Share

Mati Rasa

Penulis: Asy'arie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-20 08:31:57

Aku bodoh! Aku bodoh! Aku bodoh!

Tak henti aku mengutuk diri sendiri, cubitan-cubitan, cakaran bahkan helaian rambut yang jatuh karena kutarik tak jua mengalihkan perih.

Aku mengunci diri di kamar mandi. Guyuran air bergayung-gayung tak jua mendinginkan emosi. Aku sudah tak suci lagi. Jejak-jejak kejadian menjijikkan tadi seolah abadi.

Aku meraih spons kawat pencuci piring, menggosokkan ke setiap bagian yang tadi disentuhnya. Nyeri, tapi kenapa rasa kotor ini tak menghilang?

"Nay?" Ketukan di pintu kamar mandi mengantarkan juga suara Kak Aulia.

Apa Kak Aulia sudah pulang dari kursusnya? Sekarang jam berapa? Aku harus bagaimana? Harus berkata apa? Aku hanya ingin sendiri saja ....

"Nayla?" Panggilan Kak Aulia kembali terdengar.

"I-iya, Kak. Bisa tolong ambilkan jaket sama celana panjangku di kamar?" Aku terpaksa menjawab, tapi mustahil ke luar dengan goresan-goresan luka bekas spons kawat seperti ini.

"Tunggu, Nay," sahutnya diiringi suara langkah yang terdengar menjauh.

Aku mencuci muka untuk menghapus sisa-sisa air mata.

"Nay, kenapa ada bercak darah di sprei?" pekik Kak Aulia di luar.

"A-anu. Aku lupa kalau jadwal kedatangan tamu bulanan, Kak. Tolong jaketku, aku ngerasa gak enak badan." Aku terpaksa berbohong.

Padahal rasanya aku ingin berlari ke luar, memeluk dan menangis untuk mengadukan semua. Aku ingin mengatakan kalau aku benar-benar hancur sekarang, tapi mustahil akan ada yang percaya.

Aku takut, dituduh seperti Kak Yuni karena hanya berstatus adik sepupunya. Aku takut, mereka marah dan kecewa. Aku takut, aku benar-benar kalut.

"Nih jaket sama celana panjang kamu. Selesai mandi nanti minum air hangat, ya?"

Aku membuka pintu untuk menyambut yang diulurkan Kak Aulia. Tergesa memakai agar dia tak curiga.

"Kamu pilek, ya? Kok mata kamu sembab?" Baru keluar, Kak Aulia lagi-lagi memberondongku dengan pertanyaan.

"Pilek ringan aja, Kak. Malam tadi gak bisa tidur nyenyak, trus tadi pagi nyeri haid juga," jawabku berusaha menarik senyum.

Air mata masih menggenang. Sekeras apa aku berusaha tersenyum semoga mereka tak berjatuhan.

"Kenapa gak bilang sama Kak Lily sebelum dia berangkat kerja? Atau, 'kan, Ijul gak kerja, kamu bisa minta tolong beliin obat?" Kak Aulia segera merangkul dan mengajakku meninggalkan kamar mandi.

Benci berlomba-lomba meraja, amarah meletup-letup di dada kala mendengar namanya. Ingin aku meraih pisau dan menancapkan di jantung pria itu untuk membayar perlakuannya, tapi nyali yang kumiliki terlalu kecil bahkan sama sekali tak ada.

"Ntar sore juga udah baikan, Kak. Kakak udah selesai kursusnya? Kok nyariin aku sih? Gak sibuk di rumah, ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

Terlebih setelah ke luar, Kak Ijul yang tengah mengisap rokok di depan menatapku tajam.

"Kalo aku udah pulang, ya, udah selesai, Nayla! Nanti sprei biar aku yang nyuci, kamu istirahat aja. Udah makan?"

"Aku tadi beli bakso pas jalan pulang, makan bareng? Jul, siapin mangkok sana. Aku ngambil baksonya di rumah!" Kak Aulia melangkah menuju rumahnya di depan.

"Kak, ikut," cegahku.

"Kamu di sini aja, bentaran doang." Kak Aulia sama sekali tak menghiraukanku.

Kak Ijul berdiri mendekatiku. "Ayo, masuk, Nay!" ajaknya.

Aku bergeming, tubuh gemetar kala jarak yang terputus di antara kami berdua. Kutundukkan wajah untuk menghindari bersitatap dengannya.

"Apa aku harus menggandengmu, Sayang?" bisik Kak Ijul, deru napasnya yang tersampaikan pada leher seketika membuat bulu kuduk meremang.

Aku segera mundur mengambil jarak, terlebih tampak Kak Aulia sudah berjalan mendekat. Aku tak ingin ada orang yang curiga. Kak Ijul melangkah ke dapur meninggalkan.

"Ayo, Nay. Kenapa bengong?" tanya Kak Aulia, tangannya menjinjing kantong plastik.

