Warning!! 18+, gay couple yang melindungi protagonis kita, violence, bad word. Arimbi Bagas Wijaya, gadis kecil berusia 3 tahun yang harus hidup dalam kebohongan orang-orang yang ada di sekitarnya baik mereka memiliki maksud yang baik atau harus menyalahkan gadis kecil itu untuk hal yang tidak ia mengerti setelah sang mama koma. Kembali dengan ingatan yang dihapuskan agar ia bisa hidup normal, gadis kecil itu harus tumbuh bersama keluarga yang begitu pandai memerankan lakon-lakon tanpa naskah meski Arimbi hanya anak berusia 3 tahun yang bahkan tak mengerti kenapa sang mama tiduran di depan tangga dengan tubuh mendeingin. Gadis kecil yang akan dan harus merasa bersalah atas apa yang terjadi pada sang mama dan dunia harus mengetahui karena itu yang diinginkan keluarganya sendiri! Penghianatan, cinta yang buta, memaksakan kehendak, pertalian darah, keserakahan, kerinduan dan pengharapan kosong, kasih yang tulus. Bisakah Gadis kecil itu tumbuh dengan Normal? mampukah ia tersenyum sepenuh hati setelah tahu apa yang sesungguhnya terjadi? Ataukah ia akan menjadi wanita paling menakutkan yang akan membawa kehancuran pada keluarga yang merenggut sang mama darinya lalu hancur bersamanya?Udah penasaran? baca dong minimal 5 bab ye! Maturnuwon.
Voir plus"Kenapa kamu bisa terluka lagi, Joe?" ucap gadis kecil yang menempelkan plester bergambar bunga matahari, setelah ia memilih koleksi dalam saku rok tutunya yang berumbai-rumbai beberapa lama.
"Kan, sudah kubilang. Jangan bermain dengan anak-anak nakal itu. Mamaku benar, anak cowok emang susah dibilangin." tambah gadis kecil itu menepuk plester yang sudah menempel disiku bocah bule yang mata abu-abunya tampak protes merasakan perih.
"Jangan cengeng kamu kan cowok, aku aja gak nangis kalo luka," ucap gadis kecil yang berdiri seolah mengatakan tugasnya selesai dan menatapi bule yang juga berdiri menatap gadis kecil yang selalu menolongnya saat diganggu anak-anak lain hanya karena tubuh Joe lebih kecil dari mereka.
"Kan, sudah kubilang laporkan saja pada Miss Eva," ucap gadis kecil yang lalu menunjuk guru mereka yang cerewet diantara kumpulan beberapa anak yang pipinya masih begitu tembem dan kenyal, mirip keduanya.
"Yeah, I kick one of them and make him cry," ucap bule kecil itu bangga. Menunjuk ke arah yang sama, meski yang ditunjuk jemari kecilnya berbeda dengan arah gadis kecil disampingnya.
"Tapi, kenapa Miss Eva tak menghukum anak-anak nakal itu ya?" tanya gadis kecil itu lalu mengucek mata merasakan angin menyapa matanya yang bulat nan jernih bak anak Menjangan yang pemberani.
"What? I will not cry. This not hurt at all." Ucap Joe menunjuk plester yang menempel di lengan putihnya sendiri.
"Aku tau, itu pasti sakit tapi jangan menangis. Nih, aku bagi permen," kata gadis kecil yang sakunya tampak berisi banyak benda.
"Candy? Its for kids. I dont want it," ucap Joe yang tangannya menyilang.
"Kamu mau dua? Baiklah, tapi jangan bilang Rei, ya? Aku hanya membaginya satu," ucap gadis kecil itu mengambil satu lagi permen lolipop dalam saku dan meletakkannya dikedua tangan Joe yang meski ingin menolak jadi diam saat melihat anak yang badannya lebih besar sedikit darinya itu tertawa begitu lebar.
"Lain kali bilang Miss Eva dan jangan berantem."
"I said I dont want it." Bisik Joe pelan tapi tetap memakan lolipop rasa stroberi yang akan membuat lidah dan bagian langit-langit mulutnya merah.
"Enak, kan. Itu rasa favoritku."
