“Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.
Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.
Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.
“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.
“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.
Aku yang mulai
Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi
Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan
"Bukan aku, Kak! Aku sama sekali gak pernah nyebarin kabar soal Kakak sama Kak Anto," tampikku.Kesal saja, yang melakukan perselingkuhan mereka. Yang melihat dan menyebarkan tetangga, tapi aku yang harus terkena getahnya."Lalu siapa lagi? Dasar gak tahu terima kasih! Udah ditampung, dirawat, diusahain biar gak putus sekolah. Balasannya malah nyebar fitnah. Kamu mau kakak cerai sama Hendrik?" Kak Yuni menatapku nyalang, suaranya semakin tinggi dipenuhi amarah.Dari pintu depan, Kak Makmur masuk diiringi Kak Aulia.Kak Yuni melayangkan tangan ke arahku, tapi Kak Aulia lebih dulu sempat menahan. Meski gemetar, aku tak ingin menunjukkan raut ketakutan yang membuat tuduhannya semakin besar.Kak Makmur menarikku ke luar. "Nay, kamu sementara di rumah Kakak aja, ya!""Yun, sabar. Istigfar. Kan bisa dibicarakan baik-baik." Kak Aulia berusaha membujuk Kak Yuni."Sabar gimana lagi! Itu anak gak tau terima kasih! Sudah ditampung, bikin m
Aku bodoh! Aku bodoh! Aku bodoh!Tak henti aku mengutuk diri sendiri, cubitan-cubitan, cakaran bahkan helaian rambut yang jatuh karena kutarik tak jua mengalihkan perih.Aku mengunci diri di kamar mandi. Guyuran air bergayung-gayung tak jua mendinginkan emosi. Aku sudah tak suci lagi. Jejak-jejak kejadian menjijikkan tadi seolah abadi.Aku meraih spons kawat pencuci piring, menggosokkan ke setiap bagian yang tadi disentuhnya. Nyeri, tapi kenapa rasa kotor ini tak menghilang?"Nay?" Ketukan di pintu kamar mandi mengantarkan juga suara Kak Aulia.Apa Kak Aulia sudah pulang dari kursusnya? Sekarang jam berapa? Aku harus bagaimana? Harus berkata apa? Aku hanya ingin sendiri saja ...."Nayla?" Panggilan Kak Aulia kembali terdengar."I-iya, Kak. Bisa tolong ambilkan jaket sama celana panjangku di kamar?" Aku terpaksa menjawab, tapi mustahil ke luar dengan goresan-goresan luka bekas spons kawat seperti ini."Tunggu, Nay," sahutnya dii
Ponsel yang bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Dengan malas, aku meraih untuk mengecek. Meski tulisan di layar menampilkan kontak bernama Ibu, tapi aku cukup tahu kalau sebenarnya yang sedang menunggu jawaban dariku adalah Ayah. “Assalamu alaikum, Nay. Apa kabar di sana?” tanya suara berat itu ketika panggilan tersambung. Entah kenapa, pertanyaan itu saja sudah mampu membuat air mataku kembali membendung di pelupuk. “Nay baik-baik aja, Bah,” sahutku walau kenyataan yang ada adalah sebaliknya. “Nay m-mau pulang, Yah,” ungkapku ragu-ragu. Baru kudengar suara tarikan napas Ayah yang sepertinya berniat ingin menjawab, terlebih dahulu panggilan berakhir karena ponselku yang kehabisan daya. Sendi-sendi yang lemas melepaskan begitu saja ponsel dari genggaman. Aku kembali membenamkan wajah pada bantal. Setiap memejamkan mata, gelap yang kudapati hanya berakhir pada kembali berputarnya rekam ingatan tentang Kak Ijul. Semakin aku menutup erat k
Semua orang sudah tampak terlelap, tapi kedua mataku masih saja tak bisa berpejam. Jarum pendek telah menunjuk pada angka dua pada jam dinding yang terpajang di sisi kanan rumah. “Kamu milikku, Nay. Takkan kubiarkan kamu lepas begitu saja, bagaimanapun caranya.” Ancaman yang dibisikkan Kak Ijul tadi sore masih saja terdengar, seperti kaset yang terus diputar berulang di kepala tanpa aku tahu di mana tombol untuk menghentikannya. Aku mendadak rindu hari-hari yang tenang. Aku rindu bernapas tanpa sedikit pun menghirup aroma-aroma ketakutan. Bukankah seharusnya Kak Ijul takkan bisa mengganggu lagi sekarang? Namun, bagaimanapun perasaan kotor dan tak berharga lagi tak jua bisa menghilang. Keinginan-keinginan tentang kematian itu terus saja berdatangan. Kulirik Kak Yuni yang tertidur dengan nyenyak, kemudian duduk dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Rasanya, tak terlihat sedikit pun gurat-gurat kesedihan atau mungkin kegelisahan karena masalah yang sedang m
Pendar cahaya putih yang berangsur-angsur mendominasi warna langit pertanda pagi telah menjelang. Aku kembali mengangkat kepala dan sedikit mengambil jarak dari Kak Makmur. “M-maaf, Kak,” ucapku pelan setelah sadar sudah bersikap tak pantas. “Sekarang udah tenang, Nay?” tanya Kak Makmur tanpa menghiraukan ucapanku. Aku hanya menarik simpul senyum sambil mengangguk pelan. Kak Makmur berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku. Meski ragu, kuterima uluran tangannya hingga saat turut berdiri kami tepat berhadapan. Sejenak, pandangan kami saling bertumbuk. Aku terpaku saat tangannya dengan hati-hati menyeka sisa air yang masih menggantung di sudut mata. “Kalau nanti perlu teman bicara, kamu bisa cari aku, Nay. Aku biasanya malam juga begadang buat lembur,” pesan Kak Makmur. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Detik berikutnya, Kak Makmur berpaling ke arah pantai dan memunggungiku. Kedua tangannya direntangkan lebar sei
“Yun, kayanya adekmu lagi kasmaran. Ketauan mandangin Zulfi langsung salah tingkah,” kekeh Kak Ijul yang beringsut bangkit dan berdiri menjauh dariku. Mendengar jawaban itu, bisa kupastikan gerak mata Kak Yuni beralih pada sosok laki-laki yang sebelumnya menarik seluruh perhatianku. “Hm,” dehamnya yang aku sendiri tak mengerti kenapa. “Aku jalan ke warung dulu, Yun. Mau beli rokok,” pamit Kak Ijul yang gegas berpaling dan meninggalkan halaman. Hal yang tentu saja membuatku bisa kembali bernapas lega meski keringat dingin masih saja membasahi telapak tangan dan gemetar tak juga mereda. Kak Yuni kali ini duduk di sisi kiriku, aku bisa menangkap rasa ketidakpercayaan di balik tatapan datar yang diberikan itu. “Kak Ijul sering ngajak ngobrol, Nay?” “Kalau lagi kena angin entah dari pintu surga yang mana, Kak,” sahutku sekenanya. Mendengar hal itu, sontak saja raut wajah Kak Yuni berubah diiringi tawa yang pecah. “Ngawur kamu, Nay!” sungutnya di se