Bab ini kita santai2 dulu, ya. Aku mau mengisahkan Alena di tempat kerjanya. Nanti di tempat kerjanya Alena bakal nemuin petunjuk penting. So, ikuti terus bab selanjutnya, ya. Jangan bosan-bosan. Terima kasih.
"I-iya gue tinggal sama Nenek." Alena akhirnya menjawab demikian karena Mbah Nani pun sudah dia anggap seperti neneknya sendiri. "Kalau Ibu gue udah meninggal. Ayah gue ...." Alena terdiam sejenak. "Sejak kecil gue nggak tahu Ayah gue di mana." Alena tersenyum masam. Wajahnya berubah sendu membuat Mira merasa bersalah atas pertanyaannya. "Maaf, ya," ucap Mira tak enak hati. "Jadi sekarang lo nggak punya orang tua? Makanya tinggal sama Nenek?" Alena mengangguk. "Kasihan lo. Btw, umur lo berapa sih? Kayaknya masih muda." "Delapan belas tahun Kak tapi bulan depan udah mau sembilan belas." Alena tersenyum kaku. Mira mengangguk-angguk. "Kenapa mau jadi CS? Udah pernah cari kerja ke tempat lain?" "Udah, tapi yang nerima cuman perusahaan tempat gue kerja sekarang. Gue juga cuman tamatan SMA. Nggak apa lah jadi CS yang penting kerjaannya halal dan nggak merepotkan Nenek lagi." Mira tersenyum. "Kamu perempuan hebat, perempuan tangguh. Semangat selalu, ya?" Mira mengepalkan tangannya ke a
Setelah melewati jam istirahat, Alena dan Mira kembali ke kantor, bekerja seperti biasa sampai waktu menunjukkan pukul delapan malam. Mira sempat menawarkan Alena pulang bersama, tapi Alena tidak mau dengan mengatakan kalau dia naik taksi saja. Mira sudah pulang sepuluh menit lalu. Keadaan kantor sudah sepi, hanya menyisakan beberapa CS yang sedang bersiap pulang dan beberapa karyawan yang lembur. Selain Mira, tidak ada karyawan CS yang begitu ramah padanya. Paling ketemu hanya menegur dan tersenyum. Itu bagus bagi Alena yang tidak ingin didekati terlalu banyak orang asing. Alena membuka lokernya untuk mengambil pakaian ganti yang sudah dia siapkan. Lalu mengganti seragamnya ke toilet. Tak lama kemudian Alena keluar dalam keadaan sudah memakai pakaian bebas--kaos ketat putih yang dilapisi outer hitam panjang dengan bawahan celana jins. Alena pulang menggunakan taksi yang sudah dia pesan melalui aplikasi di ponselnya. Namun, di tengah jalan, taksi itu berhenti. Alena mengalihkan pa
"Eh nggak usah takut gitu sama Abang. Santai aja. Niat kita 'kan baik mau nganterin. Iya nggak?" tanya lelaki itu pada temannya. "Namanya siapa?" tanya lelaki berambut gondrong sambil merokok. Alena menggeleng lagi. "Nggak!" Ketiga lelaki pereman itu saling pandang melihat aksi Alena. Lelaki berambut seperti anak punk dan mengenakan anting dan kalung mendekati Alena yang matanya sudah berair. Lelaki itu lantas mencekal pergelangan tangan Alena membuat Alena berteriak kencang. Jantung gadis itu terasa ingin lepas. "Diam nggak lo! Jangan teriak-teriak!" Lelaki itu mulai berang. Alena meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari pegangan lelaki itu. "Lebay banget ya teriak-teriak. Dikira kita mau ngapain dia kali." Lelaki berkepala plontos yang sejak tadi hanya menonton, ikut menyahut. "Tauk, nih. Di apa-apain beneran baru tahu rasa!" timpal lelaki berpenampilan anak punk yang meregangnya. "Jangan. Jangan! Tolong ....!" Alena berteriak tertahan. "Hmmp!" Tapi kemudian mulutnya dibeka
"Alena?" "A-Andrio?" Alena dan lelaki itu saling pandang. Lalu lelaki itu tersenyum. Tapi tidak dengan Alena yang masih tercengang. "Alena, lo nggak apa-apa 'kan?" Raut wajah Andrio berubah khawatir sambil memegangi kedua bahu Alena. Alena sedikit terkejut menyadarinya, lalu gadis itu menggeleng. Sepersekian detik kemudian Alena memeluk Andrio membuat Andrio sedikit terkejut. Entah ada angin apa yang merasuki gadis itu hingga memeluk lelaki di hadapannya. "Gue takut, gue takut banget," lirih Alena sambil mengeratkan pelukannya di tubuh lelaki itu. Matanya yang memejam berair. Jantungnya masih terasa berdebar kencang. Dia sungguh takut. "Iya, iya, lo tenang, ya. Ada gue di sini. Peremannya juga udah pergi." Andrio menenangkan sambil membalas pelukan Alena. Senyap. Sampai beberap detik kemudian, Alena membuka matanya dalam dekapan lelaki itu yang membungkus tubuhnya hangat dan teringat sesuatu. Alena langsung mendorong lelaki itu membuat Andrio terkejut. "Ma-ma'af. Ma'af gue-gue n