"It's so sour, I don't like it," ucap Joe yang menarik keluar permen yang diemutnya.
"Joe! why you eat that? You said you don't like strobery!"
"Hai, carmen. Kamu mau permen juga?" Tanya gadis kecil yang melihat carmen menunjuk permen digenggaman Joe.
"Joe itu tidak suka stroberi, tauk!"
"E~h tapi, Joe tetap makan kok, tuh lihat," ucap gadis kecil itu menatap Joe yang memasukkan permen ke mulutnya lagi.
"Dia itu tidak suka tauk! Joe, tak mau makan kue stroberi yang kubawa." Ucap Carmen membuat gadis didepannya berpikir lalu mengangguk.
"Aku juga tidak suka kue. Tapi, aku suka permen karena rasanya lebih enak. Mungkin joe sama sepertiku. Bener ga, Joe?"
"Yeah, I dont like it. But trowing food is not good." Jawab Joe mengangguk.
"Lihat, kan? Joe suka tu."
"Joe bilang tidak suka, Bodoh! You don't like it, isn't it Joe?" Ucap carmen membuat joe menggeleng.
"Yes, it's so sour."
"Tuh! Joe bilang rasanya asem gak enak!" ucap Carmen tak mau kalah. Sementara gadis kecil didepannya tersenyum senang.
"Iya, rasanya asem dan manis. Enak sekali. Carmen mau gak?"
"Tidak mau bodoh!" Ucap Carmen memutar bola matanya malas, "Joe itu tidak suka, iya 'kan Joe?"
"He~h tapi, Joe tetap makan, tuh."
"Pokoknya Joe itu tidak suka."
"Joe, tak suka permen?"
"Joe tak suka stroberi!"
"HEI, JOE!"
"Akh!" Joe yang tampak bingung jadi kaget dan menjatuhkan permen dari mulutnya karena ada yang memukulnya dari belakang.
Tiga pasang mata bulat itu menatap permen yang jatuh diatas beton keras. Diikuti bocah lelaki nakal yang senyumnya hilang ikut menatapi permen yang tergeletak.
"It's fall."
"Yes!" ucap carmen senang.
"Akh! jatoh ya? I am sorry, Joe." ucap bocah lucu tapi nakal yang ikut menatap permen lolipop ditengah mereka.
"Rei, bodoh! hati-hati dong gimana kalo Joe ikut jatuh juga?!" seru Carmen menendangi kaki Rei yang malah tertawa.
"Itukan permen Joe. Kenapa Carmen yang marah?" ucap Rei menoleh pada gadis kecil yang masih menatapi permen dengan mulut menganga. Matanya tampak sedih.
"Eh, jangan nangis. Nih, aku ganti sama permenku," ucap Rei mengeluarkan permen sama dari sakunya.
"itu permen Joe tau, Rei bodoh!" protes Carmen.
"Tapi, Joe juga dikasih, tauk." Balas Rei tak mau kalah. Padahal permen yang sedang ia sodorkan itu juga permen yang dibagi gadis kecil yang terus menatapi permen yang diam tergeletak milik Joe.
"Arimbi!" seru miss Eva membuat gadis kecil itu menoleh, begitupun tiga pasang mata bulat disampingnya.
"Mama Arimbi, sudah datang menjemput." Ucap Miss Eva membuat wajah Arimbi berbinar melupakan rasa sedihnya untuk permen Joe yang jatuh.
"Aku pulang duluan ya, bye-bye," pamit gadis kecil itu semangat dan melambai pada tiga bocah didepannya lalu berlari ke gerbang sekolah setelah salim pada Miss Eva.
"Joe itu tak suka kamu tau." Ucap Rei yang masih bertengkar dengan Carmen.
"Tapi, joe duduk disampingku dan cuma aku yang bisa ngomong sama Joe," ucap Carmen tak mau kalah.
"Sebentar lagi aku dan Arimbi juga bisa ngomong bahasanya joe."
"Oh ya? Kamu sih mungkin rei, tapi Arimbi? Nulis namanya sendiri aja belum bisa."
"Tulisan Arimbi emang jelek tapi dia selalu dapet nilai A." Bela Rei tak terima, "lagian Carmen jelek. Gak mungkin Joe suka sama Carmen, week!"