"A-anu, nungguin Kakak," jawabku gugup.

"Ya udah, ayo!" ajaknya.

Aku segera berpaling mengikuti Kak Aulia. Baru duduk, wanita yang usianya baru memasuki kepala tiga itu menatap.

"Kak Lily itu cemburuan, kamu jangan terlalu dekat Ijul, ya?" pesannya setengah berbisik.

Mendengar hal itu aku malah tertawa. Saking kerasnya perutku terasa kencang, pipi juga mendadak kebas.

"Kakak lucu. Lupa, ya, sama seleraku soal cowok gimana?" sahutku sambil menyeka air mata.

Iya, sebenarnya tak ada yang lucu. Aku tertawa, tapi malah air mata yang hampir berjatuhan. Bukan aku yang mendekat, tapi dia yang tak tahu diri saja! Argh, harus bagaimana aku menyampaikan semua!

Kak Ijul tampak mendekat membawa tiga mangkok kaca lengkap sendok dan garpunya. Satu tangannya lagi membawa botol air es besar dari dalam kulkas.

"Sini, sini." Kak Aulia bangkit dan mengambil alih mangkok. Cekatan membuka setiap bungkusan plastik.

Aku tak ingin makan apa pun, bahkan bakso terenak di kota rasanya hambar sekarang. Berkali-kali aku mengambil sambal tetap saja tak ada rasa apa-apa saat menyesap kuahnya.

"Kak, ada cabe?" tanyaku pada Kak Ijul terpaksa.

"Kakak ambilkan dulu." Kak Ijul yang tadi hendak menyuap gegas bangkit bersemangat.

"Nay, kamu udah banyak nyampurin sambel tadi. Nanti sakit perut?" Kak Aulia menatapku heran.

"Gak pedes sambelnya, gak berasa. Lagi mau yang super pedes," sahutku.

Wanita itu menggeleng-geleng dan kembali meneruskan makannya. Kak Ijul sudah datang membawa cabai. Segera kuambil, setiap menyuap satu sendok, kutambahkan satu cabai. Tetap saja aku seperti mati rasa sekarang. Tak hanya pada jiwa, tapi pada seluruh panca indra.

Sementara Kak Aulia sibuk membahas tentang Kak Yuni dengan Kak Ijul, pikiranku malah tak tentu arah berkelana pada banyak hal.

Mengapa harus aku yang sial dari balik semua masalah ini? Sampai kapan aku harus terus berada di rumah ini? Apa aku boleh berharap Kak Yuni cepat menjemputku kembali?

Bagaimana jika Kak Ijul akan mengulang perbuatannya?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Dendam Wanita Simpanan   Kekhawatiran yang Sebenarnya

    "Ah, Nay. Aku tidak memaksa kalau kamu tidak ingin menceritakannya." Je kembali menambahkan setelah menyadari jeda diamku yang cukup lama.Sejenak, aku menghela napas kasar. Menutupinya pun, Je telah terlalu banyak melihat sisi burukku.Tampak Je telah kembali fokus dengan jalanan di depan.Aku menunduk, menautkan jari jemari, sesekali melepas dan menggenggami kedua jempol bergantian. "Overdosis alkohol ... aku pindah karena dikeluarkan dari sekolah sebelumnya," ungkapku.Je menoleh. Raut wajahnya tak banyak berubah. Sepertinya, dia memang pandai mengaturnya untuk menghargaiku meski pun sebenarnya hal itu tak perlu dilakukan."Itu juga pertama kalinya. Aku masih ingat jelas teman-teman yang lain berada di sekelilingku, dengan penasaran terus menyuruhku minum. Ternyata, senyum puji mereka palsu. Yang benar-benar jujur, hanya tatap kecewa yang Kak Anoy layangkan waktu itu." Kembali mengenang hal itu, rasanya ada sesuatu yang menjerat dada hingga terasa berat dan sesak.Tanpa ragu, Je me

  • Dendam Wanita Simpanan   Kembali

    Setelah merasa berlari cukup jauh, kuhentikan langkah dan bersandar pada tembok tinggi yang sepertinya adalah pagar dari bangunan di sebelah. Gang ini sepi, sejak pertama memasuki, hampir tak terlihat rumah satu pun selain bangunan-bangunan berpagar tinggi di sisi kanan dan kirinya. Rerumputan di pinggiran pun membuat gang ini seolah semakin sempit.Perlahan, tubuhku merosot hingga berjongkok. Wajah yang menunduk, kubenamkan pada kedua lutut yang juga berada dalam lingkar peluk.Sebenarnya, apa yang sedang terjadi padaku? Apakah aku benar-benar sudah gila hingga berhalusinasi seperti itu? Aku pun sama sekali tak bisa mempercayai bahwa ini mimpi terpanjang sekali pun. Rasa sakit, seluruh apa-apa yang kualami benar-benarlah nyata, tetapi ….Derap langkah yang terdengar semakin mendekat disusul tepukan pelan pada pundak. Aku terkesiap mengangkat wajah, sesosok pria bertopi yang masih memakai tas pinggang tampak perlahan berjongkok di hadapan. Saat pandangan

