"Dia cocok sih rambut pendek begini. Keliatan rapi banget. Tapi.. rambut panjangnya itu loh.." Audrey meletakkan ponselnya di atas meja. Terpampang jelas di sana foto seorang Dirga yang dia ambil diam-diam saat di dalam kelas. "Bikin dia keliatan sexy, macho.. dan, dan.. aduh, bingung gue mau ngedefinisiin dia kayak apa."
Silla tergelak. Melihat ponsel Audrey dan memperbesar layar foto itu di beberapa tempat. "Selain potong rambut, dia kayaknya cukur kumis halusnya itu. Pantes jadi lebih fresh banget ya Drey idola kita." Audrey mengangguk setuju. "Gue penasaran deh, Kak Dirga kalau tidur terus mulutnya nganga bakal kelihatan ganteng atau jelek, ya." Naykilla menggelengkan kepalanya. Pembicaraan tentang Dirga terus berputar di sekitarnya. Di rumah, ada sang bunda yang dengan heboh menceritakan tentang Dirga. Sementara itu di kampus ada kedua sahabatnya yang tergila-gila dengan Dirga dan terus membicarakan laki-laki tersebut. "Kalau itu sih cuma istrinya Kak Dirga yang tau." Sahut Silla sambil menyeruput minumannya hingga hampir habis Dengan pandangan jahil, Audrey menatap Naykilla dan menyenggol bahunya. Fokus Naykilla pada ponselnya jadi terbagi. "Nay, menurut lo di antara kita berdua siapa yang cocok sama Kak Dirga." Naykilla menatap Silla dan Audrey secara bergantian. Otaknya berkerja keras seperti sedang mencari jawaban pada soal yang sudah jelas salah. "Menurut gue mending kalian berhenti ngehaluin cowok kayak si Dirga-Dirga itu. Enggak ada gunanya." Audrey cemberut kesal. Silla hanya tertawa ringan. "Ini berguna tau, Nay. Seenggaknya stress kita tuh berkurang karena ada cowok seganteng dan sekeren Kak Dirga di dunia ini." Naykilla mendesah pelan. Dia tahu kalau membantah mereka hanya akan membuat pembicaraan semakin panjang. Bukannya menghentikan obrolan, justru bisa jadi dia akan semakin dikeroyok dengan berbagai teori absurd tentang kenapa Dirga itu the perfect guy di mata mereka. "Ya udah, terserah kalian aja deh," ujar Naykilla akhirnya sambil kembali fokus pada ponselnya. Tapi tetap saja, ia bisa merasakan tatapan jahil dari Audrey dan Silla. "Eh, tapi Nay, lo sendiri gimana?" tanya Audrey tiba-tiba, membuat Naykilla mau tak mau mendongak. "Gimana apanya?" "Lo setuju kan kalau penampilan Dirga yang sekarang bikin dia tambah ganteng. Kemaren lo bilang dia berantakan, sekarang udah rapi. Pasti lo sebentar lagi bakal ikutan nge-fans sama dia." Ucap Audrey penuh percaya diri Naykilla menghela napas panjang, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Enggak juga. Rapi doang enggak cukup buat bikin gue nge-fans. Tampang keren kalau kelakuan ngeselin ya tetep aja minus.” Silla dan Audrey saling pandang, kemudian tertawa pelan. “Duh Nay, Nay. Lo tuh denial parah,” celetuk Silla sambil menyipitkan mata, seperti sedang menganalisis sesuatu yang sangat serius. “Kata orang jangan terlalu membenci, nanti jadi cinta, lho. Mau lo kalau ternyata di masa depan jodoh lo adalah Dirga?" Audrey melotot tajam ke arah Silla. “Kalau teorinya kayak gitu mulai hari ini gue bakal jadi haters Dirga nomor satu!!" Silla langsung tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi Audrey yang mendadak dramatis. Naykilla hanya menggeleng pelan, tapi tak bisa menahan senyum tipis yang muncul di wajahnya. “Lo emang gila, Drey,” kata Naykilla sambil menutup ponselnya. “Kalau semua orang pakai teori itu, dunia isinya pasangan yang awalnya saling benci semua.” Audrey menaikkan alis, tangannya berkacak pinggang. “Dan siapa tahu… itu bukan teori, Nay. Tapi takdir.” Silla menepuk meja. “Nah! Itu dia, gue setuju banget. Naykilla sama Kak Dirga tuh kayak karakter di drama—yang satu sinis, yang satu kalem dan cuek tapi punya pesona diam-diam mematikan.” “Please, jangan cocoklogi hidup gue kayak sinetron,” balas Naykilla cepat. "Kenapa enggak kalian gunain diri kalian sendiri ke dalam imajinasi liar itu." Audrey mendengus. “Ya jelas enggak seru lah, Nay. Kita butuh konflik. Kalau kita yang suka, ya udah selesai. Tapi kalau lo yang suka, itu baru menarik.” Silla mengangguk setuju. “Lagian lo juga aneh, sih. Kok bisa-bisanya enggak suka sama cowok kayak Kak Dirga tapi malah klepek-klepek sama cowok kayak Deny. Meskipun nama mereka sama-sama berawal D tapi perbedaannya jomplang banget, Nay." "Betul, Nay. Mereka ibaratkan bumi dan langit. Ada yang ganteng kenapa milih yang mukanya enggak karuan kayak Deny, sih." Tambah Audrey Silla dan Audrey saling pandang lagi, kali ini dengan ekspresi lebih dramatis seolah Naykilla baru saja melakukan dosa besar. “Gue masih enggak ngerti logika lo, Nay," ujar Silla sambil memijat pelipisnya, berpura-pura pusing. "Deny itu... gimana, ya? Cowok yang kayaknya enggak pernah ngerti konsep sisir dan enggak tahu kalau baju itu harusnya disetrika dulu sebelum dipakai." Audrey mengangguk cepat. "Iya, walaupun dia aktif di beberapa organisasi, tapi tetap aja kan kalau penampilan itu nomor satu yang di lihat duluan." Naykilla mendengus. "Ya ampun, kalian ini. Kenapa kalian sibuk banget ngurusin tipe cowok yang gue suka, sih?" "Karena kami peduli!" sahut Audrey dramatis. "Kami sebagai sahabat hanya ingin lo punya selera yang lebih baik, Nay." “Bener banget,” timpal Silla. “Minimal kalau lo enggak suka Kak Dirga, ya jangan Deny juga, dong. Masih banyak cowok lain di dunia ini.” Naykilla hanya menggeleng dan menyeruput minumannya dengan santai. "Selera itu soal kenyamanan, bukan cuma soal tampang doang, apalagi penampilan." Audrey mengerucutkan bibirnya. "Iya, tapi kalau bisa nyaman sama yang ganteng kan lebih bagus." Silla kembali tertawa, sementara Naykilla menghela napas panjang. Ia tahu perdebatan ini tidak akan selesai dalam waktu dekat. Mereka tidak tahu saja jika sebenarnya Naykilla sedang di jodohkan oleh Dirga, laki-laki yang terus mereka puja puji hingga mulut mau berbuih sekalipun. "Emangnya kalau di masa depan jodoh gue beneran si Dirga itu, kalian siap?" Tantang Naykilla pada kedua sahabatnya Audrey dan Silla langsung terdiam. Sejenak, hanya terdengar suara musik instrumental dari speaker kafe yang samar. Mereka saling menatap, seperti sedang mencoba memastikan apakah mereka baru saja mendengar apa yang sebenarnya keluar dari mulut Naykilla. Audrey yang pertama bicara, suaranya setengah tertawa, setengah kaget. “Lo ngomong apa barusan, Nay? Lo serius?” Silla memicingkan mata, mencurigai. “Ini prank ya? Atau lo abis baca ramalan jodoh di aplikasi yang bilang nama jodoh lo inisial D?” Naykilla mengangkat bahu santai. “Gue cuma nanya. Siapa tahu semesta lagi kerja keras buat bikin teori kalian bener.” Audrey memasang wajah seriusnya dan menatap Naykilla. "Kalau gue sih, kayaknya gue bakalan ngamuk mampus. Enggak terima gue kalau beneran Dirga jodohnya sama lo yang bahkan enggak nge-fans sama dia." Silla mengangguk dengan ekspresi sok sedih. “Iya, Nay. Itu enggak adil banget. Masa yang tiap hari mikirin dia, stalking akun dia pakek akun second, sampai hafal jadwal masuk kampus dan nongkrong dia, malah cuma jadi penonton?” Naykilla tertawa pelan. “Makanya gue nanya dulu. Siap atau enggak?” Audrey mendesah berat, dramatis seperti baru saja kehilangan peran utama dalam film favoritnya. “Siap enggak siap sih... ya gue bakal tetap protes! Tapi kalau itu udah