Home / Sci-Fi / Demon King / The New Prince

Share

The New Prince

Author: Ayaya Malila
last update Huling Na-update: 2021-09-09 09:27:57

Devon memicingkan matanya. Lampu terang itu berada tepat di atasnya. Dia menoleh ke samping kanan dan menyadari bahwa dia kini tergeletak di sebuah ranjang besi. Tangannya terikat oleh rantai yang ditautkan di sisi ranjang.

Devon berusaha menarik rantai itu agar terburai, namun gagal. Kekuatannya seakan menghilang. Tubuhnya melemah. Entah apa yang terjadi dengan dirinya.

"De..von," rintihan suara itu terdengar lirih.

Pemuda itu memiringkan kepalanya ke kanan. Dilihatnya seorang pria yang sudah tak asing lagi. Mata hijau dan wajah yang begitu mirip dengannya. "A-ayah?" bisiknya.

Pria tua itu berbaring dengan posisi tak jauh beda dari Devon. Ranjangnya bersisian dengan ranjang Devon. Hanya saja tangan pria itu tak terikat.

"Pembunuh," ucap Devon pelan. "Kau pembunuh!"

"A-pa maksudmu?" Anka Hadar tak mengerti.

"Kau bunuh ibuku! Kau suruh para Shepherd itu untuk membunuh ibuku!" Devon mulai terisak. Kegagahan dan kegarangannya menguap begitu saja.

Mata Anka membola. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, "Violet? Tidak, tidak mungkin!"

"Mereka menembak kepalanya di depan mataku! Kenapa, ayah? Kami sama sekali tak pernah mengganggumu. Tapi, kenapa?"

Hati Anka bagaikan tercabik-cabik mendengar isak dan keluhan putra satu-satunya, pewarisnya. Dia bangkit dari pembaringan lalu turun dan berjalan pelan mendekati Devon. "Dengar, Nak! Ayah tak pernah menyuruh siapapun untuk membunuh Violet, ibumu, satu-satunya wanita yang ayah cintai dalam hidup ini. Jika memang yang kau katakan itu benar, maka dengarlah ini baik-baik," tutur Anka Hadar pelan. Tersirat nada kekecewaan yang mendalam dalam tiap katanya.

"Seperti yang kamu tahu, api pemberontakan semakin meluas karena aku gagal melaksanakan misiku. Lalu, informanku memberitahukan bahwa akan ada kerusuhan besar-besaran di Golden Swan. Oleh karena itu, aku menyuruh para Shepherd untuk menjemputmu dan ibumu. Aku berencana membawa kalian ke rumah perlindungan. Aku sama sekali tidak pernah memerintahkan untuk membunuh dia," Anka Hadar tergugu.

Devon mencoba mencari kebohongan dari sorot mata tua itu, tapi dia tak menemukannya. Haruskah dia mempercayai ayahnya? Haruskah dia mempercayai laki-laki yang sudah meninggalkan keluarganya selama bertahun-tahun?

"Ke-kenapa? Kenapa baru sekarang?" tanya Devon terbata.

"Selama ini aku mengorbankan keluarga kecilku yang paling aku cintai demi Dark Shadows, tapi apa imbalannya? Mereka malah membunuh istriku," ujar Anka geram. Hati-hati, dia mengusap puncak kepala Devon lembut. Kemudian dia beralih mengusap lengannya, usapan lemah yang semakin menguat, seperti gerakan menggaruk, hingga kulit lengannya memerah. Anka Hadar memijit bagian kulit yang memerah itu sampai keluar setitik darah. Anehnya, setetes darah itu membentuk semacam jarum dan terjatuh di ranjang Devon. Anka memungut jarum itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Sedikit sinar muncul dari pucuk jarum, semakin lama semakin terang.

"Jarum itu akan menyamarkan pembicaraan kita. Mereka tak akan bisa menyadap dan mendengarkannya," Anka sedikit membungkukkan badannya supaya bibirnya bisa lebih dekat dengan telinga Devon.

