Aku bodoh! Aku bodoh! Aku bodoh!
Tak henti aku mengutuk diri sendiri, cubitan-cubitan, cakaran bahkan helaian rambut yang jatuh karena kutarik tak jua mengalihkan perih.
Aku mengunci diri di kamar mandi. Guyuran air bergayung-gayung tak jua mendinginkan emosi. Aku sudah tak suci lagi. Jejak-jejak kejadian menjijikkan tadi seolah abadi.
Aku meraih spons kawat pencuci piring, menggosokkan ke setiap bagian yang tadi disentuhnya. Nyeri, tapi kenapa rasa kotor ini tak menghilang?
"Nay?" Ketukan di pintu kamar mandi mengantarkan juga suara Kak Aulia.
Apa Kak Aulia sudah pulang dari kursusnya? Sekarang jam berapa? Aku harus bagaimana? Harus berkata apa? Aku hanya ingin sendiri saja ....
"Nayla?" Panggilan Kak Aulia kembali terdengar.
"I-iya, Kak. Bisa tolong ambilkan jaket sama celana panjangku di kamar?" Aku terpaksa menjawab, tapi mustahil ke luar dengan goresan-goresan luka bekas spons kawat seperti ini.
"Tunggu, Nay," sahutnya diiringi suara langkah yang terdengar menjauh.
Aku mencuci muka untuk menghapus sisa-sisa air mata.
"Nay, kenapa ada bercak darah di sprei?" pekik Kak Aulia di luar.
"A-anu. Aku lupa kalau jadwal kedatangan tamu bulanan, Kak. Tolong jaketku, aku ngerasa gak enak badan." Aku terpaksa berbohong.
Padahal rasanya aku ingin berlari ke luar, memeluk dan menangis untuk mengadukan semua. Aku ingin mengatakan kalau aku benar-benar hancur sekarang, tapi mustahil akan ada yang percaya.
Aku takut, dituduh seperti Kak Yuni karena hanya berstatus adik sepupunya. Aku takut, mereka marah dan kecewa. Aku takut, aku benar-benar kalut.
"Nih jaket sama celana panjang kamu. Selesai mandi nanti minum air hangat, ya?"
Aku membuka pintu untuk menyambut yang diulurkan Kak Aulia. Tergesa memakai agar dia tak curiga.
"Kamu pilek, ya? Kok mata kamu sembab?" Baru keluar, Kak Aulia lagi-lagi memberondongku dengan pertanyaan.
"Pilek ringan aja, Kak. Malam tadi gak bisa tidur nyenyak, trus tadi pagi nyeri haid juga," jawabku berusaha menarik senyum.
Air mata masih menggenang. Sekeras apa aku berusaha tersenyum semoga mereka tak berjatuhan.
"Kenapa gak bilang sama Kak Lily sebelum dia berangkat kerja? Atau, 'kan, Ijul gak kerja, kamu bisa minta tolong beliin obat?" Kak Aulia segera merangkul dan mengajakku meninggalkan kamar mandi.
Benci berlomba-lomba meraja, amarah meletup-letup di dada kala mendengar namanya. Ingin aku meraih pisau dan menancapkan di jantung pria itu untuk membayar perlakuannya, tapi nyali yang kumiliki terlalu kecil bahkan sama sekali tak ada.
"Ntar sore juga udah baikan, Kak. Kakak udah selesai kursusnya? Kok nyariin aku sih? Gak sibuk di rumah, ya?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Terlebih setelah ke luar, Kak Ijul yang tengah mengisap rokok di depan menatapku tajam.
"Kalo aku udah pulang, ya, udah selesai, Nayla! Nanti sprei biar aku yang nyuci, kamu istirahat aja. Udah makan?"
"Aku tadi beli bakso pas jalan pulang, makan bareng? Jul, siapin mangkok sana. Aku ngambil baksonya di rumah!" Kak Aulia melangkah menuju rumahnya di depan.
"Kak, ikut," cegahku.
"Kamu di sini aja, bentaran doang." Kak Aulia sama sekali tak menghiraukanku.
Kak Ijul berdiri mendekatiku. "Ayo, masuk, Nay!" ajaknya.
Aku bergeming, tubuh gemetar kala jarak yang terputus di antara kami berdua. Kutundukkan wajah untuk menghindari bersitatap dengannya.
"Apa aku harus menggandengmu, Sayang?" bisik Kak Ijul, deru napasnya yang tersampaikan pada leher seketika membuat bulu kuduk meremang.
Aku segera mundur mengambil jarak, terlebih tampak Kak Aulia sudah berjalan mendekat. Aku tak ingin ada orang yang curiga. Kak Ijul melangkah ke dapur meninggalkan.
"Ayo, Nay. Kenapa bengong?" tanya Kak Aulia, tangannya menjinjing kantong plastik.
"A-anu, nungguin Kakak," jawabku gugup.
"Ya udah, ayo!" ajaknya.
Aku segera berpaling mengikuti Kak Aulia. Baru duduk, wanita yang usianya baru memasuki kepala tiga itu menatap.
"Kak Lily itu cemburuan, kamu jangan terlalu dekat Ijul, ya?" pesannya setengah berbisik.
Mendengar hal itu aku malah tertawa. Saking kerasnya perutku terasa kencang, pipi juga mendadak kebas.
"Kakak lucu. Lupa, ya, sama seleraku soal cowok gimana?" sahutku sambil menyeka air mata.
Iya, sebenarnya tak ada yang lucu. Aku tertawa, tapi malah air mata yang hampir berjatuhan. Bukan aku yang mendekat, tapi dia yang tak tahu diri saja! Argh, harus bagaimana aku menyampaikan semua!
Kak Ijul tampak mendekat membawa tiga mangkok kaca lengkap sendok dan garpunya. Satu tangannya lagi membawa botol air es besar dari dalam kulkas.
"Sini, sini." Kak Aulia bangkit dan mengambil alih mangkok. Cekatan membuka setiap bungkusan plastik.
Aku tak ingin makan apa pun, bahkan bakso terenak di kota rasanya hambar sekarang. Berkali-kali aku mengambil sambal tetap saja tak ada rasa apa-apa saat menyesap kuahnya.
"Kak, ada cabe?" tanyaku pada Kak Ijul terpaksa.
"Kakak ambilkan dulu." Kak Ijul yang tadi hendak menyuap gegas bangkit bersemangat.
"Nay, kamu udah banyak nyampurin sambel tadi. Nanti sakit perut?" Kak Aulia menatapku heran.
"Gak pedes sambelnya, gak berasa. Lagi mau yang super pedes," sahutku.
Wanita itu menggeleng-geleng dan kembali meneruskan makannya. Kak Ijul sudah datang membawa cabai. Segera kuambil, setiap menyuap satu sendok, kutambahkan satu cabai. Tetap saja aku seperti mati rasa sekarang. Tak hanya pada jiwa, tapi pada seluruh panca indra.
Sementara Kak Aulia sibuk membahas tentang Kak Yuni dengan Kak Ijul, pikiranku malah tak tentu arah berkelana pada banyak hal.
Mengapa harus aku yang sial dari balik semua masalah ini? Sampai kapan aku harus terus berada di rumah ini? Apa aku boleh berharap Kak Yuni cepat menjemputku kembali?
Bagaimana jika Kak Ijul akan mengulang perbuatannya?
Ponsel yang bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Dengan malas, aku meraih untuk mengecek. Meski tulisan di layar menampilkan kontak bernama Ibu, tapi aku cukup tahu kalau sebenarnya yang sedang menunggu jawaban dariku adalah Ayah. “Assalamu alaikum, Nay. Apa kabar di sana?” tanya suara berat itu ketika panggilan tersambung. Entah kenapa, pertanyaan itu saja sudah mampu membuat air mataku kembali membendung di pelupuk. “Nay baik-baik aja, Bah,” sahutku walau kenyataan yang ada adalah sebaliknya. “Nay m-mau pulang, Yah,” ungkapku ragu-ragu. Baru kudengar suara tarikan napas Ayah yang sepertinya berniat ingin menjawab, terlebih dahulu panggilan berakhir karena ponselku yang kehabisan daya. Sendi-sendi yang lemas melepaskan begitu saja ponsel dari genggaman. Aku kembali membenamkan wajah pada bantal. Setiap memejamkan mata, gelap yang kudapati hanya berakhir pada kembali berputarnya rekam ingatan tentang Kak Ijul. Semakin aku menutup erat k
Semua orang sudah tampak terlelap, tapi kedua mataku masih saja tak bisa berpejam. Jarum pendek telah menunjuk pada angka dua pada jam dinding yang terpajang di sisi kanan rumah. “Kamu milikku, Nay. Takkan kubiarkan kamu lepas begitu saja, bagaimanapun caranya.” Ancaman yang dibisikkan Kak Ijul tadi sore masih saja terdengar, seperti kaset yang terus diputar berulang di kepala tanpa aku tahu di mana tombol untuk menghentikannya. Aku mendadak rindu hari-hari yang tenang. Aku rindu bernapas tanpa sedikit pun menghirup aroma-aroma ketakutan. Bukankah seharusnya Kak Ijul takkan bisa mengganggu lagi sekarang? Namun, bagaimanapun perasaan kotor dan tak berharga lagi tak jua bisa menghilang. Keinginan-keinginan tentang kematian itu terus saja berdatangan. Kulirik Kak Yuni yang tertidur dengan nyenyak, kemudian duduk dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Rasanya, tak terlihat sedikit pun gurat-gurat kesedihan atau mungkin kegelisahan karena masalah yang sedang m
Pendar cahaya putih yang berangsur-angsur mendominasi warna langit pertanda pagi telah menjelang. Aku kembali mengangkat kepala dan sedikit mengambil jarak dari Kak Makmur. “M-maaf, Kak,” ucapku pelan setelah sadar sudah bersikap tak pantas. “Sekarang udah tenang, Nay?” tanya Kak Makmur tanpa menghiraukan ucapanku. Aku hanya menarik simpul senyum sambil mengangguk pelan. Kak Makmur berdiri lebih dahulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantuku. Meski ragu, kuterima uluran tangannya hingga saat turut berdiri kami tepat berhadapan. Sejenak, pandangan kami saling bertumbuk. Aku terpaku saat tangannya dengan hati-hati menyeka sisa air yang masih menggantung di sudut mata. “Kalau nanti perlu teman bicara, kamu bisa cari aku, Nay. Aku biasanya malam juga begadang buat lembur,” pesan Kak Makmur. Lagi-lagi aku hanya mengangguk. Detik berikutnya, Kak Makmur berpaling ke arah pantai dan memunggungiku. Kedua tangannya direntangkan lebar sei
“Yun, kayanya adekmu lagi kasmaran. Ketauan mandangin Zulfi langsung salah tingkah,” kekeh Kak Ijul yang beringsut bangkit dan berdiri menjauh dariku. Mendengar jawaban itu, bisa kupastikan gerak mata Kak Yuni beralih pada sosok laki-laki yang sebelumnya menarik seluruh perhatianku. “Hm,” dehamnya yang aku sendiri tak mengerti kenapa. “Aku jalan ke warung dulu, Yun. Mau beli rokok,” pamit Kak Ijul yang gegas berpaling dan meninggalkan halaman. Hal yang tentu saja membuatku bisa kembali bernapas lega meski keringat dingin masih saja membasahi telapak tangan dan gemetar tak juga mereda. Kak Yuni kali ini duduk di sisi kiriku, aku bisa menangkap rasa ketidakpercayaan di balik tatapan datar yang diberikan itu. “Kak Ijul sering ngajak ngobrol, Nay?” “Kalau lagi kena angin entah dari pintu surga yang mana, Kak,” sahutku sekenanya. Mendengar hal itu, sontak saja raut wajah Kak Yuni berubah diiringi tawa yang pecah. “Ngawur kamu, Nay!” sungutnya di se
“Tumben tadi pulang sama Husin, Nay? Bukannya pas berangkat sama Yuni?” sapa Nurul, tetangga yang rumahnya tepat di sisi kiri rumah Kak Yuni saat aku baru melangkah memasuki warung. “Kak Yuni ada urusan mendadak, Mbak. Jadi, aku disuruh pulang duluan dianterin Husin biar gak cape nunggu,” sahutku yang terpaksa menghentikan langkah. Rasanya, tak sopan saja jika sedang diajak bicara tapi aku berlalu begitu saja. “Oh. Dikirain tadi abis janjian. Yuni sama Anto, kamu sama Husin,” kekeh bibir berpoles lipstik keunguan yang benar-benar tak cocok dengan warna kulit di wajahnya itu. Aku menghela napas panjang, sepertinya kabar perselingkuhan Kak Yuni begitu cepat tersebar .... “Enggak, Mbak. Permisi,” pamitku yang segera melepas sandal saat memasuki pintu. Rumah kecil yang ada tak jauh dari SMA Satu ini satu-satunya warung yang menjual makanan ringan dan keperluan sehari-hari terdekat dari rumah. Etalase di sisi kanan ruang yang sekaligus ruang tengah rumah d
Aku termenung memandang pemilik wajah pucat yang terbaring lemas di kasur. Hampir tak percaya karena keadaannya yang menurun drastis hanya dalam satu malam. Dari cerita yang kudengar, Via mendadak demam, saat tidur pun menangis hingga mengigau memanggil Ibu. Kak Hendrik sampai harus begadang untuk menemani dan menenangkannya.Anak perempuan yang selama ini tampak tak terlalu akrab dengan Kak Yuni, anak perempuan yang selama ini selalu dimarahi karena bermain lupa waktu dan pulang dalam keadaan kotor, ternyata malah menjadi seseorang yang benar-benar kehilangan sosok ibunya. Padahal, Kak Hendrik baru saja membawa Via menginap tadi malam dan perceraian baru saja terucap kemarin siang.Sedang Nisa yang selama ini cenderung manja dan selalu mengekori Kak Yuni malah tampak acuh meski sembab serta bengkak masih membekas pada sepasang mata cokelat kehitamannya. Untuk Roby yang baru berumur hampir empat tahun, sewajarnya masih belum mengerti kejadian yang menimpa keluarganya h
“Kata Tante Nun, Bapak nikahin Ibu saat Ibu hamil empat bulan.”Hanya sepenggal kalimat itu yang lolos dari bibir Nisa sebelum akhirnya tangisnya pecah. Tanpa penjelasan, tanpa alasan. Aku yang terkejut sekaligus panik, sampai-sampai lupa ingin bertanya. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa untuk menenangkan Nisa. Jika benar pun seperti itu, wajar Nisa tampak acuh meski jauh di dalam lubuk hati, jelas dia begitu hancur dan terpuruk.**“Makasih udah nganterin,” ucapku pada laki-laki yang masih duduk tersenyum di sepeda motornya. Nisa sendiri sudah lebih dulu berlari ke rumah dan membuka pintu sendiri.“Nay, boleh minta nomor kamu?” Tanya Husin yang tiba-tiba menggenggam tanganku cukup erat.Aku yang semula hendak segera menyusul Nisa terpaksa menghentikan gerak langkah dan menoleh. “Aku gak dibolehin Kak Yuni buat main HP sampai ujian sekolah selesai,” tolakku halus.“Buat jaga-jaga siap
“Kamu sejak datang sama Nisa gak kedengeran suaranya, Nay. Jadi Aulia nyuruh aku buat ngecek ke sini,” jelas pria yang beberapa saat lalu mengetuk pintu rumah tanpa memanggil.Aku masih bersandar pada pintu sambil mengatur napas, detak di dada masih saja riuh karena kekhawatiran yang sempat menguasai. Bukankah sewajarnya Kak Ijul mustahil berani mendekat karena aku tak sendirian?“Kenapa gak dipanggil aja? Kakak bikin takut!” sungutku menekuk wajah.Kak Makmur hanya merespon dengan tawa. Nisa yang kupikir akan segera keluar setelah berganti pakaian malah sama sekali tak terlihat. Beberapa kali, aku menengok ke belakang untuk memastikan tapi pintu kamar masih saja dalam keadaan sama, yaitu terkunci dari dalam.“Nay, kamu masih belum jawab pertanyaanku tadi,” tagih Kak Makmur.“P-pertanyaan yang mana, Kak?” Mendadak, lagi, aku tak bisa menyembunyikan rasa gugup yang tercermin dari getar pada kedua tanga