“Eh gak usah. Aku baru ingat jam tanganku ada di rumah,” kata Cindy dengan membatasi gerakan tubuhnya. Aldan menahan tawa, “’Yang benar yang mana nih? Gelang apa jam tangannya yang hilang?”“Hah? Eh, anu. Iya maksudku gelangku, iya itu.” Terlihat jelas kegugupan menghiasi wajah Cindy, membuat semua orang yang ada di sana mulai curiga.“Yaudah putar aja, Pak.” Rangga yang tadi hanya ikut, kini dia bersuara karena gregetan dan penasaran dengan perubahan ekspresi Cindy. Dia merasa ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu.Petugas itu mulai memutar cctv pagi ini. Dan benar saja di layar komputer diperlihatkan Cindy datang lebih awal ke kantor. Dia masuk ke ruangan divisi keuangan sembari memperhatikan keadaan sekitar. Dia menutup pintu ruangan itu, lalu berjalan ke arah meja Aldan. Selanjutnya dia menyelipkan gelang miliknya ke tumpukan kertas yang ada di meja kerja milik Aldan. Tentu semua orang yang ada di sana terkejut bukan main.PLAK!Lukman spontan menampar wajah Cindy, “Detik ini
Aldan mendengar kemarahan Hendrawan lewat ponsel kloningan. Dia kegirangan karena Wahyu memberikan perlawanan sengit pada kepala polisi itu. “Memang seharusnya seperti itu bukan? Sesama iblis harus saling beradu strategi untuk membunuh satu sama lain,” gumam Aldan tersenyum puas. “aku gak sabar menonton kalian baradu kelicikan. Siapa yang menang? Ahhh kayaknya semakin seru. Sayang sekali kalau dilewatkan.”Di titik ini, sudah memasuki jam istirahat. Aldan menyimpan ponsel kloningan itu di saku celananya. Lalu, dia berdiri menghampiri Rangga yang sedang merapikan dokumen di atas meja.“Mau makan, gak?”“Yaiyalah, gak makan nanti mati.” “Oke ayo makan biar nyawamu gak ilang,” canda Aldan, lalu dia berjalan beriringan dengan Rangga.Di kantin, Aldan dan Rangga melihat Verra melambaikan tangan untuk memberi isyarat agar duduk di meja yang sama.“Widihhhh nyampe duluan.” Aldan mendaratkan tubuhnya di salah satu kursi makan.“Laper banget ya?” Rangga duduk di sebelah kiri Aldan.“Emmm eng
Setelah jam kerja usai, Aldan tidak langsung pulang. Dia pergi ke ruangan Ceo, Dhe Diantama.“Bunda memanggilku?” tanya Aldan.“Duduklah,” pinta Dhea sembari menepuk sofa di sebelahnya. Aldan pun menurut.“Bunda sudah memecat Cindy,” ucap Dhea.“Seharusnya bukan Cindy yang Bunda pecat. Seharusnya Bunda memecat orang yang menyuruhnya.” “Begitu ya? Tapi Cindy gak mengaku sama sekali. Bunda gak punya bukti buat memecat Lukman.” Dhea berbicara langsung ke intinya. Dia sudah tahu orang yang dimaksud Aldan.“Ah lupakan itu dulu. Cepat atau lambat Lukman akan terdepak dari perusahaan. Bunda memanggilmu bukan mau membahas itu,” kata Dhea lagi. Kali ini wajahnya terlihat lebih serius.“Terus mau bahas apaan, Bun?” tanya Aldan sesantai mungkin, meski dia tahu pasti ada sesuatu yang sangat penting sehingga Dhea memanggilnya.“Membahas anak Bunda.”“Kenapa aku, Bun? Aku baik-baik saja kok.” Aldan tersenyum lebar.“Sepertinya musuhmu bertambah banyak setelah kembali ke Indonesia,” singgung Dhea,
Misi balas dendam Aldan direncanakan sedetail-detailnya. Sebelum kembali ke Indonesia, Aldan sudah jauh-jauh hari membuat identitas baru dengan meminjam nama dari satu keluarga yang memang sudah meninggal dunia. Tentu ini jasa dari Dhea Diantama untuk mengurus segalanya agar identitas Aldan tidak terbongkar.“Maafkan aku, Rangga,” ucap Aldan sembari melihat Rangga memasuki mobil dan melenggang pergi dari sana.Aldan merasa bersalah, tetapi dia harus berbohong sampai misi balas dendamnya tercapai.“Jika sudah tiba waktunya. Aku akan memberitahu dunia siapa aku.” Aldan kembali masuk ke dalam karena dia mendengar ponselnya berbunyi.Di saat bersamaan, Faizal masuk ke dalam melalui pintu belakang, “Bos.”“Hemmmm.” Aldan hanya berdehem sembari mengambil benda pipih itu di sofa. Perlahan senyuman manis terbit di bibirnya saat melihat nama Adelia terpampang di layar ponsel miliknya.Aldan mengangkat telepon dan langsung menggoda Adelia, “Ciye kangen ya.”“Idddihh gr amat. Aku cuma minta pend
