Waktu baru menunjukan pukul sepuluh malam, tapi suasana di diskotik malam itu sudah cukup ramai. Lampu-lampu menyorot penuh warna-warni. Laki-laki dan perempuan yang mengenakan pakaian mini berbaur menjadi satu, berjoget ria di bawah suasana remang-remang diiringi musik yang menghentak. "Sa, lo kok tumben ngajak ke sini lagi. Padahal udah lama 'kan kita nggak ke sini? Lo izin apa sama bokap lo?" Suara Cindy terdengar tenggelam timbul ditelan hentakan musik dan suara tawa dari pengunjung lain. Mereka hanya duduk-duduk di kursi yang mengelilingi meja bundar sambil menikmati minuman yang telah mereka pesan. Alyssa menggeleng setelah meneguk Mocktail pesanannya melalui sedotan dan meletakkan gelas itu di meja. Wajah gadis itu sesekali terlihat berwarna karena sorotan lampu. "Bokap gue jelas nggak tahu lah gue di sini. Yang bener aja. Kalau bokap gue tahu bisa mati gue." "Terus lo nggak izin gitu?" tanya Cindy lagi yang sambil main ponsel, sesekali menyeruput Mocktail. "Lo kayaknya ada
"Jangan, dong. Ini pasti cuman ujian kok. Kuliah kedokteran 'kan memang berat. Pokoknya lo nggak boleh nyerah. Lo harus terus lanjutin sampai selesai. Lo pasti bisa kok, Sa." Cindy menyemangati. Alyssa menggeleng. "Gue bingung. Gue sekarang lagi nggak mau mikir. Makanya gue ke sini buat nenangin diri." Alyssa, Cindy, dan Shareen sahabatan sejak SMA. Mereka berkuliah di tempat yang berbeda dengan jurusan yang berbeda pula. Cindy mengambil jurusan hukum, sedangkan Shareen jurusan ekonomi prodi akuntansi, katanya dia ingin meneruskan usaha orang tuanya sebagai Tauke Klontong. Ya, Shareen adalah keturunan chinese. Meskipun berpisah, ketiganya masih bersahabat akrab. Bagi Alyssa tidak ada teman baru yang sepengertian kedua sahabatnya itu. Di kampusnya Alyssa bahkan tidak punya teman dekat. "Eh, lo Alyssa, 'kan, mahasiswi kedokteran di kampus Buana Citra?" Tiba-tiba seorang perempuan berambut pendek menghampiri meja mereka membuat ketiganya terheran. Alyssa memandangi cewek itu. Dia kena
Beberapa hari kemudian .... Sepulang dari kantor, Alena langsung mandi sore dan bersiap-siap. Gadis itu sudah rapi mengenakan kaos ketat putih yang ditimpa outer motif bunga-bunga berwarna denim serta celana kain warna senada dengan outer. Sore ini dia akan main-main ke rumah Alyssa seperti yang diminta gadis itu tempo hari. Sebelum pergi Alena termenung duduk di tepi ranjang menatap pantulan dirinya di cermin. Dia mengingat hal-hal yang dia lakukan akhir-akhir ini. Dia mengirim teror ke rumah keluarga Bagaskara, mengikuti Alyssa sampai ke club malam hanya untuk mengetahui gadis itu lebih dalam. Memanfaatkan kebaikan gadis itu untuk balas dendam secara halus seperti yang telah dia rencanakan. Apakah itu berlebihan? Dia rasa tidak. Apakah dia kejam? Bagi Alena apa yang dia lakukan ini belum ada apa-apanya dibanding apa yang sudah Rista lakukan terhadap ibunya dulu. Dan sekarang, rencana terakhirnya adalah ... menghancurkan Alyssa. Karena Alyssa adalah anak satu-satu mereka dan
"Cari siapa, Neng?" Rupanya satpam penjaga gerbang sudah menyadari kedatangannya. Alena menatap satpam itu di antara terali pagar. "Saya temannya Alyssa di suruh datang ke sini sama Alyssa," jawab Alena. Lagi-lagi gadis itu berbohong. "Oh, temannya Non Alyssa? Tapi Non Alyssa-nya lagi keluar. Mungkin sebentar lagi pulang." "Iya, saya tahu. Dan saya disuruh menunggu di dalam. Bisa bukain pagarnya?" Alena tersenyum. "Siap." Satpam itu pun membuka pagar tinggi menjulang itu perlahan. "Terima kasih, Pak." Alena terus menatap rumah megah itu seiring dengan langkahnya mendekati rumah itu. Berada di dekat rumah sebesar itu membuat Alena merasa kecil. Alena berdecak kagum sekali lagi mengamati rumah itu dari dekat, lebih indah dari kejauhan. Ditambah halamannya yang luas, berlantai keramik sebagian, dan terdapat taman mini di samping kanannya--di taman mini itu ada kursi-kursi yang terbuat dari batang pohon besar, juga ada kolam ikannya yang terdengar berkecipak. Taman itu terasa sejuk d
Alena mengangguk cepat sebelum Bagas menjawab. Sepersekian detik Alena bisa melihat ketegangan dalam wajah Rista. Wanita itu tampak terkejut dengan kehadirannya. Wanita itu juga terlihat tidak suka dengan kedatangannya, tapi dia berusaha menutupinya dan terlihat baik-baik saja. "Oh, sama siapa kamu ke sini?" Rista bersidekap memperhatikan Alena dari atas sampai bawah. "S-sendiri," jawab Alena singkat. Alena ingin mengatakan kalau dia sudah bertemu Alyssa dan Alyssa yang memintanya datang ke mari, tapi entah kenapa lidahnya mendadak kelu untuk bicara panjang lebar. Berhadapan dengan dua orang dewasa yang selama ini menjadi incarannya membuatnya gugup. "Tahu rumah ini dari mana?" tanya Rista lagi. "Dari Alyssa, Nek," jawab Alena. "Dari Alyssa?" "Iya, kemarin Alyssa--" "Eh, Mami, Papi, lagi ada tamu?" Ketiga orang yang berdiri di teras itu menoleh ke sumber suara. Seorang gadis mengenakan kaos ketat panjang dan celana jins terlihat menaiki tangga sebelum akhirnya mencapai teras.
