Share

Perceraian Kak Yuni

Ponsel yang bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Dengan malas, aku meraih untuk mengecek. Meski tulisan di layar menampilkan kontak bernama Ibu, tapi aku cukup tahu kalau sebenarnya yang sedang menunggu jawaban dariku adalah Ayah.

“Assalamu alaikum, Nay. Apa kabar di sana?” tanya suara berat itu ketika panggilan tersambung.

Entah kenapa, pertanyaan itu saja sudah mampu membuat air mataku kembali membendung di pelupuk. “Nay baik-baik aja, Bah,” sahutku walau kenyataan yang ada adalah sebaliknya.

“Nay m-mau pulang, Yah,” ungkapku ragu-ragu.

Baru kudengar suara tarikan napas Ayah yang sepertinya berniat ingin menjawab, terlebih dahulu panggilan berakhir karena ponselku yang kehabisan daya. Sendi-sendi yang lemas melepaskan begitu saja ponsel dari genggaman. Aku kembali membenamkan wajah pada bantal.

Setiap memejamkan mata, gelap yang kudapati hanya berakhir pada kembali berputarnya rekam ingatan tentang Kak Ijul. Semakin aku menutup erat kedua telinga, suara-suara yang menjadi nada-nada pemanggil kematian itu semakin terngiang jelas pada ruang pendengaran.

Aku kembali mengangkat wajah sebelum tenggelam jauh lebih dalam. Sentuhan-sentuhan itu seakan kembali menjejaki setiap inchi tubuh. Aku benci tubuh yang sekarang telah kotor karena jamahannya. Bagaimanapun aku menggosokkan spons kawat dan mengguyurnya dengan air yang banyak, noda-noda itu terus saja melekat dan tak mau menghilang. Goresan-goresan luka sudah tak terhitung jumlahnya tapi tak jua menyamarkan bukti-bukti tangannya yang tertinggal..

Tergesa aku berlari ke kamar mandi dan menyalakan air kran agar tangis yang memberontak pecah tak terdengar. Aku jijik pada diriku sendiri. Aku lelah. Aku menyesal tak menuruti ucapan Kak Aulia untuk menginap di rumahnya saja.

Berlalu seminggu, rumah ini tak lain neraka setiap Kak Lily pergi bekerja. Aku takut. Kak Ijul semakin menjadi-jadi dan leluasa, sedang kemarahan Kak Yuni sepertinya belum saja mereda hingga aku tak juga dicari. Aku ingin pulang. Bahkan, rasanya aku tak ingin ada di dunia ini lagi.

Bak mandi sudah penuh terisi, kedua mata menatap hampa pada kran yang masih menyala hingga air meluber membanjiri lantai.

Aku menunduk dan membenamkan wajah ke dalam bak. Sesak, air kubiarkan leluasa memasuki pernapasan. Semakin lama, kubenamkan semakin dalam. Aku tak ingin beranjak, aku tak ingin kedua mata terbuka selagi masih menginjak dunia.

‘Tuhan, hidupku sudah tak berarti lagi. Jemput aku ....’

Apa aku sudah di surga? Ah, mana mungkin manusia kotor sepertiku pantas berada di sana. Bisa saja aku sudah di neraka sekarang.

Aku terbatuk, perlahan kedua mata terbuka. Di sekeliling tampak Kak Aulia, Kak Lily, Kak Hendrik bahkan Kak Yuni. Dinding kamar mandi telah berubah jadi ruang tamu rumah Kak Yuni. Aku, sudah tak di rumah Kak Lily lagi.

"Alhamdulillah," ucap suara yang tak terlalu familiar di pendengaran dari sisi kiriku. Kutatap pemilik suara itu, Kak Hendrik.

Aku masih hidup sekarang?

"Kakak minta maaf kalau sudah keterlaluan, Nay." Kak Yuni memelukku.

Aku terdiam dan bingung, apa yang terjadi sebenarnya?

"Nayla, kakak minta maaf karena gak bisa mendidik Kak Yuni. Semua sudah jelas sekarang, kamu gak salah apa-apa. Kakak sebenarnya sedih karena kamu gak berani cerita, tapi kakak sadar kamu pasti akan memihak Yuni sebagai adik sepupunya." Kak Hendrik menatapku, sesaat Kak Yuni melepaskan pelukannya.

"Aku sudah bicara sama Anto sebagai sesama pria. Yunita, mulai hari ini aku Hendrik Pramono menalak kamu. Kamu boleh meneruskan hubungan dengan Anto kalau istrinya mengizinkan. Maaf kalau aku belum bisa memberikan kamu kebahagiaan. Aku pulang hanya untuk membicarakan ini, persoalan cerai nanti biar aku yang mengurus. Aku juga akan tinggal di rumah Mas Tris karena kita bukan lagi mahram yang patut tinggal seatap, sedang kamu boleh tinggal di rumah ini sampai menemukan tempat baru untuk pindah." Kak Hendrik bicara panjang lebar.

