Air mataku jatuh dengan lancangnya begitu Joy menghembuskan napas terakhirnya. Aku berada di ruangan berukuran tiga kali empat meter dengan dinding berwarna putih. Setelah dokter dan perawat meninggalkanku bersama tubuh kaku Joy, aku meluapkan semuanya. Tangis pun tak cukup untuk mengakhiri semua ini. Lalu, bagaimana dengan putri kecil itu? Apa yang akan terjadi padanya? Joy bahkan belum sempat memberikan sebuah nama untuk putri kecinya. Jangankan nama, melihatnya saja belum.
"Apa sekarang kita akan mengadakan upacara pemakaman tanpa kehadiran orang tuanya?" Samar-samar aku mendengar suara itu, sebuah suara yang aku yakini milik Cintia. Mungkin karena sering bersama, jangankan suara, bahkan derap langkah gadis itu pun aku kenal.
"Bagaimana kalau kita menghubungi orang tuanya? Amel bertetangga dengan mereka, 'bukan?" balas seorang yang lain. Bisa aku tebak itu adalah Muti.
Aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan dan menemui mereka. "Masuklah, tidak baik berbicara di luar," kataku.
Cintia dan Muti lalu mengikutiku dan masuk memandangi wajah cantik Joy yang terbujur kaku di sana. Mereka saling berpandangan seolah berkata satu sama lain. Sungguh, semua ini begitu rumit. Bagaimana bisa seorang yang meninggal tanpa sanak keluarga satu pun di sini.
"Aku mengerti, aku akan menghubungi keluarganya lagi. Aku juga sudah menelepon Ibuku di Kota G untuk mengecek keberadaan keluarganya," terangku. Aku berharap kedua wanita di depanku ini bisa memahaminya.
"Apa ada jawaban?" tanya Muti to the point.
Aku menggelengkan kepala. Sebuah jawaban non-verbal yang cukup menjelaskan semuanya. "Keluarganya memang sudah pindah dua tahun yang lalu. Saat Joy mengumumkan pernikahannya, keluarga mereka menjadi gunjingan para tetangga. Mereka akhirnya meninggalkan tempat itu. Sialnya, aku bahkan keluargaku pun tak tahu sekarang mereka tinggal di mana," imbuhku.
Jelas saja keluarganya sangat malu dengan pilihan Joy. Joy hamil diluar pernikahan. Sebuah musibah atas nama cinta membuatnya menderita. Tentu saja bukan cinta yang salah namun pelakunya.
"Jadi, kita harus bagaimana sekarang? Apa kamu mau mengambil tanggung jawab untuk proses pemakamannya?" Muti bertanya lagi.
"Aku memang tidak berhasil menemukan keberadaan orang tuanya, namun aku bisa menghubungi Paman dan Bibinya." Penjelasanku ini cukup membuat keduanya tenang.
"Syukurlah," Muti membalas dengan lega.
"Apa maksudmu Paman dan Bibinya yang tinggal di kota A?" Kali ini Cintia bertanya.
"Iya, aku menemukan nomor mereka dalam ponsel milik Joy. Aku langsung segera menghubungi mereka. Kabar baiknya, mereka akan segera menuju ke sini." Aku memperlihatkan ponsel Joy di tanganku.
Mata muti menatapku heran. Ia langsung berkata, "Bagaimana bisa kamu membuka ponselnya? Apa ia tidak memberi kode sandi? Wah berbahaya sekali."
"Mut ... kode sandi ponsel ini, sebenarnya ... Joy sendiri yang memberitahukannya padaku. Aku sangat tidak mungkin dengan lancang membuka ponsel orang lain. Ia seperti sudah tahu kalau aku membutuhkannya, itu ... di saat-saat terakhir."
"Oh."
"Lalu bagaimana dengan putrinya? Apa ia akan tinggal bersama Paman dan Bibinya? Amel ...." Cintia menghentikan kalimatnya.
"Kenapa? Sudah jelas, 'kan kalau anak itu akan tinggal bersama mereka."
Aku segera membalas, "Aku tidak yakin ... Paman dan Bibinya hidup sangat kekurangan. Menambah satu lagi anggota keluarga bisa membuat mereka kesusahan biaya."
Muti menatapku curiga. "Apa kamu berencana mengambil anak itu? Amel, mengadopsi anak bukanlah hal yang mudah. Kamu juga belum menikah."
"Lalu aku bisa apa?" tanyaku sedikit kesal. "Apa aku membiarkannya sengsara?"
"Ia punya keluarga, berikan pada keluarganya." Muti membalas lagi.
"Itu yang aku maksudkan ... aku akan menjaganya hingga Ayah dan Ibu Joy bisa menerima kehadirannya," jawabku tegas.
Muti melipat tanganya di depan dada sambil tersenyum sinis. "Ini tidak semudah yang kamu bayangkan Amel. Kamu sudah terlalu jauh dalam urusan Joy dan segala tetek bengeknya."
"Muti, apa kamu tidak punya rasa empati? Anak itu butuh penjagaan dan juga kasih sayang. Ia yatim dan tidak ada yang mengurusnya."
"Ia masih punya keluarga. Aku yakin keluarganya bisa merawatnya dengan baik. Lupakan pikiranmu untuk merawatnya. Apa orang tuamu juga mengijinkannya?" Suara Muti meninggi. Mungkin apa yang ia katakan ada benarnya. Aku bahkan belum menyampaikan apapun pada orang tuaku entah tentang kematian Joy dan juga kisah tragis di baliknya. Joy ku sayang, Joy ku malang.
"Aku belum mengatakan pada mereka tentang kepergian Joy," ucapku pelan secara tiba-tiba.
"Nah, kan ... saat kamu mengatakannya, mereka akan terkejut. Lagi pula mengapa kamu berpikir untuk bertanggung jawab dengan kehidup setelah kepergian Joy?"
"Karena aku mengasihinya! Aku juga tahu bagaimana ia melalu masa sulitnya."
Muti akhirnya terdiam, ia tak membalas lagi. Sesaat kemudian kami mendengar pintu diketuk ada seorang perawat masuk dan meminta dataku sebagai wali Joy. Aku perlu menandatangi beberapa berkas kematian Joy. Tentu aku tidak melakukannya, karena paman dan bibi Joy mungkin akan segera tiba. Rasanya, aku akan sangat kurang ajar bila mengambil peran itu. Bagaimanapun juga, Joy masih memiliki keluarga.
Perawat tadi lalu meninggalkan kami. Kami hanya bisa saling berpandangan, mencari solusi atau lebih tepatnya menyatukan pikiran. Muti dan aku jelas sangat bertentangan dalam hak asuh anak perempuan Joy.
"Pergilah dan cari orang tuanya, anak itu akan aman bersama Kakek dan Neneknya," kata Cintia membuka pembicaraan lagi.
"Kamu bisa menanyakannya nanti pada Paman dan Bibinya. Aku yakin mereka tahu di mana keberadaan orang tua Joy," tambah Muti.
"Aku harap juga begitu ... tapi bila kemungkinan terburuk ...."
"Hentikan pikiranmu itu," pungkas Muti. "Semua akan baik-baik saja dan bayi Joy akan segera berkumpul dengan keluarganya. Ah, aku ingin sekali melihat bayi itu." Muti mengalihkan pembicaraan.
"Hm ... aku juga, ayo kita lihat di ruang bayi," ajak Cintia.
Kami lalu meninggalkan kamar jenazah dan menuju ruang perawatan bayi. Tentu saja hanya melalui kaca kami memandangi bayi itu. Bayi mungil itu sangat cantik, ia mirip dengan Joy, tidak juga, aku melihat aura Bima dari bayi itu. Ah, apa yang aku katakan sekarang?
"Utututu ... lucunya, halo bayi kecil," sapa Cintia dengan suara khas cempreng miliknya. Ia juga mengimut-imutkan suaranya.
"Dia tidak mendengarmu. Lihat kaca ini!" tanggap Muti yang kesal mendengar suara Cintia.
Alih-alih mendengarkan ucapan Muti, Cintia kembali lagi melanjutkan obrolannya dengan bayi itu. "Apa kabar? Apa kamu mulai bosan di sana? Tunggu ya, sebentar lagi keluargamu akan datang menjemputmu."
"Apa kalian saat ini memiliki uang lebih?" tanyaku tiba-tiba hingga membuat Muti hampir tersedak. "Bayi itu perlu susu dan ... uangku tidak cukup." Aku lalu mengeluarkan jumlah tagihan biaya rumah sakit. Sebuah kertas lengkap dengan nominal-nominal yang jumlahnya tidak sedikit.
Muti dan Cintia saling berpandangan sebentar lalu mengecek uang di saku dan tas mereka.
Drttt ... drrtt ... ponselku bergetar, aku segera mengangkat panggilan dari sang penelepon.
"Halo, Paman ... apa Paman sudah sampai?" tanyaku dengan cepat. Ya, pemilik nomor itu adalah Paman Joy. Aku terdiam mendengar balasan dari sana. Ya Tuhan, apa lagi sekarang? Seseorang di sana memberitahuku bahwa paman dan bibi Joy mengalami kecelakaan dan sedang menuju rumah sakit.
"Mel ... kamu kenapa?" tanya Muti khawatir saat melihatku.
"Pa ... Paman dan bibi Joy kecelakaan saat menuju ke sini," jawabku perlahan.
"Apa?"
Tidak ada yang tahu tentang hari esok. Kenyataan bila Lara juga memiliki keluarga inti adalah hal yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku dan Bibi Susana akhirnya memutuskan untuk melakukannya—membawa bayi cantik itu untuk menemui sang Nenek.Hari ini akhirnya datang juga. Bagaimanapun juga, aku masih harus membawa bayi itu untuk menemui keluarganya—maksudnya keluarga dari pihak Joy. Seorang Amel dengan bayi dalam gendongannya mungkin akan mengejutkan papa dan mama Joy. Ah, semua itu tak masalah.“Amel, kamu yakin sudah mau bertemu Tante Carla sekarang?” tanya ibuku. Beliau tidak ikut. Katanya merasa tidak enak badan.“Ya kalau enggak sekarang, terus kapan? Cepat atau lambat, mereka harus tahu tentang cucunya. Kalau Mama di posisi
“Um … kalian belum memutuskannya?” Muti semakin ingin tahu. “Sumpah, kalau bisa, Lara tinggal bersama kami saja selamanya. A ….” Aku berhenti sejenak. Ini memang sedikit aneh. Mungkin para tetangga bisa langsung pingsan jika mendengar semua cerita panjang ini. Bagaimana bisa sebuah keluarga yang selama ini tinggal di dekat mereka ternyata masih memiliki anak yang lain tetapi tidak diketahui. “Papa dan Mama mesti menjelaskan satu dan lain hal pada para tetangga. Ugh, dan … sudah pasti awalnya mereka tidak akan mempercayainya. Tetap saja, bakal ada tetangga yang … hm … langsung menuduh kalau cerita itu adalah karangan Papa dan Mama saja agar menutupi aibku.” “Hah
“Amel, ayo … kita sudah sampai di bandara. Nanti kamu bisa tidur lagi sepuasnya di ruang tunggu dan di pesawat.” Suara ayah benar-benar membuatku tersadar dari alam lain.“O … a … ng … hoaaamm ….”Aku mulai melihat ke luar. Ini memanglah kawasan bandara. Padahal baru pagi tadi kami tiba dan sekarang sudah mau pulang saja. Hm … luar biasa sekali perjalanan yang singkat ini. Kalau diingat-ingat lagi. Ah, apalah itu. Intinya aku hanya ingin segera pulang ke rumah!Memang seperti itulah yang aku lakukan—tidur di ruang tunggu selama kurang lebih satu setengah jam, lalu melanjutkannya saat di dalam pesawat. Anggap saja ini adalah balas dendam tentang waktu istirahatku yang tersita.
Setelah mendapatkan informasi penting lain yang tak kalah membuat terkejut, kupikir akan datang berita baik. Aku salah besar. Ini jauh lebih buruk dari yang kubayangkan.Dan inilah yang terjadi sebelum Bibi Susana masuk ke dalam kamarku.Ponselku terus berdering. Bukan satu atau dua, bahkan panggilan dari satu orang. Tiga orang yang kusewa sebagai ‘mata-mata’ untuk mencari keberadaan Bima menghubungiku. Jelas, ini bukanlah sebuah pertanda yang bagus. Meski begitu, aku masih berusaha untuk berpikir yang jernih dan berharap apa yang aku pikirkan tidaklah benar.Bukan hanya itu, karena sedikit terlambat, panggilan itu terhenti. Kupikir mereka akhirnya menyerah. Aku salah, sebuah panggilan masuk melalui telepon rumah. Sedikit langka memang di era sekarang masih memiliki nomor telepon rumah.
Sampai pada akhirnya aku sudah harus kembali ke kota tempatku kuliah. Muti sama sekali tidak bisa berjanji bila ia bisa hadir saat wisudaku. Tidak apa-apa, toh pada akhirnya kami masih akan bertemu di kota yang sama. Tentu saja saat aku sudah kembali pulang.“Sampaikan salamku pada Cintia juga. Ah, rasanya aku menjadi kesal sekarang.”“Tidak masalah, Muti. Aku dan Cintia bisa memahaminya. Kamu kan harus bekerja. Kita bisa merayakannya bersama lain kali saja.” Aku berusaha menenangkan Muti yang merasa bersalah.”“Hati-hati, ya.”Aku dan Muti saling mengucapkan salam perpisahan. Ayah dan ibu tidak mengantar. Ayahku jelas sedang
Benar saja, aku dan ibuku melakukannya! Kami pergi bersama ke tukang jahit baju. Suasana di antara aku dan ibu menjadi jauh lebih baik. Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya aku mesti marah sampai berapa lama?Kami langsung pulang setelah pengukuran untuk pola selesai. Dengan penambahan 2 cm untuk jaga-jaga. Jangan sampai dalam tiga minggu ini badanku menjadi naik. Itu bukanlah hal yang tidak mungkin apalagi bila menjelang masa datang bulan. Aku akan makan jauh lebih banyak.“Tukang jahitnya, gimana? Ramah, bukan?”“Hm m. Mungkin karena Mama sudah langganan sangat lama. Belum tentu sama pelanggan baru.”“Astaga, anak ini ….”