"Miss Eva...! aku dibully Rei!"
"Rei! Jangan nakal. Lepaskan rambut Carmen, please."
"Carmen yang mulai, Miss"
"Bohong, Miss Eva. Rei juga ndorong Joe sampai jatuh dan luka," tunjuk Carmen pada plester dilengan Joe.
"Itu bukan aku." bela Rei tak terima sambil menggelengkan kepala.
'It's hurt right, Joe? Rei nakal 'kan?" tanya Carmen membuat Joe menatap lukanya lalu mengangguk.
"See, Miss Eva. Rei itu anak yang nakal!" ucap Carmen senang melihat wajah Miss Eva berubah saat menatap Rei.
"Sukurin! Come on, Joe, jangan deket-deket anak nakal. My mom should be here soon to pick us. Your mom can't come today, right?" ucap Carmen menggandeng tangan Joe yang menoleh kebelakang. Menatap Rei yang terus membela dirinya pada omelan Miss Eva.
"Yeah, she not feeling good today."
*
Arum, menanggapi celoteh putrinya yang duduk sambil sesekali mengemuti premen lolipop rasa stroberi sambil melihat apapun yang mereka lewati. Anak yang suka bercerita apa saja yang dilihatnya pada sang mama itu sesekali menunjuki bangunan yang ia ketahui. Dari rumahnya siapa, kucing berwarna apa, daun yang jatuh terkena angin, penjual kue cubit yang membuatnya ingin makan roti panggang buatan mamanya, es cendol dalam gerobag yang membuatnya ingat jus mangga buatan bibi dirumah dan entah apa lagi. Dan Arum sama sekali tak bosan menanggapai celoteh Arimbi.
"Minggu depan papa ulang tahun, anak mama mau kasih kado apa?" Tanya Arum membuat Arimbi terdiam, mengingat pria yang jarang dirumah atau ditemuinya itu.
"Apa-- apa Papa akan pulang, Ma?" tanya gadis kecil yang membuat Arum menatapnya sesaat, lalu tersenyum mengusap kepala Arimbi.
"Iya, Sayang. Nanti, mama suruh papa di rumah seharian kalau tidak bisa kita susul papa ke kantornya sambil bawa kue." Ucap Arum dengan senyum optimistik dan sorot meyakinkan membuat gadis kecilnya mengangguk.
"Apa kita cari kado buat papa sekarang? Sama pesen kue buat minggu depan?" tanya Arum membuat wajah Arimbi bersinar. "Papa 'kan tidak suka manis. Jadi kita bisa pesen yang gak terlalu manis. Terus yang ada rasa jahe plus kayumanisnya," tambah Arum tersenyum melihat tawa bahagia sang putri.
"Kamu sama papamu itu mirip sekali, Sayang. Gak suka kue tapi permen sama kopi harus manis." Arum mengusap kepala Arimbi yang tampak senang sekali. Meski hanya satu saja hal yang mirip dengan ayahnya itu.
*
Dua ibu dan anak yang saling bergandengan tangan itu keluar dari toko kue setelah selesai dengan pesanan mereka. Langkah keduanya tampak begitu ringan dengan tawa menghiasi wajah keduanya. Tapi, wajah Arum sedikit berubah menatap pria yang begitu dikenalnya sedang bergandengan dengan wanita yang membuatnya diam seketika. Tubuhnya kaku. Kakinya seolah dipaku.
"Mama?" panggil Arimbi membuyarkan lamunan Arum, "Mama kenapa? Mama sakit?" tanya bocah yang memperhatikan wajah sang mama itu begitu lekat.
Arum yang wajahnya pucat menelan ludahnya yang terasa pahit, "tidak, Sayang. Mama baik, ayo pulang," ucap Arum yang meski tersenyum bibirnya bergetar.
Sore berganti petang. Wanita yang makan berdua dengan putrinya itu berusaha bersikap biasa meski ia lebih banyak diam tiap kali menatap putrinya, ARIMBI BAGAS WIJAYA.
