Bersamaan dengan ucapan itu, Lucas memulai gerakannya, membuat wajah Davina mengernyit akibat sakit yang terasa. Namun, seperti ucapan pria tersebut, semakin lama gerakan itu menghasilkan perasaan aneh yang membuat rasa sakit itu berhenti, digantikan kenikmatan yang membuat desahannya kembali.
“Ah … ah!”Refleks, tangan Davina melingkar di leher Lucas, kuku-kuku jarinya dibenamkan di punggung pria itu tanpa sadar, menyebabkan luka yang membuat Lucas meringis. Akan tetapi, pria itu hanya terdiam, terlalu fokus pada kenikmatan yang tercipta atas persatuan mereka."Sebut namaku," titah Lucas di sisi telinga Davina.Davina memandang sayu iris gelap yang menatapnya lekat dalam balutan napsu."Lu-Lucas," ucap Davina dengan terbata, tak lagi memiliki kesadaran penuh karena tenggelam dalam gairah panas pria di hadapan. “Lucas, Lucas, Lucas!”Panggilan itu membuat senyuman di bibir Lucas menjadi semakin lebar, dan gerakannya pun menjadi semakin cepat. Pria itu mencium bibir Davina, kasar, dalam, dan panas.Sampai akhirnya, erangan terdengar dari sisi Lucas, diikuti dengan tubuh Davina yang kembali mengejang.***Keesokan harinya, Davina bergelung dalam tidurnya, ia merintih pelan sebelum membuka mata dan mengedarkan pandangannya. Matanya melebar begitu melihat kondisi kamar yang terlihat tidak sama seperti kamar yang ada di rumahnya.'Di mana aku?' Davina segera bangun dan duduk dengan wajah bingung.Matanya terusik oleh sosok pria yang duduk santai menghadap balkon, menekuk fokusnya—menarikan jemari di atas layar tablet.Seberkas cahaya yang masuk dari celah tirai membentuk pemandangan yang menggoda mata—pantulan siluet tubuh yang indah. Tubuh kekar itu mengaitkan kedua tungkainya dengan santai, menyesap kopi yang mengepulkan uap panas dari balik cangkir dengan satu tangan sedangkan yang lainnya tampak sibuk naik turun di atas layar tablet.'Ah, ya. Ini kamar hotel,' batin Davina setelah berhasil mengumpulkan kesadaran dan memperhatikan dengan seksama seisi ruangan. Ia menarik naik selimut untuk menutupi tubuh polosnya yang terekspos. Pikirannya melayang pada apa yang terjadi tadi malam.Dia sudah melakukannya … ‘kan?"Kau sudah bangun?" Lucas bangkit dari kursinya dan berdiri di depan ranjang. Matanya menatap tajam wajah dengan pipi yang bersemu kemerahan. Wanita itu tampak takut untuk membalas tatapannya."A-apakah aku tertidur?" Davina bergerak canggung, terlalu malu untuk menanyakan apa yang terjadi tadi malam."Kau tidak ingat?" Lucas mengernyitkan keningnya.Davina menggigit bibirnya.'Ingat,' desahnya dalam hati, tapi tidak berani menyuarakan karena malu."Tidak ada yang terjadi." Lucas mengayunkan dagunya pada botol obat yang diletakkan di atas nakas. “Segera sarapan dan minum obatmu.”Davina mengerutkan kening. ‘Tidak ada yang terjadi?’ Dia pun mengikuti arah pandang Lucas dan melirik nama yang tercetak di label botol. 'Pereda nyeri?''Apa yang terjadi? Jangan-jangan?' Davina mengangkat selimut dan mendapati cetak merah di sprei. 'Aku …. datang bulan?!' Kedua matanya membola dan wajahnya bersemu merah. Sekarang, dia ingat!Saat dirinya baru saja mencapai pelepasan pertama dan Lucas ingin menyelesaikan malam pertama mereka, dia merasakan sakit yang luar biasa dan berakhir pingsan!‘Jadi … jadi ketika kita melakukannya … itu … itu hanya mimpi!?’Davina ingin sekali menggali lubang dan mengubur dirinya sekarang! Bukan hanya mengalami menstruasi di malam pertama mereka, dia malah memimpikan apa yang seharusnya terjadi selanjutnya!?‘Astaga Davina! Apa kau sehaus itu!?‘Usai menenangkan diri dari rasa malunya, pandangan Davina kembali pada sosok yang telah duduk di sofa dan kembali berkutat dengan layar tablet. Perasaan tidak enak berkecamuk dalam benak Davina. Namun, dia tahu ada satu hal yang harus diucapkan sekarang."Te-terima kasih," ucapnya dengan nada terbata.Lucas mengangkat pandangannya, menatap lekat wajah yang tengah melihatnya dengan sorot canggung. “Untuk apa?”