"Oh, jadi Ibu lo udah meninggal? Innalillahi Wa'ina'ilahi Rajiun. Maaf Al gue nggak tahu. Gue turut berduka cita, ya. Lo pasti sedih banget 'kan?" Sepanjang perjalanan pulang Alena mengisahkan tentang ibunya yang sudah meninggal pada Andrio setelah lelaki itu banyak bertanya dan Alena tak punya pilihan selain jujur. "Kalau itu nggak usah lo tanya lagi. Farah saksinya betapa terpuruknya gue." "Farah teman lo waktu SMA?" "Iya, siapa lagi?" "Lo masih temanan sama dia?" "Ya masih lah. Dia satu-satunya sahabat gue. Oh iya, balik lagi ke cerita gue. Gue bahkan hampir bunuh diri tahu nggak, tapi Farah nggak tahu tentang itu karena waktu itu dia udah sibuk sama kuliahnya. Dan gue nggak mau merepotin dia muluk." "Lo mau bunuh diri? Serius?" "Iya. Dan Mbah Nani itu yang nolongin gue. Sejak itu gue sadar, nggak seharusnya gue berpikir untuk bunuh diri lagi. Jadi gitu asal mula gue bisa kenal Mbah Nani. Sampai sekarang gue tinggal di rumahnya karena gue nggak punya siapa-siapa lagi." "Ya
"Andrio! Apa maksudnya ini, hah?!" Putra mengangkat sebuah surat peringatan dari kampus tempat Andrio kuliah. Pria itu marah besar tatkala mengetahui keterangan yang ada di surat itu. Andrio yang tengah sibuk nge-gym terkejut bukan main melihat reaksi papanya. Tapi dia berusaha terlihat tenang. "Itu surat dari kampus, Pa," jawabnya santai dan masih melanjutkan aktivitasnya. "Bagaimana bisa kamu sampai hampir di DO?!" Andrio lalu menghentikan aktivitasnya dari mengangkat barbel. Dia berjalan ke arah sofa tunggal yang ada di ruang olahraga itu dan duduk di sana. "Aku nggak kuat, Pa, kuliah kedokteran. Aku nggak sanggup." Andrio berterus terang. Seketika Putra meradang mendengar pengakuan putranya. Dia berjalan mendekati putranya. "Dasar anak yang nggak tahu diuntung kamu! Kamu tahu berapa biaya yang sudah Papa keluarkan demi membiayai kuliah kamu?! Di luar sana banyak orang yang ingin kuliah tapi tidak bisa!" Tangannya yang memegang kertas menunjuk-nunjuk udara. Andrio mendongak, m
"Kamu ngelamunin apa, sih, Sayang? Aku perhatiin dari tadi diam muluk," tanya Alyssa dengan nada manja. Andrio hanya menghela napas. "Masih mikirin masalah Papa kamu, ya?" Alyssa berdiri di samping Andrio. Saat keluar tadi Andrio langsung mendatangi Alyssa di rumahnya. Dan kebetulan gadis itu sedang tidak sibuk. Andrio mengajak kekasihnya itu keluar menemaninya. Dengan senang hati perempuan yang sangat mencintainya itu menurutinya. Mereka menghabiskan waktu hampir seharian hari ini. Mereka sudah mengelilingi banyak tempat. Mulai dari makan di mal, foto-foto di taman, berkeliling kota Jakarta sampai bosan hingga menjelang sore, Andrio mengajak kekasihnya itu ke gedung rooftop apartemen ayahnya. Andrio menceritakan semua masalahnya pada gadis-nya termasuk dia yang hampir di Drop Out. Namun, tetap saja pikiran Andrio belum sepenuhnya tenang. "Aku nggak tahu harus sampai kapan aku begini. Selalu nurutin kemauan orang tua aku yang aku sendiri nggak sanggup menjalaninya," jelas Andrio d
Hari-hari Alena bekerja di perusahaan itu sebagai Cleaning Service berjalan lancar. Tidak ada masalah yang berarti selain beberapa CS dan OB senior yang kadang menyinyirnya secara halus. Atau kadang Alena yang mengeluh karena letih saking banyaknya pekerjaan yang dibebankan padanya setiap harinya. Tanpa terasa dua minggu sudah Alena bekerja di sini dengan shift bergilir, seminggu masuk pagi dan seminggu masuk siang. Gadis itu makin terbiasa dan paham dengan tugasnya. Minggu ini dia mendapat shift pagi. Saat ini gadis itu sedang menyapu lantai bagian lobi. Dan ketika dia memandang ke depan, dia terkejut melihat seorang pria berjas yang begitu dia kenali. Pria berjas itu tengah lewat di hadapannya dan menuju ruangannya. Alena membelalak tak menyangka. "Kok ada Kakek Bagas di sini?" Kakek Bagaskara kerja di sini?" Jeda sejenak dia teringat sesuatu. "Oh iya, dulu 'kan Ibu pernah bilang kalau Kakek Bagas kerja di kantor sebagai direktur. Apakah beliau direktur di perusahaan ini? Kemarin