“Bos.” Faizal tiba-tiba muncul menghampiri Aldan dan Adelia di sofa ruang tengah.Aldan reflek menoleh, “Ya?” tanyanya sembari memberi kode dengan gerakan matanya yang dimengerti oleh Faizal.“Titiknya bergerak. Kenceng banget.” Faizal memberitahu dengan bahasa kiasan.“Yaudah service aja. Ganti layar,” kata Aldan santai.“Apanya yang rusak?” tanya Adelia penasaran sembari memasukkan kalung itu kembali ke saku celananya. Aldan pun belum sempat melihat bentuk barang itu.“Laptopku. Kemarin-kemarinnya sih cuma ada sedikit bercak, sekarang malah bergerak menyebar,” kilah Aldan berusaha meyakinkan Adelia. “aku mau ke tukang service dulu ya. Masalah kalung, gampang nanti aku bantu.”“'Kan Faiz bisa sendirian,” ucap Adelia. Malam ini dia ingin Aldan menemani dirinya untuk memecahkan masalah kalung yang membuat dirinya dilanda kegelisahan. Bukan hanya itu, sebenarnya dia ingin berduaan dengan kekasihnya.“Aku sekalian mau beli baju.” Aldan santai memberi alasan agar Adelia tidak curiga. Dia
Faizal ikut merasakan aura kemarahan Aldan. Dia menunduk dan bergidik melihat tatapan mata Aldan begitu tajam mengarah pada layar ponsel kloningan. “Tempat ini saksi kebiadapan mereka.” Tatapan mata Aldan masih menyala-nyala. Faizal tidak mengerti maksud ucapan Aldan yang terdengar mengambang. Namun, dia yakin tempat ini berhubungan dengan masa lalu Aldan. “Ada hubungan apa Bos dengan tempat ini?” Faizal memberanikan diri bertanya tanpa menatap pada Aldan yang masih terlihat mengerikan. Aldan memejamkan kedua mata sembari menghembus napas pelan. Lalu dia membuka mata kembali, dan aura pembunuhnya perlahan menghilang. “Di rumah ini.” Aldan menoleh pada Faizal sembari sebelah tangannya menunjuk pada layar remote kontrol. “Iblis-iblis itu menyekap dan menyiksaku. Mereka melemparkanku ke dalam kandang bersama dengan seekor anjing.” Meski sudah 10 tahun berlalu dan banyak perubahan di sekitar tempat ini, Aldan masih mengenalinya. Apalagi rumah tempat penyekapannya dulu tidak banyak
Di seberang sana, dada bidang Aldan kembang kempis mendengar ucapan Hendrawan. Tatapan matanya membulat pada layar ponsel kloningan.“Gak mungkin. Gak mungkin. Mustahil.” Aldan menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya.“Apa mungkin selama ini Hendrawan sudah tau identitas Bos? Apa dia mematai-matai Bos?” Faizal juga terkejut.“Jika Hendrawan diam-diam sudah tau identitasku, maka gak ada pilihan lain selain membunuhnya malam ini juga.” Aldan berkata sangat serius dengan tatapan tajam. Aldan dan Faizal tak mengalihkan pandangan ke arah layar remote kontrol, mereka menunggu ucapan Hendrawan berikutnya.Sementara itu, Wahyu juga sempat terkejut. Namun, di detik berikutnya dia malah tertawa.“Omong kosong macam apa yang kamu katakan?” Wahyu yakin Hendrawan berbohong. Mustahil anak Chandra masih hidup. Wahyu masih terkekeh, lalu dia bertepuk tangan dengan sorot mata mengejek pada Hendrawan, “Bakatmu memang gak perlu diragukan lagi. Kamu pantas meraih penghargaan nobel.” Hendrawan ikut
“Lepaskan aku!” Wahyu berteriak sekencang mungkin ketika rambutnya dijambak Hendrawan. “Akhhhhhh ... Hentikan, bangsat!” Wahyu berteriak kesakitan ketika jambakan itu semakin keras. Namun, iblis di dalam diri Hendrawan justru semakin semangat untuk menyiksa mangsanya. Bahkan dia mencabut paksa beberapa rambut dari kulit kepala Wahyu. “Akkhhhh ...” Sakit yang dirasakan Wahyu benar-benar tak tertahan. Wajahnya memerah dan mata berair, kulit kepalanya ada bercak darah yang timbul. “Ini baru permulaan, Wahyu.” Hendrawan menyeringai tajam. “tapi aku bisa berbaik hati jika kamu berterus terang. Ada dimana rekamannya?” Wahyu benar-benar terdesak. Dia tidak ingin memberikan rekaman itu, tetapi dia juga tak mau mendapat penyiksaan dari Hendrawan. Dia sangat mengenal karakter sang kepala polisi itu, siksaannya pasti jauh lebih mengerikan dari kematian. “Kamu harus membayar semua penghinaanmu padaku. Kemarin anak buahmu memotong asal rambutku. Jadi sekarang gantian, aku akan membalasmu