“O-obatnya” Davina menunjuk obat yang berada di meja.Mendengar hal itu, Lucas terdiam selagi memandang Davina dengan saksama untuk sesaat. "Kau tidak terlihat seperti yang dibicarakan orang-orang," ujarnya."Eh?" Davina tersentak kaget. 'Apa dia mengenal Eleana?’ Kening gadis itu berkerut.Akan tetapi, Davina menggigit bibirnya sedikit.‘Tidak, tidak mungkin. Kata Ayah, mereka tidak pernah bertemu. Lagi pula keduanya tinggal di kota yang berbeda,' pikir Davina cepat."Apa maksudmu?" cerca Davina. Ia bisa mendengar nada suaranya yang bergetar hingga sulit untuk menutupi raut gugup di wajahnya. "Aku tidak mengerti."Hening untuk beberapa saat. Davina hanya menatap Lucas lurus, dan begitu pula sebaliknya.Setelah beberapa waktu hanya saling bersitatap, Lucas mengulas senyum sinis di sudut bibirnya. Menambah kesan kejam di balik wajahnya."Apa kamu benar-benar Eleana Carter?" *****Davina terdiam. Tubuhnya bergetar kala pertanyaan bernada datar itu terlontar dari bibir pria yang menatapnya dingin.'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau dia tahu?'Ribuan kali sang ayah memperingatkan Davina agar tidak memicu kecurigaan keluarga Dawson, apalagi sampai membongkar identitasnya yang sebenarnya dan membuat pernikahan ini batal.Tapi, apa ini? Dia tidak berbuat aneh dan Lucas sudah langsung mencurigainya!? Apa identitasnya akan terbongkar di hari pertamanya menikah!?"I-itu …" Davina terdiam, dia berusaha memutar otak untuk memberikan jawaban yang tepat. Namun, belum selesai dia berpikir, suara Lucas kembali terdengar berucap."Kenapa kau ketakutan seperti itu?" ujar pria tersebut dengan pandangan tajam. "Aku hanya bercanda,” imbuhnya datar. Davina mengerjapkan matanya, bingung. Apa pria ini sungguh bercanda? Kenapa sepertinya wajah serius itu tidak menunjukkan demikian?Lucas berdiri dari sofa, lalu menghampiri Davina. “Apa ini?” tanya pria itu dengan sudut bi
Davina setengah berlari menyusul langkah cepat Lucas. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya."Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari acara pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit."Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakek–”Ucapan Maria terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis."Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria.Davina terkejut dan mundur satu langkah ketika ia ingin menghampiri Ibu mertuanya. Ia tak pernah menyangka sambutan yang diterimanya sangatlah jauh dari kata ramah. Wanita anggun itu tampak membencinya dengan sepenuh hati."Mari
Davina berdiri di depan pintu ruang VIP dengan wajah bersimbah air mata. Tatapan sayu, meski pertemuannya dengan Kakek hanya berlangsung sebentar, namun ia merasakan kasih sayang yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari keluarganya.Davina menyapu jejak air mata di kedua pipinya, memutar kenop dan menunggu pintu dihadapannya perlahan terbuka. Matanya terpaku pada beberapa orang yang sudah berkumpul memadati ruangan.Langkah Davina bergetar saat memasuki area dalam ruangan. Ia langsung disambut oleh tatapan orang-orang yang menganggapnya sebagai sosok asing."Kau!" teriak Maria. Matanya melotot saat melihat Davina melangkahkan kakinya memasuki ruangan. "Apa yang sebenarnya telah kau lakukan?!" Maria mencengkram kasar lengan Davina. "Kenapa Ayahku meninggal setelah bertemu denganmu!" “A-aku ….”Tindakan Maria membuat Davina terbata. Ia terlalu kaget atas tudingan yang diarahkan sang ibu mertua hingga tak mampu untuk membela diri. Melihat wajah bersalah Davina, Maria semakin menjadi
Suasana di area pemakaman pribadi milik keluarga Dawson tampak lengang setelah prosesi acara pemakaman Benjamin Dawson selesai di gelar. Acara itu berlangsung begitu khidmat, diikuti oleh para pelayat yang silih berganti datang untuk memberikan penghormatan terakhir pada tetua di keluarga Dawson. Di antara pelayat, tampak Abraham dan Cecilia, Ayah dan Ibu tiri Davina, mereka duduk di antara barisan kursi keluarga utama Dawson.Di sana terlihat pula, Lucas dan Davina. Setelah perdebatan mereka di rumah sakit, Lucas menyeret Davina untuk mendampinginya dan menjadi wakil dari keluarga untuk menyambut kedatangan para pelayat. "Ada apa?" Lucas memperhatikan wajah Davina yang tampak pucat dan lesu bahkan beberapa kali Lucas mendapati wanita itu menghela napas dalam.“A-aku akan duduk sebentar, lalu akan kembali lagi” Davina menggeleng lemah, "karena kepalaku sedikit pusing," balasnya gugup. Sejak dari rumah sakit, Kepalanya berdenyut nyeri dengan mata yang berkunang-kunang. Mungkin ini
