangnya. Biar makin yakin kalau si jelek emang bukan level lo.”

“Gila sih lo…” Naykilla menunduk, bahunya berguncang kecil menahan geli. “Tapi makasih, ya. Serius.”

“Ya iyalah,” jawab Dirga pelan. Ia menatap Naykilla sejenak, kali ini lebih lama. “Karena lo bukan cuma calon tunangan gue. Tapi sekarang... kayaknya gue pengen lo lebih dari itu.”

Mata Naykilla kembali menatap Dirga. Ada sesuatu yang melintas cepat di antara mereka—ketulusan, mungkin. Atau mungkin rasa yang belum mereka pahami sepenuhnya, tapi terasa nyata.

“Gue belum bisa terima perjodohan kita, Kak.” kata Naykilla jujur, suaranya lembut tapi tegas.

Dirga tidak terkejut. Ia hanya mengangguk, perlahan.

“It’s okay, enggak masalah. Biasanya pikiran cewek suka berubah. Hari ini bisa bilang enggak, tapi besoknya bisa beda lagi. Jadi intinya selama gue masih suka sama lo, gue bakal tetap tunggu.”

Naykilla menatap pria itu dengan pandangan berbeda sekarang. Bukan hanya sebagai sosok yang dijodohkan dengannya, tapi seseorang yang... mungkin, bisa di bilang cukup gila karena menyukai sosok seperti dirinya.

“Kak Dirga...” Naykilla menarik napas panjang. “Semua perasaan manusia itu bisa berubah, entah itu cewek ataupun cowok. Suatu saat lo pasti bisa aja suka sama cewek lain yang lebih segalanya dari gue.”

Dirga mengangkat alis, lalu mencondongkan tubuh sedikit, ekspresinya serius. “Kalau gue sampai bikin lo sakit hati, lo boleh siram gue pake air got depan kampus. Gue bakal ikhlas.”

Mereka berdua tertawa lagi, dan di antara tawa itu, rasa sakit di hati Naykilla perlahan mulai terobati. Mungkin belum hilang sepenuhnya, tapi luka itu sudah mulai dijahit dengan kehadiran Dirga—yang, anehnya, mulai terasa pas di tempatnya.

“Mau cari makanan manis? Gue bisa traktir lo apa aja.” Tawar Dirga penuh harap pada Naykilla

Naykilla memiringkan kepalanya, menatap Dirga dengan mata yang mulai kembali hidup. “Lo yakin mau traktir? Gue lagi pengen banget es krim—tiga scoop, topping-nya banyak, dan pastanya dua porsi.”

Dirga pura-pura kaget, mata membulat seolah baru dengar kabar bumi mau kiamat. “Dua porsi pasta? Lo abis patah hati atau abis lari maraton sih?”

“Dua-duanya,” Naykilla menjawab santai sambil menyandarkan tubuh ke jok mobil, ada senyum yang masih malu-malu tapi nyata di wajahnya. “Patah hati lari dari bioskop. Jadi boleh dong dapet jatah makan dua kali lipat.”

Dirga terkekeh. “Oke, deal. Tapi dengan satu syarat...”

Naykilla melirik tajam. “Apa lagi?”

“Lo harus janji buat gak nangis lagi cuma karena cowok yang enggak lebih ganteng dari gue.”

Diam sejenak. Naykilla memandang ke luar jendela mobil, lalu kembali menoleh dengan pelan. “Gue enggak janji, tapi gue akan coba.”

Dirga mengangguk, senang dengan jawaban itu. “Gue terima. Dan sekarang kita berangkat sebelum tempat favorit lo itu tutup dan lo berubah pikiran ngajak makan seblak level sepuluh.”

Mobil perlahan melaju meninggalkan parkiran kampus yang mulai lengang. Di dalamnya, dua hati yang tadinya terasa jauh kini mulai mendekat, pelan tapi pasti.

Dan di tengah perjalanan menuju tempat makan itu, Naykilla membuka notifikasi di ponselnya. Sebuah pesan dari Deny masuk:

“Nay, makasih ya udah ngerti. Semoga kita tetap bisa temenan kayak dulu.”

Naykilla hanya membaca sekilas. Ia tidak membalas. Kali ini, untuk pertama kalinya setelah sekian lama... ia memilih untuk tidak memberi ruang pada sesuatu yang sudah menyakitinya.

Ia menoleh pada Dirga yang kini bersiul kecil menyetel playlist musik lama—jenis lagu yang biasanya dia sebut "lagu ala bapak-bapak"—tapi entah kenapa, terasa cocok dengan suasana.

Naykilla tersenyum.

__

Sementara itu...

Di tempat lain, Vira duduk di salah satu kafe kecil dekat kampus. Tangannya menggenggam ponsel yang terus-terusan menampilkan chat terakhir dari Deny:

"Maaf ya tadi gak bisa nemenin kamu ke lab. Tadi ketemu Naykilla dulu bentar.”

Wajah Vira muram. Di depannya, gelas kopi yang mulai mendingin tak lagi menarik. Gula di dasarnya masih utuh, belum sempat diaduk. Sama seperti hatinya yang kini mulai terasa pahit, tak peduli seberapa manis awal hubungan itu dimulai.

Di awal, dia pikir memenangkan Deny dari Naykilla adalah pencapaian. Sebuah validasi bahwa dirinya lebih diinginkan, lebih dicintai. Tapi sekarang, rasanya seperti mendapatkan hadiah yang sudah rusak di dalamnya.

Dan Vira tahu, perasaan seperti itu... bukan pertanda baik.

Pikirannya melayang ke hari di bioskop. Saat dia tiba-tiba memutuskan ikut—bukan karena ingin menonton film, tapi karena takut kehilangan sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya miliknya.

"Kenapa rasanya jadi biasa aja, ya.” gumam Vira pada dirinya sendiri, lirih.

Tangan kirinya membuka galeri. Foto mereka bertiga waktu masih akrab dulu. Deny di tengah, Naykilla dan Vira di sisi kanan dan kiri. Mereka tertawa dalam foto itu—sebuah kenangan yang sekarang terasa seperti kebohongan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dear Dirga   21

    Naykilla terbangun dan merasakan sesuatu yang berat melingkari perutnya dan sudah pasti itu pelukan dari Dirga. Setelah hubungan mereka perlahan semakin dekat, Dirga tidak pernah sekalipun melepaskan pelukannya ketika mereka tidur. Awalnya pelukan itu terasa menyesakkan tapi sekarang terasa hangat.Naykilla pun berbalik, mengecek suhu tubuh Dirga. Lalu dia bernapas lega. Bisa di katakan Dirga sudah sembuh dari demamnya. “Kak Dirga... bangun.” Ucapnya pelanDirga menggeliat dalam keadaan setengah tidur tapi pelukannya semakin erat.Dirga sendiri tidak menyangka bahwa dia bisa tidur senyenyak ini setelah bersama Naykilla. Entah kenapa tubuh Naykilla selalu berhasil mengantarkan kenyamanan pada dirinya. Di bandingkan alkohol, Naykilla lebih berefek langsung kepada dirinya. Bahkan Dirga pun sudah lupa kapan terakhir kali dia minum alkohol. Atau lebih tepatnya saat Naykilla sudah memenuhi isi otaknya perlahan-lahan membuat Dirga menjauhi hal seperti itu.“Yang, ini masih pagi banget.

  • Dear Dirga   20

    Naykilla menghembuskan napas beratnya sambil mempersiapkan diri.Sesuai dugaannya bahwa hari ini dia menjadi pusat perhatian hampir semua orang setelah kejadian Dirga pingsan kemarin. Semua orang menatap tajam ke arahnya dan Naykilla bisa maklumi itu. Siapa sih yang tidak kaget dan kecewa jika idola mereka ternyata sudah menikah. Apalagi yang di nikahi itu adalah gadis yang amat biasa seperti dirinya ini. Tapi Naykilla tidak tahan saat kedua sahabat baiknya mendiamkannya karena kejadian itu.Perlahan Naykilla membuka pintu mobil. Saat ini dia menggunakan mobil Dirga karena paksaan dari laki-laki tersebut.Sebelum memasuki kafe di depannya, lagi dan lagi Naykilla menghembuskan berat. Kali ini untuk menghilangkan rasa gugup. Dari luar dia bisa melihat tatapan tajam Silla dan Audrey yang sudah menunggunya di dalam.Naykilla segera menghampiri mereka dan duduk di bangku yang tersisa.Untuk beberapa saat semuanya diam dan hening. Otak Naykilla sedang merangkai kata untuk menjelaskan

  • Dear Dirga   19

    Dirga terbangun, badannya merasa gerah dan kepalanya terasa pusing. Di lihatnya sekeliling ruangan kamar yang tampak redup. Dengan enggan dia berusaha menegakkan tubuhnya meski terasa pelan dan sebuah handuk kecil terjatuh.Dirga meraba dahinya yang tampak basah. Sepertinya baru saja ada seseorang yang mengkompres dahinya. Dirga mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan pencahayaan kamar yang temaram. Hawa hangat menyelimuti tubuhnya—hangat yang berasal dari demam dan juga dari selimut tebal yang menutupi tubuhnya.Ia mendongak pelan, melihat handuk kecil yang jatuh ke lantai. Nafasnya masih berat, tapi pikirannya mulai lebih jernih. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa yang merawatnya. Lalu, samar-samar Dirga mendengar suara Naykilla dari arah dapur. Dia pun segera beranjak dari dapur dan perlahan menuju sumber suara.“Makasi, ya, Mami. Aku beneran bingung banget tadi. Tapi setelah dokter itu periksa kondisi Kak Dirga baru aku ngerasa sedikit lega.” Tampak N

  • Dear Dirga   18

    Dirga menyandarkan bahu lebarnya di kursi kayu kelas, kemudian menghela napas berat. Matanya menatap kosong ke luar jendela di mana cuaca tampak begitu mendung. Dia merasa beruntung hari ini mengenakan jaket tebal, jika tidak mungkin tubuhnya akan semakin meriang. Atau mungkin seharusnya dia tidak masuk kelas hari ini. Di lihat secara fisik Dirga memang kuat. Dia tinggi serta punya tubuh yang atletik. Siapa pun pasti akan menghindari masalah dengan laki-laki tersebut karena takut akan kalah kalau-kalau Dirga mengajak untuk bertarung. Tapi sayangnya, sekuat-kuatnya Dirga akan tumbang juga karena demam. Dirga melirik jam tangannya. Dia hanya perlu bertahan dua jam saja setelah itu bisa langsung pulang dan beristirahat. “Lo keliatannya murung banget, Ga.” Rafi mendekatkan tubuhnya lalu berbisik, “Enggak dapet jatah dari bini, ye?” Dirga berdecak kesal dan mendorong Rapi agar menjauh darinya. Boro-boro mendapatkan jatah, tidur pun mereka pisah. Naykilla di kamar sementara Dirga

  • Dear Dirga   17

    Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Ponselnya aktif, tapi tak sekalipun membalas pesan atau menjawab telepon. Dan itu cukup membuat Dirga gelisah.Ia berdiri dari sofa apartemennya dan berjalan mondar-mandir seperti harimau dalam kandang. Pikirannya bercabang ke berbagai kemungkinan. Marah? Khawatir? Bingung? Semua rasa itu menumpuk jadi satu dan membuatnya ingin segera mencari Naykilla ke mana pun gadis itu pergi.Sambil menghela napas panjang, Dirga akhirnya mengambil kunci mobil dan jaket hitamnya. “Kalau sampai dia kenapa-kenapa, gue enggak bakal maafin diri sendiri,” gumamnya, lalu bergegas keluar.Saat dirinya hendak membuka pintu, pintu tersebut sudah

  • Dear Dirga   16

    Naykilla berlari di sepanjang koridor menuju kelasnya. Hari ini dia memutuskan untuk masuk kuliah setelah beberapa hari absen. Dan pagi ini dia sudah di pastikan telat di kelas pertamanya. Pelakunya sudah pasti Dirga.Mereka berdebat panjang tentang dengan siapa Naykilla berangkat ke kampus. Naykilla sudah mengatakan bahwa dia akan pergi sendiri sementara Dirga tetap kekeh bahwa mereka harus pergi bersama. Dan perdebatan itu di menangkan oleh Dirga. Tapi dengan syarat Dirga harus memarkirkan mobilnya di parkiran belakang gedung fakultas, di sana tidak banyak orang yang mau memarkirkan kendaraan mereka karena letaknya agak jauh dari pintu keluar.Langkah kaki Naykilla terdengar tergesa di sepanjang lorong kampus yang mulai lengang. Napasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski pagi belum terlalu panas. Ia menatap jam di ponselnya dan mendecak kesal. Sudah lewat sepuluh menit dari jadwal kelas dimulai.“Gara-gara Kak Dirga, gue jadi kayak anak kecil diantar orang tuanya,” gerut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status