"Dia cocok sih rambut pendek begini. Keliatan rapi banget. Tapi.. rambut panjangnya itu loh.." Audrey meletakkan ponselnya di atas meja. Terpampang jelas di sana foto seorang Dirga yang dia ambil diam-diam saat di dalam kelas. "Bikin dia keliatan sexy, macho.. dan, dan.. aduh, bingung gue mau ngedefinisiin dia kayak apa."
Silla tergelak. Melihat ponsel Audrey dan memperbesar layar foto itu di beberapa tempat. "Selain potong rambut, dia kayaknya cukur kumis halusnya itu. Pantes jadi lebih fresh banget ya Drey idola kita." Audrey mengangguk setuju. "Gue penasaran deh, Kak Dirga kalau tidur terus mulutnya nganga bakal kelihatan ganteng atau jelek, ya." Naykilla menggelengkan kepalanya. Pembicaraan tentang Dirga terus berputar di sekitarnya. Di rumah, ada sang bunda yang dengan heboh menceritakan tentang Dirga. Sementara itu di kampus ada kedua sahabatnya yang tergila-gila dengan Dirga dan terus membicarakan laki-laki tersebut. "Kalau itu sih cuma istrinya Kak Dirga yang tau." Sahut Silla sambil menyeruput minumannya hingga hampir habis Dengan pandangan jahil, Audrey menatap Naykilla dan menyenggol bahunya. Fokus Naykilla pada ponselnya jadi terbagi. "Nay, menurut lo di antara kita berdua siapa yang cocok sama Kak Dirga." Naykilla menatap Silla dan Audrey secara bergantian. Otaknya berkerja keras seperti sedang mencari jawaban pada soal yang sudah jelas salah. "Menurut gue mending kalian berhenti ngehaluin cowok kayak si Dirga-Dirga itu. Enggak ada gunanya." Audrey cemberut kesal. Silla hanya tertawa ringan. "Ini berguna tau, Nay. Seenggaknya stress kita tuh berkurang karena ada cowok seganteng dan sekeren Kak Dirga di dunia ini." Naykilla mendesah pelan. Dia tahu kalau membantah mereka hanya akan membuat pembicaraan semakin panjang. Bukannya menghentikan obrolan, justru bisa jadi dia akan semakin dikeroyok dengan berbagai teori absurd tentang kenapa Dirga itu the perfect guy di mata mereka. "Ya udah, terserah kalian aja deh," ujar Naykilla akhirnya sambil kembali fokus pada ponselnya. Tapi tetap saja, ia bisa merasakan tatapan jahil dari Audrey dan Silla. "Eh, tapi Nay, lo sendiri gimana?" tanya Audrey tiba-tiba, membuat Naykilla mau tak mau mendongak. "Gimana apanya?" "Lo setuju kan kalau penampilan Dirga yang sekarang bikin dia tambah ganteng. Kemaren lo bilang dia berantakan, sekarang udah rapi. Pasti lo sebentar lagi bakal ikutan nge-fans sama dia." Ucap Audrey penuh percaya diri Naykilla menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Enggak juga. Rapi doang enggak cukup buat bikin gue nge-fans. Tampang keren kalau kelakuan ngeselin ya tetep aja minus.” Silla dan Audrey saling pandang, kemudian tertawa pelan. “Duh Nay, Nay. Lo tuh denial parah,” celetuk Silla sambil menyipitkan mata, seperti sedang menganalisis sesuatu yang sangat serius. “Kata orang jangan terlalu membenci, nanti jadi cinta, lho. Mau lo kalau ternyata di masa depan jodoh lo adalah Dirga?" Audrey melotot tajam ke arah Silla. “Kalau teorinya kayak gitu mulai hari ini gue bakal jadi haters Dirga nomor satu!!" Silla langsung tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Audrey yang mendadak dramatis. Naykilla hanya menggeleng pelan, tapi tak bisa menahan senyum tipis