Davina setengah berlari menyusul langkah cepat didepannya. Sedikit saja terlambat maka Lucas akan menghilang dari pandangan. Keduanya masuk ke ruang rawat VIP, di mana hanya ada satu ranjang besar. Sosok pria tua yang lemah terbaring di sana didampingi wanita yang menatap sedih sambil sesekali menyeka air mata di pipinya.
"Ma," panggil Lucas, membuat wanita tersebut menoleh. "Bagaimana kondisi Kakek?" Ia menghampiri ibunya yang sejak lepas dari pesta pernikahan langsung kembali ke rumah sakit. "Sayang." Maria menyambut putra semata wayangnya. Memeluk erat tubuh tinggi itu sambil menepuk pundaknya lembut. “Kakekmu–” Ucapannya terhenti begitu melihat sosok wanita yang berdiri di samping putranya. Wajah ramah itu seketika berubah, berganti dengan tatapan marah dan sinis. "Apa yang dilakukan wanita ini di sini?" sentak Maria. Langkah Davina yang hendak menghampiri ibu mertuanya seketika terhenti. Dia terkejut dan memilih mundur satu langkah saat mendapati sambutan yang tak terduga, sangatlah jauh dari kata ramah. Wanita anggun itu tampak membencinya dengan sepenuh hati. "Maria, kenapa kamu bersikap kasar pada menantumu?" tegur sosok pria tua yang berbaring di ranjang, membuat Maria menggertakkan gigi, lalu membuang muka tanpa mengatakan apa pun lagi. "Kemari, Nak." Benjamin—tetua dari keluarga Dawson itu melambaikan tangannya ke arah Davina, memintanya untuk mendekat. Davina melirik takut, ibu mertuanya meloto seolah ingin menelannya bulat-bulat. Namun, sebuah dorongan di punggungnya, yaitu tangan Lucas, membuat Davina menguatkan diri untuk melangkahkan kaki mendekati ranjang. "Eleana, apa kabarmu? Maaf bila Kakek tidak bisa hadir di acara pernikahan kalian," tutur kakek lembut. Ia tersenyum ramah untuk menyambut cucu menantunya itu. Davina mengulas senyum manis untuk membalas ketulusan dari satu-satunya orang yang menyambutnya dalam keluarga ini. "Tak apa, Kek. Aku yakin, Kakek pasti mengirimkan doa terbaik untuk pernikahan kami." Tuan Benjamin tersenyum puas melihat sosok istri pilihan untuk cucunya. "Tentu, Nak. Tentu saja." Ia merasa tidak menyesal telah menjodohkan Lucas dengan anak dari keluarga Carter yang sangat cantik dan juga memiliki tutur kata yang santun. Dia mempersilakan Eleana untuk duduk di kursi yang berada di dekat ranjangnya, Tuan Benjamin lanjut berkata, "Aku dan Carter telah bersahabat lama, dan kami tidak ingin hubungan baik ini berakhir. Oleh karena itu, kami berjanji untuk menjodohkan keturunan kami agar persahabatan ini tetap terjalin erat." Pria tua itu menepuk-nepuk pelan punggung tangan Eleana. “Dan kamu serta Lucas … sudah memenuhi harapan kami.” Melihat percakapan Benjamin dan Davina, Maria memasang wajah tak suka. Selama ini, Maria menginginkan seorang menantu yang berpendidikan tinggi, cerdas dan elegan. Demikian, saat tahu sang ayah akan menjodohkan putranya dengan keturunan keluarga Carter, dia adalah orang yang paling menentang keras keputusan itu. Namun Maria harus menyimpan sikapnya karena masalah warisan, ditambah dengan kenyataan Lucas tidak keberatan, Maria hanya bisa menerima perjodohan ini dengan hati dongkol. Mendadak, Maria dikejutkan dengan ucapan sang putra, "Ma, aku keluar sebentar ya." Tampak pria muda itu ingin memeriksa ponselnya yang terus bergetar sejak