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan."Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang.Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah.Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah pria dingin itu. Mereka disambut oleh dua pelayan yang menundukkan kepala saat Lucas melewatinya.Davina terpaku oleh betapa luasnya setiap ruangan yang dilewati beserta deret furniture yang ia yakini berharga fantastis. Rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es. Saat kedua
Davina membeku di tempat, wajahnya memucat. Tekanan pada nama ‘Eleana’ yang Lucas sebutkan memiliki makna tersembunyi.‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batin Davina dengan tubuh bergetar.Melihat reaksi Davina, Lucas mendengus. Kemudian, pria itu berbalik dan melangkah ke pintu.Pintu dibuka oleh pria tersebut. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas pada kepala pelayan yang berjaga di luar.“Baik, Tuan,” balas sang kepala pelayan sebelum berakhir menatap Davina. “Nyonya, silakan.”Davina termenung beberapa saat, lalu melirik ke arah Lucas yang menatapnya tajam, seakan muak melihat wajahnya. “Apa yang kau lakukan berdiam di sana? Keluar.”Mendengar perintah itu, Davina pun langsung berlari kecil meninggalkan ruangan dan mengikuti kepala pelayan.Saat pintu ruang kerja Lucas tertutup, Davina mengintip sedikit ke belakang. ‘Pria itu … dia mengerikan.’Setelah meninggalkan ruang kerja Lucas, kepala pelayan mengantarkan Davina berkeliling kediaman, sampai akhirnya tiba di depan pintu,
Davina bergelung dalam tidurnya dan perlahan membuka mata seraya berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah sekedar mimpi dan sekarang waktunya terjaga di dunia nyata.Pandangannya menyisir langit-langit dan langsung bertemu dengan lampu ganti kristal yang mewah yang seketika membuatnya mendesah lelah. Ia bangkit menekuk wajahnya di atas lipatan tangan, bertumpu pada kedua tungkai. Benaknya kembali mengulang apa yang dikatakan Lucas. Entah mengapa, setiap kata yang keluar dari bibir tipis itu terdengar bagai ancaman bagi Davina. Membuat hatinya selalu diselimuti rasa takut sekaligus bersalah."Tidak mungkin dia tahu, kan?" Desahnya. "Apa semuanya sudah berakhir?" Gumamnya seraya menggigit ujung kuku ibu jari—kebiasaan buruknya saat gelisah. "Tidak … tidak!" Seru Davina sambil menggelengkan kepalanya. Mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kalau memang Lucas tahu kebenarannya, dia pasti sudah melumat ku menjadi remahan."“Nyonya Eleana.” Suara ketukan disertai
“Kenapa?” tanya Lucas setelah memperhatikan beberapa saat. “Gugup?”Sepanjang perjalanan, istrinya itu lebih banyak diam, bahkan dia terus saja menunduk. Menyembunyikan kegundahan di hatinya.Davina mengangkat pandangan lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut.”“Apa kamu berbuat kesalahan?” Lucas memainkan alisnya demi memancing ekspresi wanita yang masih menekuk wajahnya.“Ti-tidak,” balas Davina cepat. “Lalu, mengapa kamu harus takut?” Lucas menekan tuas pintu mobil dan keluar dari sana. Davina terhenyak oleh pertanyaan Lucas hingga tak menyadari pria itu telah berjalan memutar dan berdiri di pintu yang berlawanan dan membukanya.“Apa kamu akan terus melamun?”Davina menatap tangan yang terulur ke hadapannya. Beberapa kali, perlakuan manis Lucas membuatnya kaget sekaligus salah tingkah.Ia menyambut tangan yang segera menggenggam jemarinya dan menarik tubuhnya keluar dari mobil.“Bersikap’lah seperti biasanya. Tak akan ada yang berani menyentuhmu selama kau berdiri di sampingku,”