keputusan semesta, ya gue... pasrah. Tapi pasrah yang sambil nangis.” Silla ikut menimpali. “Gue sih bakal minta kompensasi moral. Minimal Kak Dirga harus ngenalin gue ke sahabat cowoknya yang setara cakepnya. Fair kan?” Naykilla tertawa melihat kelakuan kedua sahabatnya itu. "Kalian ini, ya! Enggak bisa di ajak ngehalu dikit otaknya udah kemana-mana. Coba aja di ajak ngerjain tugas mendadak enggak berfungsi itu otak." Audrey langsung membalas cepat, “Nah itu dia! Otak kita tuh kerjanya sistem selektif, Nay. Untuk hal penting kayak cowok ganteng, dia langsung aktif. Tapi kalau tugas kuliah? Ya itu urusan nanti.” “Prioritas hidup kita memang sudah sangat jelas,” tambah Silla sambil tertawa. “Cinta dulu, skripsi belakangan.” Mereka bertiga tertawa bersama. Suasana jadi hangat, penuh canda tawa khas sahabat yang sudah lama kenal. Tapi di balik tawanya, Naykilla menyembunyikan sesuatu—sebuah kenyataan yang belum siap untuk dia hadapi. Kemudian.. Di Tengah perbincangan ketiga sahabat itu, mereka kedatangan sang idola yang terus di bicarakan oleh Silla dan Audrey. Dirga dan kedua sahabatnya. Naykilla mendesah napas beratnya. Kenapa di saat dia ingin meringankan sedikit beban pikiran di tempat yang menurutnya tepat malah kedatangan sang beban itu sendiri, yaitu Dirga. “Hai ladies..” Sapa Timo dengan begitu ramah Tentu saja sapaan kecil itu di sambut dengan begitu hangat oleh kedua sahabat Naykilla. Mereka secara reflek merapikan rambut serta baju yang di rasa sedikit berantakan, berharap dapat menaikkan minat Dirga kepada mereka. “Kebetulan kalian ada di sini, kita boleh gabung nggak sama kalian?” Rafi menatap ketiganya dengan penuh harap, lalu menoleh ke sekelilingnya. “Semua mejanya penuh karena ini jam makan siang.” Audrey dan Silla saling tatap sebelum akhirnya mengangguk dengan antusias. Mereka menyetujui permintaan Rafi untuk bergabung tanpa menanyakan bagaimana pendapat Naykilla yang duduk di paling pinggir. Naykilla hanya bisa pasrah. Tidak ada alasan juga untuk menolak karena secara sangat kebetulan kursi Panjang di depan mereka itu kosong yang hanya di tempati oleh tas-tas mereka. Dengan hati-hati Rafi dan Timo menyerahkan tas kepada Silla dan Audrey karena keduanya duduk di depan dua gadis tersebut. Sementara itu, Dirga mengambil tempat duduk tepat di hadapan Naykilla dan tas milik Naykilla tidak dia berikan melainkan ia pangku. Naykilla ingin protes tapi tidak ingin menarik perhatian yang lainnya. “Kalian suka nongkrong di sini juga?” tanya Rafi memulai obrolan Audrey yang dari tadi sibuk mengatur posisi duduknya agar terlihat lebih anggun, langsung menanggapi, “Iya dong! Tempatnya cozy, makanannya juga enak. Eh, Kak Dirga juga sering ke sini?” Rafi tersenyum kecut dan membuat Timo menahan tawanya. Dia yang bertanya malah Dirga yang mendapat balasan. Dirga hanya mengangkat alisnya sedikit, sambil menyandarkan punggungnya ke kursi dan melirik sekilas ke arah Naykilla yang terlihat berusaha fokus ke gelas minumnya, seolah-olah isi minuman itu jauh lebih menarik daripada percakapan di sekitarnya. “Enggak juga,” jawab Dirga singkat. “Kebetulan lagi bosen jadi ngikutin saran Timo sama Rafi.” Timo langsung menyambar, “Iya, soalnya gue bilang tempat ini bisa bantu ningkatin mood. Apalagi kalo suasananya... menyenangkan.” Tatapan Timo berpindah cepat ke arah Silla, lalu ke Audrey, membuat keduanya senyum-senyum sendiri sambil saling sikut pelan. Rafi tertawa kecil. “Tapi bener sih, vibes tempat ini enak banget. Dan ternyata kalian juga sering ke sini, ya. Kapan-kapan kita bisa bareng lagi.” Audrey langsung menanggapi dengan cepat, “Boleh