beberapa menit yang lalu. "Mama ikut," pungkas Maria. "Mama tidak ingin berlama-lama disini, napas Mama sesak karena menghirup udara kotor dan bau." cemoohnya, membuat Davina yang mendengarnya agak tersentak. Lucas sendiri tidak banyak berkomentar dan keluar dari ruangan bersama sang ibu. Setelah kepergian keduanya, Benjamin menatap lebih lekat pemilik senyum indah. “Abaikan Maria. Dia hanya tidak menerimamu karena masih belum mengenalmu. Seiring waktu, terutama dengan sifatmu yang begitu menyenangkan, aku yakin dia akan menyukaimu.” Davina memaksakan seulas senyum maklum. “Aku mengerti, Kakek.” Jujur, Davina tidak berharap banyak dalam pernikahan ini. Bahkan, dia sudah membayangkan seisi keluarga Dawson akan membenci serta merendahkannya. Akan tetapi, setelah bertemu dan mendengar ucapan Benjamin, dia bertekad akan berusaha sebaik mungkin untuk menjadi menantu dan istri yang baik. Namun, tetap saja … Davina tidak bisa melupakan kenyataan bahwa pernikahan ini juga berbahaya untuk dirinya. ‘Kalau dia tahu aku bukan Eleana, Kakek Benjamin pasti tidak akan bersikap seperti ini,’ batinnya. Melihat ekspresi Davina yang agak sendu, Benjamin berkata, "Nak, kakek mengerti bila kamu sulit untuk menerima perjodohan ini. Apalagi pernikahan kalian dilaksanakan secara mendadak.” Dengan napas yang tersengal-sengal, Tuan Benjamin mengutarakan pesan untuk cucu menantunya, "Tapi, Kakek sangat berharap kalian bisa hidup rukun, juga saling mencintai dan mendukung di masa depan." Dalam hati, Davina tahu dia tidak bisa menjanjikan apa pun. Karena pagi ini, dia baru saja melihat pandangan Lucas yang sesungguhnya terhadap dirinya. Namun, melihat sosok Benjamin yang begitu tak berdaya dan menatapnya penuh harap, Davina hanya bisa berkata, “Aku berjanji akan melakukan yang terbaik, Kakek.” “Bagus … itu bagus,” balas Benjamin dengan desah lega. “Demikian, janji terakhir Kakek pada kakekmu telah terlaksana.” Pria itu menatap ke langit-langit dan berujar, “Setelah ini, Kakek bisa beristirahat dengan tenang.” Mendengar ucapan itu membuat hati Davina berdenyut nyeri, dia sangat merasa bersalah karena harus berbohong didepan orang sebaik ini. ‘Maafkan aku, Kakek …,’ batinnya. Saat Davina memikirkan hal tersebut, mendadak tangannya digenggam erat oleh sosok Benjamin, membuatnya sontak mengangkat pandangan. Tepat di kala itu, Davina pun melihat Benjamin kesulitan bernapas selagi menekan dadanya. "Kakek! Kakek kenapa?!" serunya panik. Mesin EKG terus berbunyi nyaring, gadis itu panik dan langsung menekan tombol darurat di kepala ranjang. Saat melihat dua suster berlari masuk untuk mengecek kondisi pasien diikuti seorang dokter, Davina memohon, “Dokter! Suster! Tolong Kakek!” Wajahnya pucat dan sangat panik. “Kami akan menanganinya! Tolong, Nona keluar dan menunggu!” pinta salah seorang suster seraya berusaha memisahkan tangan Benjamin yang menggenggam tangan Davina. Hal tersebut membuat Davina merasa tidak tenang. “Tapi–” PIIIIPP! Tepat di saat itu, terdengar suara panjang dari arah layar EKG yang menunjukkan garis lurus. Tangan yang sedari tadi menggenggam tangan Davina, tiba-tiba merenggang dan terkulai lemah. Hal itu membuat Davina membeku. "Apa yang terjadi?!" Sebuah suara mendadak terdengar. Itu adalah Maria. Lucas mengikuti di