Setiap berpapasan dengan Ibu, dari sorot mata cokelat terangnya hanya dendam yang terlihat.
Tak ada satu pun yang menjelaskan padaku. Yang jelas, aku hanya tak diizinkan pergi ke sekolah lagi. Seragam, tas, sepatu, buku-buku bahkan seluruh alat tulis milikku dibuang tanpa alasan.
Aku menyadari mungkin telah membuat kesalahan, tapi juga tak cukup berani berbicara pada Ibu ataupun Ayah untuk sekadar meminta ampunan. Kalimat-kalimat yang diucapkan Ibu malam itu terus terngiang-ngiang di kepala. Berulang kali dan terus menerus memenuhi pendengaranku.
Dan, hari ini aku sempat mendengar kalau Ayah dipanggil ke sekolah tanpa aku diizinkan untuk ikut apalagi tahu.
“Mulai besok, kamu akan diantar Ayah ke tempat Kak Yuni di Pagatan! Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi setelah apa yang sudah kamu lakukan!” Dorongan kasar membuat sepanjang dinding kamar bergetar karena dihantam pintu. Tampak Ib
Apa aku benar-benar harus mengetahui hal itu? Apa aku benar-benar harus mempercayainya? Namun, tanpa sadar di satu sisi aku malah membenarkan seluruh cerita Kak Anoy yang terasa lebih masuk akal.Bagaimana mungkin orang-orang yang semula terlihat membenci bisa berubah dalam sekejap kemudian tertawa bersamaku? Sejak awal, keberadaanku memang tak pernah dianggap ….“Tapi, kalau seperti ini kamu juga akan dikeluarkan dari sekolah,” sesalku.“Iya, aku sebenarnya memang pengen keluar dari sekolah. Buat apa bertahan di tempat yang sudah sekali saja keberadaanku tak disukai?” kekehnya seperti tanpa beban.“Kamu gila!” Rasanya, aku benar-benar tak percaya kalau ada orang seperti dia.Bagaimana bisa? Kenapa?“Setidaknya, kamu harus tahu kalau di dunia ini pun masih ada yang tulus. Setidaknya agar kamu tak hanya dikelilingi monster-monster seperti itu.” Kak Anoy tiba-tiba memutuskan jarak di a
Tepukan pada punggung tangan dengan cepat menarikku dari seluruh ingatan itu. Dalam putaran waktu yang sebenarnya bahkan belum berlalu satu jam, tapi aku malah merasa seakan mengulang satu demi satu kejadian itu selama bertahun-tahun.Mengingatnya kembali, membuatku seperti berjalan di dalam labirin, setiap belokan yang harus dilewati untuk menuju jalan keluar menyuguhkan rekam dengan begitu nyata rasa sakitnya. Tertatih, terhuyung, sudah tak terhitung berapa sering aku membentur ataupun menginjak kerikil tajam yang menusuk.“Kakek sama nenek nyeremin ternyata. Padahal, kalau datang atau disamperin selalu kasih uang banyak,” komentar Nisa setelah mendengar seluruh cerita itu.Aku tertawa kecil mendengarnya. Aku tak bermaksud untuk mengejek apalagi menjelekkan orang tua sendiri, tapi seperti itulah adanya mereka. Ibu selalu menganggap uang adalah segalanya, nilai kebaikan di mata wanita itu adalah saat dia berhasil memenuhi kebutuhan dan memberi.
“Tadi malam aku liat Nayla duduk berduaan si Makmur di pelatar. Mana mepet banget lagi,” celetuk sebuah suara yang sepertinya sengaja dinyaringkan.Aku yang semula menjemur pakaian, mencuri pandang untuk memastikan. Nurul tampak memeragakan dengan kedua tangan yang ditangkupkan saling bergenggaman. Meski sedang lari pagi bersama Laila, sepertinya dia masih bisa mengatakan ucapan itu dengan cukup lancar.“Aku semakin yakin kalau ada apa-apa sama mereka,” timpal Laila.Aku menggeleng berpura-pura tak mendengar. Dibanding memikirkan ucapan mereka, masalah yang kuhadapi sekarang jauh lebih mendesak untuk segera diselesaikan. Bagaimana aku harus bisa melepaskan diri dari pria bejat itu sebelum ada yang semakin curiga.Tadi malam saja, sebuah keberuntungan karena Kak Makmur akhirnya mengalah. Perihal dia percaya atau tidak, lebih baik aku tak membahasnya. Rasanya, sangat sulit untuk menghindari pertanyaannya yang selalu tepat dengan
Aku menunduk memandangi piring. Tangan yang gemetar kupaksakan bergerak untuk menyendok makanan sendiri dan menyuapnya.“Nay, maaf kalau tadi aku udah lancang,” sesal Husin pelan.Aku hanya mengangguk pelan, mengunyah makanan yang rasanya seperti duri-duri beracun setiap ditelan. Tak ada lagi percakapan, ruang pendengaran hanya mendapati suara sendok yang beradu dengan piring. Aku menyadari sepi yang semakin mengelilingi. Kesepian diliputi rasa bersalah yang menjadi-jadi.“Aku mau ambil air dulu,” pamitku yang segera melangkah ke dapur.“Mbak Nay, nitip, ya?” pinta Nisa yang masih terdengar ragu-ragu.Aku hanya meneruskan langkah tanpa menjawab. Di dapur, kuambil teko air dan mengisinya penuh. Meletakkan pada nampan bersama dua gelas kosong. Sebelum membawa keluar, aku memilih mengisi satu gelas air terlebih dahulu.Di sisi galon, aku berjongkok memandangi gelas di genggaman. Kaca-kaca yang mul