"Aku akan memberi pertanyaan padamu, jawablah hanya dengan anggukan dan gelengan."

Devon pun mengangguk.

"Apa mereka memberikan cincin ular hitam padamu?" bisik Anka dan Devon mengangguk.

"Apa kau melihat suatu penampakan setelah memakai cincin itu?"

Devon kembali mengangguk.

"Dan kau seakan kehilangan kekuatanmu setelah itu?"

Devon mengangguk lagi.

"Baiklah, Nak. Dengarkan aku untuk terakhir kalinya. Kau harus mempercayaiku!" Anka menatap mata hijau Devon lekat-lekat.

"Suatu kesalahan besar untuk tunduk patuh pada Dark Shadows. Kau hanya boleh menggunakan Ordo ini sebagai batu loncatanmu. Setelah itu, hancurkan mereka seperti mereka menghancurkan kepala ibumu. Jangan beri belas kasihan sedikitpun pada mereka karena mereka juga tak memiliki itu."

"Dark Shadows adalah penjajah sebenarnya. Jangan pernah membela mereka meskipun mereka satu spesies dengan kita."

Devon mengernyit, sama sekali tak memahami apa yang ayahnya bicarakan.

"Kau tak perlu memahami apa yang kubicarakan. Kau hanya perlu mengingatnya," ucap Anka seakan bisa membaca isi hati anaknya.

"Sekarang lihatlah jarum itu. Dia akan menceritakan padamu, awal mula segalanya terjadi," Anka Hadar mengarahkan telunjuknya pada jarum yang bersinar makin terang.

Devon mengikuti telunjuk ayahnya, menangkap cahaya itu hingga matanya terasa sakit. Sinar itu seakan menusuk kelopak matanya. Devon memicing dan meringis. Sinar itu meluas membungkus tubuhnya. Kini, yang dilihat Devon bukan lagi ruangan bertembok besi dengan dua ranjang pesakitan, melainkan ruangan luas serba putih yang kosong.

Perlahan, ruangan itu berubah bentuk menjadi tanah gersang nan tandus. Debunya berterbangan saat pesawat asing lepas landas, meninggalkan dua orang makhluk yang berdiri tepat di depan Devon. Devon melihat mereka, namun mereka sepertinya tak bisa melihat Devon.

Devon mendengar mereka berbicara dalam bahasa asing. Dia sama sekali tak mengerti, bagaimana bisa dia dapat memahami bahasa yang tak pernah ia dengar sebelumnya.

Dua orang makhluk itu mengatakan tentang berpindah planet, menuju bumi. Lalu Devon melihat ribuan dari mereka yang muncul entah dari mana, berbondong memasuki sebuah pesawat alien raksasa. "Tujuan, Bumi!" begitu seru salah seorang makhluk itu.

Pemandangan di depan Devon berubah lagi. Saat ini dia melihat ayahnya berdiri di tengah singgasana mewah, berhadapan dengan pria yang terlihat sangat tua. Kulitnya sangat keriput sampai-sampai tiap lipatannya menggantung dan menumpuk satu sama lain. Anka terlihat menghampiri pria tua itu dan mencekik lehernya. "Kau membohongiku selama ini," desis Anka. Dia semakin mengencangkan cengkeraman tangannya di leher orang tua itu.

"Kau ingat, Hadar. Kalau kau membunuhku, kau juga akan mati.. Kita satu kesatuan," sahut pria tua itu lemah.

"Setidaknya aku bisa bebas," mata hijau Anka berkilat. Telapak tangannya mengeluarkan asap. Pria tua itu perlahan melemah dan tak bersuara. Dia tewas seketika. Anka melepaskan cengkeramannya, membuat raga pria itu terjatuh. Anka terhuyung dan terduduk lemas.