belakangnya. "Pasien perlu penanganan darurat! Keluarga harap menunggu di luar!" usir para suster yang bertugas. Mereka mendorong pihak keluarga agar menunggu di luar kamar. Berselang beberapa menit, dokter keluar dengan wajah muram. Menatap sejumlah wajah yang memandangnya cemas, dokter mulai berkata, “Tuan Dawson mengalami syok, jantungnya kembali kumat. Saat ini beliau tidak sadarkan diri dan memasuki fase vegetatif. Kami akan terus memantau perkembangannya. Harap keluarga bersabar dan berdoa demi keajaiban.” Tubuh Maria luruh—meratap di lantai. "Papa …" rintihnya. *****Langit sore tampak sendu, memantulkan warna abu yang samar pada kaca jendela besar di café milik Baron. Suasana di dalam cukup lengang, hanya beberapa pelanggan yang tengah sibuk dengan laptop dan secangkir kopi mereka. Di sudut dekat rak buku, Davina duduk gelisah. Jemarinya saling menggenggam erat, berkali-kali ia mencuri pandang ke arah pintu, menunggu sosok yang tadi pagi mengirimkan pesan singkat. ‘Kita perlu bicara. Temui aku di tempat Baron. Jangan menunda lagi, Eleana.’ Saat pintu terbuka dan lonceng kecil di atasnya berdenting, jantung Davina berdetak lebih cepat. Megan masuk dengan langkah mantap, tanpa senyum, tanpa basa-basi. Ia berjalan lurus ke arah meja tempat Davina duduk, lalu menarik kursi dan duduk dengan anggun tapi penuh tekanan. Saat tatapan mereka bertemu, Megan tak membuang waktu. “Aku ingin penjelasan. Kali ini, tanpa kebohongan,” ucapnya tajam. Davina menelan ludah. Suara Megan terdengar datar, tapi menyimpan bara. Ia tahu, hari ini tak bisa lagi bersembu
Lucas bersandar santai di kursinya, tak menunjukkan sedikit pun rasa terganggu. Ia menyuap sesendok terakhir sarapannya, lalu mengusap bibir dengan serbet linen. Matanya menatap Maria dan Eleana satu per satu, sebelum akhirnya berhenti pada Davina yang kini terlihat tegang. “Kalian datang membawa kabar menyedihkan, rupanya.” Suaranya tenang. “Davina kehilangan ibunya. Rumahnya pun hilang. Sungguh... kisah yang menyayat hati.” Maria tersenyum kecil, mencoba membaca sikap Lucas yang terlihat terlalu santai untuk situasi seperti ini. “Jadi,” lanjut Lucas pelan, “kalian ingin... Davina tinggal di rumah ini?” “Kalau diizinkan,” jawab Maria cepat. “Itu akan sangat membantu Davina melewati masa-masa sulitnya dan Eleana akan berkumpul lagi dengan sepupu terdekatnya.” Lucas diam sejenak, mengaduk cangkir kopinya dengan pelan. Denting logam melawan keramik mengisi ruang hening itu, menciptakan ketegangan yang tak kasat mata. Lalu ia tersenyum. “Sayangnya, aku tidak terbiasa menerima
Minggu pagi di rumah besar milik Lucas berlangsung tenang dan hangat.Cahaya matahari merambat masuk melalui tirai tipis, membentuk garis-garis cahaya lembut yang menari di atas meja makan. Aroma kopi dan nasi goreng hangat memenuhi udara, menyatu dengan keheningan damai yang mengisi ruangan.Davina duduk tenang di kursinya, menikmati sarapan spesial yang sengaja dipersiapkannya. Di depannya, Lucas menatap dengan sorot mata hangat, seperti sedang menghafal tiap lekuk wajah istrinya.Percakapan mereka ringan, mengalir seperti aliran sungai yang jernih. Tak ada ketegangan seperti hari-hari sebelumnya. Seolah pertengkaran dan keraguan itu tak pernah ada.“Ini enak.” Lucas menunjuk isi piringnya.“Aku tidak tahu kamu bisa masak.”Davina tersenyum, malu-malu. “Ah… aku cuma bisa membuat menu simpel. Kamu suka?”Lucas mengangguk, kembali menyendok sarapannya tanpa banyak kata. Tak perlu banyak bicara—suasana nyaman itu sudah cukup bicara banyak.Namun, ketenangan itu terputus tiba-tiba oleh