banget! Kalian tinggal bilang aja, ya. Kita fleksibel kok.” Silla ikut menimpali, “Iya, apalagi kalau ada yang traktir. Wah, makin semangat kita ke sini tiap hari.” “Deal, asal yang traktir bukan gue,” ucap Timo cepat, membuat semua tertawa—kecuali Naykilla dan Dirga. Naykilla masih menunduk, menyeruput minumannya dengan tenang. Tapi detik berikutnya, ia nyaris tersedak ketika merasakan sesuatu menyentuh ujung sepatunya dari arah seberang meja. Ia menatap cepat—dan melihat Dirga bersandar santai, kakinya sedikit maju, seperti tak sengaja menyentuh sepatunya. Naykilla menyipitkan mata. Dirga tidak melihat ke arahnya. Tapi dia tahu. Pasti sengaja. Tanpa banyak drama, Naykilla langsung menarik kakinya dan menyikut meja sedikit lebih keras dari biasanya. Audrey melirik, tapi hanya mengira itu karena Naykilla bosan. “Tadi Kak Dirga pesan apa? Minuman atau makanan?” Gantian, kini Silla yang melemparkan pertanyaan kepada Dirga Dirge sebenarnya malas menjawab pertanyaan yang tidak penting seperti itu tapi karena di hadapannya sekarang ada Naykilla maka dia ingin memberikan jawaban untuk menarik perhatiannya. Maksud Dirga.. Ayolah!! Dia sudah memotong rambutnya dan berpenampilan sedikit lebih rapi dari biasanya karena menuruti saran dari ibu dan teman-temannya. Tidakkah semua itu terlihat di mata Naykilla? Wajar Dirga merasa kesal, kan? “Pesen kopi, kayak biasa. Tapi ngeliat Naykilla sama minumannya gue jadi selera.” Dirga tersenyum puas melihat Naykilla langsung beraksi. “Gue boleh cicip?” tanyanya iseng Naykilla mendongak, menatap Dirga dengan pandangan setengah tak percaya. Untuk sejenak, seluruh kafe terasa sunyi di telinganya. Bahkan suara Audrey dan Silla yang tadi heboh pun mendadak menghilang dari kesadarannya. Ia mencoba membaca ekspresi Dirga—apakah dia bercanda, atau memang serius sedang mengusik hari damainya? “Enggak,” jawab Naykilla datar, namun wajahnya sudah sedikit memerah. “Beli sendiri aja, kan kopi di sini banyak pilihannya.” Dirga tertawa kecil, tidak terlihat tersinggung sedikit pun. “Galak amat. Padahal gue cuma penasaran sama selera kopi lo kayak gimana. Siapa tau kali ini pilihan lo bagus, kan.” Audrey hampir menyembur minumannya. Silla langsung menoleh cepat ke arah Naykilla dan Dirga, wajahnya memancarkan ekspresi ‘wait, what?!’ “Wah wah wah… Pelan dikit, Ga. Kasih dia napas.” celetuk Timo, menggoda, sambil mengedipkan mata ke arah Rafi. Rafi menahan tawa sambil ikut memperhatikan reaksi Naykilla yang masih berusaha tetap tenang walau dari cara dia memeluk gelas minumannya seperti sedang melindungi benda pusaka. Berbeda dengan Timo dan Rafi, Audrey dan Silla sama sekali tidak memahami kondisi sekarang. Dan kini, otak mereka penuh dengan banyak tanda tanya yang mengarah kepada Naykilla. Ini aneh dan sangat jarang sekali terjadi. Dirga flirting kepada Naykilla. Suatu hal yang sepertinya tidak di lakukan oleh orang seperti Dirga. Tapi begini lah yang terjadi di depan mata mereka. Silla melirik ke arah Audrey, lalu menatap Naykilla seolah berkata tanpa suara, “Lo nyembunyiin apa, Nay?” Sementara itu, Audrey, yang biasanya paling heboh, kali ini hanya terdiam dengan bibir sedikit terbuka, seolah baru sadar bahwa realita tidak selalu berpihak pada para fangirl. Naykilla sendiri sudah menunduk lagi, tapi bukan karena malu—lebih karena bingung bagaimana menghindari tatapan Dirga yang kini jadi terasa terlalu… dalam. Beruntungnya situasi canggung itu tidak berlangsung lama saat tiba-tiba telpon Naykilla dari dalam tasnya berdering, membuat Dirga mau tak mau harus menyerahkan ta situ kepada Naykilla. Naykilla menerima tasnya