"Kaulah harapan ayah satu-satunya," suara itu membuyarkan gambaran yang sedang ditampilkan di depan mata Devon.

Devon menoleh pada ayahnya, semakin bingung atas semua yang terjadi.

"Kaisar Agung dan aku adalah dua raga yang berbagi jiwa. Aku sudah membunuhnya, itu artinya tak lama lagi aku akan mati. Tapi satu hal yang tidak dia ketahui. Aku menurunkan kekuatanku padamu. Kekuatan bangsawan Hadar. Cincin ular hitam itu adalah kunci, Devon. Simpan dia baik-baik!" Anka mengucapkan kalimat terakhirnya. Setelah itu dia limbung dan terjatuh.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Demon King   The New World

    Entah berapa lama kegelapan menyelimuti, yang jelas saat itu, Devon merasa begitu damai. Matanya boleh terpejam, tetapi telinganya masih dapat menangkap nyaring suara burung berkicau, ditambah dengan gemericik air yang semakin melengkapi riuhnya. "Bangun, Nak. Mau sampai kapan kau tertidur? Ini sudah siang. Saatnya mencari uang." Lembut suara sang ibu membuat Devon membuka mata lebar-lebar. "Ibu!" Dia berusaha bangkit dari pembaringan. Dia bergerak terlalu kencang, tanpa memperhatikan sekeliling. Kepala Devon terantuk oleh dinding kaca tebal. Barulah saat itu dia sadar bahwa dirinya tengah berada di dalam sebuah tabung transparan. "Apa yang terjadi?" gumamnya kebingungan. Berbagai macam bayangan dan kilasan masa lalu, hadir memenuhi kepalanya. Devon meringis sambil satu tangannya menyentuh dahi. Sementara tangan yang lain, dia gunakan sebagai tumpuan. "Ibu?" panggil Devon lirih. Mau tak mau dia kembali berbaring sembari mengingat-ingat semua yang telah terjadi sebelum dirinya tak s

  • Demon King   Last Minutes

    "Ah, Paman. Kebetulan sekali, aku sudah menunggumu sejak lama. Hampir saja aku membusuk di kandang itu," Devon tertawa pelan, lalu menurunkan tubuh Antonella dan membaringkan gadis itu di depan kakinya begitu saja. "Kau apakan dia?" tanya Robertson Hadar dengan mata terpicing. "Mungkin aku akan membawa dan memasukkannya ke dalam kandang. Sama seperti ayahnya yang telah memperlakukanku seperti hewan," Devon menyeringai sembari mengusap permukaan bibirnya menggunakan ibu jari. "Ini semua adalah salahmu, Robertson Hadar!" terdengar teriakan nyaring dari arah lain pada lorong panjang itu. Devon menoleh ke belakang. Dia mendapati Ganymede berjalan dengan sorot penuh amarah. Satu tangannya tampak menggenggam sebuah botol bening berisikan cairan hijau. Sementara tangan lainnya mengokang senjata. "Apa yang kau lakukan, Ganymede? Jangan bertindak bodoh. Aku bukan musuhmu, tapi dia ...." telunjuk Robertson terarah lurus pada Devon. "Aku akan mengurusnya nanti. Untuk saat ini, aku harus men

  • Demon King   Antonella' Flame

    Devon tak bisa menghitung, berapa lama dia terkunci di dalam ruangan aneh ini. Selama waktu itu, berkali-kali Antonella melihatnya, menjenguknya ataupun sekedar menggodanya.Entah terbuat dari apa jeruji besi yang mengelilingi Devon saat ini. Yang jelas, dia kesusahan untuk mematahkannya. Emosinya meledak-ledak sejak saat kabut aneh itu merasuki dirinya. Devon merasa dirinya bagaikan hewa buruan yang diamankan di kandang. Dia harus menemukan jalan keluar agar dirinya bisa kembali menguasai keadaan dan membalikkan kekuatan Ganymede. "Anda tak bisa membuka jeruji itu, Yang Mulia," suara lembut seorang wanita membuat Devon terdiam untuk beberapa saat. "Apakah itu kau, Antonella?" Devon menautkan alisnya dan menatap tajam ke arah depan. Lagi-lagi gadis itu ingin bermain-main dengannya. Namun, kali ini kehadiran Antonella tak seperti biasanya. Tak terlihat apapun di luar jeruji, hanya ruangan luas dengan berbagai sisi yang berwarna putih. "Aku ada di sini," ujar suara itu lagi. Sosoknya

