Davina terdiam. Tubuhnya bergetar kala pertanyaan bernada datar itu terlontar dari bibir pria yang menatapnya dingin.
'Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana kalau dia tahu?'Ribuan kali sang ayah memperingatkan Davina agar tidak memicu kecurigaan keluarga Dawson, apalagi sampai membongkar identitasnya yang sebenarnya dan membuat pernikahan ini batal.Tapi, apa ini? Dia tidak berbuat aneh dan Lucas sudah langsung mencurigainya!? Apa identitasnya akan terbongkar di hari pertamanya menikah!?"I-itu …"Davina terdiam, dia berusaha memutar otak untuk memberikan jawaban yang tepat. Namun, belum selesai dia berpikir, suara Lucas kembali terdengar berucap."Kenapa kau ketakutan seperti itu?" ujar pria tersebut dengan pandangan tajam. "Aku hanya bercanda,” imbuhnya datar.Davina mengerjapkan matanya, bingung. Apa pria ini sungguh bercanda? Kenapa sepertinya wajah serius itu tidak menunjukkan demikian?Lucas berdiri dari sofa, lalu menghampiri Davina. “Apa ini?” tanya pria itu dengan sudut bibir yang terangkat. “Apa mungkin tebakanku itu benar adanya? Bahwa kau bukanlah Eleana, putri tunggal keluarga Carter?"Davina mengepalkan genggamannya, resah. Walau jantungnya berdebar keras, dia harus menunjukkan wajah penuh keyakinan.Alhasil, Davina bersandar di kepala ranjang dengan alis tertaut. "Berhentilah bercanda, itu tidak lucu," ujarnya dengan usaha menutupi kegugupan. “Apa kau ingin menuduh ayahku memiliki anak simpanan?” tudingnya."Lagi pula kalau aku bukan Eleana, lalu siapa lagi?" Davina memaksakan diri untuk terlihat serius agar meyakinkan sosok yang menatapnya dengan sorot mata menyelidik. “Coba beri tahu aku.”Untuk beberapa saat, Lucas hanya terdiam. Namun, mata elangnya diketahui bisa menembus kebohongan apa pun, dan sekarang … dia mencium adanya keanehan dari sosok Davina.Tangan Lucas mendarat di leher putih dan mulus Davina, membuat gadis itu tersentak saat tersadar pria itu agak mencekiknya.“Jangan bermain-main denganku, gadis kecil," kata Lucas dengan nada dan pandangan dingin. “Jangan membuat pernikahan yang sudah tidak kuinginkan terjadi ini menjadi semakin buruk!”Mendengar ucapan itu, juga merasakan cekikan di lehernya, jantung Davina kembali berdebar kencang. Dia langsung membalas dengan susah-payah, "Kalau kau tidak menginginkannya, kenapa tidak menolak saja?!"Lucas memicingkan mata dengan rahang yang mengetat. Pertanyaan yang dilontarkan wanita lugu yang menatapnya dengan mata bergetar menelisik rasa penasarannya, membuat tangannya yang mencekik leher wanita itu terlepas.“Kamu bilang apa?” balas Lucas."Tidak mengenal, juga tidak cinta, harusnya itu alasan yang cukup untuk tidak menikah," ucap Davina dengan tangan menyentuh lehernya, merasa Lucas meninggalkan jejak panas dan mengerikan di sana."Cinta?" Lucas mendengus dingin mendengar omong kosong Davina, raut wajahnya kian mengelap "Aku tidak akan membuang-buang waktu hanya untuk berkutat dengan hal konyol seperti itu."Lucas menjauhkan dirinya dari Davina."Tujuanku hanya satu. Meneruskan wasiat kakek," Lucas menatap Davina dalam, “Dan, aku pun bisa mengamankan kedudukan pewaris.” lanjutnya.Lucas tertawa rendah. "Kurasa itu jauh lebih bernilai daripada sekedar kata cinta," desisnya dingin sebelum berbalik untuk berjalan meninggalkan ruangan.'Pria ini mengerikan.' Davina bergidik. ‘Kalau dia tahu aku bukan Eleana–’ Ia tertohok oleh kenyataan.Davina tak pernah menyangka bahwa dia telah terperangkap dalam pernikahan yang hanya dilandasi oleh harta dan kuasa semata.Ini pastilah alasan sebenarnya sang ayah memutuskan untuk mengirimnya alih-alih Eleana, untuk menikahi pria dingin nan kejam ini. Sang ayah pasti takut kalau pria ini akan menyakiti Eleana—sang putri kesayangan.“Sembunyikanlah.”Ucapan Lucas membuat Davina mengalihkan pandangan. “Apa?” Dia melihat Lucas menghentikan langkah dan menoleh dari balik pundaknya.“Kalau memang kau bukan Eleana Carter, sebaiknya sembunyikan itu dan jangan sampai ada yang tahu,” tegas Lucas. “Aku tidak peduli meskipun kau bukan Eleana Carter. Selama semua orang percaya, maka nyawamu akan aman. Akan tetapi, kalau tidak ….” Mata pria itu memicing dingin, tapi tidak melanjutkan ucapannya.“Aku adalah Eleana! Dasar pria tidak waras!” maki Davina, merasa frustrasi bercampur murka. Pria itu jelas-jelas sedang mengancamnya!Menatap sepasang mata cokelat wanita itu memancarkan tekad, Lucas tersenyum mengejek. “Bagus.” Kemudian, dia pun kembali berbalik dan melanjutkan langkahnya seraya berkata, “Segera berkemas, kita harus ke rumah sakit."Mendengar itu, Davina mengerjapkan mata. "Untuk apa?"Pandangan Davina beralih pada botol obat yang belum sempat disentuhnya."Aku baik-baik saja. Tidak perlu ke rumah sakit, cukup minum obat dan berbaring sebentar," ujarnya berbesar hati.Lucas berbalik dan menatap wanita itu jengah. "Jangan menghargai dirimu setinggi itu," sergahnya sinis."Apa kau pikir dirimu begitu penting, sampai harus kubawa ke rumah sakit?"Jujur, Davina agak tersinggung, tapi dia telan harga diri itu dan bertanya, "Jadi? Untuk apa kita ke rumah sakit?""Untuk menemui seseorang yang merencanakan pernikahan konyol ini,” jawab Lucas. “Kakekku.”*****Davina setengah berlari menyusul langkah cepat Lucas. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya."Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari acara pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit."Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakek–”Ucapan Maria terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis."Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria.Davina terkejut dan mundur satu langkah ketika ia ingin menghampiri Ibu mertuanya. Ia tak pernah menyangka sambutan yang diterimanya sangatlah jauh dari kata ramah. Wanita anggun itu tampak membencinya dengan sepenuh hati."Mari
Davina berdiri di depan pintu ruang VIP dengan wajah bersimbah air mata. Tatapan sayu, meski pertemuannya dengan Kakek hanya berlangsung sebentar, namun ia merasakan kasih sayang yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari keluarganya.Davina menyapu jejak air mata di kedua pipinya, memutar kenop dan menunggu pintu dihadapannya perlahan terbuka. Matanya terpaku pada beberapa orang yang sudah berkumpul memadati ruangan.Langkah Davina bergetar saat memasuki area dalam ruangan. Ia langsung disambut oleh tatapan orang-orang yang menganggapnya sebagai sosok asing."Kau!" teriak Maria. Matanya melotot saat melihat Davina melangkahkan kakinya memasuki ruangan. "Apa yang sebenarnya telah kau lakukan?!" Maria mencengkram kasar lengan Davina. "Kenapa Ayahku meninggal setelah bertemu denganmu!" “A-aku ….”Tindakan Maria membuat Davina terbata. Ia terlalu kaget atas tudingan yang diarahkan sang ibu mertua hingga tak mampu untuk membela diri. Melihat wajah bersalah Davina, Maria semakin menjadi
Suasana di area pemakaman pribadi milik keluarga Dawson tampak lengang setelah prosesi acara pemakaman Benjamin Dawson selesai di gelar. Acara itu berlangsung begitu khidmat, diikuti oleh para pelayat yang silih berganti datang untuk memberikan penghormatan terakhir pada tetua di keluarga Dawson. Di antara pelayat, tampak Abraham dan Cecilia, Ayah dan Ibu tiri Davina, mereka duduk di antara barisan kursi keluarga utama Dawson.Di sana terlihat pula, Lucas dan Davina. Setelah perdebatan mereka di rumah sakit, Lucas menyeret Davina untuk mendampinginya dan menjadi wakil dari keluarga untuk menyambut kedatangan para pelayat. "Ada apa?" Lucas memperhatikan wajah Davina yang tampak pucat dan lesu bahkan beberapa kali Lucas mendapati wanita itu menghela napas dalam.“A-aku akan duduk sebentar, lalu akan kembali lagi” Davina menggeleng lemah, "karena kepalaku sedikit pusing," balasnya gugup. Sejak dari rumah sakit, Kepalanya berdenyut nyeri dengan mata yang berkunang-kunang. Mungkin ini
Sedan mewah berhenti tepat di pintu masuk rumah bertingkat, dengan gaya minimalis modern dan dominasi warna monokrom.Davina dan Lucas yang berada di dalam mobil kursi penumpang tak bergeming meski deru suara mesin sudah tak lagi terdengar. Keduanya larut dalam lamunan masing-masing, menghabiskan waktu dalam kebisuan."Tuan, Nyonya, kita sudah sampai." Suara sang sopir mengusik kesunyian dan aura suram dari balik kursi penumpang.Lucas berdehem pelan. "Turun," perintahnya lalu beranjak keluar dari mobil dan melangkahkan kakinya ke dalam rumah.Tak banyak bicara, Davina segera menyusul langkah pria dingin itu. Mereka disambut oleh dua pelayan yang menundukkan kepala saat Lucas melewatinya.Davina terpaku oleh betapa luasnya setiap ruangan yang dilewati beserta deret furniture yang ia yakini berharga fantastis. Rumah besar ini terlihat megah namun aura yang dipancarkan memberi kesan sunyi dan senyap. Setiap langkah terasa dingin, bagai menginjakkan kaki di atas batangan es. Saat kedua