Pertanyaan-pertanyaan penuh kecurigaan itu semakin sering menyudutkanku. Bagaimanapun aku membuat alasan, rasanya aku sangat yakin kalau mereka takkan serta merta mempercayai hal itu.**Usai mandi, kugantungkan handuk di luar untuk dianginkan sebentar. Kemudian turut duduk di pelatar bersama Kak Lily dan Kak Aulia yang sedang berbincang. Sambil menyisir rambut, aku hanya menyimak mereka yang sedang membahas sulitnya menjadi satu-satunya wanita di rumah. Selain anak, mereka terdengar sama-sama mengeluhkan suami yang manja, lalu malah saling tertawa setelahnya.“Rasanya kaya punya dua bayi, tapi beda usia!” celetuk Kak Lily yang segera ditimpali Kak Aulia dengan tawa.“Apa pernikahan itu harus? Apa perempuan harus tunduk sama laki-laki?” tanyaku tanpa sadar saat di kepala terbesit ingatan tentang perlakuan Kak Ijul.“Laki-laki seperti apa yang pantas dijadikan suami, sih?” lanjutku lagi yang malah mengubah
“Rasanya lebih menyenangkan saat melihat kamu yang ceria. Jadi, apa pun masalah yang kamu punya, kapan pun itu, aku selalu terbuka buat mendengarkan.” ** “A-apa Kakak ingat ucapan Kak Yuni saat marah malam itu?” tanyaku dengan hati-hati. Berusaha mengalihkan pembicaraan sekaligus menjadikan hal itu sebagai alasan agar berhenti ditanyai. “Ingatanku masih berfungsi dengan sangat baik, Nay. Semuanya, dengan jelas,” jawab Kak Makmur. Setelah memastikan bahwa Kak Makmur benar-benar berjanji akan merasahasiakan percakapan kami, aku menarik napas panjang dan mengempaskannya perlahan. Kualihkan pandangan darinya dengan menjadikan bintang-bintang di langit sebagai fokus. “Sebenarnya aku sedikit terganggu karena itu. Apa aku terlihat seperti orang yang tak tahu balas budi? Apa aku seperti orang jahat kalau menganggap Kak Yuni mengatakan semuanya hanya karena tak ingin dipandang jelek sendirian?” Kukepalkan genggaman tangan saat dugaan-dugaan seperti itu
Baru tertidur saat menjelang Subuh membuatku dan Nisa terbangun lebih siang dibanding biasanya. Suasana sekitar sudah sepi, sepertinya tiap-tiap orang telah pergi untuk melakukan aktivitasnya masing-masing. Nisa sendiri memilih tetap di kamar dengan alasan masih lemas dan mengantuk.Aku sendiri terpaksa melawan rasa malas, mengingat harus mencuci pakaian agar tak sempat menumpuk dan juga beberapa pekerjaan rumah lain. Rasa segar dari guyuran air yang mengenai kulit perlahan-lahan mengusir sisa kantuk. Ketukan cukup yang terdengar membuatku menengok ke luar kamar mandi. Tampak tak ada siapa pun. Ketika kembali terdengar, segera kumatikan kran air untuk memastikan asal arah bunyi tersebut. Beberapa saat, aku baru menyadari kalau bunyi itu berasal dari dinding kamar mandi di belakangku, dinding kayu yang membatasi antar rumah Kak Yuni dengan rumah Kak Lily. Rasa dingin dengan cepat mengundang gigil di sekujur tubuh saat menerka-nerka siapa yang melakukannya.
Usai sarapan, Husin membantuku mengangkat piring ke dapur. Aku sama sekali tak bisa apalagi berani membantah karena dia memegang satu kunci rahasia. Walau terganggu, aku hanya bisa bersabar seiring tingkahnya yang semakin berubah.“Jangan takut seperti itu, aku juga gak punya hak buat melarang kalau kamu ingin memakainya,” godanya yang turut duduk tak jauh dari kamar mandi.“Aku gak berniat seperti itu.” Kufokuskan pandangan pada gerak tangan yang tengah menggosokkan spons penuh busa pada permukaan piring.“Kalau begitu, untuk apa kamu menyimpannya? Aku sempat mendengar kalau kamu juga mencoba bunuh diri waktu itu, jadi sepertinya cukup wajar kalau kamu memakai obat itu untuk mengurangi rasa depresi. Aku juga pemakai, jadi kamu gak usah khawatir kalau rahasia itu bakal bocor.” Ungkapan yang diucapkan Husin dengan bangga itu, lebih tidak bisa dianggap sebagai sebuah pengertian.“Kamu cukup menelannya. Efek yang