Aku hanya berani mencuri pandang pada sepasang mata yang menyembunyikan kesedihan di sana.

Bodohnya Kak Yuni yang menyia-nyiakan pria sebaik Kak Hendrik. Selama ini aku mengenal Kak Hendrik sebagai pria yang jujur, setiap merantau dia selalu mengirimkan hampir seluruh uang gajinya. Yang aku tahu Kak Hendrik hanya menyimpan sedikit untuk ongkos pulang dan makan.

Setiap Kak Hendrik di rumah, Kak Yuni bebas bersantai. Mulai dari mencuci hingga memasak dikerjakan Kak Hendrik, ingin meminta apa pun selalu dikabulkan.

Juga, Kak Hendrik selalu menjaga jarak denganku walau punya banyak kesempatan berdua saat Kak Yuni ke luar.

Isak yang tadi pelan semakin keras terdengar dari Kak Yuni, kali ini aku bangkit dan balas memeluknya. Tak lama berselang, Nisa yang entah sejak kapan mendengar ucapan Kak Hendrik  mendadak lari ke dalam kamar.

"Nisaaa ...." Kak Yuni melepaskanku dan berlari mengejarnya.

"Ibu jahat! Aku sudah bilang jangan dekat-dekat om itu masih aja gak dengerin!" teriak Nisa dari dalam kamar.

"Sekarang ibu puas? Bikin keluarga kita hancur? Ibu jahat! Pokoknya aku ikut bapak!" lanjut Nisa.

Kami yang ada di ruang tamu mendengar teriakannya dengan sangat jelas, dan sama-sama terkejut. Aku sendiri tak menyangka jika anak yang baru menginjak usia dua belas tahun itu ternyata sudah sangat dewasa hingga bisa memahami apa yang tengah terjadi sekarang.

"Maaf, Bu. Via juga ikut bapak," imbuh Via yang ke luar dari dapur.

Hanya Roby yang paling kecil berlari ke arah Kak Yuni dan menangis. "Oby gak mau ibu tinggal."

Hatiku ikut tersayat melihat semua ini, tangisan mereka begitu menyakitkan. Hancurnya sebuah keluarga hanya karena keegoisan.

Kak Hendrik bangkit dan berjalan menghampiri mereka.

"Nisa, Via. Ibu tetap ibu kalian, apa pun kesalahannya. Kalian boleh marah, tapi jangan sampai membenci. Sementara tinggal sama ibu, ya? Nanti kalau kalian sudah ikut bapak pulang ke rumah Eyang, pasti rindu sama ibu juga. Jadi maafkan ibu, ya." Kak Hendrik ikut berdiri di depan kamar.

Via yang berlari memeluknya Kak Hendrik erat membuatku terenyuh. Seorang anak perempuan yang kukenal tomboy dan tangguh itu menangis. Padahal sekali pun terluka saat bermain yang kulihat dari Via hanyalah tawa.

Tanpa sadar, air mata menggenang dan mulai berjatuhan. Manusia yang  dalam pandanganku memiliki hati malaikat seperti Kak Hendrik saja masih harus disakiti, terlebih oleh seseorang yang begitu dicintainya.

Setelah mengatakan hal itu, Kak Hendrik melangkah ke luar dan meninggalkan rumah. Kak Yuni dan ketiga anaknya menangis bersamaan, aku sendiri bingung harus berbuat apa.

"Nay, ini tangan sama kaki kamu kenapa? Banyak luka sama goresan, bekas apa? Kamu ada masalah apa? Kenapa gak cerita?" Kak Aulia mengalihkan perhatianku, tersadar kalau masih memakai kaos lengan pendek juga celana pendek saja saat berlari ke kamar mandi.

"Iya, Nay. Bukannya kemaren gak ada, 'kan? Jadi ini alesan kamu pake jaket trus? Bilangnya gak enak badan," timpal Kak Lily.

Keadaan sedang tidak baik-baik saja, aku juga tak memiliki alasan untuk semua. Apa aku harus jujur, tapi kalau mereka tahu masalah akan semakin panjang. Kak Lily juga pasti akan terluka, aku takut menghancurkan keluarga mereka sama seperti hancurnya keluarga Kak Yuni sekarang.

"Nay?" panggil Kak Aulia lagi membuyarkan lamunan.

Kak Yuni turut menghampiriku sekarang, pipinya masih basah dan kaca-kaca di matanya masih saja belum habis terpecahkan.

"Apa semua gara-gara kakak, Nay? Kakak yang salah tapi malah kakak yang marah. Kenapa kamu gini? Kakak harus bilang apa sama orang tua kamu, Nay?" Kali ini Kak Yuni duduk tepat di depanku. Roby menggelayut tak lepas dari tangannya.

"Bukan salah kakak kok. Aku gak apa, ntar juga hilang bekas lukanya," kilahku meninggalkan mereka.

Aku tak sanggup. Aku takut seandainya sampai mengatakan semuanya. Aku takut menghancurkan lagi sebuah keluarga lain hanya karena telah berada di sini ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status