dengan cepat, mengucap pelan, “Makasih,” tanpa menatap Dirga. Ia buru-buru mengaduk-aduk isi tas dan menarik keluar ponselnya, bersyukur ada alasan sah untuk mengalihkan perhatian dari sorotan semua orang—terutama dari Dirga yang entah kenapa hari ini berubah jadi full on main character di hidupnya. “Nay, angkat dulu aja. Kali aja penting,” ujar Silla, suaranya sedikit bergetar karena masih setengah syok dengan apa yang baru saja terjadi. Naykilla hanya mengangguk kecil sebelum berdiri dari kursinya dan melangkah menjauh dari meja. Jantungnya masih berdebar kencang, bukan karena panggilan telepon—tapi karena Dirga. Lagi-lagi, cowok itu mengacaukan ritmenya, dan Naykilla benci betapa hal kecil seperti itu bisa mempengaruhinya sedemikian rupa. -- Sementara itu di pojok ruangan kafe, Naykilla menjawab telepon dengan suara rendah. Itu dari ibunya. ‘Nay, kamu bisa pulang sekarang nggak, ya? Bunda baru inget mau ke butik buat beli sesuatu, sekalian beli juga buat kamu. Kamu temenin Bunda, ya.’ Naykilla mengangkat teleponnya sebentar dengan dahi yang berkerut. “Tiba-tiba banget mau ke butik buat belanja. Enggak biasanya Bunda kayak gini.” Di Seberang sana Lina tertawa canggung. Gerak gerik kecilnya begitu mudah untuk di tangkap oleh Naykilla. ‘Kan lusa keluarga Dirga mau bertamu ke rumah. Jadi, Bunda kepengen kita sekeluarga pakai pakaian yang agak bagusan dikit gitu, lho. Biar enggak jomplang banget, Nay.’ Mendengar nama Dirga di sebut membuat perasaan Naykilla mendadak tidak enak. “Pakaian kita kan banyak Bun yang masih bagus. Lagian, ngapain sih mereka ke rumah kita? Jangan bilang mau bahas soal perjodohan lagi.” Naykilla sedikit merendahkan nada bicaranya di akhir kalimat Lina di seberang sana hanya tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar penuh makna. “‘Lagi’? Emang kamu pikir perjodohan itu bisa selesai dalam sekali ngobrol, Nay? Ini kan langkah berikutnya. Bunda juga baru dikasih kabarnya tadi pagi, makanya buru-buru.” Naykilla menghela napas panjang. Hatinya mencelos. Dadanya terasa sesak, dan untuk sesaat ia hanya menatap kosong ke arah barista yang sedang meracik minuman di balik meja. “Kenapa sih harus buru-buru banget? Kan aku udah bilang kalau enggak mau.” ‘Tapi Dirga-nya kan setuju banget sama perjodohan ini, Nay,’ suara ibunya pelan tapi mantap. ‘Dan dia juga bilang mau lebih serius ngenal kamu. Katanya sih, dia udah mulai… suka.’ Detik itu juga, dunia Naykilla seperti berhenti sejenak. Ia menatap layar ponselnya, memastikan dia tidak salah dengar. Kata-kata ibunya berulang di kepalanya—“Dirga udah mulai suka.” Suka. Dirga. Ke gue? Oke. Semesta, ini resmi jadi gila. “Bunda…” Naykilla mencoba bersuara, tapi lidahnya terasa kelu. Ia menggeleng pelan, lalu menyandarkan dirinya ke dinding kafe. “Aku aja jarang loh ngobrol sama dia, baru-baru ini aja kenalnya.” ‘Ya mungkin belum sempat. Tapi bunda yakin dia serius. Tadi pagi aja, kedua orang tua nya nelepon mama.” Naykilla menatap kosong ke seberang jalan. Suara ibunya masih terdengar dari telepon, tapi pikirannya sudah ke mana-mana. Entah apa yang sedang di rencakan oleh orang tuanya dengan keluarga Dirga, yang jelas ini sudah terlalu jauh. Dan mendadak kedua orang tuanya menjadi tuli karena mengabaikan kata tidak yang terus dia ucapkan berkali-kali. ‘Jadi gimana, Nay? Kamu bisa pulang sekarang, kan?’ suara ibunya terdengar lagi, penuh harap. Naykilla menarik napas panjang sebelum menjawab pelan, “Iya, Bun. Aku pulang sekarang.” ‘Sip. Nanti kita langsung berangkat ya. Bunda udah catat nama butik yang bagus itu—yang katanya pernah dipakai buat styling artis sinetron.’ Ibunya terdengar semakin semangat, seolah yang mau dijodohkan itu bukan anaknya, melainkan dia sendiri. Setelah menutup telepon, Naykilla menatap layar ponselnya beberapa detik. Wajahnya datar, tapi dalam hatinya—semuanya sedang berputar cepat. Ia menengadah sebentar, lalu menutup mata dan bergumam, “Semesta lagi bercanda, kan?” Ia kembali ke meja tempat yang lainnya duduk. Langkahnya pelan, seperti seseorang yang baru saja mengetahui kalau hidupnya akan berubah dalam waktu dekat. Saat sampai, semua mata otomatis mengarah padanya. Audrey dan Silla langsung bersikap seperti detektif yang baru dapat info penting. “Telepon dari siapa?” tanya Audrey, matanya menyipit penuh curiga. “Bunda,” jawab Naykilla singkat sambil mengambil tasnya. “Gue pulang duluan, dia ngajak gue belanja.” “Belanja?” Silla mengerutkan dahi. “Lo? Sama nyokap lo? Lo tuh kalo ke mall paling cuma ikut lima menit terus ngilang ke toko buku.” “Gue sih pengennya begitu, Drey..,” jawab Naykilla sambil tersenyum kecil, tapi tawanya hambar. “Tapi ya, namanya juga perintah orang tua.” “Lo baik-baik aja, Nay?” tanya Audrey akhirnya, lebih lembut. “Tadi lo kayak... kaget banget waktu denger kabar dari Bunda lo.” Naykilla mengangguk, meski hatinya justru menggeleng keras. “Iya, gue cuma kaget karena... ya, tau sendiri, kan? Bunda gue kadang random.” Silla memperhatikan wajah Naykilla dengan seksama, seperti mencoba membaca isi hati sahabatnya. Tapi Naykilla buru-buru meraih minumannya, menyeruput cepat, lalu bangkit berdiri. “Gue duluan, ya. Jangan lupa tugas kelompok yang minggu depan itu. Jangan nunggu waktu mepet baru di kerjain.” Audrey dan Silla mengangguk, meski terlihat enggan membiarkan Nay pergi begitu saja. Dirga hanya menatap Naykilla yang kini sedang menata ulang tali tasnya, seperti tidak ingin mengganggunya.“Lo ngapain di sini?!” tanya Dirga sekali lagi karena tidak kunjung mendapatkan jawaban dari NadiaNadia pun terkesiap. Dia segera mengendalikan ekspresi terkejutnya karena melihat sosok asing yang bersembunyi di balik tubuh Dirga yang besar itu. Ini kedua kalinya dia melihat Naykilla dan kali ini lebih jelas. Dengan cepat bola matanya menatap dari atas hingga ke bawah. Dia seperti sedang memindai penampilan Naykilla lalu menyunggingkan senyum.“Aku ikut Ibu ke sini. Kemarin setelah dengar kabar kalau Oma meninggal aku langsung datang ke kota dari kampung. Aku khawatir sama kamu Dirga. Dan sekarang, seperti yang kamu lihat..” Nadia mengibaskan rambut panjang bergelombangnya. “Aku di sini buat mastiin kalau kamu baik-baik aja setelah beberapa hari yang lalu aku sulit banget cari celah buat nemuin dan ngobrol sama kamu.”Naykilla mendongakkan kepalanya untuk melihat bagaimana ekspresi Dirga. Dan jelas, Dirga tampak tidak senang.“Gue engggak suka apartemen gue di datangin orang asing. D
Naykilla mengigit ujung jarinya, dia merasa gugup. Sementara Lina sibuk memasukkan beberapa pasang baju ke dalam koper berukuran besar. “Bunda...” Naykilla memanggil setengah merengek Lina menoleh kebelakang dan mengangkat alisnya melihat sang anak meringkuk di sudut ranjang. “Kamu kenapa lagi sih, Nay?” Naykilla menghela napas pelan. Dia semakin mengeratkan pelukannya pada boneka kesayangannya. “Tolong bilangin dong sama Dirga. Nay belum siap tinggal serumah sama dia.” Bulu kuduk Naykilla merinding membayangkan akan tinggal satu atap dengan seorang Dirga untuk selama-lamanya. Dua hari yang lalu sudah dia habiskan dengan Dirga dan tidur di rumah mewah oma-nya, dan itu luar biasa berat bagi Naykilla. Menjadi seorang istri dadakan membuatnya tidak tahu harus berbuat apa dan harus melakukan apa. Dan begitu juga dengan Dirga. Interaksi mereka berdua begitu canggung. “Nay! Gimana ceritanya suami istri enggak serumah? Kamu jangan aneh-aneh, deh.” Lina melanjutkan kembali kegiata