  • Demon King   In The Hand Of The Devil

    Devon memegangi kepalanya yang terasa begitu berat. Seakan ada bandul raksasa yang berdentang di dalam. Matanya terpicing, awas menatap sekitar. Dinding berbentuk jeruji besi terlihat kokoh memutarinya, mengungkungnya di tempat antah berantah ini. Dia bagaikan binatang buas yang dikurung di dalam kandang di tengah ruangan luas yang aneh.Ditatapnya lantai tempatnya berbaring seperti seorang pesakitan. Lantai berbahan logam berwarna hitam, sehitam matanya. "Ganymede!" teriak Devon sambil telentang. Bajunya entah kemana. Dia bertelanjang dada kini. Urat-urat hitam masih tampak menonjol di bawah permukaan kulit."Kau sudah sadar, Yang Mulia? Luar biasa. Padahal aku mencampurkan bermili-mili gram obat penenang, cukup untuk membuat tidur seekor gajah selama seharian," seringai sosok Ganymede yang tiba-tiba saja muncul di ujung ruangan, di luar jeruji tentunya."Kau memang makhluk spesial. Tak ada yang sekuat dirimu. Sekalipun itu Tuan Anka Hadar," Ganymed

  • Demon King   Transformation

    Devon sendirian kini. Hanya pedang Nebula saja yang setia menemaninya. Benda itu selalu tersarungkan dengan rapi di samping pinggang. Dia berjalan terseok-seok memasuki pusaran kabut hijau yang entah dari mana munculnya. Seperti ada seseorang atau sesuatu yang mengarahkannya ke sana. Bisikan-bisikan di dalam kepalanya terdengar semakin kencang, sampai-sampai Devon harus menutupi telinganya meskipun itu sia-sia.Sekilas, bayangan wajah Bellatrix, tergambar jelas di benak Devon. Dia tersenyum untuk sesaat, lalu kembali meringis, merasakan nyeri yang mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Otot-otot tubuh yang timbul di permukaan kulit, kini berubah menjadi kehitaman. Bola mata hijaunya juga mulai memudar, berganti warna menjadi gelap seluruhnya. Akan tetapi, penglihatannya menjadi semakin jelas.Tubuh Devon berubah menjadi semakin kekar. Kekuatannya seakan makin tak terbatas, namun ada satu hal yang makin berkurang, dirinya kini tak bisa mendengarkan nurani dengan jelas. Han

  • Demon King   Demon Devon

    Sudah empat hari berlalu sejak Devon memerintahkan Leya untuk mengemudikan pesawat siluman pulang ke markas Greenwalds. Sedangkan dirinya dan Bellatrix terjebak di daerah aneh ini, sementara kabut hijau semakin menyebar dan merata, padahal mereka berhasil membasmi titik-titik tumbuhnya tanaman beracun di berbagai tempat. "Waspadai langkahmu, Bella," ujar Devon memperingatkan gadis cantik yang berjalan di samping Devon itu. "Aku merasa ada yang aneh dengan badanku," keluh gadis cantik itu. "Apa perlu kita berhenti sebentar? Mungkin kau kelelahan. Kita sudah membasmi tempat tumbuhnya tanaman beracun itu dalam jumlah yang tak terkira banyaknya," Devon yang terlihat khawatir, segera menghentikan langkahnya. Dia putar pedang Nebula dengan kecepatan penuh, sehingga kabut hijau itu kembali terurai dan menyebar menjauh. Sudah berkali-kali Devon melakukan hal ini, namun asap hijau itu selalu berhasil merapat kembali. "Apa masker biohazardmu tak berfungsi? Kau bisa memakai punyaku," tawar De

