Share

5. Malam Itu

Tangan, sentuhan, panggilan ... apa ini? Suara ini ...

"Amel," panggil Bibi itu dengan lembut. Sepertinya ia berusaha membangunkanku sedari tadi. Samar-samar aku bisa mendengar isak tangisnya. "Nak, Bibi keluar sebentar ...." Bibi itu lalu berjalan meninggalkanku.

TUNGGU!

Aku baru menyadari beberapa saat setelah nyawaku terkumpul sepenuhnya dari alam mimpi. Bibi itu saat ini sedang dalam perawatan. Aku segera berjalan menyusulnya.

"Bi ... Bibi mau kemana?" tanyaku sambil membantunya berjalan perlahan.

Ia menatapku sendu sebelum kemudian menjawab pertanyaanku. "Bibi mimpi buruk, Bibi harus melihat suami Bibi."

Aku juga bermimpi yang panjang. Entah itu hanya ingatan atau memang aku memimpikan semua kejadian tentang Joy yang telah berlalu.

Kami lalu berjalan mendekati ruang ICU. Di dalam sana ada seorang pria yang dicintai Bibi ini. Aku merasa kasihan dengan semua ini. Apa ini takdir yang terlalu beruntun atau nasib yang sedang mempermainkan mereka. Paman dan Bibinya Joy datang kemari untuk mengadakan upacara pemakaman tapi nasib berkata lain. Siapa yang menyangka mereka akan mengalami kecelakaan lalu lintas. Paman itu dirawat intensif sekarang.

Bibi itu melihat seorang perawat keluar dari ruang ICU. Tak ingin kehilangan kesempatan, Bibi langsung bertanya padanya. "Sus, bagaimana dengan suami saya? Apa kondisinya semakin membaik?"

Perawat itu tersenyum penuh makna lalu menjawab, "untuk saat ini kondisinya masih belum stabil. Ibu juga perlu memperhatikan kondisi diri sendiri." Perawat itu juga berkomentar lagi setelah melihat Bibi yang berjalan lengkap dengan tiang infusnya.

"Nah kan ... Ayo Bi, kita kembali ke kamar," kataku mengajak Bibi kembali ke ruang perawatannya.

"Sebentar saja, Bibi mau di sini sebentar saja," pintanya dengan sendu. Aku tidak kuat melihat wajah itu.

Perawat yang melihat kami hanya mengangguk tanda mengijinkan. Akhirnya, kami hanya duduk di ruang tunggu depan ruang ICU.

"Bibi bermimpi tentang Joy tadi ...," ucap Bibi membuka kembali topik hingga kmai tidak perlu menghabiskan waktu hanya dengan berdiam.

"A ...." Aku hanya bisa menjawab seadanya. "Bibi merindukannya, bukan?"

"Sangat. Ia mengulurkan tangannya dan memanggilku, lalu ke ruang ini. Itu yang Bibi lihat dalam mimpi."

Aku mengerti, itu seperti 'kata orang' saat bermimpi bertemu dengan orang yang sudah meninggal dan memanggil kita, ada kemungkinan ia mengajak kita untuk 'ikut' bersamanya. Setelah mimpi itu sepertinya Bibi langsung teringat akan suaminya yang masih terbaring tidak sadarkan diri sekarang.

"Itu hanya sebuah mimpi," ucapku menenangkan Bibi sambil menepuk pelan punggung tangannya.

Bibi menarik napas panjang. "Ayo, kita kembali. Maaf ya Nak, kedatangan kami malah semakin merepotkanmu."

"Tidak masalah," balasku. Kami lalu berjalan kembali menelusuri lorong-lorong rumah sakit sebelum masuk kembali dalam ruang perawatan Bibi.

Aku segera membantu Bibi untuk naik di atas tempat tidur pasien, setelah itu aku duduk kembali di kursi dan memainkan ponselku.

"Paman akan baik-baik saja, istirahatlah, Bi," ucapku saat mataku menangkap pandangan sendu dari wajah Bibi itu.

"Bibi rasa mimpi itu terlalu nyata."

"Bi ... jujur sampai sekarang aku masih belum menerima kepergian Joy. Namun aku bisa membedakan kenyataan dan mimpi."

Bibi hanya terdiam saja setelah mendengar perkataanku. Aku yakin, ia bisa menangkap maksudku. Aku bukannya tidak percaya dengan keberadaan firasat atau sejenisnya, hanya saja aku berharap Bibi bisa kembali sehat secepatnya. Aku tahu saat ini Pamannya Joy dalam keadaan kritis, ada hal buruk yang bisa saja terjadi.

"Tidurlah, Bi ... besok pagi kita bisa melihat Paman lagi dan juga melihat bayi kecil milik Joy. Seketika Bibi ingat keberadaan manusia mungil itu.

"Ah iya ... bayi cantik itu, aku harus menemuinya." Bibi melihat langit-langit ruangan, ia berusaha menyembunyikan rasa sedihnya.

"Harus! Bibi harus menemuinya. Bibi kan berada di sini untuk itu." Aku membalas ucapan Bibi dengan semangat.

"Amel ... kamu juga harus beristirahat. Terima kasih sudah mau direpotkan."

"Bi ... bagaimana dengan Tante Carla?" tanyaku sedikit ragu.

"Mereka baik-baik saja."

"Apa kita bisa menghubungi mereka?"

Bibi menggeleng. "Maafkan aku, Nak Amel ... bahkan sebagai saudaranya pun aku tidak tahu keberadaan pasti orang tua Joy."

"Hm ...."

"Joy ... maafkan Bibi," ucap Bibi sambil memandang langit-langit kamar ruang rawatnya. Bibi melihatku sebentar lalu mulai berucap lagi, "Bibi jadi penasaran seperti apa rupa Bima itu. Dia pasti laki-laki brengsek yang menjebak Joy."

Mendengar alimat itu, aku sangat setuju dengan pendapat Bibi. Bima di mataku juga hanyalah laki-laki parasit yang memanfaatkan sifat polos Joy.

"Katakan padaku Nak, seperti apa laki-laki itu?"

"Sejujurnya aku tidak begitu mengenalnya," jawabku jujur.

Aku melihat Bima hanya hitungan jari. Pertama, aku tidak suka mencampuri urusan Joy. Dan alasan yang kedua, bagiku lelaki itu tidak setampan yang dibicarakan oleh orang-orang. Ugh, mungkin seleraku yang terlalu tinggi. Gadis biasa yang mengagumi ketampanan member Kpop Idol mana bisa dialihkan dengan anak laki-laki yang bertampang biasa saja. Oke, oke, aku akui kali ini aku sedikit berlebihan. Bima tergolong tampan, catat itu.

"Apa Nak Amel dan Joy tidak begitu dekat?"

"Ha?"

"Perasaan Bibi saja."

"Ah ... itu ..."

Bibi tertawa pelan. "Sepertinya benar."

"Tidak seperti itu ... aku dan Joy baik-baik saja. Ah, sekarang aku harus membubuhkan kata mendiang di depannya."

"Dia akan tetap berada dalam hati kita meski jiwanya sudah berada di dunia yang berbeda."

Sekarang, aku yang menatap dalam wajah Bibi. Perlahan, aku merasa wanita di depanku ini perlahan merelakan kepergian Joy.

"Bibi ... bolehkah aku memberi saran? Bibi seharusnya tidur sekarang."

"Baiklah, nona muda ...." Bibi mengikuti perkataanku. Ia menarik selimut dan memposisikan dirinya dengan nyaman. Beberapa menit kemudian ia tertidur dengan pulas.

Aku memandang heningnya jalan lewat jendela. Tidak banyak kendaraan yang lalu lalang sekarang. Jelas saja, siapa yang akan memenuhi jalan saat subuh seperti ini? Jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Aku tidak bisa tidur. Ini sangat lucu. Aku menyarankan pada orang lain untuk beristirahat padahal aku sendiri tidak bisa tidur.

"Satu domba, dua domba, tiga domba ...." kataku sambil membayangkan ada domba berlarian dan melompati pagar satu per satu. Konon katanya cara ini membantu untuk menstimulasi rasa kantuk.

Waktu berlalu, sampai pada domba ke-947 aku tak kunjung merasakan kantuk. Bukannya senang, aku menjadi kesal sekarang. Pikiranku mulai melayang-layang, bagaimana kalau tiba-tiba Joy muncul di hadapanku sebagai makhluk lain.

"Aish! Tolong jangan ganggu aku."

Sedetik kemudian aku tertawa kecil.

Apa yang aku pikirkan, dasar penakut.

Akhirnya aku menyadari satu hal. Botol infus Bibi sudah kosong. Ah, ceroboh sekali aku ini. Aku segera mencari seorang perawat di nurse center dan segera memberitahukannya. Segera, perawat itu mengikutiku dengan sebotol infus baru dan perlengkapan lainnya. Kami kembali ke ruang rawat. Perawat itu dengan cekatan melakukan tugasnya.

"Terima kasih, Sus," ucapku dengan sopan.

"Sama-sama," balasnya dengan senyum lalu kembali ke ruangannya.

"Ah, baiklah Amel ... sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang."

Aku menarik napas panjang kemudian memilih duduk di ruang tunggu meninggalkan Bibi yang sudah menejelajah kembali di dunia mimpi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status