Hari itu berjalan dengan begitu cepat dengan banyaknya hal yang terjadi. Dirga sendiri masih merasa di awang-awang antara mimpi dan tidak. Dia bahkan tak tahu harus merasakan apa hari ini. Pernikahannya beriringan dengan hari kematian nenek tercintanya.Tak terhitung sudah berapa kali Dirga menerima ucapan bela sungkawa dari kerabat dekat maupun tamu undangan yang datang. Setiap kali ada yang menyampaikan dukacita, Dirga hanya bisa mengangguk lemas, senyum tipis terpaksa menghias bibirnya."Dirga.." Janne mendekat. Menatap kasihan putra semata wayangnya harus menghadapi hari yang begitu berat ini.Jas hitam yang tadinya rapi sekarang sudah tak berbentuk lagi. Dasinya sudah berantakan bahkan jas-nya pun sudah tak dia kenakan lagi."Udah tengah malam. Istirahat sana." Ucap JanneDirga menggeleng pelan. "Nanti, Mi. Masih ada beberapa tamu yang datang."Janne tersenyum lembut. "Tapi Naykilla nungguin kamu, Dirga."Tubuh lelah Dirga tersentak. Dia seperti melupakan status barunya yang suda
begitu memasuki ruangan terlihat tubuh tua terbaring lemah dengan berbagai alat medis terpasang di tubuhnya. Matanya setengah terbuka, napasnya berat dan terputus-putus. Tapi ketika Dirga mendekat, ada sedikit cahaya di matanya. “Oma…” bisik Dirga sambil berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan keriput itu. Wajah sang Oma bergerak sedikit, bibirnya terbuka samar. “Dir… ga…” suara itu begitu pelan, tapi cukup untuk membuat mata Dirga berkaca-kaca. “Cu.. Cucu Oma akhirnya datang.” “Iya, Oma. Ini Dirga… Dirga udah di sini,” jawabnya serak. Tangannya menggenggam tangan sang nenek lebih erat, seolah ingin menyalurkan sisa tenaga yang dia punya. Di belakangnya, Naykilla berdiri diam. Terlalu takut untuk mengganggu, tapi terlalu tersentuh untuk berpaling. “Maaf ya, Oma telat…” Dirga menunduk, air matanya menetes satu per satu. “Dirga minta maaf…” Sang nenek hanya menggeleng perlahan, lalu dengan susah payah mengangkat tangan satunya untuk menyentuh wajah cucunya. “Kuliah.. Dirga b
“Menurut lo ada yang beda nggak dari seorang Dirga akhir-akhir ini?” Audrey menoleh, dia memicingkan matanya ke arah Silla sebelum akhirnya menghadap ke depan tepatnya di bangku bagian pojok sana, dimana ada Dirga dan beberapa temannya sedang duduk ngopi dan merokok. “Lo ngerasa juga, ya?” Adurey bertanya balik “Hum.” Silla mengangguk, “Beberapa hari terakhir dia jadi rajin ke kampus bahkan seminggu ini hampir full. Padahal jadwal dia ke kampus cuma tiga hari doang, kan?” “Bener banget, Sill. Enggak cuma itu aja, dia akhir-akhir sikapnya kayak berubah gitu. Enggak kayak biasanya yang mukanya suka jutek.” Dalam diam Naykilla menguping pembicaraan kedua sahabatnya. Dia takjub dengan kemampuan mereka yang memperhatikan Dirga begitu detail. Dia sendiri tidak pernah terpikirkan sampai ke sana. Hal ini membuat Naykilla jadi khawatir. Khawatir kalau semua fans Dirga seperti kedua sahabatnya itu. “Jangan-jangan rumor yang beredar kalau Dirga lagi pacaran sama salah satu cewek di k
