Share

1. Setelah Kamu Pergi

Air mataku jatuh dengan lancangnya begitu Joy menghembuskan napas terakhirnya. Aku berada di ruangan berukuran tiga kali empat meter dengan dinding berwarna putih. Setelah dokter dan perawat meninggalkanku bersama tubuh kaku Joy, aku meluapkan semuanya. Tangis pun tak cukup untuk mengakhiri semua ini. Lalu, bagaimana dengan putri kecil itu? Apa yang akan terjadi padanya? Joy bahkan belum sempat memberikan sebuah nama untuk putri kecinya. Jangankan nama, melihatnya saja belum.

"Apa sekarang kita akan mengadakan upacara pemakaman tanpa kehadiran orang tuanya?" Samar-samar aku mendengar suara itu, sebuah suara yang aku yakini milik Cintia. Mungkin karena sering bersama, jangankan suara, bahkan derap langkah gadis itu pun aku kenal.

"Bagaimana kalau kita menghubungi orang tuanya? Amel bertetangga dengan mereka, 'bukan?" balas seorang yang lain. Bisa aku tebak itu adalah Muti.

Aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan dan menemui mereka. "Masuklah, tidak baik berbicara di luar," kataku.

Cintia dan Muti lalu mengikutiku dan masuk memandangi wajah cantik Joy yang terbujur kaku di sana. Mereka saling berpandangan seolah berkata satu sama lain. Sungguh, semua ini begitu rumit. Bagaimana bisa seorang yang meninggal tanpa sanak keluarga satu pun di sini.

"Aku mengerti, aku akan menghubungi keluarganya lagi. Aku juga sudah menelepon Ibuku di Kota G untuk mengecek keberadaan keluarganya," terangku. Aku berharap kedua wanita di depanku ini bisa memahaminya.

"Apa ada jawaban?" tanya Muti to the point.

Aku menggelengkan kepala. Sebuah jawaban non-verbal yang cukup menjelaskan semuanya. "Keluarganya memang sudah pindah dua tahun yang lalu. Saat Joy mengumumkan pernikahannya, keluarga mereka menjadi gunjingan para tetangga. Mereka akhirnya meninggalkan tempat itu. Sialnya, aku bahkan keluargaku pun tak tahu sekarang mereka tinggal di mana," imbuhku.

Jelas saja keluarganya sangat malu dengan pilihan Joy. Joy hamil diluar pernikahan. Sebuah musibah atas nama cinta membuatnya menderita. Tentu saja bukan cinta yang salah namun pelakunya.

"Jadi, kita harus bagaimana sekarang? Apa kamu mau mengambil tanggung jawab untuk proses pemakamannya?" Muti bertanya lagi.

"Aku memang tidak berhasil menemukan keberadaan orang tuanya, namun aku bisa menghubungi Paman dan Bibinya." Penjelasanku ini cukup membuat keduanya tenang.

"Syukurlah," Muti membalas dengan lega.

"Apa maksudmu Paman dan Bibinya yang tinggal di kota A?" Kali ini Cintia bertanya.

"Iya, aku menemukan nomor mereka dalam ponsel milik Joy. Aku langsung segera menghubungi mereka. Kabar baiknya, mereka akan segera menuju ke sini." Aku memperlihatkan ponsel Joy di tanganku.

Mata muti menatapku heran. Ia langsung berkata, "Bagaimana bisa kamu membuka ponselnya? Apa ia tidak memberi kode sandi? Wah berbahaya sekali."

"Mut ... kode sandi ponsel ini, sebenarnya ... Joy sendiri yang memberitahukannya padaku. Aku sangat tidak mungkin dengan lancang membuka ponsel orang lain. Ia seperti sudah tahu kalau aku membutuhkannya, itu ... di saat-saat terakhir."

"Oh."

"Lalu bagaimana dengan putrinya? Apa ia akan tinggal bersama Paman dan Bibinya? Amel ...." Cintia menghentikan kalimatnya.

"Kenapa? Sudah jelas, 'kan kalau anak itu akan tinggal bersama mereka."

Aku segera membalas, "Aku tidak yakin ... Paman dan Bibinya hidup sangat kekurangan. Menambah satu lagi anggota keluarga bisa membuat mereka kesusahan biaya."

Muti menatapku curiga. "Apa kamu berencana mengambil anak itu? Amel, mengadopsi anak bukanlah hal yang mudah. Kamu juga belum menikah."

"Lalu aku bisa apa?" tanyaku sedikit kesal. "Apa aku membiarkannya sengsara?"

"Ia punya keluarga, berikan pada keluarganya." Muti membalas lagi.

"Itu yang aku maksudkan ... aku akan menjaganya hingga Ayah dan Ibu Joy bisa menerima kehadirannya," jawabku tegas.

Muti melipat tanganya di depan dada sambil tersenyum sinis. "Ini tidak semudah yang kamu bayangkan Amel. Kamu sudah terlalu jauh dalam urusan Joy dan segala tetek bengeknya."

"Muti, apa kamu tidak punya rasa empati? Anak itu butuh penjagaan dan juga kasih sayang. Ia yatim dan tidak ada yang mengurusnya."

"Ia masih punya keluarga. Aku yakin keluarganya bisa merawatnya dengan baik. Lupakan pikiranmu untuk merawatnya. Apa orang tuamu juga mengijinkannya?" Suara Muti meninggi. Mungkin apa yang ia katakan ada benarnya. Aku bahkan belum menyampaikan apapun pada orang tuaku entah tentang kematian Joy dan juga kisah tragis di baliknya. Joy ku sayang, Joy ku malang.

"Aku belum mengatakan pada mereka tentang kepergian Joy," ucapku pelan secara tiba-tiba.

"Nah, kan ... saat kamu mengatakannya, mereka akan terkejut. Lagi pula mengapa kamu berpikir untuk bertanggung jawab dengan kehidup setelah kepergian Joy?"

"Karena aku mengasihinya! Aku juga tahu bagaimana ia melalu masa sulitnya."

Muti akhirnya terdiam, ia tak membalas lagi. Sesaat kemudian kami mendengar pintu diketuk ada seorang perawat masuk dan meminta dataku sebagai wali Joy. Aku perlu menandatangi beberapa berkas kematian Joy. Tentu aku tidak melakukannya, karena paman dan bibi Joy mungkin akan segera tiba. Rasanya, aku akan sangat kurang ajar bila mengambil peran itu. Bagaimanapun juga, Joy masih memiliki keluarga.

Perawat tadi lalu meninggalkan kami. Kami hanya bisa saling berpandangan, mencari solusi atau lebih tepatnya menyatukan pikiran. Muti dan aku jelas sangat bertentangan dalam hak asuh anak perempuan Joy.

"Pergilah dan cari orang tuanya, anak itu akan aman bersama Kakek dan Neneknya," kata Cintia membuka pembicaraan lagi.

"Kamu bisa menanyakannya nanti pada Paman dan Bibinya. Aku yakin mereka tahu di mana keberadaan orang tua Joy," tambah Muti.

"Aku harap juga begitu ... tapi bila kemungkinan terburuk ...."

"Hentikan pikiranmu itu," pungkas Muti. "Semua akan baik-baik saja dan bayi Joy akan segera berkumpul dengan keluarganya. Ah, aku ingin sekali melihat bayi itu." Muti mengalihkan pembicaraan.

"Hm ... aku juga, ayo kita lihat di ruang bayi," ajak Cintia.

Kami lalu meninggalkan kamar jenazah dan menuju ruang perawatan bayi. Tentu saja hanya melalui kaca kami memandangi bayi itu. Bayi mungil itu sangat cantik, ia mirip dengan Joy, tidak juga, aku melihat aura Bima dari bayi itu. Ah, apa yang aku katakan sekarang?

"Utututu ... lucunya, halo bayi kecil," sapa Cintia dengan suara khas cempreng miliknya. Ia juga mengimut-imutkan suaranya.

"Dia tidak mendengarmu. Lihat kaca ini!" tanggap Muti yang kesal mendengar suara Cintia.

Alih-alih mendengarkan ucapan Muti, Cintia kembali lagi melanjutkan obrolannya dengan bayi itu. "Apa kabar? Apa kamu mulai bosan di sana? Tunggu ya, sebentar lagi keluargamu akan datang menjemputmu."

"Apa kalian saat ini memiliki uang lebih?" tanyaku tiba-tiba hingga membuat Muti hampir tersedak. "Bayi itu perlu susu dan ... uangku tidak cukup." Aku lalu mengeluarkan jumlah tagihan biaya rumah sakit. Sebuah kertas lengkap dengan nominal-nominal yang jumlahnya tidak sedikit.

Muti dan Cintia saling berpandangan sebentar lalu mengecek uang di saku dan tas mereka.

Drttt ... drrtt ... ponselku bergetar, aku segera mengangkat panggilan dari sang penelepon.

"Halo, Paman ... apa Paman sudah sampai?" tanyaku dengan cepat. Ya, pemilik nomor itu adalah Paman Joy. Aku terdiam mendengar balasan dari sana. Ya Tuhan, apa lagi sekarang? Seseorang di sana memberitahuku bahwa paman dan bibi Joy mengalami kecelakaan dan sedang menuju rumah sakit.

"Mel ... kamu kenapa?" tanya Muti khawatir saat melihatku.

"Pa ... Paman dan bibi Joy kecelakaan saat menuju ke sini," jawabku perlahan.

"Apa?"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
PenaJingga14
Baru bab 1 aja, dah siapin tisu..........
goodnovel comment avatar
penikmatkopi
chap 1 uda bkn mewek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status