“Lucas, aku—”Davina baru saja ingin membela dirinya dihadapan Lucas. Namun pria itu mengangkat tangannya untuk menghentikan apapun yang ingin Davina katakan.“Simpan saja energi mu, aku tidak membutuhkan penjelasan apapun,” cegah Lucas ketus. Ia beralih pada ponselnya, mengetikkan beberapa pesan sebelum membalikkan badan, menuju ruang kerjanya.Punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu, membuat Davina resah. Ia takut bila Lucas terpengaruh dengan asumsi sang ibu dan kembali bersikap kasar padanya.“Nyonya, apa anda ingin cemilan sore?” tawar Herman.Davina menggeleng lesu. “Tidak, Herman.” Tolaknya. Pandangan Davina terpaku pada rimbunnya pepohonan di taman belakang yang belum sempat ia kunjungi. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?”“Tentu saja,” balas Herman diiringi senyum ramah. “Saya akan menyiapkan es teh dan camilan ringan untuk menemani anda.”Kali ini davina tak membantah, menurutnya ide kepala pelayan sangatlah tepat. Ia berharap, bisa menikmati pemandangan s
Davina menyeret langkahnya, gelisah memikirkan petaka yang menunggunya di kediaman keluarga Carter. Bukan amarah sang Ayah, namun pertemuan tak terencana yang mungkin saja bisa membongkar rahasia ini.“Kenapa kamu tidak menekan bel?” Suara Lucas menarik kembali kesadaran Davina. “Eh?” Davina gelagapan, bersikap linglung bagai kehilangan arah. Pandangannya tak fokus, teralih antara pintu dan sosok sang suami yang menunggu reaksinya.Asumsi demi asumsi yang berkutat dalam benaknya telah mengalihkan perhatiannya hingga tidak menyadari bahwa mereka telah berdiri di depan pintu masuk.“Aku akan menghubungi Ayah, mungkin saja mereka sedang tak ada di rumah,” alih Davina beralasan. Tangannya bergetar saat merogoh isi tas, mencari ponselnya.“Tak perlu,” tahan Lucas. Telunjuknya menekan tombol di dinding sembari mengulas senyum miring, mengejek kepanikan sang istri. “Tenanglah, Eleana. Jangan tunjukkan kelemahanmu di depan musuh,” desisnya gemas.“A-apa?” Davina tak sempat mendengar penje
“Siapa kamu sebenarnya?”Davina bagai bisa mendengar pertanyaan yang terucap tanpa suara, dari balik tatapan Lucas. Namun ia tak berdaya, kuasa keluarga Carter bagai rantai yang mengunci rapat mulutnya.“Nak Lucas, Ayah baru saja mendengar kabar kalau kamu akan segera diangkat menjadi presiden direktur Dawson Group.” Lucas mengalihkan tatapannya dari istrinya. Ia mendengus samar karena pria tua dihadapannya mulai menunjukkan maksud yang sebenarnya. “Ya,” ucapnya sembari menaikkan dagu. “Sejak awal posisi itu dipersiapkan untuk ku, hanya masalah waktu saat aku bisa berada di kursi itu,” lanjutnya dengan kepercayaan diri penuh.Abraham tertawa keras meski hatinya menggeram kesal. Pria muda itu tak sedikitpun menunjukkan rasa hormat. Bahkan Dawson Junior itu tak segan menunjukkan arogansi dihadapannya.“Ayah sungguh bangga memiliki menantu sepertimu,” cetus Abraham. Cecilia mengangguk setuju. “Eleana sungguh beruntung,” imbuhnya.Duo Carter itu telah menetapkan tekad, menyanjung bocah
“Nyonya, anda ingin tambahan kue?” Davina menggeleng lemah, menanggapi pertanyaan kepala pelayan yang tengah menatapnya dengan sorot cemas. “Anda baik-baik saja? Saya bisa meminta dokter keluarga Dawson untuk datang.”“Tidak, Herman. Aku baik-baik saja,” cegah Davina. Davina tidak sakit, dia hanya dilema akan perasaannya karena Lucas mengabaikannya sejak mereka kembali dari kediaman keluarga Carter.Mungkin akan terdengar lucu, Davina merasa Lucas mengabaikannya padahal dari sejak awal, pria dingin itu tak benar-benar menganggapnya sebagai istri.Tapi kali ini serasa berbeda, Lucas mengabaikannya dalam artian yang sebenarnya. Pria itu bahkan tak menunggunya untuk sarapan bersama seperti yang mereka lakukan sejak kedatangan Davina ke rumah ini.“Nyonya, bisakah anda berhenti mengaduk-aduk sisa makanan? Para pelayan telah menunggu cukup lama hanya untuk memindahkan piring anda,” usik Herman gemas.Davina mendesah dalam lalu mendorong piring yang belepotan krim itu dari hadapannya. “H