Davina membeku di tempat, wajahnya memucat. Tekanan pada nama ‘Eleana’ yang Lucas sebutkan memiliki makna tersembunyi.‘Apa … dia tahu kebenarannya?’ batin Davina dengan tubuh bergetar.Melihat reaksi Davina, Lucas mendengus. Kemudian, pria itu berbalik dan melangkah ke pintu.Pintu dibuka oleh pria tersebut. “Bawa wanita ini ke ruangannya,” titah Lucas pada kepala pelayan yang berjaga di luar.“Baik, Tuan,” balas sang kepala pelayan sebelum berakhir menatap Davina. “Nyonya, silakan.”Davina termenung beberapa saat, lalu melirik ke arah Lucas yang menatapnya tajam, seakan muak melihat wajahnya. “Apa yang kau lakukan berdiam di sana? Keluar.”Mendengar perintah itu, Davina pun langsung berlari kecil meninggalkan ruangan dan mengikuti kepala pelayan.Saat pintu ruang kerja Lucas tertutup, Davina mengintip sedikit ke belakang. ‘Pria itu … dia mengerikan.’Setelah meninggalkan ruang kerja Lucas, kepala pelayan mengantarkan Davina berkeliling kediaman, sampai akhirnya tiba di depan pintu,
Davina bergelung dalam tidurnya dan perlahan membuka mata seraya berharap apa yang terjadi kemarin hanyalah sekedar mimpi dan sekarang waktunya terjaga di dunia nyata.Pandangannya menyisir langit-langit dan langsung bertemu dengan lampu ganti kristal yang mewah yang seketika membuatnya mendesah lelah. Ia bangkit menekuk wajahnya di atas lipatan tangan, bertumpu pada kedua tungkai. Benaknya kembali mengulang apa yang dikatakan Lucas. Entah mengapa, setiap kata yang keluar dari bibir tipis itu terdengar bagai ancaman bagi Davina. Membuat hatinya selalu diselimuti rasa takut sekaligus bersalah."Tidak mungkin dia tahu, kan?" Desahnya. "Apa semuanya sudah berakhir?" Gumamnya seraya menggigit ujung kuku ibu jari—kebiasaan buruknya saat gelisah. "Tidak … tidak!" Seru Davina sambil menggelengkan kepalanya. Mencoba meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kalau memang Lucas tahu kebenarannya, dia pasti sudah melumat ku menjadi remahan."“Nyonya Eleana.” Suara ketukan disertai
“Kenapa?” tanya Lucas setelah memperhatikan beberapa saat. “Gugup?”Sepanjang perjalanan, istrinya itu lebih banyak diam, bahkan dia terus saja menunduk. Menyembunyikan kegundahan di hatinya.Davina mengangkat pandangan lalu mengangguk kecil. “Se-sedikit takut.”“Apa kamu berbuat kesalahan?” Lucas memainkan alisnya demi memancing ekspresi wanita yang masih menekuk wajahnya.“Ti-tidak,” balas Davina cepat. “Lalu, mengapa kamu harus takut?” Lucas menekan tuas pintu mobil dan keluar dari sana. Davina terhenyak oleh pertanyaan Lucas hingga tak menyadari pria itu telah berjalan memutar dan berdiri di pintu yang berlawanan dan membukanya.“Apa kamu akan terus melamun?”Davina menatap tangan yang terulur ke hadapannya. Beberapa kali, perlakuan manis Lucas membuatnya kaget sekaligus salah tingkah.Ia menyambut tangan yang segera menggenggam jemarinya dan menarik tubuhnya keluar dari mobil.“Bersikap’lah seperti biasanya. Tak akan ada yang berani menyentuhmu selama kau berdiri di sampingku,”
“Lucas, aku—”Davina baru saja ingin membela dirinya dihadapan Lucas. Namun pria itu mengangkat tangannya untuk menghentikan apapun yang ingin Davina katakan.“Simpan saja energi mu, aku tidak membutuhkan penjelasan apapun,” cegah Lucas ketus. Ia beralih pada ponselnya, mengetikkan beberapa pesan sebelum membalikkan badan, menuju ruang kerjanya.Punggung tegap yang perlahan menghilang di balik pintu, membuat Davina resah. Ia takut bila Lucas terpengaruh dengan asumsi sang ibu dan kembali bersikap kasar padanya.“Nyonya, apa anda ingin cemilan sore?” tawar Herman.Davina menggeleng lesu. “Tidak, Herman.” Tolaknya. Pandangan Davina terpaku pada rimbunnya pepohonan di taman belakang yang belum sempat ia kunjungi. “Bolehkah aku duduk di taman belakang?”“Tentu saja,” balas Herman diiringi senyum ramah. “Saya akan menyiapkan es teh dan camilan ringan untuk menemani anda.”Kali ini davina tak membantah, menurutnya ide kepala pelayan sangatlah tepat. Ia berharap, bisa menikmati pemandangan s