"Hentikan, Yang Mulia! Sudah cukup!" Seru Ganymede yang tiba-tiba muncul entah darimana. "Biarkan saya bawa putri saya kembali," sambungnya.
"Kau pikir aku akan percaya, Tuan Ganymede? Sekali kau membohongiku, selamanya aku tidak akan percaya!" Tajam sorot Devon pada laki-laki itu.
Ganymede terkesiap. Dia mulai merasakan napasnya tak beraturan. Devon bisa merasakan kegelisahan itu.
"Saya tidak pernah berbohong pada Yang Mulia," kilah Ganymede.
"Sudahlah, Tuan Ganymede. Aku sudah bisa membaca semua rencana busukmu. Kau ingin menjeratku dengan makhluk ini, kan?" Tukas Devon sinis.
"Jangan katakan itu! Dia putriku! Dia manusia sama sepertimu! Cukup dengan penghinaan ini, Yang Mulia!" Hardik Ganymede cepat dengan nada tinggi.
"Kalau begitu jelaskan padaku sekarang! Tentang semuanya! Aku berikan satu kali lagi kesempatan untukmu," tegas Devon.
Ganymede terdiam beberapa saat. Dia tampak berpikir dan menimbang langkah apa yang h
"Tidak akan ada yang tahu perbuatanku saat pelantikan. Tetua dan pejabat Dark Shadows tidak setuju untuk menyiarkannya ke publik," sahut Devon enteng."Tidak semua anggota ordo setuju dengan Tetua dan para pejabat tinggi, Yang Mulia. Sebagian di antaranya bahkan sudah muak dan ingin memberontak terhadap para Tetua," sanggah Ganymede."Termasuk dirimu dan Tuan Robertson Hadar," sinis Devon, membuat Ganymede tersenyum kecut."Sebenarnya akan lebih mudah kalau kita bekerja sama. Mari kita hancurkan struktur organisasi Dark Shadows dan kita bangun semuanya dari awal," usul Ganymede.Devon terbahak begitu kencangnya, "Awalnya para Tetua memilihku untuk menjadi kaisar, supaya bisa mereka kendalikan. Namun, ternyata aku tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Anehnya, mereka tidak menolak dan tidak menyingkirkanku. Kalian tahu kan apa artinya itu?"Antonella menelan ludah. Sekilas dia melirik pada ayahnya. Sedangkan Ganymede masih tajam menata
Dengan menggunakan Orion, Devon berkelilling ke tiap titik kerusuhan yang tampak di layar peta hologram. Dia tak mau memakai Guardians, maupun Garda Emperors untuk melindunginya. Selain lebih efektif dan efisien, Devon juga khawatir seandainya di antara para prajurit ada yang menjadi pengkhianat dan menjadi mata-mata untuk Robertson Hadar. Hanya dia dan Mara saat ini.Valishka yang selama ini selalu mengikuti ekornya pun menghilang entah kemana semenjak Robertson Hadar murka dan mengancamnya di ruang singgasana. Devon tak akan terkejut ketika pada akhirnya Valishka memihak pada ayahnya, meskipun dia sudah memaksa Valishka untuk mengumpulkan para Greenwalds. Bagaimanapun, kedudukan seorang ayah jauh lebih tinggi daripada kaisar manapun juga.Devon mengarahkan kemudi aerocarnya dengan baik. Tujuan pertamanya adalah pusat perserikatan kota di Atlanta, yaitu satu titik distrik yang menjadi pusat kegiatan ekonomi di ordo Fallen Eagles. Gedung Epsilon di Atlanta memanglah be
"Lalu, darimana karbondioksida penyebab kematian itu berasal?" Kabut di sekitarnya kembali pekat. Mau tak mau Devon harus mengayunkan pedangnya lagi untuk menyingkirkan kabut putih yang menghalangi pandangan matanya. "Dari pemetaan, 500 meter di depan adalah perumahan warga sipil, Yang Mulia. Sepertinya titik kabut berasal dari salah satu rumah itu," ungkap Mara. "Untuk apa mereka menciptakan kabut ini, ya?" Gumam Devon heran. Langkahnya tak berhenti hingga ia makin mendekati sosok yang sedari tadi berdiri mengamati dirinya. "Di depan sana, kandungan karbondioksida dalam udara semakin meningkat dan semakin pekat, Yang Mulia. Berbahaya untuk anda," sergah Mara yang sama sekali tak digubris oleh Devon. "Panggilkan saja Shepherd Atlas kalau-kalau terjadi sesuatu padaku," sela Devon sembari memelankan langkahnya karena dia melihat sosok itu juga melangkah menghampirinya. Udara di sekitar mulai sedikit membuat sesak di dadanya, namun masih me
Devon memicingkan mata. Cahaya lampu itu begitu menyilaukan, membuat kepalanya makin terasa nyeri. Susah payah ia bangkit dan duduk. Setengah menunduk, Devon memegangi belakang kepala dan mengusapnya pelan. Setelah sakit kepalanya reda, dia menyapu pandangan ke sekelilingnya. Sebuah kamar tidur sederhana, mirip dengan kamar tidurnya saat masih tinggal di apartemen kumuh dulu. Bedanya, kamar ini tak dilengkapi jendela. Hanya tembok besi yang mengelilingi. Ditambah dengan ranjang kayu, meja kecil beserta kursinya dan lemari perak yang terletak berseberangan dengan ranjang."Mara!" Tiba-tiba Devon teringat akan jam tangan metaliknya. Dia melihat pergelangan tangan kirinya dan mendesah lega kala kecerdasan buatan itu masih tetap berada di tempatnya tanpa lecet maupun noda."Yang Mulia, tanda-tanda vital tubuh anda sudah berfungsi dengan normal," lapor Mara."Apa yang terjadi? Dimana Nebulaku?" Devon mulai panik menyadari pedang kesayangannya tak ada di tempatnya.
Devon termangu saat mengetahui kenyataan bahwa gadis dalam mimpinya adalah seorang pemberontak. Dia berharap sesuatu yang lain. Sesuatu yang memudahkan Devon untuk mendekati gadis itu. "Aku ingin tahu siapa namanya," gumam Devon tanpa sadar. "Wajahnya tidak terdapat di database manapun, Yang Mulia," sahut Mara. "Apa tidak lebih baik kita mencari cara untuk menghentikan penghijauan beracun ini dulu, Yang Mulia?" Komentar Valishka. Devon tampak berpikir sambil mengusap dagunya. Dia kini bukan lagi pemuda pengantar barang yang bisa berbuat seenaknya. Tanggung jawabnya bukan hanya sekedar tidak membuat ibunya marah, seperti dulu. Masa depan seluruh penduduk bumi ada di tangannya kini. Itu artinya, Devon harus mengorbankan diri dan perasaannya sendiri demi jutaan manusia lainnya. "Sudah berapa banyak benih yang disebar oleh Ganymede?" Tanya Devon pada akhirnya, setelah terdiam cukup lama. "Jutaan di berbagai lokasi di seluruh
Devon masih berdiri di depan jendela besar yang terletak di lantai dua. Di bawah, terdengar riuh suara para Greenwalds yang entah sedang membicarakan apa. Suasana di luar rumah persembunyian itu masih mencekam, hening dan putih pekat."Kabut putih yang mengitari distrik tempat persembunyian kita ini dibuat oleh Leya, Yang Mulia," ucap Valishka tiba-tiba. Dia muncul di belakang Devon dan memperkenalkan seorang gadis manis dengan kulit berwarna coklat terang, bermata hazel dengan rambut keriting spiral.Gadis yang diperkenalkan sebagai Leya itu membungkuk dalam-dalam kemudian meraih punggung tangan Devon dan menciumnya. Devon sedikit terkejut dengan tingkah gadis itu, namun tak menolaknya."Di ordo Boa, mencium tangan seperti ini sudah biasa untuk menunjukkan rasa hormat yang paling tinggi, Yang Mulia," tutur Leya seraya tertawa ceria."Ah, ma'afkan kelancangan saya," ucap Leya cepat saat melihat wajah Devon yang menatapnya tanpa ekspresi.Devo
Troy begitu bersemangat menaiki Orion. Baru kali ini dia menaiki mobil terbang mewah yang super canggih itu. Selama ini dia hanya bepergian dengan kendaraan berat miliknya, atau menumpang di kargo pesawat induk yang tentunya tak nyaman untuk dinaiki.Sementara Leya berada di aerocar milik Atlas. Sebelum berangkat, Valishka sempat menertawakannya, karena terlalu percaya diri bahwa Devon akan meminta Leya untuk duduk di Orionnya."Tetaplah fokus, Nona Leya. Perjalanan kita bukan untuk main-main," hardik Atlas yang sedari tadi mengawasi gadis manis itu.Leya mendengus kesal dan membuang muka ke jendela aerocar. Awan putih berarak mengikuti perjalanan mereka menuju Ordo Red Phoenix. Di depan, tampak Orion milik Devon menambah kecepatannya dan melesat hingga tak terlihat oleh mata. Atlas pun segera melakukan hal yang sama. Menyetting kendaraannya dengan kecepatan setara kecepatan suara.Di dalam Orion, Troy terlihat begitu panik. Tanpa sadar ia mencengkeram be
Pria-pria berseragam di depan sana sudah dalam kondisi siap. Senjata-senjata laser mereka sudah terkokang dan hanya menunggu perintah untuk ditembakkan.Troy dapat melihat lencana perak di dada mereka, khas anak buah Robertson Hadar. "Apa kita boleh menyerang sekarang?" Tanyanya."Tunggu!" perintah Devon. "Aku akan melangkah lebih dulu. Kita lihat reaksi mereka," titah Devon. Baru satu langkah ke depan, Devon sudah dihujani tembakan.Leya memekik kencang. Dia mengira bahwa detik itu nyawanya akan tamat. Begitu pula Troy, dia tak akan sempat mempergunakan senjatanya, karena kecepatan sinar laser ribuan kali lebih cepat dari hujaman belatinya.Akan tetapi, Devon sudah memperkirakan itu semua. Bersamaan dengan gerak tubuhnya ke depan, Devon juga mengaktifkan pancaran gelombang elektromagnetik sehingga membentuk kubah perisai yang melindungi dirinya dan ketiga rekannya.Tembakan laser itu memantul ke segala arah. Beberapa tembakan memantul ke uda