yang muncul di wajahnya. “Lo emang gila, Drey,” kata Naykilla sambil menutup ponselnya. “Kalau semua orang pakai teori itu, dunia isinya pasangan yang awalnya saling benci semua.” Audrey menaikkan alis, tangannya berkacak pinggang. “Dan siapa tahu… itu bukan teori, Nay. Tapi takdir.” Silla menepuk meja. “Nah! Itu dia, gue setuju banget. Naykilla sama Kak Dirga tuh kayak karakter di drama—yang satu sinis, yang satu kalem dan cuek tapi punya pesona diam-diam mematikan.” “Please, jangan cocoklogi hidup gue kayak sinetron,” balas Naykilla cepat. "Kenapa enggak kalian gunain diri kalian sendiri ke dalam imajinasi liar itu." Audrey mendengus. “Ya jelas enggak seru lah, Nay. Kita butuh konflik. Kalau kita yang suka, ya udah selesai. Tapi kalau lo yang suka, itu baru menarik.” Silla mengangguk setuju. “Lagian lo juga aneh, sih. Kok bisa-bisanya enggak suka sama cowok kayak Kak Dirga tapi malah klepek-klepek sama cowok kayak Deny. Meskipun nama mereka sama-sama berawal D tapi perbedaannya jomplang banget, Nay." "Betul, Nay. Mereka ibaratkan bumi dan langit. Ada yang ganteng kenapa milih yang mukanya enggak karuan kayak Deny, sih." Tambah Audrey Silla dan Audrey saling pandang lagi, kali ini dengan ekspresi lebih dramatis seolah Naykilla baru saja melakukan dosa besar. “Gue masih enggak ngerti logika lo, Nay," ujar Silla sambil memijat pelipisnya, berpura-pura pusing. "Deny itu... gimana, ya? Cowok yang kayaknya enggak pernah ngerti konsep sisir dan enggak tahu kalau baju itu harusnya disetrika dulu sebelum dipakai." Audrey mengangguk cepat. "Iya, walaupun dia aktif di beberapa organisasi, tapi tetap aja kan kalau penampilan itu nomor satu yang di lihat duluan." Naykilla mendengus. "Ya ampun, kalian ini. Kenapa kalian sibuk banget ngurusin tipe cowok yang gue suka, sih?" "Karena kami peduli!" sahut Audrey dramatis. "Kami sebagai sahabat hanya ingin lo punya selera yang lebih baik, Nay." “Bener banget,” timpal Silla. “Minimal kalau lo enggak suka Kak Dirga, ya jangan Deny juga, dong. Masih banyak cowok lain di dunia ini.” Naykilla hanya menggeleng dan menyeruput minumannya dengan santai. "Selera itu soal kenyamanan, bukan cuma soal tampang doang, apalagi penampilan." Audrey mengerucutkan bibirnya. "Iya, tapi kalau bisa nyaman sama yang ganteng kan lebih bagus." Silla kembali tertawa, sementara Naykilla menghela napas panjang. Ia tahu perdebatan ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Mereka tidak tahu saja jika sebenarnya Naykilla sedang di jodohkan oleh Dirga, laki-laki yang terus mereka puja puji hingga mulut mau berbuih sekalipun. "Emangnya kalau di masa depan jodoh gue beneran si Dirga itu, kalian siap?" Tantang Naykilla pada kedua sahabatnya Audrey dan Silla langsung terdiam. Sejenak, hanya terdengar suara musik instrumental dari speaker kafe yang samar. Mereka saling menatap, seperti sedang mencoba memastikan apakah mereka baru saja mendengar apa yang sebenarnya keluar dari mulut Naykilla. Audrey yang pertama bicara, suaranya setengah tertawa, setengah kaget. “Lo ngomong apa barusan, Nay? Lo serius?” Silla memicingkan mata, mencurigai. “Ini prank ya? Atau lo abis baca ramalan jodoh di aplikasi yang bilang nama jodoh lo inisial D?” Naykilla