  • Demon King   Become A Monster

    Leya memencet sebuah tombol yang terletak di sisi ruangan. Dinding di hadapannya kemudian bergeser pelan. Sebuah layar datar berwarna putih muncul dari dalamnya. Sementara Valishka berdiri di sisi Leya, sudah siap dengan benda pipih transparan yang selalu ia bawa kemana pun itu.Ini adalah hari ketiga sejak Leya tiba di markas rahasia. Entah kenapa, saat itu Devon yang berada di darat, tiba-tiba memerintahkannya untuk kembali terlebih dulu tanpa dirinya dan Bellatrix. Atlas yang awalnya menolak, terpaksa menyetujui keinginan Devon. Bahkan Bellatrix telah mengatur titik koordinat dan mengaktifkan kemudi otomatis pesawat siluman sehingga kendaraan canggih itu terbang dan berhenti tepat di atas pusaran kabut pelindung bangunan markas.Fokus utamanya ketika tiba adalah melakukan perawatan terhadap Troy. Halusinasinya makin parah sejak ia digigit oleh makhluk monster, sehingga Leya terpaksa menyuntikkan obat penenang dan penghilang rasa sakit secara bersamaan. Kondisinya se

  • Demon King   Hunted

    "Lalu, dimana mereka sekarang? Kenapa tidak terlihat seorang pun makhluk monster itu?" Bellatrix menyapu pandangannya ke segala arah. "Itu nanti saja kita pikirkan. Kita bawa Troy dulu," Devon sigap mengangkat tubuh lemah Troy, memanggulnya di pundak dan memencet pin hitamnya. Ketiga orang itu pun kembali ke pesawat siluman. Atlas menyambut mereka dengan raut cemas. Sementara Leya terpekik senang melihat Troy ditemukan dengan selamat, meskipun kondisinya lemah. Devon meletakkan pria itu hati-hati di atas kursi penumpang. Bellatrix menekan salah satu tombol di sisi kursi hingga sandarannya bergerak horizontal membentuk ranjang. Pandangan Bellatrix tak lepas dari wajah Troy yang pucat. Setitik kekhawatiran muncul dalam dirinya. "M-menurutmu apa dia akan berubah menjadi salah satu monster itu?" tanyanya ragu-ragu. "Apa yang mereka lakukan pada Troy?" Leya turut bertanya. "Mereka menggigitnya," sahut Devon pelan. "Semoga saja tidak ada efek

  • Demon King   Troy, The Survivor

    Devon berada dalam dilema. Jika dia hanya dalam posisi bertahan, entah sampai berapa lama rekan-rekannya akan sanggup berdiri bersamanya. Akan tetapi, jika Devon melawan, maka dia tidak akan bisa mengontrol kekuatannya. Bisa jadi seluruh makhluk yang bermutasi itu akan musnah dan Devon sungguh tak ingin itu terjadi.Dia selalu teringat akan ibunya ketika dia berhadapan ras asli penduduk bumi. Entah dia sanggup atau tidak untuk menahan beratnya rasa bersalah yang mungkin akan dia tanggung."Apa yang harus kita lakukan, Yang Mulia? Kami menunggu perintahmu!" seruan Atlas menyadarkannya."Kita tinggalkan tempat ini untuk sementara!" titah Devon seraya mengeluarkan perisainya yang membentuk kubah di sekeliling dia dan semua rekannya."Bagaimana dengan Troy? Kita tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini!" protes Leya yang segera dijawab dengan gelengan kepala oleh Devon."Tidak ada waktu sekarang! Jumlah mereka terlalu banyak! Nanti aku akan kembali l

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status