"Alena." Alena sedikit terperanjat menyadari Bagaskara sudah berdiri di hadapannya. Pria itu menatapnya heran. "Kamu kenapa?" Pertanyaan itu justru membuat Alena bingung. Memangnya dirinya terlihat tidak baik-baik saja? Sepersekian detik Alena merasakan jempol pria itu mengusap pipinya. "Kamu kenapa nangis?" Alena langsung teringat kalau tadi dirinya sempat menangis dan mengusap kedua pipinya dengan tangan cepat, membersihkan sisa-sisa air matanya. Alena memaksakan senyum. "Nggak pa-pa, kok, Kek." Alena menatap pria itu yang merupakan ayahnya. Aneh rasanya dia memanggil pria itu 'Kakek' sedangkan dia tahu bahwa pria itu adalah ayahnya. "Ma-maaf a-aku jadi berdiri di sini, aku nggak bermaksud, a-aku--" "Nggak pa-pa," jawab Bagas tersenyum tenang. "Boleh duduk dulu? Ada yang mau Kakek bicarakan sama kamu." Alena mengernyit menatap pria itu. Ayahnya mau bicara apa? Apakah ingin melanjutkan pembahasan tentang dia yang menjadi Cleaning Service tadi? Apakah pria itu ingin memecatnya?
Alena menatap pepohonan di tepi jalan raya perkotaan yang seperti berlarian melalui kaca jendela mobil taksi yang dia tumpangi. Ya, gadis itu akhirnya pulang menggunakan taksi. Sebenarnya tadi Alyssa ingin mengantarnya pulang, tapi Rista melarangnya dan memesankan taksi online saja. Bahkan sempat terjadi perdebatan sebelumnya. Alena masih ingat jelas bagaimana Rista memarahi Alyssa. "Biar aku aja, Mi yang antar Alena pulang," tawar Alyssa waktu maminya mengatakan kalau Alena sudah mau pulang. "Nggak usah. Sebaiknya Alena naik taksi online saja. Biar Mami pesankan," larang Rista. Alyssa menghela napas. "Biar aku aja, Mi. Lagian masih ada banyak hal yang mau aku omongin ke Alena. Kita 'kan udah lama nggak ketemu. Pengin lepas kangen, Mi." "Mami bilang jangan, ya, jangan, Alyssa!" Rista membentak membuat Alyssa dan Alena sedikit tersentak. Alyssa langsung terdiam. "Kenapa, sih, nggak dengerin Mami? Sejak kapan kamu jadi pembangkang? Biarin Mami yang panggilin taksi, Mami yang bayar
"Alena, keluar yuk, Nak. Ada Kakek Bagaskara datang." Waktu itu Alena sedang duduk di ruang tengah sambil main masak-masakan menggunakan peralatan mainan ketika tiba-tiba Leyla menghampirinya, mengabarkan Kakek Bagas datang. Alena hanya menatap ibunya tanpa mau berdiri dan keluar seperti yang ibunya suruh. Tak lama kemudian, Alena melihat Kakek Bagas sudah berdiri di ambang pintu ruang tengah. Alena tersenyum menatap pria itu. Leyla pun menoleh dan baru menyadari Bagas malah masuk ke dalam. "Tuh 'kan malah Kakek Bagas yang ke sini." Leyla jadi merasa tak nyaman. "Nggak pa-pa." Bagas menunduk menatap Alena yang sedang bermain. Peralatan memasak mainannya terlihat berserakan di sekitarnya. Lalu pria itu berjongkok. "Alena lagi main apa?" "Main masak-masakan," jawab Alena pelan dan malu-malu. Gadis berusia lima tahun itu bahkan tidak menatap Bagas dan malah sibuk dengan mainannya. Bagas tersenyum. "Alena sudah makan?" Alena menggeleng sambil menunduk. "Nih, Kakek bawain sesuatu bu