Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di cafĂ© milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. âKita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.â Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. âAku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,â ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. âKalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.â Suaranya tenang. âDavina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.â Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. âJadi,â lanjut Lucas pelan, âkalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?â âKalau diizinkan,â jawab Maria cepat. âItu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.â Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. âSayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.âIni enak.â Lucas menunjuk isi piringnya.âAku tidak tahu kamu bisa masak.âDavina tersenyum, malu-malu. âAh⊠aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?âLucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicaraâsuasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
âMa.âEleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. âAda apa, Sayang?âEleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. âAku ingin bicara tentang Davina.âWajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.âKenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?â dengusnya tak senang.âAku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.ââKatakanâlah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.ââAku ingin posisiku kembali,â ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. âApa maksudmu?ââAku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.âRaut wajah sang ibu menegang. âApa kamu menyukai Lucas?â tebaknya. âBukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?â
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. âKalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,â kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. âEh! Lucas, turunkan aku!â Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. âTenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.â Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. âKenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?â Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" âA-apa? Aku tidakââ Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. âAku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi