Bab 8
Tok! Tok! Tok!Nida yang tengah merenung setelah kepergian tante dan omnya dari kamar, tiba-tiba saja dikejutkan dengan ketukan pada pintu kamarnya. Wanita itu refleks menoleh ke arah pintu tersebut, dan sebelum ia merespons apa pun, Hans sudah muncul dari sana terlebih dahulu dengan senyum manisnya."Belum tidur?" tanya laki-laki itu, terdengar begitu hangat.Nida tak menjawab, karena tanpa menjawab pun, harusnya Hans sudah tahu jika dirinya memang belum tidur."Sayang, Mas mau izin ke luar sebentar. Diaz dan Ibu meminta tolong agar Mas mau mengantar mereka pulang, karena tadi mereka datang ke sini menggunakan taksi. Tidak apa-apa kan kalau Mas pergi sebentar? Mas janji, setelah mereka sampai rumah, Mas akan langsung pulang ke sini lagi," ujar Hans terdengar begitu lembut saat bicara dengan istrinya."Kenapa harus izin? Bahkan kalaupun kamu tidak kembali ke sini lagi seperti sebelum-sebelumnya, aku tidak akan peduli," jBab 9"Mas! Lama sekali sih? Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi. Kamu jadi mengantar kami pulang atau tidak sebenarnya?" Diaz tiba-tiba saja datang dan berkata kesal kepada suaminya. Ia bahkan tak bisa menghargai keberadaan kedua mertua dan kakak iparnya karena tak segan berkata dengan intonasi tinggi di depan mereka, terlebih kalimat yang serupa bentakan itu ditunjukkan Diaz untuk Hans yang merupakan suaminya sendiri. Diaz tak peduli dengan pandangan keluarga suaminya terhadap dirinya, karena Diaz hanya merasa jika ia perlu mengungkapkan rasa kesalnya, sebab Hans telah membuat ia dan ibunya menunggu terlalu lama di teras. "Bicaranya pelan-pelan saja apa tidak bisa, Diaz? Kamu kira suamimu tuli?" Mirna menghardik Diaz yang ia anggap telah berlaku tidak sopan kepada Hans. Entah ada apa dengan kedua istri Hans ini. Kenapa mereka sama-sama tidak punya sopan santun seperti ini?"Maaf, Ma, aku hanya sedang kesal dengan Mas Hans. Aku dan Ibu sudah menunggu sejak tadi, tapi Mas Hans la
Bab 10Nida tidak tahu jam berapa Hans sampai di rumah setelah semalam mengantar Diaz dan ibunya pulang. Namun, saat pagi-pagi sekali Nida bangun, ia sudah menemukan suaminya itu tidur di sebelahnya. Nida yang merasa risi dengan tangan Hans yang memeluknya, dengan cepat menyingkirkan tangan itu dengan sedikit kasar. Hal itu membuat Hans yang terkejut, langsung terjaga dari tidurnya. "Sayang, kamu sudah bangun?" Hans bertanya dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya bahkan belum terbuka sempurna, karena dirinya memang masih merasa mengantuk. Meski mendengar pertanyaan Hans, tetapi Nida memilih tak menjawab. Lagi pula itu hanya pertanyaan retoris yang sudah sangat jelas jawabnya. Wanita itu justru lebih memilih menyibukkan diri dengan mengikat rambutnya menggunakan ikat rambut yang semalam ia letakan di atas nakas. "Kamu mau ke mana, Sayang?" tanya Hans saat melihat Nida hendak pergi dari hadapannya. "Mau ke dapur, bantu Bi Retno masak," jawab Nida apa adanya. "Loh, buat apa
Bab 11Sementara itu di rumah yang ditempati Diaz, Lily merasa sangat kesal ketika menemukan anak sulungnya itu masih bergelung di dalam selimut, padahal matahari di luar sana sudah semakin meninggi. "Bangun, Diaz! Bangun! Dasar pemalas! Sudah jam berapa ini? Kenapa kamu masih enak-enakan tidur, Diaz!!" teriak Lily kesal, seraya menarik selimut yang membungkus rapat tubuh putrinya. Namun, bukannya lekas bangun setalah mendengar teriakan ibunya yang tidak bisa dibilang pelan, Diaz justru hanya menggerutu dan masih tidak mau membuka matanya. Wanita itu bahkan hendak meraih kembali selimutnya, tetapi sang ibu dengan cepat menjauhkan benda tersebut dari jangkauannya. "Ayo cepat bangun, Diaz! Ibu mau bicara serius sama kamu!" ujar Lily, kembali mencoba menyadarkan sang putri dari tidurnya. "Ibu jangan berisik dong. Aku masih mengantuk, Bu," gumam istri kedua Hans tersebut seraya menutup telinganya dengan bantal, berharap suara keras sang ibu tak lagi menunggu tidur nyenyaknya. "Ini su
Bab 12"Bayangkan saja, Diaz. Suamimu nanti hanya akan mendatangimu ketika dia sedang bertengkar dengan Nida atau saat Nida sedang datang bulan hingga tak bisa melayani suamimu. Kamu hanya akan dijatah uang sebesar yang Hans berikan tanpa boleh meminta lebih, sementara Nida dan anaknya akan dibelikan barang-barang mewah di sana. Setiap Nida meminta Hans untuk datang, Hans pasti akan langsung datang, tak peduli meski saat itu seharusnya waktunya Hans bersamamu. Apa kamu mau menjadi hidup yang seperti itu, Diaz?" tutur Lily lagi, masih berusaha menanamkan pikiran buruk ke dalam otak Diaz. Diaz yang mendengar semua ucapan ibunya, sontak saja langsung mendelik karena merasa tak terima jika ia harus mengalami hal yang seperti ibunya katakan. "Tidak, Bu, aku tidak akan menjalani hidup yang seperti itu. Cukup Nida saja yang bodoh mau diperlakukan seperti itu olehku dan Mas Hans, tapi aku tidak akan membuat keadaan menjadi terbalik seperti yang Ibu katakan. Aku
Bab 13[Mbak Nida, bisakah kita bertemu hari ini? Aku sedang ada di Jakarta, Mbak.]Nida mengernyitkan dahinya ketika membaca pesan masuk yang ternyata dari adik sepupunya. Padahal setahunya gadis bernama Gisel itu sekarang sedang mengenyam pendidikan di kota Malang, kenapa tiba-tiba dia sudah ada di sini saja? Apa Gisel sudah libur kuliah? [Mau bertemu di mana?] Nida membalas pesan tersebut tanpa ingin berbasa-basi. Dulu, Nida dan Gisel cukup dekat karena selain ibu mereka merupakan saudara sekandung, keduanya pun kerap main bersama, bahkan hingga mereka tumbuh dewasa. Mereka baru mulai jarang bertemu setelah Nida menikah karena Nida terlalu sibuk mengurus kehidupan rumah tangganya. Kemudian, balasan dari Gisel datang tak lama setelah pesan yang Nida kiriman dibaca oleh sepupunya tersebut. [Di kafe yang dulu sering kita datangi saja, Mbak.][Baiklah, jam 2 siang, aku tunggu di kafe itu.] Nida langsung meletakkan ponselnya di atas ranjang setelah ia mengirimkan pesan tersebut. Ia
Bab 14[Sayang, lagi apa? Kenapa teleponku tidak diangkat?] [Sayang sedang sibuk, ya? Nanti kalau sudah tidak sibuk hubungi Mas ya. Mas rindu.][Adik bayi apa baik-baik saja? Sayang jangan lupa istirahat, Mas tidak mau kamu kelelahan. Tolong jaga calon anak kita baik-baik ya, Sayang.]Membaca sebagian pesan itu, bukannya merasa senang atau terkesan, Nida justru jadi mual. Apa Hans tidak salah kirim? Rasanya sudah lama sekali mereka tidak berkirim pesan dengan kata-kata manis seperti ini. Nida jadi merasa aneh, karena suaminya tiba-tiba berubah hanya dalam waktu beberapa hari saja. Namun, karena tak ingin terlalu memikirkan pesan yang dianggapnya tidak penting itu, Nida pun segera melakukan panggilan ke nomor suaminya. "Halo, Sayang." Suara Hans terdengar begitu lembut dari seberang sana. Laki-laki itu sepertinya memang sedang memegang ponsel, sehingga bisa menerima panggilan Nida dengan cepat. "Halo, Mas. Maaf aku mengganggu waktu kamu. Kata Bi Retno, kamu mau pulang ke sini unt
Bab 15"Maaf Mbak, aku terlambat." Gisel yang baru datang, langsung duduk di kursi yang berada di hadapan Nida. "Mbak Nida sudah datang dari tadi?" tanyanya dengan perasaan tak enak, karena takut Nida sudah menunggunya terlalu lama, sementara pertemuan ini adalah permintaan darinya. "Aku juga belum lama datang. Lagi pula ini belum jam 2, jadi kamu tidak terlambat sama sekali," balas Nida dengan memberikan senyum tipisnya ke arah Gisel. Sebelum memulai obrolan, Gisel memesan minuman terlebih dulu. Sementara Nida sudah memesan jus buah dan kue tiramisu sebelum Gisel datang. "Kata ayah dan Ibu, Mbak Nida hamil? Selamat ya, Mbak, akhirnya Mbak hamil juga setelah menunggu beberapa tahun ini," ujar Gisel setelah pelayan yang mencatat pesanannya pergi dari meja yang mereka tempati. Mendengar ucapan selamat dari Gisel yang terdengar begitu tulus, Nida refleks mengusap lembut perutnya. Ia sendiri bahkan masih tak menyangka jika dirinya ternyata bisa hamil setelah bertahun-tahun lamanya pre
Bab 16"Sayang, kamu sudah pulang?" Hans bertanya setelah ia membukakan pintu rumah untuk Nida yang baru saja datang dari luar. Senyum laki-laki itu terlihat begitu manis saat menyambut sang istri yang sudah ia tunggu kedatangannya sejak tadi. Nida sendiri merasa terkejut saat melihat bukan Bi Retno yang membukakan pintu untuknya, tetapi justru suaminya sendiri. "Em, iya," kata Nida, membalas pertanyaan retoris suaminya. Setelahnya, Nida langsung masuk ke dalam rumah, disusul oleh Hans yang segera mensejajarkan langkah mereka setelah sebelumnya menutup kembali pintu rumahnya. "Tadi ke mana saja dengan Gisel? Kenapa baru pulang semalam ini, Sayang?" tanya Hans di sela langkah mereka menuju kamar. Ini memang sudah jam delapan malam. Sejak tadi siang bahkan Hans sudah menghubungi Nida, tetapi wanita itu tak menjawab panggilannya satu kali pun hingga membuatnya merasa khawatir. Maka dari itu, Hans sengaja menunggu kepulangan Nid