Bocah berumur tiga tahun yang menyandang nama tengah sang ayah dan kakeknya yang sudah tiada. Dan hanya meninggalkan nenek dari sang suami. Wanita yang tak pernah bersikap ramah pada gadis kecil ini. Juga sodara ipar yang baik kalau ada maunya.
"Sayang, mama mau keluar sebentar. Arim bersama bi Lisa di rumah tak apa 'kan?"
"Aku, tak boleh ikut Mama?" tanya bocah kecil yang menatap wajah sang mama penuh harap.
"Tidak, sayang. Arimbi di rumah dulu ya? Mama hanya pergi sebentar, kok." Ucap Arum mengusap rambut Arimbi yang diam lalu mengangguk.
"Nanti, mama belikan permen stroberi lagi, ok?" ucap Arum membuat wajah putrinya berubah senang. Membuat senyum tercetak seketika dibibir sang mama yang lalu memeluk putri kesayangannya ini begitu erat.
"Mama akan cepat pulang."
Arum mengecupi wajah Arimbi lama dan berkali-kali. Namun, Arimbi tak protes dan membiarkan sang mama mengecupi permukaan kulitnya yang merasa geli.
Tapi, malam itu adalah hari terahir arimbi mendengar suara Arum yang lembut dan menenangkan. Bocah berumur tiga tahun itu tak akan pernah lagi mendengar suara sang mama yang berkata akan cepat pulang membawa permen stroberi kesukaanya.
Suara Arum tak akan pernah lagi Arimbi dengar setelah malam ini.
Pria yang wajahnya bisa menipu banyak orang itu berdiri di depan ratusan mahasiswa. wajahnya yang bisa tersenyum dalam keadaan apapun, begitu pula tatapan ramah ia tunjukan pada bakal-bakal manusia yang sudah menentukan pilihan hidup yang ingin mereka jalani. Telinga para mahasiswa itu mendengarkan dengan seksama apa yang Sabio sampaikan dalam kelas yang mereka ikut, sesekali bertanya, tidak menyela saat pria yang mata sebelah kirinya selalu menjadi perhatian karena ada tanda lahir di sana bicara, menerangkan apapun yang ingin mereka ketahui. "But, is it possible to erese their memory permanenly, Sir? Mendengar itu Sabio menatap pria keturunan yang gigi putihnya begitu kontras dengan warna kulitnya yang hitam. Pertanyaan yang rasanya selalu Sabio dengar kapanpun itu apalagi saat ia harus menjadi pembicara entah di depan kelas ataupun konferensi bahkan individu. Apa lelaki yang wajahnya bisa ia mainkan sesuka hati itu pernah b
"So, apa yang akan kalian lakukan saat Bagas datang?"Lency menelan ludahnya untuk pertanyaan Sani. Matanya menatapi bergantian dua pria yang entah akan menjawab apa. Ia yang sudah berpikir tidak akan bermimpi buruk malam ini karena memilih jujur untuk kedatangan Bagas, menghembuskan nafas dalam, berharap Marko ataupun Ali tak mendengar.'Sial! Gue akan makin mimpi buruk kalo gak dengar jawaban mereka sekarang!' batin Lency yang juga ingin tahu apa yang akan ayah ke-2 dan ke-3 Arimbi lakukan.Ia lalu menatap wajah Arimbi yang terlihat begitu damai dalam lelap, "apa mimpimu menyenangkan, Arimbi?" Ucap Lency yang tak sadar ucapannya membuat Ali menoleh."Apa? Jangan bilang gue ngomong kenceng barusan?" Ucap Lency tak urung membuat suasana tegang dalam ruangan, berubah.Apalagi sorot mata Ali jadi melembut ketika ia menatap Arimbi yang rambutnya ia belai, sementara Marko berdiri lalu duduk di atas lantai memegang jemari Arimbi yang jadi terlihat
