Share

05. Kenalan

Apa yang diharapkan dari pria lajang tampan dan mapan, tentu saja seorang pasangan.

🍃🍃🍃

DARA memegangi sebuah album foto lama yang berisi fotonya dengan Aji saat masih remaja. Foto-foto alay yang mereka hasilkan selama tiga tahun pacaran.

Dara memegangi satu demi satu lembar foto dengan berbagai pose itu dengan wajah muram. Semuanya hanya kenangan. Masa lalu yang tak lagi kembali terjadi di masa depan.

Aji sudah melupakan semuanya. Aji sudah melupakan tentang kebahagiaan mereka dulu, bahkan status hubungan mereka di masa lalu.

Jujur, dia lebih merasa sakit hati saat Galih tidak mau mengakuinya sebagai mantan pacar, daripada hinaan Felicia secara terang-terangan pada dirinya. Namun, Dara mencoba berpikir lebih realistis sekarang.

Mungkin, Galih malu mengakuinya sebagai mantan. Apalagi alasan berakhirnya hubungan mereka, karena Dara yang mengakhirinya lebih dulu.

Mantan ... kenangan yang harus dilupakan.

Dara mengalihkan pandangannya ke kalender yang terpasang di tembok kamarnya. Sebuah tanggal yang dilingkari membuat dia tersenyum masam.

Genap sembilan tahun mereka berpisah dan genap sembilan tahun mereka berubah. Dara harus tetap terus melangkah, menatap masa depan dan melupakan mantan kekasihnya, walaupun sangat susah.

"Kalau memang begitu maumu, aku akan melupakan semuanya, Ji."

***

Pagi-pagi sekali, ibunya sudah merecoki Dara agar ia tidak lupa meminta izin cuti selama seminggu ke depan. Dara hanya mengangguk dan mengiyakan, karena ia tidak akan pernah lupa tentang hari yang membuat hidupnya merasa sangat kehilangan sembilan tahun belakangan.

Setelah sarapan, dia pamit untuk mengantar adiknya ke sekolah menengah pertama, sedang ibunya masih bersiap-siap sebelum berangkat kerja. Dara berpesan pada Lintang sebelum meninggalkannya seperti biasa.

"Sekolah yang rajin, nanti pulangnya ikut Dika, ya?"

Lintang hanya mengangguk dan melambaikan tangan padanya. Dara langsung menaiki motor matic berwarna biru dan melesat segera menuju kantor. Dia memang pulang paling akhir setiap hari, tapi dia juga biasa nyaris kesiangan setiap hari.

Tiba-tiba motornya berhenti. Dara mencoba menstarter motornya berulang kali, tapi tak ada suara apa pun yang keluar dari benda roda dua yang biasa menemani hidupnya selama beberapa tahun terakhir ini.

Dengan panik, Dara terus menerus menekan tombol starter motornya seraya berkata, "Astaga, ini masih pagi, Blu, kamu nggak mungkin mogok pagi-pagi, kan?"

Dara melirik kanan kiri dan melihat bengkel tak jauh dari tempat motornya berhenti. Tanpa berpikir dua kali, dia turun dan menuntun motornya ke sana.

"Mas, motor saya mati, bisa tolong bantu dibenerin nggak, ya? Nggak mau nyala ini starternya." Dara memarkir motornya dan menghampiri mas-mas yang kini keluar dari bagian bawah mobil.

"Bentar, Mbak." Dengan muka penuh oli, mas-mas itu keluar menghampiri Dara sambil menepuk-nepuk tangannya.

Didekatinya motor Dara, lalu ia coba nyalakan, dan menstarternya. Dia sangat berharap motor itu  bisa berbunyi jadi pengunjung bengkelnya bisa hilang satu, tapi harapannya pupus saat motor itu sama sekali tak mengeluarkan suara apa pun.

"Mbak-nya buru-buru banget, nggak? Kalau iya, mending ditinggal sini aja motornya, nanti siang bisa bisa disamperin lagi. Saya perlu cek dulu, apa cuma businya yang bermasalah atau mesinnya yang gangguan. Apalagi, ini motor keluaran lama, takutnya nanti Mbak malah kelamaan nunggunya."

Dara mengembuskan napas kasar. "Tinggal aja, deh, Mas. Di sini ada pangkalan ojek terdekat nggak, ya?"

Mas-mas itu tampak berpikir sejenak. "Kayaknya nggak ada ojek yang biasa mangkal dekat sini, Mbak. Mau pesan ojek online saja?"

Dara mendesah kasar. "Kayaknya bakal lama sampainya juga, Mas."

Mas-mas itu terdiam, dia berbalik menatap seseorang yang baru datang dan bersiap bergabung dengannya. "Yo, lo bisa gantiin gue bentar, nggak?"

Orang itu mengernyitkan dahi menatap sahabatnya dengan tatapan tidak mengerti. "Bisa."

"Oke." Mas-mas tadi menatap Dara lagi. "Saya anter ke tempat tujuannya gimana, jauh, nggak?"

"Nggak jauh, sih, Mas. Dua lampu merah dari sini sampai. Tapi emang nggak ngerepotin, Mas?" tanya Dara agak tidak enak mengganggu seorang montir bengkel yang sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaannya.

Banyak motor bahkan mobil yang ditinggal di sana, bukti nyata jika bengkel itu sedang ramai-ramainya.

Mas-mas itu memamerkan cengirannya. "Nggak apa-apa, Mbak. Saya anterin saja."

Mas-mas itu beranjak dari sana, meraih jaket, lalu mengeluarkan salah satu motor gede dari parkiran. Dara hanya berdoa kalau itu bukan motor curian, dengan dandanan yang amit-amit dekil dan wajahnya yang belepotan oli, dan pekerjaan sebagai montir. Dara ragu, mas itu bisa beli motor gede satu itu.

"Ayo, Mbak!"

"Eh, ini beneran nggak apa-apa, Mas?"

Mas itu mengangguk mantap dan Dara tak kuasa menolak ajakannya untuk segera berangkat, karena dia memang butuh tumpangan secepatnya sebelum ia terlambat.

***

Lampu merah terakhir, kantornya sudah dekat, tapi macet lampu merah lebih panjang dari seharusnya. Dara berterima kasih banyak, dia berniat turun di sana saja dan berlari sampai kantornya. Dia sudah mengutarakan niat dan mengeluarkan uang lima puluh ribuan yang langsung ditolak montir bengkel itu dengan senyum membayang.

"Nggak usah, Mbak-nya kelihatan buru-buru juga."

"Makasih banget tumpangannya, Mas. Saya lari saja dari sini, sudah dekat, kok, tinggal beberapa ratus meter lagi."

Montir itu hanya mengangguk, dia tak bisa memaksa, karena sepertinya pengunjungnya itu terlihat sangat buru-buru sekali. Dia hanya melihat sosok Dara yang menjauh dengan senyuman terpatri di bibirnya.

"Nanti, kalau kita ketemu lagi, lo keberatan nggak kenalan sama gue sebagai temen?" Montir itu tertawa, kemudian dia mulai mengikuti arus lampu hijau yang menyala sebelum putar balik.

Tak jauh dari tempatnya, sosok itu melihatnya dengan wajah datar dan tatapan dingin yang mematikan. Ada sebuah amarah tak terucapkan, tapi mulutnya hanya terkatup rapat-rapat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status