“Ma.”Eleana menghampiri sang ibu yang tengah santai di taman belakang, sibuk membolak-balik halaman majalah.Wanita paruh baya itu menurunkan majalah di tangannya, lalu melirik sang putri. “Ada apa, Sayang?”Eleana duduk dengan malas di kursi yang kosong. “Aku ingin bicara tentang Davina.”Wajah sang ibu langsung berubah. Keningnya berkerut. Ketidaksukaannya pada anak sambungnya itu terlalu besar untuk bisa disembunyikan.“Kenapa kamu harus membahas wanita pembawa sial itu?” dengusnya tak senang.“Aku tahu Mama muak mendengar namanya, aku juga. Tapi kali ini aku butuh bantuan Mama.”“Katakan’lah, Sayang. Berhenti bertele-tele karena kamu mulai membuat ku pusing.”“Aku ingin posisiku kembali,” ucap Eleana tegas.Alis sang ibu bertaut bingung. “Apa maksudmu?”“Aku ingin Davina keluar dari rumah Dawson dan mengembalikan posisi itu padaku.”Raut wajah sang ibu menegang. “Apa kamu menyukai Lucas?” tebaknya. “Bukankah sebelumnya kamu bilang tidak ingin menikah dengan pria mengerikan itu?”
Davina memekik kaget saat tubuhnya terangkat ke udara dan mendarat dalam dekapan Lucas. “Kalau begitu, lebih baik kita menunggu waktu makan malam di kamar saja,” kata Lucas ceria, seolah tak ada kemarahan di wajahnya beberapa menit lalu. “Eh! Lucas, turunkan aku!” Davina berusaha menggeliat, tetapi pria itu justru mempererat pelukannya, mengangkatnya seperti seorang pengantin baru. “Tenang saja. Kamu butuh istirahat setelah semua drama hari ini.” Davina mendengus pelan, namun tak lagi melawan. Kepalanya bersandar di bahu Lucas, mencoba menyembunyikan rona merah yang belum juga surut dari wajahnya. Langkah kaki Lucas mantap menaiki anak tangga menuju lantai dua. Aroma maskulin dari tubuhnya begitu dekat, membuat napas Davina nyaris tercekat. Ia tak bisa menyangkal bahwa hatinya berdetak lebih cepat setiap kali pria itu menunjukkan sisi lembutnya, meski dalam waktu yang tak terduga. Pintu kamar terbuka tanpa suara. Lucas menurunkan tubuh Davina dengan lembut di atas ranjang king s
Tubuh Davina terdorong ke belakang hingga merapat ke tembok saat Lucas berbalik dan mengurungnya dengan kedua tangan yang terentang. Pria itu mengerang kasar seolah tengah melepaskan amarah yang tertahan. “Kenapa? Kamu masih ingin tinggal disana dan menarik perhatian Sebastian?” Lucas mendesis kasar. "Begitu inginnya kamu bersama pria itu?" “A-apa? Aku tidak—” Davina tergagap, ia kaget akan tuduhan dan kemarahan yang ditunjukkan Lucas hanya karena sepupunya datang untuk menyapa. “Aku tidak berniat untuk bertemu dengan Sebastian," elaknya tak terima. "Jangan pernah berpikir untuk melakukannya!" tegas Lucas. Davina bergidik ngeri kala wajah itu melempar sorot mata mengancam. "Mu-mulai sekarang, aku tak akan bicara bahkan bertemu Sebastian tanpa izin mu," janjinya demi menenangkan macan yang tengah mengamuk. Lucas melengos malas, tak percaya akan janji yang diucapkan oleh istrinya. "Lalu, kenapa kamu tampak kecewa karena meninggalkan pesta itu lebih cepat?" "I-itu ..." Davina kehabi