Davina duduk di sofa ruang tengah sambil menggosok perutnya yang terasa begah—efek dari puluhan stroberi yang bersarang di perutnya.“Harusnya aku mengendalikan diri! Memasukkan semua buah itu ke dalam mulut,” gerutunya. “Karma manusia tamak.”“Kenapa? Perutmu sakit?”“Eh, Lucas?” Davina nyaris menjerit senang begitu melihat sosok tampan yang muncul dihadapannya. “Kamu pulang?”“Bukankah ini rumah ku? Kamu tidak suka aku pulang?” Selidik Lucas sambil memicingkan matanya. Ia memilih duduk di sofa yang sama, disamping sang istri.Davina mengibaskan tangan. “Tidak, tidak! Aku tidak berpikiran seburuk itu,” kilahnya cepat.Ia tak ingin Lucas kembali marah dan mengabaikannya. Dua hari saja, ia tidak melihat wajah tampan itu mengomel, hati Davina gundah.“Apa kamu tidak marah lagi?”Satu alis Lucas naik untuk membentuk pertanyaan tak terucap. “Kamu membuat masalah?” “Aku tidak.” Davina menggeleng lemah dengan wajah tertunduk lesu.Ekspresi itu terlihat menggemaskan bagi Lucas, hingga ia ha
Davina memejamkan matanya perlahan, menyambut sentuhan lembut di bibirnya. Meski tak menuntut, namun terasa sangat intens. Merengkuhnya dalam kehangatan hingga membuat kunang-kunang berpendar di bawah akal sehatnya yang melambung tinggi.Ia kembali membuka mata saat gerakan di bibirnya perlahan memudar, pandangannya langsung berhadapan dengan mata yang meredup, seakan dibayangi awan kelabu. Lucas tak berucap apapun, hanya menatapnya lekat seraya mengusap lembut permukaan bibir Davina dengan ibu jari. Lucas bangkit dengan gerakan cepat dan kembali menekan, tanpa memberi celah bagi sang istri untuk mengatur langkah—melarikan diri. Lucas mendorong tubuh ramping itu hingga merapat ke sudut sofa, mengungkung di bawah kuasanya. Pikiran Lucas dibayangi bisikan setan, menyeru seraya memaksanya untuk melepaskan kendali. “Lu-lucas …” desah Davina terbata. Ia panik begitu pria yang mengurung tubuhnya, kembali mendekapnya. “Tunggu, A-aku …”Lucas mengulas senyum tipis lalu merendahkan tubuhnya,
“Mengapa dia menciumku?” Davina menyentuh bibirnya yang masih diselimuti kehangatan seraya menatap pantulan wajahnya di cermin. Merah! Bahkan jauh lebih merah daripada pasta tomat.Jantung Davina kembali berdetak kencang kala mengingat lagi sentuhan lembut di bibirnya. Serangan tiba-tiba itu membuatnya nyaris lupa cara bernapas. ‘Lucas menciumku … Apa dia menyukaiku?’ bola liar kembali bergulir dalam pikiran Davina. Menerka-nerka apa yang terjadi pada pria sedingin es kutub yang tiba-tiba mencair.Davina menepuk kedua pipinya yang dihiasi senyum lebar. “Tidak Davina! Apa yang kamu pikirkan,” sergahnya panik. “Kamu tak boleh lupa, Davina! Posisi mu di rumah ini hanya sebagai pengganti Eleana,” tegas Davina pada bayangan dirinya di balik cermin.Ia berbalik, melemparkan tubuhnya ke ranjang. “Lucas tidak mungkin menyukai ku, pria itu hanya peduli pada warisannya,” desahnya sembari menatap langit-langit. ‘Yah, tidak mungkin!’Davina meraih ponselnya yang kembali berdering. Ia telah be
“Nafsu tidak membutuhkan kata cinta, istriku.”Kalimat Lucas membuat emosi Davina meluap. Ia tak pernah menyangka, ternyata Lucas menilainya serendah itu!‘Pria ini gila!’ umpat Davina demi mengabaikan emosi yang tak tertahankan. Bila menuruti amarahnya, Davina ingin melayangkan tamparan keras disertai cakaran di wajah tampan itu. Namun tubuhnya tak berpendapat serupa. Seluruh sendi di tubuhnya kaku, membuat tangan dan kaki enggan beranjak. Bahkan Davina tak mampu menggerakkan bibirnya untuk sekedar memaki pria dihadapannya.Melihat wajah panik istrinya, Lucas tak mampu lagi menahan tawanya. “Eleana, apa kamu berpikir aku serius?” kekehnya mengejek.“Apa maksudmu?” Davina bengong, susah payah mencerna maksud di balik tawa Lucas.“Dengar Davina, bagiku pernikahan ini hanya formalitas. Bahkan sedikitpun aku tidak tertarik untuk menyentuhmu,” tutur Lucas datar.Mata Davina melebar. “Tapi, tadi kamu mencium—”“Yah, aku sedikit terbawa suasana tapi hanya sebatas itu, tak lebih.” Davina