mengangkat bahu santai. “Gue cuma nanya. Siapa tahu semesta lagi kerja keras buat bikin teori kalian bener.” Audrey memasang wajah seriusnya dan menatap Naykilla. "Kalau gue sih, kayaknya gue bakalan ngamuk mampus. Enggak terima gue kalau beneran Dirga jodohnya sama lo yang bahkan enggak nge-fans sama dia." Silla mengangguk dengan ekspresi sok sedih. “Iya, Nay. Itu enggak adil banget. Masa yang tiap hari mikirin dia, stalking akun dia pakek akun second, sampai hafal jadwal masuk kampus dan nongkrong dia, malah cuma jadi penonton?” Naykilla tertawa pelan. “Makanya gue nanya dulu. Siap atau enggak?” Audrey mendesah berat, dramatis seperti baru saja kehilangan peran utama dalam film favoritnya. “Siap enggak siap sih... ya gue bakal tetap protes! Tapi kalau itu udah keputusan semesta, ya gue... pasrah. Tapi pasrah yang sambil nangis.” Silla ikut menimpali. “Gue sih bakal minta kompensasi moral. Minimal Kak Dirga harus ngenalin gue ke sahabat cowoknya yang setara cakepnya. Fair kan?” Naykilla tertawa melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. "Kalian ini, ya! Enggak bisa di ajak ngehalu dikit otaknya udah kemana-mana. Coba aja di ajak ngerjain tugas mendadak enggak berfungsi itu otak." Audrey langsung membalas cepat, “Nah itu dia! Otak kita tuh kerjanya sistem selektif, Nay. Untuk hal penting kayak cowok ganteng, dia langsung aktif. Tapi kalau tugas kuliah? Ya itu urusan nanti.” “Prioritas hidup kita memang sudah sangat jelas,” tambah Silla sambil tertawa. “Cinta dulu, skripsi belakangan.” Mereka bertiga tertawa bersama. Suasana jadi hangat, penuh canda tawa khas sahabat yang sudah lama kenal. Tapi di balik tawanya, Naykilla menyembunyikan sesuatu—sebuah kenyataan yang belum siap untuk dia hadapi. Kemudian.. Di Tengah perbincangan ketiga sahabat itu, mereka kedatangan sang idola yang terus di bicarakan oleh Silla dan Audrey. Dirga dan kedua sahabatnya. Naykilla mendesah napas beratnya. Kenapa di saat dia ingin meringankan sedikit beban pikiran di tempat yang menurutnya tepat malah kedatangan sang beban itu sendiri, yaitu Dirga. “Hai ladies..” Sapa Timo dengan begitu ramah Tentu saja sapaan kecil itu di sambut dengan begitu hangat oleh kedua sahabat Naykilla. Mereka secara reflek merapikan rambut serta baju yang di rasa sedikit berantakan, berharap dapat menaikkan minat Dirga kepada mereka. “Kebetulan kalian ada di sini, kita boleh gabung nggak sama kalian?” Rafi menatap ketiganya dengan penuh harap, lalu menoleh ke sekelilingnya. “Semua mejanya penuh karena ini jam makan siang.” Audrey dan Silla saling tatap sebelum akhirnya mengangguk dengan antusias. Mereka menyetujui permintaan Rafi untuk bergabung tanpa menanyakan bagaimana pendapat Naykilla yang duduk di paling pinggir. Naykilla hanya bisa pasrah. Tidak ada alasan juga untuk menolak karena secara sangat kebetulan kursi Panjang di depan mereka itu kosong yang hanya di tempati oleh tas-tas mereka. Dengan hati-hati Rafi dan Timo menyerahkan tas kepada Silla dan Audrey karena keduanya duduk di depan dua gadis tersebut. Sementara itu, Dirga mengambil tempat duduk tepat di hadapan Naykilla dan tas milik Naykilla tidak dia berikan melainkan ia pangku. Naykilla ingin protes tapi tidak ingin menarik perhatian yang lainnya. “Kalian suka nongkrong di sini juga?” tanya Rafi memulai obrolan Audrey yang dari tadi sibuk mengatur posisi duduknya agar terlihat lebih anggun, langsung menanggapi, “Iya dong! Tempatnya cozy, makanannya juga enak. Eh, Kak Dirga juga sering ke sini?” Rafi tersenyum kecut dan membuat Timo menahan tawanya. Dia yang bertanya malah Dirga yang mendapat balasan. Dirga hanya mengangkat alisnya sedikit, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dan melirik sekilas ke arah Naykilla yang terlihat berusaha fokus ke gelas minumnya, seolah-olah isi minuman itu jauh lebih menarik daripada percakapan di sekitarnya. “Enggak juga,” jawab Dirga singkat. “Kebetulan lagi bosen jadi ngikutin saran Timo sama Rafi.” Timo langsung menyambar, “Iya, soalnya gue bilang tempat ini bisa bantu ningkatin mood. Apalagi kalo suasananya... menyenangkan.” Tatapan Timo berpindah cepat ke arah Silla, lalu ke Audrey, membuat keduanya senyum-senyum sendiri sambil saling sikut pelan. Rafi tertawa kecil. “Tapi bener sih, vibes tempat ini enak banget. Dan ternyata kalian juga sering ke sini, ya. Kapan-kapan kita bisa bareng lagi.” Audrey langsung menanggapi dengan cepat, “Boleh banget! Kalian tinggal bilang aja, ya. Kita fleksibel kok.” Silla ikut menimpali, “Iya, apalagi kalau ada yang traktir. Wah, makin semangat kita ke sini tiap hari.” “Deal, asal yang traktir bukan gue,” ucap Timo cepat, membuat semua tertawa—kecuali Naykilla dan Dirga. Naykilla masih menunduk, menyeruput minumannya dengan tenang. Tapi detik berikutnya, ia nyaris tersedak ketika merasakan sesuatu menyentuh ujung sepatunya dari arah seberang meja. Ia menatap cepat—dan melihat Dirga bersandar santai, kakinya sedikit maju, seperti tak sengaja menyentuh sepatunya. Naykilla menyipitkan mata. Dirga tidak melihat ke arahnya. Tapi dia tahu. Pasti sengaja. Tanpa banyak drama, Naykilla langsung menarik kakinya dan menyikut meja sedikit lebih keras dari biasanya. Audrey melirik, tapi hanya mengira itu karena Naykilla bosan. “Tadi Kak Dirga pesan apa? Minuman atau makanan?” Gantian, kini Silla yang melemparkan pertanyaan kepada Dirga Dirge sebenarnya malas menjawab pertanyaan yang tidak penting seperti itu tapi karena di hadapannya sekarang ada Naykilla maka dia ingin memberikan jawaban untuk menarik perhatiannya. Maksud Dirga.. Ayolah!! Dia sudah memotong rambutnya dan berpenampilan sedikit lebih rapi dari biasanya karena menuruti saran dari ibu dan teman-temannya. Tidakkah semua itu terlihat di mata Naykilla? Wajar Dirga merasa kesal, kan? “Pesen kopi, kayak biasa. Tapi ngeliat Naykilla sama minumannya gue jadi selera.” Dirga tersenyum puas melihat Naykilla langsung beraksi. “Gue boleh cicip?” tanyanya iseng Naykilla mendongak, menatap Dirga dengan pandangan setengah tak percaya. Untuk sejenak, seluruh kafe terasa sunyi di telinganya. Bahkan suara Audrey dan Silla yang tadi heboh pun mendadak menghilang dari kesadarannya. Ia mencoba membaca ekspresi Dirga—apakah dia bercanda, atau memang serius sedang mengusik hari damainya? “Enggak,” jawab Naykilla datar, namun wajahnya sudah sedikit memerah. “Beli sendiri aja, kan kopi di sini banyak pilihannya.” Dirga tertawa kecil, tidak terlihat tersinggung sedikit pun. “Galak amat. Padahal gue cuma penasaran sama selera kopi lo kayak gimana. Siapa tau kali ini pilihan lo bagus, kan.” Audrey hampir menyembur minumannya. Silla langsung menoleh cepat ke arah Naykilla dan Dirga, wajahnya memancarkan ekspresi ‘wait, what?!’ “Wah wah wah… Pelan dikit, Ga. Kasih dia napas.” celetuk Timo, menggoda, sambil mengedipkan mata ke arah Rafi. Rafi menahan tawa sambil ikut memperhatikan reaksi Naykilla yang masih berusaha tetap tenang walau dari cara dia memeluk gelas minumannya seperti sedang melindungi benda pusaka. Berbeda dengan Timo dan Rafi, Audrey dan Silla sama sekali tidak memahami kondisi sekarang. Dan kini, otak mereka penuh dengan banyak tanda tanya yang mengarah kepada Naykilla. Ini aneh dan sangat jarang sekali terjadi. Dirga flirting kepada Naykilla. Suatu hal yang sepertinya tidak di lakukan oleh orang seperti Dirga. Tapi begini lah yang terjadi di depan mata mereka. Silla melirik ke arah Audrey, lalu menatap Naykilla seolah berkata tanpa suara, “Lo nyembunyiin apa, Nay?” Sementara itu, Audrey, yang biasanya paling heboh, kali ini hanya terdiam dengan bibir sedikit terbuka, seolah baru sadar bahwa realita tidak selalu berpihak pada para fangirl. Naykilla sendiri sudah menunduk lagi, tapi bukan karena malu—lebih karena bingung bagaimana menghindari tatapan Dirga yang kini jadi terasa terlalu… dalam. Beruntungnya situasi canggung itu tidak berlangsung lama saat tiba-tiba telpon Naykilla dari dalam tasnya berdering, membuat Dirga mau tak mau harus menyerahkan ta situ kepada Naykilla. Naykilla menerima tasnya dengan cepat, mengucap pelan, “Makasih,” tanpa menatap Dirga. Ia buru-buru mengaduk-aduk isi tas dan menarik keluar ponselnya, bersyukur ada alasan sah untuk mengalihkan perhatian dari sorotan semua orang—terutama dari Dirga yang entah kenapa hari ini berubah jadi full on main character di hidupnya. “Nay, angkat dulu aja. Kali aja penting,” ujar Silla, suaranya sedikit bergetar karena masih setengah syok dengan apa yang baru saja terjadi. Naykilla hanya mengangguk kecil sebelum berdiri dari kursinya dan melangkah menjauh dari meja. Jantungnya masih berdebar kencang, bukan karena panggilan telepon—tapi karena Dirga. Lagi-lagi, cowok itu mengacaukan ritmenya, dan Naykilla benci betapa hal kecil seperti itu bisa mempengaruhinya sedemikian rupa. -- Sementara itu di pojok ruangan kafe, Naykilla menjawab telepon dengan suara rendah. Itu dari ibunya. ‘Nay, kamu bisa pulang sekarang nggak, ya? Bunda baru inget mau ke butik buat beli sesuatu, sekalian beli juga buat kamu. Kamu temenin Bunda, ya.’ Naykilla mengangkat teleponnya sebentar dengan dahi yang berkerut. “Tiba-tiba banget mau ke butik buat belanja. Enggak biasanya Bunda kayak gini.” Di Seberang sana Lina tertawa canggung. Gerak gerik kecilnya begitu mudah untuk di tangkap oleh Naykilla. ‘Kan lusa keluarga Dirga mau bertamu ke rumah. Jadi, Bunda kepengen kita sekeluarga pakai pakaian yang agak bagusan dikit gitu, lho. Biar enggak jomplang banget, Nay.’ Mendengar nama Dirga di sebut membuat perasaan Naykilla mendadak tidak enak. “Pakaian kita kan banyak Bun yang masih bagus. Lagian, ngapain sih mereka ke rumah kita? Jangan bilang mau bahas soal perjodohan lagi.” Naykilla sedikit merendahkan nada bicaranya di akhir kalimat Lina di seberang sana hanya tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar penuh makna. “‘Lagi’? Emang kamu pikir perjodohan itu bisa selesai dalam sekali ngobrol, Nay? Ini kan langkah berikutnya. Bunda juga baru dikasih kabarnya tadi pagi, makanya buru-buru.” Naykilla menghela napas panjang. Hatinya mencelos. Dadanya terasa sesak, dan untuk sesaat ia hanya menatap kosong ke arah barista yang sedang meracik minuman di balik meja. “Kenapa sih harus buru-buru banget? Kan aku udah bilang kalau enggak mau.” ‘Tapi Dirga-nya kan setuju banget sama perjodohan ini, Nay,’ suara ibunya pelan tapi mantap. ‘Dan dia juga bilang mau lebih serius ngenal kamu. Katanya sih, dia udah mulai… suka.’ Detik itu juga, dunia Naykilla seperti berhenti sejenak. Ia menatap layar ponselnya, memastikan dia tidak salah dengar. Kata-kata ibunya berulang di kepalanya—“Dirga udah mulai suka.” Suka. Dirga. Ke gue? Oke. Semesta, ini resmi jadi gila. “Bunda…” Naykilla mencoba bersuara, tapi lidahnya terasa kelu. Ia menggeleng pelan, lalu menyandarkan dirinya ke dinding kafe. “Aku aja jarang loh ngobrol sama dia, baru-baru ini aja kenalnya.” ‘Ya mungkin belum sempat. Tapi bunda yakin dia serius. Tadi pagi aja, kedua orang tua nya nelepon mama.” Naykilla menatap kosong ke seberang jalan. Suara ibunya masih terdengar dari telepon, tapi pikirannya sudah ke mana-mana. Entah apa yang sedang di rencakan oleh orang tuanya dengan keluarga Dirga, yang jelas ini sudah terlalu jauh. Dan mendadak kedua orang tuanya menjadi tuli karena mengabaikan kata tidak yang terus dia ucapkan berkali-kali. ‘Jadi gimana, Nay? Kamu bisa pulang sekarang, kan?’ suara ibunya terdengar lagi, penuh harap. Naykilla menarik napas panjang sebelum menjawab pelan, “Iya, Bun. Aku pulang sekarang.” ‘Sip. Nanti kita langsung berangkat ya. Bunda udah catat nama butik yang bagus itu—yang katanya pernah dipakai buat styling artis sinetron.’ Ibunya terdengar semakin semangat, seolah yang mau dijodohkan itu bukan anaknya, melainkan dia sendiri. Setelah menutup telepon, Naykilla menatap layar ponselnya beberapa detik. Wajahnya datar, tapi dalam hatinya—semuanya sedang berputar cepat. Ia menengadah sebentar, lalu menutup mata dan bergumam, “Semesta lagi bercanda, kan?” Ia kembali ke meja tempat yang lainnya duduk. Langkahnya pelan, seperti seseorang yang baru saja mengetahui kalau hidupnya akan berubah dalam waktu dekat. Saat sampai, semua mata otomatis mengarah padanya. Audrey dan Silla langsung bersikap seperti detektif yang baru dapat info penting. “Telepon dari siapa?” tanya Audrey, matanya menyipit penuh curiga. “Bunda,” jawab Naykilla singkat sambil mengambil tasnya. “Gue pulang duluan, dia ngajak gue belanja.” “Belanja?” Silla mengerutkan dahi. “Lo? Sama nyokap lo? Lo tuh kalo ke mall paling cuma ikut lima menit terus ngilang ke toko buku.” “Gue sih pengennya begitu, Drey..,” jawab Naykilla sambil tersenyum kecil, tapi tawanya hambar. “Tapi ya, namanya juga perintah orang tua.” “Lo baik-baik aja, Nay?” tanya Audrey akhirnya, lebih lembut. “Tadi lo kayak... kaget banget waktu denger kabar dari Bunda lo.” Naykilla mengangguk, meski hatinya justru menggeleng keras. “Iya, gue cuma kaget karena... ya, tau sendiri, kan? Bunda gue kadang random.” Silla memperhatikan wajah Naykilla dengan seksama, seperti mencoba membaca isi hati sahabatnya. Tapi Naykilla buru-buru meraih minumannya, menyeruput cepat, lalu bangkit berdiri. “Gue duluan, ya. Jangan lupa tugas kelompok yang minggu depan itu. Jangan nunggu waktu mepet baru di kerjain.” Audrey dan Silla mengangguk, meski terlihat enggan membiarkan Nay pergi begitu saja. Dirga hanya menatap Naykilla yang kini sedang menata ulang tali tasnya, seperti tidak ingin mengganggunya.Naykilla terbangun dan merasakan sesuatu yang berat melingkari perutnya dan sudah pasti itu pelukan dari Dirga. Setelah hubungan mereka perlahan semakin dekat, Dirga tidak pernah sekalipun melepaskan pelukannya ketika mereka tidur. Awalnya pelukan itu terasa menyesakkan tapi sekarang terasa hangat.Naykilla pun berbalik, mengecek suhu tubuh Dirga. Lalu dia bernapas lega. Bisa di katakan Dirga sudah sembuh dari demamnya. “Kak Dirga... bangun.” Ucapnya pelanDirga menggeliat dalam keadaan setengah tidur tapi pelukannya semakin erat.Dirga sendiri tidak menyangka bahwa dia bisa tidur senyenyak ini setelah bersama Naykilla. Entah kenapa tubuh Naykilla selalu berhasil mengantarkan kenyamanan pada dirinya. Di bandingkan alkohol, Naykilla lebih berefek langsung kepada dirinya. Bahkan Dirga pun sudah lupa kapan terakhir kali dia minum alkohol. Atau lebih tepatnya saat Naykilla sudah memenuhi isi otaknya perlahan-lahan membuat Dirga menjauhi hal seperti itu.“Yang, ini masih pagi banget.
Naykilla menghembuskan napas beratnya sambil mempersiapkan diri.Sesuai dugaannya bahwa hari ini dia menjadi pusat perhatian hampir semua orang setelah kejadian Dirga pingsan kemarin. Semua orang menatap tajam ke arahnya dan Naykilla bisa maklumi itu. Siapa sih yang tidak kaget dan kecewa jika idola mereka ternyata sudah menikah. Apalagi yang di nikahi itu adalah gadis yang amat biasa seperti dirinya ini. Tapi Naykilla tidak tahan saat kedua sahabat baiknya mendiamkannya karena kejadian itu.Perlahan Naykilla membuka pintu mobil. Saat ini dia menggunakan mobil Dirga karena paksaan dari laki-laki tersebut.Sebelum memasuki kafe di depannya, lagi dan lagi Naykilla menghembuskan berat. Kali ini untuk menghilangkan rasa gugup. Dari luar dia bisa melihat tatapan tajam Silla dan Audrey yang sudah menunggunya di dalam.Naykilla segera menghampiri mereka dan duduk di bangku yang tersisa.Untuk beberapa saat semuanya diam dan hening. Otak Naykilla sedang merangkai kata untuk menjelaskan
Dirga terbangun, badannya merasa gerah dan kepalanya terasa pusing. Di lihatnya sekeliling ruangan kamar yang tampak redup. Dengan enggan dia berusaha menegakkan tubuhnya meski terasa pelan dan sebuah handuk kecil terjatuh.Dirga meraba dahinya yang tampak basah. Sepertinya baru saja ada seseorang yang mengkompres dahinya. Dirga mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba membiasakan diri dengan pencahayaan kamar yang temaram. Hawa hangat menyelimuti tubuhnya—hangat yang berasal dari demam dan juga dari selimut tebal yang menutupi tubuhnya.Ia mendongak pelan, melihat handuk kecil yang jatuh ke lantai. Nafasnya masih berat, tapi pikirannya mulai lebih jernih. Dalam hati ia bertanya-tanya siapa yang merawatnya. Lalu, samar-samar Dirga mendengar suara Naykilla dari arah dapur. Dia pun segera beranjak dari dapur dan perlahan menuju sumber suara.“Makasi, ya, Mami. Aku beneran bingung banget tadi. Tapi setelah dokter itu periksa kondisi Kak Dirga baru aku ngerasa sedikit lega.” Tampak N
Dirga menyandarkan bahu lebarnya di kursi kayu kelas, kemudian menghela napas berat. Matanya menatap kosong ke luar jendela di mana cuaca tampak begitu mendung. Dia merasa beruntung hari ini mengenakan jaket tebal, jika tidak mungkin tubuhnya akan semakin meriang. Atau mungkin seharusnya dia tidak masuk kelas hari ini. Di lihat secara fisik Dirga memang kuat. Dia tinggi serta punya tubuh yang atletik. Siapa pun pasti akan menghindari masalah dengan laki-laki tersebut karena takut akan kalah kalau-kalau Dirga mengajak untuk bertarung. Tapi sayangnya, sekuat-kuatnya Dirga akan tumbang juga karena demam. Dirga melirik jam tangannya. Dia hanya perlu bertahan dua jam saja setelah itu bisa langsung pulang dan beristirahat. “Lo keliatannya murung banget, Ga.” Rafi mendekatkan tubuhnya lalu berbisik, “Enggak dapet jatah dari bini, ye?” Dirga berdecak kesal dan mendorong Rapi agar menjauh darinya. Boro-boro mendapatkan jatah, tidur pun mereka pisah. Naykilla di kamar sementara Dirga
Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Dirga menatap tajam jam dinding yang sedang menunjukkan pukul delapan tepat. Sudah semalam ini Naykilla juga belum pulang. Bahkan gadis itu susah untuk dia hubungi sejak siang tadi. Ponselnya aktif, tapi tak sekalipun membalas pesan atau menjawab telepon. Dan itu cukup membuat Dirga gelisah.Ia berdiri dari sofa apartemennya dan berjalan mondar-mandir seperti harimau dalam kandang. Pikirannya bercabang ke berbagai kemungkinan. Marah? Khawatir? Bingung? Semua rasa itu menumpuk jadi satu dan membuatnya ingin segera mencari Naykilla ke mana pun gadis itu pergi.Sambil menghela napas panjang, Dirga akhirnya mengambil kunci mobil dan jaket hitamnya. “Kalau sampai dia kenapa-kenapa, gue enggak bakal maafin diri sendiri,” gumamnya, lalu bergegas keluar.Saat dirinya hendak membuka pintu, pintu tersebut sudah
Naykilla berlari di sepanjang koridor menuju kelasnya. Hari ini dia memutuskan untuk masuk kuliah setelah beberapa hari absen. Dan pagi ini dia sudah di pastikan telat di kelas pertamanya. Pelakunya sudah pasti Dirga.Mereka berdebat panjang tentang dengan siapa Naykilla berangkat ke kampus. Naykilla sudah mengatakan bahwa dia akan pergi sendiri sementara Dirga tetap kekeh bahwa mereka harus pergi bersama. Dan perdebatan itu di menangkan oleh Dirga. Tapi dengan syarat Dirga harus memarkirkan mobilnya di parkiran belakang gedung fakultas, di sana tidak banyak orang yang mau memarkirkan kendaraan mereka karena letaknya agak jauh dari pintu keluar.Langkah kaki Naykilla terdengar tergesa di sepanjang lorong kampus yang mulai lengang. Napasnya terengah, keringat membasahi pelipis meski pagi belum terlalu panas. Ia menatap jam di ponselnya dan mendecak kesal. Sudah lewat sepuluh menit dari jadwal kelas dimulai.“Gara-gara Kak Dirga, gue jadi kayak anak kecil diantar orang tuanya,” gerut