Naykilla menggerutu di dalam hati. Sekarang dia baru menyesali tindakannya yang begitu mudahnya berkata iya atas ajakan Dirga semalam. Lihat lah dampaknya sekarang. Mereka jadi pusat perhatian semua orang. “Lo suka buku yang mana?” tanya Dirga sambil melihat beberapa buku yang menarik pandangannya. “Kalau ada yang lo suka ambil aja, soal bayaran biar jadi urusan gue.” Ucapnya dengan begitu ringan tanpa beban Naykilla masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia membuka salah satu buku berukuran sedikit lebar untuk menutupi seluruh wajahnya dari pandangan semua orang di sana. Meski dia sudah menggunakan topi untuk bersembunyi tapi tetap saja itu terasa kurang. Sementara Dirga tersenyum geli melihat tingkah laku Naykilla yang menurutnya lucu karena membaca buku terbalik walau tampak jelas gadis itu tidak benar-benar sedang membaca. Dengan jahil Dirga mencubit pelan pipi Naykilla. Perhatiannya langsung beralih. “Lo suka baca buku terbalik?” pertanyaan Dirga membuat Naykilla jadi salah
Naykilla mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Entah harus bagaimana lagi dia menolak tapi tidak pernah di gubris sama sekali oleh kedua orang tuanya. Memangnya apa yang di kejar? Naykilla masih muda. Masih banyak hal yang ingin dia capai, bahkan kuliah pun dia belum lulus. Bukankah terlalu terburu-buru jika menyuruhnya untuk menikah sekarang, kan? Di sisi lain, Dirga itu bukan dari keluarga sembarangan. Walaupun dulunya orang tua mereka adalah teman dekat tapi tidak perlu sampai harus seperti ini. Dia tidak mengenal baik Dirga meski di masa balita mereka berteman tapi itu kan sudah lama sekali dan mereka pun sudah tidak ingat lagi. Untuk alasan itu Naykilla berpikir jika kedua orang tua mereka bertindak terlalu jauh. “Kenapa harus Dirga, sih?” tanya Naykilla dengan wajah yang tertunduk Irwan berdehem pelan. Dia tersenyum hangat ke arah Naykilla meski tidak terlihat oleh gadis itu. “Keluarga mereka baik, Nay. Enggak banyak orang dari keluarga terpandang tapi sebaik mereka. Ay
Naykilla menatap kosong ujung sepatunya yang berwarna putih. Di koridor kampus yang tidak begitu banyak di lalui orang, dia duduk dengan tenang. Sesekali matanya melirik kearah lain untuk menghindari rasa bosan yang sepertinya akan datang. Setelah beberapa hari dari kejadian bioskop baru kali ini Deny menghubungi Naykilla dan mengajak untuk bertemu. Naykilla sedikit kecewa menyadari bahwa tampaknya Deny tidak begitu peduli dengannya yang tiba-tiba menghilang di tengah film terputar. Padahal mereka pergi bersama ke bioskop bukankah seharusnya laki-laki itu khawatir jika Naykilla tidak ada di tempatnya. Atau mungkin keberadaan Vira membuatnya melupakan sosok Naykilla. Selain kecewa, Naykilla juga kesal. Dia sadar bahwa ajakan nonton itu bukan sesuatu yang direncanakan melainkan sebuah kebetulan. Kebetulan pada saat itu Vira tidak bisa pergi karena alasan acara keluarganya. Namun sayangnya mendekati waktu Vira malah mengubah semuanya. Dia ikut serta dan Naykilla tampak seperti orang ke
"Dia cocok sih rambut pendek begini. Keliatan rapi banget. Tapi.. rambut panjangnya itu loh.." Audrey meletakkan ponselnya di atas meja. Terpampang jelas di sana foto seorang Dirga yang dia ambil diam-diam saat di dalam kelas. "Bikin dia keliatan sexy, macho.. dan, dan.. aduh, bingung gue mau ngedefinisiin dia kayak apa." Silla tergelak. Melihat ponsel Audrey dan memperbesar layar foto itu di beberapa tempat. "Selain potong rambut, dia kayaknya cukur kumis halusnya itu. Pantes jadi lebih fresh banget ya Drey idola kita." Audrey mengangguk setuju. "Gue penasaran deh, Kak Dirga kalau tidur terus mulutnya nganga bakal kelihatan ganteng atau jelek, ya." Naykilla menggelengkan kepalanya. Pembicaraan tentang Dirga terus berputar di sekitarnya. Di rumah, ada sang bunda yang dengan heboh menceritakan tentang Dirga. Sementara itu di kampus ada kedua sahabatnya yang tergila-gila dengan Dirga dan terus membicarakan laki-laki tersebut. "Kalau itu sih cuma istrinya Kak Dirga yang tau." Sahut S