  • Dendam Wanita Simpanan   Mimpi yang Gila

    Aku tak mengerti kenapa pria itu begitu mendesak untuk pulang. Setelah bersiap dan memberi kabar pada Kak Amran agar diberitahukan pada Bu Dama, dia segera melajukan mobil yang kami naiki. Selain pakaian ganti dan beberapa keperluan lain, dia juga membelikanku sarapan tak lupa cemilan.Ternyata, dia masih tak sedikit pun alpa dalam memperhatikanku. Banyak tanya terbesit yang terpaksa kutepis saja. Apa pun itu caranya, bagaimanapun, aku hanya sedang merasa kembali bahagia. Dan, jika lagi-lagi pertemuan kami hanya sementara, bagaimana bisa aku mengakhirinya dengan penyesalan karena tak berani menyatakan perasaan? Aku yang telah kotor dan hina, apa pantas bersama pria tak bersalah sepertinya?Sosok itu tampak hanya terus diam dalam fokusnya menyetir. Aku sendiri, hanya berani mencuri pandang tanpa berani mengganggu apalagi mengajak sedikit bicara. Hanya suara musik yang diputar dalam volume rendah yang menemani perjalanan panjang kami.“Jangan biasakan menggi

  • Dendam Wanita Simpanan   Hadirnya Sosok Lama(?)

    “Nay! Dengarkan aku!” Suara panggilan itu terdengar di antara dengungan-dengungan keras yang memenuhi telinga.Aku masih memegangi dada yang terasa sesak, degup yang sangat kencang di dalam menimbulkan rasa sakit. Seluruh otot terus terasa menegang hingga pada beberapa titik aku mulai merasa seolah mati rasa. Keringat semakin membasahi.Uluran tangan itu memberikan bantal, kemudian mengalihkan kedua tanganku sendiri untuk memeluknya. Aku meremas keras bagian ujung-ujung bantal, berusaha mengalihkan perasaan-perasaan sakit yang seperti menerjang seluruh tubuh.“Tarik napas, lalu keluarkan pelan-pelan,” instruksinya yang kemudian diiring hitungan berulang. Kuikuti apa yang bisa kudengar, hingga satu per satu rasa sesak itu seperti diurai.“Aku sangat mengerti keadaan kamu sekarang, Nay. Kamu gak sendirian,” ucapnya yang terasa seperti tetes-tetes air menghujani, mendinginkan, dan sangat menenangkan.Aku yang mulai

  • Dendam Wanita Simpanan   Tak Selalu Baik

    Satu hari lagi telah terlewati, dengan kuanggap cukup baik. Mesin yang masih belum selesai diperbaiki, menandakan besok pun aku masih harus bertemu dengan Kak Amran. Je yang menjemputku sebelum toko benar-benar tutup pun, terlihat kurang menyukai keberadaan pria itu. Dia hanya menyapa seperlunya, dan segera mengajakku pergi.“Dia orang baru, Nay? Tapi Bu Dama gak kasih tau kalau bakal nyari orang lagi,” tanya Je beberapa saat setelah sepeda motor melaju meninggalkan toko.“Bukan. Ada mesin yang bermasalah, jadi dia itu teknisi yang datang buat service aja,” sahutku.Je hanya berdeham, kemudian menambah kecepatan hingga kami lebih cepat meninggalkan perkampungan. Kurapatkan sweater yang menjadi salah satu dari isi tote bag pemberian Je. Saat sepeda motor dibelokkan ke arah jembatan yang menghubungkan antar kota pun, aku hanya berpiikir bahwa Je akan mengajak makan malam seperti biasa. Namun, dugaanku salah karena dia malah berhenti pada se

  • Dendam Wanita Simpanan   Sangat Berbeda

    Aku menghitung satu per satu jumlah lembaran dari setiap berkas, lalu menuliskan di kertas kecil dan turut menyelipkannya saat menjepit agar mudah mentotalkan harganya. Kak Amran yang sibuk membongkar bagian-bagian mesin, tapi tak jarang dia melirik ke arahku lalu tertawa kecil. Aku berusaha tetap mengabaikan dengan menganggapnya tak ada.“Kamu gak cape ngitung, Nay?” tanyanya meski tangan terus berkutat memegang obeng.“Mau cape juga, ya, gimana lagi,” jawabku sekenanya.Kak Amran kembali fokus pada pekerjaannya. Belum aku selesai menghitung, seorang bapak berperut buncit yang tampak sudah cukup berumur memanggil dan meletakkan sebuah plastik besar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status