"Arimbi akan pulang ke rumah ini, Bu, tapi aku tidak akan membiarkan ibu melakukan apa yang ibu mau."Mata Sukma membesar, tangannya terangkat tinggi namun hanya berhenti di udara."Arimbi akan pulang ke rumah ini dan aku tidak ingin mendengar ibu atau siapapun menyalahkannya untuk apa yang terjadi."Plakk!Kali ini tangan Sukma benar-benar menampar pipi Bagas yang tidak terkejut dengan reaksi Sukma. "Kau tahu kenapa kita harus melakukan itu!" Seru Sukma lalu menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa jika ada mata ataupun telinga yang mendengar lalu mengecilkan suaranya. Sadar, jika ada telinga yang mendengar maka apa yang sudah ia susun akan berakhir."Kau tahu betul kita harus melakukan itu!"Sukma memegang lengan Bagas, tatapannya memelas namun penuh tuntutan, "kau tahu kenapa ibu melakukan ini bukan? Semuanya untukmu, Bagas, agar kau bisa hidup tenang bersama Maya dan Carmen."Sukma lalu menyentuh pip
"Cari siapa, Mas?""Saya suami Arum.""!" Mata lency membesar untuk jawaban lelaki yang ketidak-hadirannya selalu ia tanyakan. Manik mata wanita berkulit hitam manis itu bergerak gelisah sementara punggungnya terasa panas mengingat di ruangan Arum ada Ali dan Marko yang mungkin tak akan senang mendengar siapa yang datang.Namun, ia yang tahu siapa dirinya tak mungkin berkata "jangan masuk!" pada lelaki tampan yang masih mengenakan pakaian kerja dengan jas yang melekat begitu pas di badannya.'Gue belum siap liat Ali sama Marko menghajar suami Arum!' seru Lency dalam hati, 'dan di dalam juga ada Arimbi-'Zreeeg!!Tangan Lency bergerak sendiri menutup pintu yang ia buka, begitu cepat sampai ia sendiri merasa kaget dan jadi kikuk saat menatap Bagas.Lency bisa merasakan punggungnya berkeringat sekalipun pendingin ruangan menyala. Mulutnya jadi terasa kelu meski tak ada satu kalimatku yang melintas dalam benak untuk ia sampaik
PING: Saya harap bapak tidak lupa dengan uang yang bapak janjikan untuk informasi ini.Entah apa yang kini sedang berkecamuk dalam benak Bagas saat melihat potret Arimbi, putrinya. Ia tampak tidak perduli dengan baris terahir dari pesan yang masuk bertubi-tubi dipenuhi oleh potret Arimbi.Tapi, ia yang sudah berdiri dan siap melangkah, punggungnya terlihat ragu apalagi saat matanya menatap dua pria yang terlihat bahagia di samping Arimbi yang lebar tersenyumMarko dan Ali. Dua lelaki yang wajah bahagianya pasti akan berubah jika ia datang atau bahkan menunjukkan diri.Sampai Bagas menarik nafasnya dalam, begitu dalam. Sementara matanya tak melepas senyum gadis kecil yang akhirnya masuk ke dalam ruang rawat inap yang pintunya dibuka Ali.PING: ini potret terakhir yang bisa saya kirimkan. Saya harap bapak tidak lagi menghubungi saya atau saya akan mendapat masalah karena sudah melanggar kode etik."Kode etik?" ucap Bagas menarik uj
"Karena lebih baik anak itu tidak kembali jika ingin hidupnya tenang "Sera menggigit bibir bawahnya, lalu menatap ke depan. Zizi seperti orang kesetanan yang bahkan menerobos lampu merah, untung saja motor yang pengemudinya berteriak karena kaget ada mobil sport yang melanggar rambu tidak jatuh dan terlindas mobil di belakangnya.Well, tak lagi bertanya tentang Arimbi pada Zizi 'saat ini' adalah hal yang benar untuk dilakukan, mengingat Sera masih menyayangi nyawanya. Lagipula, apa yang telah dan akan dilakukan Zizi pada Arimbi bukanlah urusannya. Ia hanya ingin lebih dekat dengan Sani. Pria yang begitu tak tergoyahkan bahkan mengabaikan dirinya yang sudah menjual murah harga dirinya di depan Sani.'Kalo gue gak berhasil dapetin Lo, jangan panggil gue Sera!'Hatchi!"Godbless you, Boss," ucap Joyce pada Sany yang bersin lalu menatap sang asisten yang kembali berucap, "palingan ada yang ngomongin Lo, maklum cowok mahal kayak Lo pasti ba
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires